“Kau tahu apa yang harus dilakukan bukan?” tanya Vero.
Perempuan itu mengangguk. Tanpa banyak bicara, tanpa menjawab pertanyaan Vero tanpa menunggu arahan laki-laki itu, tubuhnya bergerak.
Merasakan dingin air pada lapisan kulit di bongkahan pantatnya saja bisa menaikkan gairahnya. Apalagi sekarang ketika itu bercampur dengan kenikmatan yang Vero berikan.
Saat itu yang ada di pikiran Berliana ada berfokus dengan sesuatu di bawah sana.
Ia beringsut, menggerakkan pinggul dan bokongnya maju dan mundur seakan menggesekkan benda yang sudah menancap dalam-dalam di lubangnya itu. Menggesekkannya hingga ia merasa ada sesuatu yang meluruh dari lubangnya.
Membuat gesekan itu semakin basah.
Ditambah gelombang air yang diciptakannya. Mengikuti maju mundur gerakannya. Berliana tak ingin buru-buru meski kini ia sungguh rasakan gatal di bawah sana.
“Ver! Kue cucur meja enam, botok dua, nasi putih 3 porsi, satu porsinya kecil. Tambahkan jeroan ayam dua porsi. Desert nya dia minta jenang mutiara komplit pakai parutan kelapa, sama juga dua porsi. Jangan lupa es jeruk dua tambah teh hangat porsi kecil satu,” ucap Angga dengan cepat. Buru-buru sambil meletakkan nampan di dekat Vero.“Hei, kau ingat semua kan?” tanya laki-laki itu lagi. Menyorot mata Vero. Sementara laki-laki yang disorot sedang sibuk dengan kedua tangannya. Mengaduk, mencampur, mengisi, membubuhkan berbagai macam bahan ke dalam wajan.Vero mengangguk mantap. “Botok dua, nasi putih tiga porsi, dua besar satu kecil. Jenang mutiara komplit dua porsi, tambah jeroan ayam dua porsi. Es jeruk dewasa dua, dan teh hangat porsi anak-anak satu. Tambah kue cucur. Semua meja enam,” ucapnya mengulang kalimat Angga.“Ada yang terlewat?” sorot Vero balik. Sambil seketika
“Enggak-enggak, ini ga boleh dibiarkan,” dengus Vero kesal di dalam hati. “Gua harus minta maaf. Nggak, nggak boleh. Ini ga boleh dibiarin.” Ia mengulangi kalimatnya lagi.Kejadian barusan membuatnya kikuk. I-iy-iya bukan maksud Vero juga atas kejadian itu. Semua laki-laki di dunia ini pasti juga akan melakukan hal yang sama. Pasti akan terjebak di tempat yang sama. Dua bongkah gunung kembar itu.Sekarang Vero jadi tahu kenapa Dhita selalu pakai baju longgar hingga terkesan jadi tomboi. Ternyata itu yang selama ini ia sembunyikan.Tapi mau bagaimana pun dalam hati Vero, laki-laki itu tak bisa menyembunyikan perasaan malu dan bersalahnya tertangkap basah terbengong melihat pemandangan itu.Hingga akhirnya ia bertekad untuk menyelesaikan gundah hatinya dan meminta maaf nanti sepulang kerja. Atau minimal setelah pekerjaan sedikit longgar, atau jika ada kesempatan tak terduga lagi
Seketika semua pengunjung terdiam. Mengamati keributan yang tengah tengah terjadi di sudut kedai.Tapi diam adalah hal yang tidak berlaku untuk Vero. Tubuh tinggi besar itu seketika bangkit dari kursinya. Mendengar teriakan histeris dari Vera, gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.Berlari langsung ke depan, menyibak beberapa orang, gesit melewati meja dan kursi yang penuh dengan orang yang belum selesai menyantap hidangan di depannya.Kecepatan kedua langkah kaki Vero membawanya segera sampai di meja kasir. Dan di depan mata kepalanya ia menyaksikan kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri.Angga dan Vera tertunduk lesu duduk di meja kasir berdua. Sementara seorang laki-laki tengah berdiri dengan satu tangannya masih tertahan di meja.Sudah jelas laki-laki itu lah penyebab semua kegaduhan di restoran saat ini. Jelas-jelas ini kesalahannya.Lak
