Jalanan kota Yogyakarta pagi ini cukup ramai. Aku dan keluargaku sedang perjalanan menuju Grha Sabha Pramana. Di sanalah semua mahasiswa akan melaksanakan wisuda. “Ya ampun, anak ibu cantik banget, deh.” Ibu yang duduk di sampingku selalu memuji dari tadi. Aku sampai bosan mendengarnya. Pasalnya hanya kepada teman sekamar dan di depan keluarga aku tidak memakai cadar. Lama sekali aku tidak mendengar pujian itu dari seseorang. “Ibu, udah deh!” Aku memelototi Ibu karena sedari tadi Om Dani mentertawakanku. “Ibu ‘kan kangen sama kamu, Gita. Lima tahun tidak bertemu itu lama. Ibu takut setelah ini kamu pergi meninggalkan kami.” “Tidak, Bu. Mana mungkin aku meninggalkan Ayah dan Ibu? Aku kuliah demi kalian. Aku akan merawat kalian sampai akhir hayat.” Tiba-tiba Ibu memelukku. Pelukan yang cukup lama dan hangat. Sudah lama aku tidak merasakan kenyamanan ini. “Ibu takut kamu akan segera menikah dan meninggalkan kami,” ucap Ibu sembari mengusap air matanya. Aku tertawa hingga memegangi
“Bakso ... bakso ...!” Terdengar nyaring suara pukulan antara sendok dan mangkuk yang menggema di depan rumah. Aku segera Keluar mengambil mangkuk di gerobak Ayah. “Pak, baksonya dua!” Mendengar teriakanku, membuat abang tukang bakso itu berhenti. Usianya memang terlihat masih muda, tetapi aku sengaja memanggilnya ‘Pak' supaya dia tidak baper. Apalagi dia pernah menanyakan statusku kepada Ayah dan berniat menjadikan istri gara-gara aku memanggilnya ‘Mas'. “Baksonya berapa, Mas?” tanyaku ketika pertama kali membeli baksonya saat lewat di depan rumahku. “Sepuluh ribu. Kalau buat Dek Faiha gratis, deh. Sama calon istri nggak boleh perhitungan.” Seketika aku tersedak ketika dia menyebut sebagai calon istrinya. Entah sejak kapan dia mengetahui namaku. Aku Meminta bantuan Kak Ilham supaya dia tidak macam-macam denganku lagi. Semenjak kejadian itu dia tidak berani menggodaku. “Pedes, Dek?” “Yang satu pedes, satunya lagi biasa.” Kebiasaanku ketika membeli bakso selalu membawa mangkuk
What? Ketua panitia? Benar-benar keterlaluan Kak Ilham. Dia tidak mengatakan jika aku menggantikannya menjadi ketua panitia. Rasanya aku ingin segera menghubungi dan memakinya sekarang juga.“Aku nggak bisa jadi ketua panitia, Kak. Baru kali ini aku ikut IRMAS. Aku tidak punya pengalaman apa-apa.” Entah siapa namanya, aku tidak tahu. Yang jelas aku tidak mau jika mendadak ditunjuk menjadi ketua. Ini semua gara-gara Kak Ilham. Kalau tahu begini aku enggak akan mau datang menggantikannya.“Mau atau enggak, kamu harus mau. Sudah menjadi konsekuensinya kalau mau gantiin Ilham. Punya amanat kok ditinggal.” Lelaki itu tidak menerima apa pun alasanku.“Tapi aku tidak bisa apa-apa!”“Mau aku ajarin? Nanti dapat bonus, latihan jadi makmumku,” ucap lelaki itu sambil mengedipkan sebelah mata. Ya Allah, lelaki macam apa dia? Kenapa teman-teman Kak Ilham sepertinya tidak ada yang beres begini? “Sama aku aja, Fai. Nan
“Enggak! Aku nggak bilang keberatan.”“Kamu tenang aja, Fai. Kakak bakal bantuin kamu.” Aku tersenyum lebar mendengar ucapan Kak Malik. “Makasih, Kak.” Aku melirik ke arah Kak Malik kemudian menganggukkan kepala. Acara rapat ditutup dengan bacaan hamdalah. Semua orang langsung pulang karena langit mendung dan petir sudah mulai menyambar-nyambar. Angin bertiup kencang hingga membuat daun mangga di depan masjid jatuh berguguran. Empat wanita yang ikut rapat tadi sudah pulang. Mereka bilang rumahnya dekat sehingga pulang dengan jalan kaki. Tinggal tiga orang di dalam masjid dan aku yang menunggu jemputan dari Ayah. Sudah beberapa kali aku menghubungi ayah, tetapi tidak terjawab. Aku mengerang frustrasi hingga terdengar suara pintu masjid tertutup. Tiga laki-laki memakai sarung keluar dari masjid. Lampu di dalamnya sudah padam. Rasanya aku ingin menangis. Bagaimana jika ayah tida
