"Siapa pria itu?" Aku terus bertanya-tanya mengenai siapakah pria yang duduk tepat di belakangku.Pria itu memanggilku, tetapi aku tidak menggubris panggilan itu, sebagai antisipasi bahwa ia sengaja menyebut namaku untuk memancingku. "Jangan menoleh! Aku mengerti saat ini Kau sedang berada dalam misimu. Nona Madeline, Kau memang benar-benar luar biasa, Aku sangat senang bisa melihatmu secara langsung seperti ini, karena biasanya Aku hanya mendengar desas-desus tentangmu dari para bawahanku." Pria itu berkata lagi, tetapi kali ini lebih panjang.Aku hanya diam sembari mendengarkan dengan seksama semua yang dikatakan pria di belakangku itu."Kau mungkin tidak tahu siapa Aku, tetapi Aku sangat yakin Chris pasti sudah mengatakan padamu bahwa Aku sangat ingin bertemu denganmu sekedar untuk melihat bagaimanakah sosok yang sedang menjadi topik perbincangan hangat di kalangan bawahanku," sambungnya.Mendengar itu, seketika aku langsung teringat pada hari di mana aku dan Chris harusnya menyam
Kami berempat pun duduk dalam satu meja. Aku duduk di samping Martin, dan Reynold bersebelahan dengan Lisa tentunya.Reynold tampak datar dan dingin seperti biasa, sedangkan Lisa entah mengapa memandangku terus menerus dengan tatapan tidak suka. Tak perlu dikata lagi, itu pasti karena dia cemburu karena kejadian kemarin ketika Reynold mengatakan bahwa ia ingin mengantarku pulang.Sedangkan Martin, tentu saja dia terlihat santai dan tengah berusaha untuk mencairkan suasana."Em, well, sebuah kebetulan ya," ucapku tiba-tiba, melanjutkan usaha Martin."Ya, Kami sedang BERKENCAN, dan kebetulan Pak Martin melihat Kami, lalu mengajak Kami untuk ikut bergabung bersamanya," jawab Lisa dengan sinis dan penuh penekanan di beberapa bagian katanya seakan ia sedang pamer padaku."Hoo begitu, lantas kenapa Kalian masih di sini? Pak Martin ya yang menghalangi Kalian?" Aku membalasnya dengan senyuman."Aduh Pak, seharusnya Bapak jangan mengganggu orang pacaran, lihat tuh Lisa sampai tampak kesal begi
Setelah berhasil membuat Lisa luluh, setelah semua selesai makan, akhirnya kami berempat pergi ke game arcade untuk memainkan permainan yang kutantangkan pada Reynold.Sepasang kekasih itu berjalan di belakang aku dan Martin dengan Lisa yang tampak tidak melepaskan pelukannya pada lengan Reynold seakan ia benar-benar seperti seorang anjing yang takut kehilangan tuannya."Ck! Dasar gadis menyebalkan!" rutukku dalam hati setelah aku mencoba mencuri pandang ke belakang untuk memeriksa kedua orang itu.GREP!Tiba-tiba Martin memegangi pergelangan tanganku dan langsung menarikku untuk berlari mengikutinya."E ... Eh?! Pak, Kita mau-""Bella! Ayo cepat Kita tandai mesin permainannya! Lihatlah! Banyak orang yang mendekat ke sana!" seru pria itu tanpa menghentikan berlarinya, menyelaku yang hendak mempertanyakan apa yang akan ia lakukan.Benar saja, saat kami sampai ke permainan tembak-tembakkan itu terlebih dulu, tampak orang-orang yang kalah cepat itu memasang tampang kecewa sangat berbandi