“Kau ingin mengambil bayaranmu yang lain?” Suara seorang wanita yang kini berdiri tepat di ambang lantai dua. Menatap ke bawah, ke arah seseorang yang tengah duduk mematung dengan sebatang rokok di apitan kedua jarinya. “Atau tengah menunggu seseorang?” lanjutnya lagi.Laki-laki itu tidak menggeleng, tidak juga mengangguk. Hanya memutar kepalanya, melabuhkan sorot matanya ke arah perempuan yang kini juga beringsut ke arah tangga. Menuruni anak tangga satu per satu. Membuat tubuh sintal berisi dengan rambut yang diwarna sedikit pirang di ujungnya itu melambai. Mengikuti gerak tubuhnya.“Aku hanya ingin duduk sendirian. Menikmati senja yang terbenam sendirian. Selalu memikirkan semua pekerjaanku dalam satu hari lagi,” jawab laki-laki itu tenang. Setelah melihat perempuan itu turun ia kembali melempar tatapan matanya ke jalan arteri yang ada di depannya. “Bukankah kau juga tahu kebiasaanku satu ini?&rdq
Vero mengerutkan kening. Heran dengan pertanyaan yang terlontar dari perempuan di sebelahnya. “Kenapa tiba-tiba kau menuduhku begitu?”Membuat perempuan itu tersenyum miring. “Itu bukan tuduhan Ver, itu juga bukan sebuah tebakan,” ucapnya sambil mengisap rokoknya dalam-dalam lagi. Sembari menyorot mata laki-laki itu lagi. “Itu bukan perkiraan, apalagi rasa cemburu. Itu hanya sebuah pertanyaan kosong.”Vero menelan ludah, bergirik ngeri dengan pertanyaan perempuan itu barusan. Gerakan jakunnya tertangkap oleh mata Berliana. Terasa dingin, terasa sangat intimidasi. Tapi Vero tetaplah Vero, laki-laki itu tak pernah mengecewakan perempuan.“Menurutmu?” tanya Vero lagi.Membuat Berliana mengangkat kedua bahunya. “Aku menyaksikan semuanya dari atas sana. Kalian berdua terlihat cocok. Oh ayolah, tubuh perempuan itu seleramu bukan? Segala sesuatu yang ter
“Kau suka suasana seperti ini?” tanya Berliana membuka kembali percakapan.Dua orang yang sama-sama masih menatap kosong ke pemandangan di depan mereka. Dua orang yang sama-sama mendiamkan gelas di sebelah mereka. Membuat air panas di dalamnya pelan-pelan berubah dingin. Namun, percakapan mereka membuat perasaan hangat.Melawan dingin udara yang berembus. Menepis kesepian yang sudah lama bermukim di hati mereka masing-masing. Berani membusungkan dada, melawan barisan lara yang menyayat hati karena serpihan yang dulu hingga sekarang mereka bawa.Vero mengangguk. “Hanya orang-orang yang kesepian di hatinya lebih besar dari kita yang bencu suasana ini.”Berliana tersenyum miring, menyimpulkan ujung bibirnya. “Kau benar.”“Keramaian ini, adalah satu hal yang selalu membuat hatiku tenang,” balas Vero.“Suara ge
Dan pergumulan itu terjadi lagi.Dua orang yang telah tiba di kos sederhana milik Vero. Selepas dari kamar mandi dan Berliana mendapati laki-laki itu sudah berbaring di kasur lantai miliknya. Sudah berganti pakaian hanya mengenakan baju dalaman putih tipis dan celana pendeknya.Tak ubahnya dengan Berliana kini yang sudah menanggalkan pakaiannya. Menggantinya dengan satu tank top warna putih dan celana pendek hitam. Ikut merebahkan tubuh di sebelah laki-laki itu.“Kau wangi sekali,” ucap Vero yang kemudian menghentikan aktivitasnya. Menyimpan kembali handphone nya, meletakkan benda kotak tipis berisi komponen itu di sebelah kepalanya. Berpindah memeluk tubuh sintal Berliana yang ada di sebelahnya.“Tak apa kah jika kita melakukannya di sini?” tanya Berliana.Membuat Vero tersipu malu. Menurunkan wajahnya, mencium kening Berliana, menyorot bola matanya. &ldq
Hari bergerak cepat. Berliana dan Vero sudah kembali ke hidupnya yang seharusnya berjalan. Kejadian malam itu sudah dua minggu yang lalu. Terasa baru sebentar meski sudah lama. Terasa sudah lama meski masih bisa dihitung dengan ke dua puluh jari.Dan roda ekonomi membuat semua berjalan kembali. Tak ubahnya restoran Janda yang bergerak hari demi hari.Sudah dua minggu, Berliana tak lagi khawatir soal kejadian malam itu. Kejadian yang membuatnya kesal pada Vero. Marah padanya, mendiamkannya selama tiga hari tanpa bicara apa pun pada laki-laki itu. Sekali pun saat di hingar bingar tempat kerja atau pun saat mereka hanya berdua.Saking kesalnya, wanita itu selalu meminta karyawannya yang lain kalau ada perlu dengan Vero. Benar-benar memutuskan kontak dengan pria itu. Apalah mau dikata, tapi kesalahan Vero memang sangat fatal baginya.Bayangkan betapa rumitnya semua urusan ini jikalau ternyata benih yang