“Astaghfirullah, Ayah.” Aku berucap pelan, tetapi sepertinya Ustaz Dilan mendengarnya. Aku bisa melihat tubuhnya sedikit berguncang menahan tawa. Ya Allah ingin rasanya aku menenggelamkan mukaku ke dalam waduk Logung. “Mampir dulu, Nak. Faiha bikinin kopi sana!” Modus apalagi ini yang dilakukan Ayah? Aku menepuk jidat melihat kelakuan lelaki yang merawatku dari kecil hingga dewasa ini. “Maaf sudah malam, saya harus kembali. Ada wanita yang menunggu saya di rumah,” tolak Ustaz Dilan. Syukurlah dia menolak. Eh barusan dia bilang ada seorang wanita di rumah? Jangan-jangan dia sudah punya istri, tetapi kenapa dia bisa bersikap genit denganku? Ah, mungkin saja aku yang terlalu baper. “Ya sudah, makasih sudah mengantarkan Faiha pulang. Lain kali mampir ke sini kalau ada waktu.” Ayah langsung berbalik dan tidak menunggu sampai Ustaz Dilan pergi. Dapat kulihat dari wajah Ayah jika dia sedikit kecewa.
“Nanti Kakak minta tolong sama teman-teman.”“Aku mau balik aja! Moodku sudah hancur.”“Eh jangan! Kamu datang aja ke Masjid, nanti minta tolong sama Dilan. Bilang aja Kak Ilham yang nyuruh,” ucapnya dari seberang sana. “Ustaz Dilan? Enggak! Aku mau pulang aja. Bajuku kotor!”“Kamu di mana sekarang? Biar kakak minta bantuan. Kamu tunggu aja di situ, Kakak kirimkan baju ganti.”Belum sempat aku menjawab, telepon sudah dimatikan sepihak. Mengirimkan baju? Huh, siapa yang mau direpotkan Kak Ilham? Mereka pasti malas hanya untuk sekadar keluar rumah sore-sore begini. Aku menuntun motor dan berbalik arah. Gamis polos warna biru muda kini memiliki corak abstrak gara-gara terkena cipratan genangan air di jalan berlubang. Kulihat jam di ponsel, sudah sepuluh menit aku berjalan dan belum sampai rumah. Aku berhenti sejenak untuk beristirahat. Kakiku sudah capek dan pegal. Kuletakkan motor di dekat trotoar kemudian
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh ....” Pembawa acara memulai kegiatan pagi ini.Setelah pembukaan dimulai, kini sambutan oleh ketua panitia. Beruntung Ustaz Dilan mau menggantikanku. Sebenarnya tidak banyak hal yang disampaikan. Cukup ucapan selamat datang, permohonan maaf dan terima kasih. “Saya di sini mewakili ketua panitia, mengucapkan selamat datang kepada semua santri dan santriwati yang hadir. Semoga di bulan Maulid ini kita bisa mengisi kegiatan dengan hal-hal positif dan bermanfaat bagi kita semua. Cukup sekian dari saya. Apabila ada salah-salah kata saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.”Setelah itu Ustaz Dilan mengucapkan salam dan duduk kembali. Acara selanjutnya penjelasan rencana kegiatan selama pesantren kilat yang dihandle oleh Kak Malik. Aku beberapa kali menguap mendengar penjelasan Kak Malik yang terlihat membosankan. Kulihat banyak anak yang antusias ketika Kak Malik menjelaskan tentang hari k
