Miranda menatapku dengan penuh intimidasi. Ia berdiri tepat di hadapanku sehingga karena dia yang lebih tinggi dariku itu membuatku harus mendongakkan kepalaku agar mata kami bertemu."Kau hanya diam memandangiku seperti itu? Apakah Kau tidak tertarik dengan apa yang sedang kulakukan, hm?" ucap wanita itu akhirnya angkat bicara lagi setelah kami hanya saling menatap tajam satu sama lain."Aku boleh mempertanyakan hal itu?" balasku dengan malas.Wanita itu menatapku dengan sengit, dan mengangkat tangannya.WUT!WUT!Tiba-tiba saja wanita itu melayangkan tinju beruntun ke arahku. Gerakannya begitu cepat, tetapi sayang sekali kecepatannya dan akurasinya masih bisa kuimbangi sehingga tak ada satu pun serangannya yang berhasil mengenaiku.BUAGH!Ketika ia lengah, aku pun berhasil meninju perutnya dengan cukup keras sehingga cukup untuk membuatnya tersungkur. Berterimakasihlah pada tinggi badanku yang tak lebih tinggi dari wanita itu sehingga membuatku bisa dengan mudahnya meraih titik terl
Melihat pemuda itu masuk ke dalam ruangan dengan lempengnya, tanpa pikir panjang, aku juga langsung mengikutinya."Em, Rob, terima kasih, Aku harus segera masuk!" ucapku pada pemuda yang berjalan bersamaku itu.Tanpa menunggunya merespons ucapanku, dengan segera aku melengos pergi masuk ke dalam ruangan perkuliahan Martin."Sampai nanti Bella!" Aku tidak melihatnya, tetapi ia berteriak begitu keras di belakangku."Ya ampun! Mengapa dia berteriak begitu keras sekali sih?!" rutukku di dalam hati yang sesungguhnya sangat malu dengan teriakan itu.Ketika masuk ke dalam ruangan, dengan sigap mataku langsung mencari sosok Reynold. "Ah! Itu dia!" gumamku dengan begitu ceria ketika kulihat sosok pria tampan itu tengah duduk di barisan paling depan, seperti biasanya.Melihat tak ada yang menemaninya di sana, dengan segera langsung menduduki kursi kosong yang berada di sampingnya."Hallo Rey! Selamat pagi!" sapaku dengan begitu riang pada pemuda bermata seperti es itu.Tapi Reynold tidak membal
Ia menatap kedua mataku semakin intens setelah menanyakan hal yang membuatku kaget bukan main sebab kupikir dia bertanya seperti itu karena ia mulai mencurigaiku. "Ha ... hah? Apa maksudmu?" tanyaku dengan gugup dan aku bisa merasakan keringat mulai bercucuran di sekujur tubuhku. Dia tidak berkata lagi. Pandangan dinginnya terus terkuci pada mataku sangat lama sehingga mambuatku malah membalikkan pertanyaan padanya karena tingkah anehnya ini. "Rey, seharusnya Aku yang bertanya, apa yang Kau inginkan dariku sekang, hm?" ucapku dengan segenap keberanian, menyembunyikan perasaan gugup ini. Wajahnya semakin mendekat, dan sungguh saat ini aku benar-benar merasa jantungku akan meledak karena saking deg-degannya memikirkan adegan yang akan terjadi selanjutnya di antara aku dan pemuda itu. Sontak karena hal itu, aku langsung menutup mataku karena terlalu malu untuk melihat apa yang hendak ia lakukan. "Tidak ada, Aku hanya sangat senang melihat tampangmu yang seperti ini!" bisik Reynold den
"Oh! Tuan Michael!" Martin yang saat ini sedang berada di gedung kementerian pendidikan pusat itu tanpa sengaja bertemu dengan Michael Clifford. Ayahnya Reynold ini memang sedang berada di luar kota dari kemarin untuk bertemu seseorang, dan secara kebetulan orang itu baru bisa ditemui hari ini di tempat yang sama dengan Martin berada saat ini. Michael yang mendengar seseorang memanggil namanya itu, menoleh dan tampak raut wajahnya begitu kaget. "Akh! Pria cerewet itu!" pikirnya yang sebenarnya begitu malas bertemu dengan orang yang dikenalnya. "Apa kabar, Tuan?" tanya pria itu setelah ia berdiri tepat di hadapan detektif terkenal itu. "Hai Martin. Well, seperti biasa kabarku begini-begini saja. Bagaimana denganmu?" jawab Michael sembari menjabat tangan dosen pembimbing putranya itu. "Tetap bahagia menjadi pengajar!" tegasnya dengan begitu ceria. "Well, tampak sekali ..." ucap Michael dengan senyum ramahnya. "Tugas kampus kah?" sambungnya, memastikan tujuan keberadaan pria itu di