“Nggak! Nggak mungkin Wil,” jawab Vero cepat sambil menggelengkan kepalanya.“Ver!” Tangan Wilda menangkap lengan Vero. Menghalangi laki-laki itu pergi dari hadapannya. “Tunggu dulu. Ini masih mungkin Ver! Dengerin baik-baik. Duduk dulu!”Laki-laki yang terlanjur berdiri itu mau tidak mau kini terpaksa duduk kembali. Wajahnya tertekuk, mendengus kesal.“Ayolah, kita bisa balik seperti dulu Ver! Ya kan Pak Januar?” ucap Wilda lagi. Ditambah melempar sorot matanya ke Pak Januar juga. Tapi laki-laki paruh baya itu hanya menundukkan kepalanya. Tak bisa menjawab apa pun.Tampak jauh lebih putus asa. Membuat percakapan tiga orang dalam satu meja itu kini berubah sunyi. Saling terdiam cukup lama, berdebat dengan isi kepalanya masing-masing.“Tapi kau tak tahu masalahnya Wil!” protes Vero akhirnya angkat suara. Memecah keheninga
Seorang laki-laki berlari kencang setelah memarkirkan motornya sembarangan. Mengabaikan teriakan tukang parkir yang lagi-lagi harus membetulkan posisi motornya setelah belasan motor lain sebelumnya. Menggerutu menyumpahi laki-laki yang bahkan jaketnya belum terpasang sempurna di tubuhnya.“Maaf Pak maaf, tolong! Nanti uang parkirnya gua tambahin!”Tubuh kurus dengan gaya rambut yang belum berubah itu melanjutkan larinya. Masih gondrong, diikat ke belakang dengan karet gelang. Ujung rambutnya melambai mengikuti langkah kedua kakinya yang bergerak secepat yang ia bisa.Menyibak kerumunan, berjalan miring, berdesakan, merangsek ke tempat yang masih jauh di depan sana.“Permisi Mbak!”“Maaf Buk. Maaf Pak.”“Saya sedang buru-buru. Maaf bapak ibuk.”Mulutnya tak bisa berhenti mengucapkan sederet k
Semua polisi seketika menundukkan kepala. Melihat laki-laki yang baru saja turun dari motor. Laki-laki yang kini sudah sempurna melepas jaket hitamnya. Memamerkan seragam kepolisian dengan berbagai pangkat menggantung di atas saku kiri bajunya.Sementara Wilda berjalan lebih dulu dari pria tersebut. Menyibak kerumunan, memberi jalan pada laki-laki yang mengekor di belakangnya.“Semoga gua belum terlambat,” ucap Wilda begitu tubuhnya tiba di dekat Vero. Melihat laki-laki itu yang kini mengangkat wajahnya. Tersenyum miring menatap rekan kerjanya yang baru datang itu.“Tadi pagi gua yang terlambat. Sekarang malah jadi elu yang telat datang dasar pahlawan kesiangan,” umpat Vero ke arah laki-laki yang kini heboh di sampingnya.Menarik tangan Vero untuk berdiri tapi tertahan. Baru sadar kalau dua tangan temannya tersebut sudah diikat dengan sepasang borgol.&ldq
“Tidak, tidak mungkin!” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Berliana saat ia tersadar dari pingsannya.Pukul lima sore, matahari masih cukup menerangi bumi. Sinarnya masih terasa hangat meski di sebagian belahan bumi terasa dingin. Seperti di depan Restoran Janda. Di mana karyawan dan polisi juga Pak Ferdy masih berkumpul. Mengurai, mencari jalan keluar atas masalah yang terjadi.“Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin terjadi. Ini pasti mimpi,” ucap Berliana lagi. Sorot matanya kosong. Menatap ke atas, ke kerumunan awan kecil yang berarak di langit.Hampa, bingung, selesai, perempuan itu seperti orang yang goyah kejiwaannya. Jatuh ke dalam lubang terdalam di hidupnya lagi. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihat kedua bola matanya saat tiba di rumah sakit tadi.Belasan orang, rata-rata anak kecil di bawah sepuluh tahun dalam satu kamar rumah sakit. Selang oksigen yang te
Sayangnya, semua sudah terlambat. Sangat-sangat terlambat, tak ada yang berhasil dihadang. Tak ada yang bisa dipitar ulang.Berliana kembali ke restoran dengan perasaan lemas. Kedua kakinya layu, bahkan sudah pingsan saat turun dari mobil yang baru membawanya kembali dari TKP.Pintu mobil terbuka. Matanya yang berderai air mata ditutupi tangan yang memegangi tisu. Vero dan Pak Januar seketika berlari saat tubuh Berliana terlihat berjalan sempoyongan. Meraih kedua lengannya, membopongnya.“Selesai, terlambat, ini semua selesai,” bisik perempuan itu terakhir. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang.Suasana restoran berubah mencekam saat belasan polisi tiba-tiba datang. Datang dengan tiga mobil sekaligus.Siapa yang tidak kaget dengan kedatangan mereka tiba-tiba. Semula semua orang mengira bahwa bapak-bapak polisi ini hanya akan makan siang di restoran ini seperti bisan