Sepanjang perjalanan aku menangis. Entah apa yang menjadi alasanku menangis, aku tidak tahu itu. Aku sangat mengkhawatirkan Ayah, juga bersedih karena dipermalukan di depan umum. Tidak ada yang berani menyentuhku, tetapi dia beberapa kali melakukannya. Untung aku masih bisa menghindar. “Kamu nangis, Fai?” tanya Mas Junet. Tidak mendengar jawaban dariku, dia berucap lagi. “Kita ke taman dulu, ya! Nanti Ayah kamu sedih lihat putrinya menangis.”Hanya butuh waktu lima menit, kami sudah sampai di taman tempat Mas Junet jualan. Aku duduk di bangku panjang di bawah pohon ketapang. Aku merasa lebih nyaman di sini, perasaanku sedikit tenang dan bisa bernapas lega. Mas Junet membersihkan tempat dia berdagang. Sudah hampir dua tahun dia bekerja dengan Ayah. Dia sudah cukup mengenalku tanpa harus diberi tahu. Dia lelaki yang baik, bisa memperlakukanku dengan benar sebagai seorang perempuan. Dia tidak pernah mendekatiku seperti lelaki yang lain. D
“Enggak! Aku pun serius ingin menikah denganmu.” Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlontar dari mulutku. Namun, jujur saja perasaanku memang tulus untuknya. Aku bersungguh-sungguh ingin menikah dengannya.“Kamu dengar sendiri, bukan? Aku melakukan ini agar kalian berdua bisa berbahagia.” “Aku nggak yakin bisa membuat Faiha bahagia.” Dilan tertunduk lemas. Sebagai lelaki, dia terlihat tak berdaya di atas ranjang kecil itu. Aku memberanikan diri menggenggam tangan Dilan. “Aku yakin kamu bisa sembuh. Aku akan merawatmu dengan sepenuh hati. Untuk itulah, kamu juga harus memiliki keyakinan yang sama. Kamu pasti akan sembuh.”“Aku cinta sama kamu itu benar. Tapi untuk menikahimu, kurasa itu nggak benar, Fai. Kamu nggak akan bisa bahagia denganku.” Kalimat Dilan terdengar putus asa.Tak terasa mataku penuh oleh benda cair yang siap meluncur jatuh ke pipi. “Aku seyakin itu sama kamu, tapi kamu sendiri malah seperti melarikan diri dari
Aku mengangguk kemudian berjalan mendekat menyalami orang tua Dilan. Begitu juga dengan Kak Ilham. Dari mana mereka mengetahui namaku? Padahal aku tidak pernah bertemu sebelumnya. “Faiha ini adik kamu, Ham? Kalian sangat mirip.”“Iya, Om. Maaf baru sempat mengajaknya ke sini. Dia masih kuliah.”Jadi, selama ini Kak Ilham sengaja menunggu liburan semester baru mengajakku bertemu Dilan? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Kak Ilham. Bisa-bisanya dia menyembunyikan semua ini dariku. “Pantas saja Dilan tergila-gila padanya. Dilan masih tidur. Biasanya jam empat sore baru bangun.”Wajahku rasanya panas mendengar ucapan ibunya Dilan. Padahal ruangan ini ber-AC. Aku pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang yang lama kurindu. “Om dan Tante pamit dulu. Kalian bisa 'kan jagain Dilan untuk kami? Kebetulan Om tadi langsung ke sini setelah pulang dari kantor.”“Tenang aja, Om! Sera
Mulai saat itu aku tidak lagi tergantung pada mereka. Aku meminta Ayah membelikan sepeda listrik. Harganya cukup terjangkau. Dengan begitu, aku tidak lagi bergantung dengan orang lain. Saat itu juga aku mulai membatasi diri lagi dan lebih pendiam sekarang. Fokus untuk kuliah demi masa depan. Hingga akhirnya liburan semester itu datang. Setelah setengah tahun berlalu, hidupku terasa hampa. Tidak ada manis-manisnya. Pagi hari kuliah, sore bantu ayah, malam pergi dengan teman sholawatan. Terkadang aku juga menyendiri di rumah. Hidupku terlalu monoton begitu setiap harinya. Beberapa kali teman Kak Ilham mencoba PDKT denganku, tetapi mereka akhirnya mundur karena aku hanya diam. Hatiku sudah beku. Rasanya susah sekali menerima orang baru. Meski sudah lama, ternyata aku tidak bisa melupakannya. Sekarang, di makam Ibu, aku membacakan doa untuknya hingga menangis tergugu. “Ayo pulang!” ajak kak Ilham.“Sebentar lagi.”