"Bos, Kau memanggilku?" ucap seorang wanita yang bernama Erica Rhouden, seorang bawahan Chris dengan kemampuan bertarung yang tak kalah kuat dari Wendy dan memiliki kemampuan memata-matai yang luar biasa.Pria casanova yang tengah bersiap diri untuk bertemu bos besar itu menoleh pada wanita yang baru saja Rudolf panggilkan untuknya dengan mata yang menyipit seakan ia sedang menilik wanita itu baik-baik. Ia menggeleng kecil, dan ketika selesai dengan apa yang sedang dilakukannya ia pun duduk di tempat duduknya."Duduklah!" seru Chris sembari menunjuk sofa yang ada di depannya.Wanita itu melakukan apa yang dikatakan bosnya itu, dan duduk dengan tegak sambil menunjukkan tampang yang begitu penasaran pada pria tampan itu."Baiklah sekarang Aku punya misi untukmu, dan harus dilaksanakan sekarang juga!" ucap Chris dengan serius pada wanita itu.Erica mengangguk dengan tegas, ia sudah sangat siap untuk menerima tugas yang sering kali didapatnya secara dadakan dari pria yang suka seenaknya i
POV Wendy."Pria ini benar-benar ... DIA BENAR-BENAR TIDAK BISA MEMBUATKU BERISTIRAHAT BARANG SEJENAK!" keluhku di balik senyum ramahku pada Martin yang sampai jam 9 malam ini tidak membiarkanku untuk pulang.Setelah dari mall, Martin memintaku untuk menemaninya ke suatu tempat yang katanya 'menyenangkan,' dan meski kutahu bahwa itu akan sangat merepotkan, tetapi aku pun mengiyakannya sehingga di sinilah kami sekarang, di sebuah taman bermain besar di kota ini. Aku sudah memberi kode padanya, dan bahkan dengan gamblang meminta izin padanya untuk pulang, tetapi apa yang dia katakan? Ya, dia mengatakan 'Pulang? Bukankah ini belum terlalu malam?' Atau mengatakan 'Hm? Ya, ya, Kau boleh pulang setelah Kita menaiki wahana itu!' Memang dasar, dia memang seperti anak-anak yang sangat sulit sekali untuk disuruh pulang ketika sedang bermain, benar-benar merepotkan. Sepertinya jalan satu-satunya agar ia mau mendengarku adalah dengan memarahinya, sebagaimana seorang ibu yang akan marahi dan men
Miranda menatapku dengan penuh intimidasi. Ia berdiri tepat di hadapanku sehingga karena dia yang lebih tinggi dariku itu membuatku harus mendongakkan kepalaku agar mata kami bertemu."Kau hanya diam memandangiku seperti itu? Apakah Kau tidak tertarik dengan apa yang sedang kulakukan, hm?" ucap wanita itu akhirnya angkat bicara lagi setelah kami hanya saling menatap tajam satu sama lain."Aku boleh mempertanyakan hal itu?" balasku dengan malas.Wanita itu menatapku dengan sengit, dan mengangkat tangannya.WUT!WUT!Tiba-tiba saja wanita itu melayangkan tinju beruntun ke arahku. Gerakannya begitu cepat, tetapi sayang sekali kecepatannya dan akurasinya masih bisa kuimbangi sehingga tak ada satu pun serangannya yang berhasil mengenaiku.BUAGH!Ketika ia lengah, aku pun berhasil meninju perutnya dengan cukup keras sehingga cukup untuk membuatnya tersungkur. Berterimakasihlah pada tinggi badanku yang tak lebih tinggi dari wanita itu sehingga membuatku bisa dengan mudahnya meraih titik terl
Melihat pemuda itu masuk ke dalam ruangan dengan lempengnya, tanpa pikir panjang, aku juga langsung mengikutinya."Em, Rob, terima kasih, Aku harus segera masuk!" ucapku pada pemuda yang berjalan bersamaku itu.Tanpa menunggunya merespons ucapanku, dengan segera aku melengos pergi masuk ke dalam ruangan perkuliahan Martin."Sampai nanti Bella!" Aku tidak melihatnya, tetapi ia berteriak begitu keras di belakangku."Ya ampun! Mengapa dia berteriak begitu keras sekali sih?!" rutukku di dalam hati yang sesungguhnya sangat malu dengan teriakan itu.Ketika masuk ke dalam ruangan, dengan sigap mataku langsung mencari sosok Reynold. "Ah! Itu dia!" gumamku dengan begitu ceria ketika kulihat sosok pria tampan itu tengah duduk di barisan paling depan, seperti biasanya.Melihat tak ada yang menemaninya di sana, dengan segera langsung menduduki kursi kosong yang berada di sampingnya."Hallo Rey! Selamat pagi!" sapaku dengan begitu riang pada pemuda bermata seperti es itu.Tapi Reynold tidak membal