“Kalau kamu, Ta?” Leher Berliana berputar. Matanya menyorot tajam ke arah perempuan yang ada di sisi kanannya. “Apa ada masalah dengan rotimu? Sebaiknya kali ini kabar baik yang kuterima.”Sama seperti Vero, perempuan itu juga menggelengkan kepala. “Semua aman, Mbak. Tetap di posisi dan bentuk terakhir sebelum saya meninggalkannya pulang kemarin sore. Kabar baiknya, saya juga sudah buatkan kardus khusus untuk mengemas roti ini nanti. Karena kardus yang kita punya di gudang tidak cukup besar untuk mengemasnya. Jadi saya putuskan untuk bawa dari rumah.”“Good!” jawab Berliana singkat. Melipat tangan di dadanya, melirik ke arah Vero dan Dhita bergantian. “Hari ini, seperti kemarin, kita adakan rolling jam. Kalian akan bekerja bergantian lagi. Bedanya, sekarang Vero lebih dulu. Masukkan rotimu ke dalam cup langsung setelah ini. Jadikan seratus cup cake sekalian. Nanti agar lebih cepat biar sa
Kemudian hari baru, menetas lagi.Membuka sebagian banyak mata manusia yang sudah melabuhkan lelahnya di dalam tidur yang panjang. Memberi kesempatan mereka menarik napas lega pagi ini. Merasakan nikmat yang tak terkira di hari yang berbeda.Nikmat yang saking seringnya mereka rasakan sampai lupa bahwa mereka masih memiliki itu semua. Kenikmatan bernapas, kenikmatan membuka mata dengan semua organ tubuh yang masih lengkap. Kenikmatan melihat matahari masih terbit dan mata hati mereka yang masih berani menatap kenyataan.Bahwa bumi masih berputar hari ini. Bahwa matahari masih menggantung di atas langit sebelah timur sana. Bahwa waktu masih memberi kita panggung untuk pentas sandiwara maha agung dengan peran kita masing-masing.Anak sekolah berangkat ke sekolah dengan penuh gairah. Ada yang diantar, ada yang berjalan bersama-sama, ada yang berlarian saling kejar. Nikmat yang bahkan tak pernah mereka s
Dan hari itu pun ditutup seperti hari-hari biasanya.Dimulai dengan pagi hari yang sangat cerah. Ditutup dengan matahari di ufuk barat yang meredup dengan sangat indah. Mengiring orang-orang yang sudah lelah seharian bekerja untuk pulang. Mengantar kalender menutup satu hari barunya. Berganti chapter, mengubah episode tapi dengan kisah yang masih sama.Restoran Janda tutup sedikit lambat hari ini. Tidak seperti hari-hari biasa sebelumnya.Bukan, bukan karena ramainya pengunjung yang datang. Bukan juga karena lembur atau perbaikan alat masak. Bukan juga karena kerja bakti bersih-bersih yang selalu di agendakan oleh mereka setiap akhir bulan.Tapi hari ini, mereka serempak untuk menunggu semua karya Vero selesai. Romantis sekali, bahkan Berliana sampai keluar dari ruangan. Turun ke lantai satu. Berbagi minuman, berbagi kopi dengan semua karyawannya. Berbincang, bergurau dengan semua karyawanny
Sementara itu tepat saat Vero meniti anak tangga, rencana Dhita berjalan sangat lancar. Perempuan licik penuh dendam itu bersumpah tak akan gagal lagi kali ini.Tersenyum penuh kemenangan, di mana pada akhirnya laki-laki itu keliar dari biliknya untuk waktu yang lama.Dhita harus segera menyelesaikan pesanannya, ia tak boleh melewatkan kesempatan ini. Mengambil mangkok sup. Mengisinya dengan seporsi sop buntut. Lengkap dengan taburan bawang goreng dan seledri irisan tipis daging di atasnya.Bergerak lagi mengambil satu piring saji yang pipih dan lebar. Mengambil dua porsi pepes ikan dari panci kukus. Aroma kemangi yang bercampur dengan segarnya tomat dan parutan kelapa menyeruak. Membuah air liur Dhita pecah. Membayangkan menyantapnya dengan nasi putih hangat dan sambal tomat.Tapi tetap saja, aroma itu tak cukup kuat untuk menghentikan Dhita.Tubuhnya sudah bergerak lagi. Berdir