Pagi harinya aku berangkat kuliah seperti biasa diantar Kak Ilham. Hari ini dia bimbingan katanya. Entah dia mendapat Ilham dari mana sehingga mendadak mau bimbingan. Beberapa teman, ada yang mengagumi Kak Ilham. Mereka tahu jika kakakku adalah penyiar radio. (Baca novel karya Shofie Widianto, judulnya Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio).Terkadang mereka memberikan kue, cokelat, dan lain sebagainya untuk kakakku. Padahal aku sudah mengatakan jika lelaki itu sudah memiliki kekasih, tetapi tidak satu pun yang percaya. Aku juga sering melihat beberapa teman kelasnya yang selalu nempel, padahal sudah jelas Kak Ilham menjauhi mereka.Aku sampai heran mengapa banyak yang menyukai Kak Ilham? Dia itu kere. Duitnya pas-pasan. Wajah doang yang lumayan. Padahal wanita tidak akan kenyang hanya dengan memandang wajah laki-laki. Mungkin inilah yang disebut cinta buta. Tidak bisa melihat logika. Cinta telah membutakan segalanya.“Nanti kamu pulang
“Kamu tidak apa-apa, Fai?”“Sakit Kak.”“Kakak tahu.”“Aku pikir tidak memiliki rasa itu, Kak. Aku tidak tahu rasa itu tumbuh kapan. Hingga akhirnya aku sadar setelah dia bersama yang lain. Rasanya sakit.”Kurasakan tangan Kak Ilham mengelus kepalaku beberapa kali. Dia pasti sedih melihatku seperti ini. Apalagi semua ini gara-gara temannya. “Kamu harus kuat. Oke. Masih banyak teman Kakak yang mau denganmu. Ada Adam, Malik, banyak pokoknya. Kamu tinggal pilih.”Mendengar banyolan Kak Ilham aku memukul dadanya. “Jahat!” Aku tersenyum dalam tangis. “Udah sana, cuci muka! Kita salat dulu. Berdoa sama Allah. Kamu nggak boleh nangis hanya gara-gara laki-laki. Maafin Kakak, ya. Kakak pikir kamu tidak akan mudah menyukainya ternyata kakak salah.”Azan maghrib berkumandang. Aku dan kak Ilham salat berjamaah. Kali ini cukup banyak yang datang. Selain warga sekitar, semua panitia sudah berkumpul sem
“Aku tidak bawa HP. Aku tidak ingin ada yang mengganggu kencan kita. Sengaja aku meninggalkannya di mobil.” Kencan? Kupikir dia hanya bercanda dengan kencan ini. Ternyata baginya ini sungguhan. Aku pun mulai mencoba menikmati kebersamaan kami. Tidak salah jika aku membahagiakan diri ini sebentar saja. “Ya sudah, pakai ponselku saja.”Setelah sekali jepretan, aku menunjukkann foto padanya. “Gimana hasilnya?” tanya Dilan. “Bagus.”“Boleh foto berdua?” tanya Dilan. “Selfie saja.”Aku ingin menolak, tetapi mulut berkata iya. Akhirnya aku yang memegang ponsel di depan sedangkan Dilan di belakang. Dia mengacungkan kedua jarinya hingga membentuk huruf V sedangkan aku mengacungkan dua jari membentuk love. “Saranghaeyo!”Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Kami memang seperti pasangan yang sedang kencan. Melihat hasil foto yang bagus, aku mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan kami memi