Ia menatap kedua mataku semakin intens setelah menanyakan hal yang membuatku kaget bukan main sebab kupikir dia bertanya seperti itu karena ia mulai mencurigaiku. "Ha ... hah? Apa maksudmu?" tanyaku dengan gugup dan aku bisa merasakan keringat mulai bercucuran di sekujur tubuhku. Dia tidak berkata lagi. Pandangan dinginnya terus terkuci pada mataku sangat lama sehingga mambuatku malah membalikkan pertanyaan padanya karena tingkah anehnya ini. "Rey, seharusnya Aku yang bertanya, apa yang Kau inginkan dariku sekang, hm?" ucapku dengan segenap keberanian, menyembunyikan perasaan gugup ini. Wajahnya semakin mendekat, dan sungguh saat ini aku benar-benar merasa jantungku akan meledak karena saking deg-degannya memikirkan adegan yang akan terjadi selanjutnya di antara aku dan pemuda itu. Sontak karena hal itu, aku langsung menutup mataku karena terlalu malu untuk melihat apa yang hendak ia lakukan. "Tidak ada, Aku hanya sangat senang melihat tampangmu yang seperti ini!" bisik Reynold den
Saat ini hari sudah sore. Setelah mendapatkan titik lokasi tempat saat ini Hilde dan Michael berada, tanpa menunggu lama, aku pun langsung berangkat menuju ke tempat itu. Beberapa saat kemudian, aku sampai di depan sebuah gang gelap yang di mulut gangnya tampak cukup ramai karena saat ini adalah jam-jam pulang bagi para pekerja kantoran. Mendapati hal itu, aku hanya mengernyitkan dahi, benar-benar tidak habis pikir mengapa Michael membawa Hilde ke tempat seperti itu. "Hm, titik lokasi yang dikirim Chris sudah benar, tetapi aku tidak melihat mereka ... sebenarnya apa yang sedang mereka berdua lakukan di dalam gang itu?" pikirku dengan memusatkan pandanganku pada gang yang berada tepat di depanku. Wajahku sudah kututup oleh masker, jadi dengan begitu penampakkan wajahku bisa sedikit tersamarkan. Aku harus berhati-hati karena mengingat Michael pernah berinteraksi denganku ketika kami berada di pesta Hilde waktu itu. Dia pria jenius, aku yakin hanya dengan sekali lihat saja dia pa
POV Wendy. "Misi apa yang akan pria itu berikan dengan membuat kita bertiga berkumpul seperti ini?" pikirku sembari menatap sosok Chris yang tengah duduk sembari menatap kami bertiga dengan serius. "Si bajingan Vincent kemarin buka mulut. Dia terus mengoceh, sehingga pada akhirnya mengatakan bahwa ada hal serius yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan, dan itu berhubungan Coltello. Mau tidak mau organisasi akan terlibat dalam sebuah perang antar organisasi kecil dan itu tidak bisa dihindari!" Chris mulai menuturkan hal yang menjadi penyebab yang sepertinya membuat pikirannya terganggu. Mendengar hal itu, sontak saja semua orang terlihat semakin serius. "Dia tidak mengatakan detailnya, tetapi itu berhubungan dengan tuan Jimmy Heartnewt. Dia hanya bilang bahwa dengan adanya pejabat itu di sisi mereka, maka Coltello pasti tidak akan baik-baik saja!" Chris melanjutkan perkataannya. Pria itu, melirik ke arahku, kemudian berkata, "Wendy, kuperintahkan Kau untuk mengawasi