Wendy sudah bersiap dengan dandanan formalnya. Saat ini sudah jam 8 malam, wanita itu sedang berdiri di depan gedung apartement-nya, menunggu Chris menjemputnya.Wanita itu terlihat sedikit cemas karena siapa yang tidak gugup bertemu dengan orang penting misterius yang keberadaan dan sosoknya tidak diketahui banyak orang termasuk para anggotanya."Apa yang harus kulakukan nanti? Aku benar-benar takut menyinggungnya," pikir Wendy.Ia kembali memeriksa jam tangannya. "Chris belum datang juga, dia bahkan tidak menghubungiku atau membalas pesanku, apakah ada masalah?" Ia mulai bertanya-tanya tentang keberadaan Chris yang sampai sekarang belum kunjung datang.BRROOM!CKIT!Tiba-tiba sebuah Lamborgini yang melaju dengan cepat, berhenti tepat di hadapan wanita itu."Cepat masuk!" seru si pengemudi mobil itu yang ternyata adalah Chris.Wendy mengangguk dan dengan sigap langsung masuk ke dalam mobil itu. "Apa yang membuatmu lama?" tanya Wendy ketika mobil sudah mulai melaju.Chris melirik Wen
Ketika Reynold tengah tenggelam dalam pemikirannya mengenai surat di tangan kurir yang duduk di sebelahnya itu, si penunggu toko kembali dengan sebuah paket kecil yang ditujukan untuk pemuda itu."Oh, hai Jill, ada paket baru kah?" sapa si pemilik toko pada kurir yang dipanggil Jill itu."Yap, tapi kali ini hanya sebuah surat, tak ada kiriman lain lagi!" jawab Jill sembari menunjukkan sepucuk surat yang sedari tadi diamati Reynold itu.Si penunggu toko itu mengambil surat itu dan membaca muka amplopnya untuk memastikan siapa si pengirim dan penerima surat itu."Hm ... Baiklah Aku akan menghubungi si penerimanya nanti," ucap si penunggu toko itu sembari memasukkan suratnya ke dalam laci khusus di dekatnya."Well, surat sudah ada di tanganmu, jadi tugasku sudah selesai! Kalau begitu Aku pergi!" ujar Jill sembari menggendong kembali tasnya."Yap, terima kasih!" timpal si penunggu toko.Jill mengangguk, lalu menoleh pada Reynold sembari memasang senyum ramahnya. "Oh, dan selamat malam Ana
Bruno membawa wanita itu ke salah satu ruangan di rumah singgahnya itu. Sebuah ruangan yang nyaman dan hangat, benar-benar nyaman sehingga siapa pun yang berada di dalamnya akan merasa sangat betah. Selain itu, dalamnya juga terdapat berbagai jenis alat musik klasik seperti piano, biola, selo, klarinet, saksofon, dan sebagainya.Mengetahui dirinya di bawa ke sebuah ruangan yang tidak biasa, tentu saja membuat Wendy merasa heran. Ia benar-benar tidak mengerti dengan maksud pria tua itu membawanya ke tempat itu, tetapi Wendy tetap diam saja mengikuti arus, seperti dengan apa yang dikatakan Chris."Well, duduklah di sana, Wendy!" seru Bruno sembari menunjuk sebuah sofa yang membelakangi sebuah jendela besar.Wendy hanya mengangguk, dan melakukan apa yang diperintahkan pria tua itu."Apakah Kau bisa memainkan alat musik?" tanya Bruno setelah memastikan Wendy sudah duduk dengan manis di sofa yang ia tunjuk itu."Tidak, Bos! Selama ini Saya lebih suka mendengarkan dari pada mencoba memainka
POV Wendy.Setelah pertarungan kilat sebelumnya, bos besar mengajakku untuk makan malam bersamanya di ruang makannya. Di sinilah aku sekarang, berdiri dengan tegap di samping bos besar yang duduk di meja makan besar dengan beberapa hidangan sudah tersajikan dengan rapi di atasnya. Hidangan sehat yang cukup banyak sehingga membuatku berpikir bahwa tidak mungkin pria tua itu memakan semuanya sendirian. "Duduk dan makanlah apa pun yang Kau mau!" seru bos besar yang sepertinya menyadari bahwa sedari tadi aku hanya memandangi semua hidangan di hadapanku.Aku terperanjat, menyadari bahwa aku sudah sangat tidak sopan sehingga membuat bos besar menawarkan makanannya padaku."Terima kasih, Bos Besar! Tapi tak apa, Saya di sini saja! Silakan nikmati santap malam Anda, atau jika Anda terganggu dengan kehadiran Saya, Saya akan per-""Duduklah!" sela pria itu. "Sangat jarang sekali seseorang menemaniku makan. Well, lagi pula kapan lagi Kau bisa duduk satu meja dengan Bos Besar ini, hm? Aku yakin