“Belum cukup umur buat diajak kawin.”Dilan tertawa hingga memegangi perut. Melihatnya seperti ini entah mengapa semakin membuat debaran jantungku menggila. Ah, betapa manisnya dia. “Astagfirullah!” Aku mengalihkan pandangan saat Dilan memergoki telah menatap dirinya. “Jadi untuk apa Ustaz Dilan ngajakin aku kencan sore-sore begini?”“Kenapa manggil ustaz lagi. Pengen tak cium, nih!”Aku mencebik mendengarnya. Terkadang dia sangat menyebalkan. “Dih. Nggak dijawab!”“Pengen aja. Paling enggak, ada sebuah alasan untukku kembali pulang ke Kudus, selain mengunjungi makam Bapak.” “Bapaknya ... Mas sudah meninggal?” Aku sendiri bingung harus memanggil dengan sebutan apa. “Iya. Tapi bukan ayah kandung. Ayah kandungku masih hidup. Di Jakarta. Dia memintaku pulang secepatnya.”“Ayah kandung?”Dilan tidak langsung menjawab. Aku mulai paham sekarang. Dia ke Kudus hanya untuk mengun
Aku kembali melipat mukena dan menyimpannya. Saat keluar, kulihat Kak Ilham sedang berbincang dengan Dilan. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang cukup serius.“Sini, Fai!”Aku pun menghampiri kak Ilham. “Ada apa, Kak?”“Aku mau mengajakmu pergi sebentar. Ilham sudah mengizinkannya.” Dilan langsung menjawab kebingunganku.Eh! “Pergilah! Dilan nggak akan apa-apain kamu.”“Tapi ....”Tumben sekali Kak Ilham bersikap seperti ini. Biasanya dia protektif sekali denganku. Aku saja sampai tidak berani dekat dengan lawan jenis karena memiliki kakak yang galaknya seperti Kak Ilham. “Pergi saja. Maksimal Maghrib sudah harus kembali ke sini.”Aku langsung mengambil tas dan mengikuti Dilan di belakangnya. Sejenak kemudian dia berhenti hingga membuatku tanpa sengaja menabrak punggungnya. “Kayak buntutku aja. Pindah sini di samping. Apa mau aku gandeng?” tanya Dilan.
Beberapa aku menunggu hari ini tiba, tetapi aku malah kecewa.“Mau pulang bareng atau kutinggal?” tanya Ilyas lagi. “Wait!”Aku menoleh ke kanan dan kiri. Takut jika ada yang melihatku pulang dengan Ilyas. Mereka pasti akan menjadikan hal ini sebagai bahan ghibah. Mereka tidak ada yang tahu jika aku dan ketua BEM kesayangan mahasiswi ini sudah menjadi saudara. “Kamu adik tirinya Ilham?” tanya Kak Malik pada Ilyas. “Hmm!” jawab Ilyas singkat. “Ya sudah, titip Faiha. Langsung diajak pulang.”Setelah Kak Malik pergi, Ilyas menggandeng tanganku. “Eh! Jangan pegang-pegang.”“Makanya ayo cepet. Udah ditungguin sama Ibuk di rumah.”“Kamu jalan dulu sampai parkiran. Aku akan mengikuti dari belakang.”Sungguh aku merasa sangat kesal dengan Kak Ilham. Tidakkah dia tahu jika aku merindukan temannya? Benarkah aku rindu? Aku menepis pikiranku yang sepertinya sudah mulai o