Michael memandang Hilde dengan perasaan penuh antusias, benar-benar ingin segera mengetahui apa yang hendak tante girang itu bicarakan dengannya, di samping dia ingin 'benda' yang ada padanya. Sedangkan wanita itu tampak tertunduk sedih di samping pria itu sembari memainkan tangannya. "Hm? Nyonya Hilde, mengapa Anda hanya diam saja?" tanya Michael sambil memasang senyumnya yang menawan. Hilde dengan ragu melirik pria rupawan itu. "Tuan Clifford, Saya merasa ketakutan," ucapnya dengan suara yang bergetar. "Well, itulah yang seharusnya Anda rasakan. Anda baru saja menjadi target pembunuhan, tentu saja hal semacam itulah yang harus Anda rasakan," ujar pria itu. Hilde langsung berdiri tanpa mengalihkan pandangannya dari Michael, lalu berkata dengan menggebu-gebu, "Tuan, Anda sudah menyelamatkan nyawa Saya malam itu. Saya yakin Anda bisa-" "Sejujurnya, Nyonya Hilde, yang Saya lakukan hanyalah menangguhkan waktu pembunuhan Anda. Anda berhasil lolos malam itu, bukan berarti Anda
"Well, Rey, Rob, tunggu sebentar ya! Sebentar lagi kelasku selesai," seru Martin. "Baik, ayah mertua!" timpal Robert dengan bersemangat, berbanding terbalik dengan Reynold yang hanya merespons dengan sebuah anggukan malas. Martin tersenyum, lalu kembali ke dalam kelas, melanjutkan perkuliahannya. Tinggallah kedua pemuda itu sendiri. "Sebenarnya untuk apa Kau menemui Pak Martin?" Reynold yang masih penasaran, menanyakan hal yang menurutnya ganjil itu. "Eh? Aku hanya datang untuk kunjungan rutinku. Takada masalah mengenai itu, kan?" jawab Robert dengan santainya. "Kunjungan rutin apa?" Reynold bertanya makin jauh. "Itu bukan urusanmu~" timpal lawan bicaranya yang terlihat seperti sedang menjahilinya. Mendengar respons itu, Reynold tidak memperpanjangnya lagi karena sejujurnya ia cukup kesal mendengar bagaimana pemuda itu menjawab tiap pertanyaannya. "Tapi ada satu hal pasti yang menjadi urusanmu, yaitu uruslah kekasihmu sendiri, dan jauh-jauhlah dari Bella!" Pemuda it
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di depan pintu masuk gedung aprtement-ku. "Terima kasih, Rey!" ucapku dengan riang gembira. Reynold hanya memandang dengan malas padaku. Aku memeluk erat boneka unicorn pemberian darinya sembari cengengesan. "Terima kasih juga bonekana ... Aku sangat menyukainya," ungkapku. "Aku tidak sengaja memberikannya-" "Aku akan menamainya ReyBell!" selaku, langsung memberitahukan nama boneka pemberiannya. "Hm, Reynold Bella, kah? Dasar gadis aneh!" gumamnya sembari menyalakan kembali motornya, sepertinya ia bersiap untuk pergi. Aku menghadapkan kepala boneka itu pada Reynold, seraya berkata dengan nada jahil, "Reybell, ayo katakan sesuatu pada Papa!" Reynold langsung menoleh padaku dengan tampang terkejut. "Papa, hati-hati di jalan ... sampai jumpa lagi!" Aku mengubah suaraku sembari mengerak-gerakkan kaki depan boneka unicorn itu seakan dia sedang melambai pada pemuda yang sudah memberikan boneka ini padaku. "Dasar gadis aneh!" guma
Belum sempat aku menjawab apa yang ditanyakannya, Reynold menghentikan laju motornya di depan sebuah kedai makanan sederhana. "Em, Rey?" Aku memanggilnya dengan heran. "Turunlah!" serunya. Aku pun melakukan apa yang diserukannya dengan tampang bingung. "Kenapa Kita berhenti di sini?" tanyaku. Pemuda itu menurunkan standar motornya, lalu turun dari motornya, dan setelah itu melengos pergi menuju ke pintu masuk kedai seraya berkata, "Aku lapar!" "Hah? Apa? Eh, tunggu Aku!" Takingin tertinggal olehnya, aku berlari kecil untuk mengejarnya. *** Kini kami duduk berhadapan di dalam kedai itu. Makanan sudah dipesan dan kami hanya tinggal menunggu pesanan kami datang. Ini pertama kalinya aku dan Reynold makan berdua seperti ini. Sejujurnya entah mengapa aku merasa gugup, karena kami benar-benar tidak melakukan apa-apa, hanya duduk diam saling menatap. Pemuda itu bahkan tidak memainkan ponselnya dan ia hanya memandangi sekitar dan sesekali memandang ke arahku dengan tampang
"Aku akan tahu rahasia Reynold! Aku harus berjuang!" pikirku dengan rasa begitu antusias mengikuti langkah targetku ini. Pintu geser kaca otomatis pun langsung terbuka ketika kaki kami menyentuh lantai di depannya. "WOAH ...." Aku memasang tampang bodoh seperti anak kecil yang baru pertama kali masuk ke dalam sebuah gedung yang penuh dengan berbagai macam game arcade di dalamnya. Aku langsung beralih pada Reynold dengan antusias, seraya bertanya sambil menarik-narik bajunya, "Rey, Rey! Mau main yang mana dulu ini?" Pemuda itu menoleh padaku dengan malas, lalu berjalan begitu saja menuju ke tempat pembelian koin. "Kau yang pilih!" tegasnya setelah ia membeli koin yang cukup banyak. "Eh? Baiklah!" timpalku dengan bersemangat. Kuedarkan pandanganku untuk mencari mesin permainan yang terlihat menarik untuk pertandingan kami. "Ayo Kita main itu!" Aku menunjuk sebuah mesin game arcade Tekken yang terlihat masih baru tak jauh dari tempat kami berdiri. "Hm." Reynold hanya m
POV Wendy. Kedua mataku terbelalak melihat pemandangan mengejutkan itu. Setelah mencari pemuda itu selama satu setengah jam, akhirnya Aku menemukannya dalam situasi yang membuatku takhabis pikir. Sebuah situasi di mana Reynold terlihat bahagia bercanda dan beberapa kali ia juga tertawa dengan gadis kecil yang terlihat seperti berumur 7 tahunan di punggungnya itu. "Bocah cilik itu siapanya Reynold?" gumamku yang masih tak percaya dengan apa yang kulihat. "Reynold! Luna!" Seorang wanita berlari kecil sambil memanggil mereka. Pemuda dan bocah cilik itu menoleh pada wanita itu. Seorang wanita dewasa yang terlihat manis dan terlihat menenteng kantong kresek. Bocah itu terlihat antusias dan Reynold pun berjalan mendekat pada wanita itu sambil menggendong gadis cilik yang sepertinya bernama Luna itu. Mereka bertiga terlihat bercengkerama bersama dengan menampakkan senyum lepas satu sama lain sehingga mereka benar-benar terlihat seperti keluarga yang sangat bahagia. "Aku tida
Michael tengah duduk di depan seorang pria bermantel biru khas seragam kepolisian. Mereka duduk berhadapan dengan tampang si pria dari kepolisian itu terlihat kesal. Sedangkan Michael terlihat begitu santai, takpeduli dengan tampang kesal pria itu. "Jadi, Kau tetap takingin menyerahkan benda yang Kau dapatkan itu?" tanya pria itu dengan gigi bergemertak seakan sedang menahan kekesalannya. "Yaps! Aku berhak menolak karena itu adalah properti pribadiku. Kau ini polisi, pasti Kau sangat tahu hak-hak warga negara bukan?" jawab Michael dengan tenang. "Tuan Michael Clifford, Aku rasa itu bukan benda milikmu, jadi kami berhak untuk mengambilnya demi kepentingan negara!" Polisi itu menyanggah apa yang dikatakan pria yang tampak menyebalkan dengan seringainya yang tiba-tiba saja tampak semenjak mereka bertemu. Michael menghela napas, lalu sidekap di pahanya, lalu berkata, "Kau sepertinya lupa dengan tujuanmu sejak awal. Semenjak Kau datang Kau hanya membicarakan 'benda itu.' Well, Kau