“Kau ingin mengambil bayaranmu yang lain?” Suara seorang wanita yang kini berdiri tepat di ambang lantai dua. Menatap ke bawah, ke arah seseorang yang tengah duduk mematung dengan sebatang rokok di apitan kedua jarinya. “Atau tengah menunggu seseorang?” lanjutnya lagi.
Laki-laki itu tidak menggeleng, tidak juga mengangguk. Hanya memutar kepalanya, melabuhkan sorot matanya ke arah perempuan yang kini juga beringsut ke arah tangga. Menuruni anak tangga satu per satu. Membuat tubuh sintal berisi dengan rambut yang diwarna sedikit pirang di ujungnya itu melambai. Mengikuti gerak tubuhnya.
“Aku hanya ingin duduk sendirian. Menikmati senja yang terbenam sendirian. Selalu memikirkan semua pekerjaanku dalam satu hari lagi,” jawab laki-laki itu tenang. Setelah melihat perempuan itu turun ia kembali melempar tatapan matanya ke jalan arteri yang ada di depannya. “Bukankah kau juga tahu kebiasaanku satu ini?&rdq
Vero mengerutkan kening. Heran dengan pertanyaan yang terlontar dari perempuan di sebelahnya. “Kenapa tiba-tiba kau menuduhku begitu?”Membuat perempuan itu tersenyum miring. “Itu bukan tuduhan Ver, itu juga bukan sebuah tebakan,” ucapnya sambil mengisap rokoknya dalam-dalam lagi. Sembari menyorot mata laki-laki itu lagi. “Itu bukan perkiraan, apalagi rasa cemburu. Itu hanya sebuah pertanyaan kosong.”Vero menelan ludah, bergirik ngeri dengan pertanyaan perempuan itu barusan. Gerakan jakunnya tertangkap oleh mata Berliana. Terasa dingin, terasa sangat intimidasi. Tapi Vero tetaplah Vero, laki-laki itu tak pernah mengecewakan perempuan.“Menurutmu?” tanya Vero lagi.Membuat Berliana mengangkat kedua bahunya. “Aku menyaksikan semuanya dari atas sana. Kalian berdua terlihat cocok. Oh ayolah, tubuh perempuan itu seleramu bukan? Segala sesuatu yang ter
“Kau suka suasana seperti ini?” tanya Berliana membuka kembali percakapan.Dua orang yang sama-sama masih menatap kosong ke pemandangan di depan mereka. Dua orang yang sama-sama mendiamkan gelas di sebelah mereka. Membuat air panas di dalamnya pelan-pelan berubah dingin. Namun, percakapan mereka membuat perasaan hangat.Melawan dingin udara yang berembus. Menepis kesepian yang sudah lama bermukim di hati mereka masing-masing. Berani membusungkan dada, melawan barisan lara yang menyayat hati karena serpihan yang dulu hingga sekarang mereka bawa.Vero mengangguk. “Hanya orang-orang yang kesepian di hatinya lebih besar dari kita yang bencu suasana ini.”Berliana tersenyum miring, menyimpulkan ujung bibirnya. “Kau benar.”“Keramaian ini, adalah satu hal yang selalu membuat hatiku tenang,” balas Vero.“Suara ge
Dan pergumulan itu terjadi lagi.Dua orang yang telah tiba di kos sederhana milik Vero. Selepas dari kamar mandi dan Berliana mendapati laki-laki itu sudah berbaring di kasur lantai miliknya. Sudah berganti pakaian hanya mengenakan baju dalaman putih tipis dan celana pendeknya.Tak ubahnya dengan Berliana kini yang sudah menanggalkan pakaiannya. Menggantinya dengan satu tank top warna putih dan celana pendek hitam. Ikut merebahkan tubuh di sebelah laki-laki itu.“Kau wangi sekali,” ucap Vero yang kemudian menghentikan aktivitasnya. Menyimpan kembali handphone nya, meletakkan benda kotak tipis berisi komponen itu di sebelah kepalanya. Berpindah memeluk tubuh sintal Berliana yang ada di sebelahnya.“Tak apa kah jika kita melakukannya di sini?” tanya Berliana.Membuat Vero tersipu malu. Menurunkan wajahnya, mencium kening Berliana, menyorot bola matanya. &ldq
Hari bergerak cepat. Berliana dan Vero sudah kembali ke hidupnya yang seharusnya berjalan. Kejadian malam itu sudah dua minggu yang lalu. Terasa baru sebentar meski sudah lama. Terasa sudah lama meski masih bisa dihitung dengan ke dua puluh jari.Dan roda ekonomi membuat semua berjalan kembali. Tak ubahnya restoran Janda yang bergerak hari demi hari.Sudah dua minggu, Berliana tak lagi khawatir soal kejadian malam itu. Kejadian yang membuatnya kesal pada Vero. Marah padanya, mendiamkannya selama tiga hari tanpa bicara apa pun pada laki-laki itu. Sekali pun saat di hingar bingar tempat kerja atau pun saat mereka hanya berdua.Saking kesalnya, wanita itu selalu meminta karyawannya yang lain kalau ada perlu dengan Vero. Benar-benar memutuskan kontak dengan pria itu. Apalah mau dikata, tapi kesalahan Vero memang sangat fatal baginya.Bayangkan betapa rumitnya semua urusan ini jikalau ternyata benih yang
Hingga pertemuan itu berakhir menjadi sebuah pertanyaan besar di kepala Berliana. Ini bukan main-main kan? Apa kesalahan yang ia buat sudah terlalu jauh? Dan yang paling mengerikan, yang mengganggu pikirannya, siapa yang merasa iri dengan kedekatan antara dirinya dan Vero?Ah tidak, tidak mungkin Pak Janur. Kalau ternyata benar laki-laki itu mana mungkin ia sampai repot-repot memperingatkannya. Lagi pula Pak Januar tak pernah cemburu dengan siapa pun yang masuk sebagai karyawan baru di kedai ini. Siapa pun orangnya, dia hanya akan mengerjakan pekerjaannya kemudian pulang seperti biasa.Apa mungkin Wilda? Laki-laki itu memang seminggu yang lalu datang ke Berliana untuk meminta kenaikan gaji. Ia merasa waktu yang dihabiskannya di Restoran Janda ini sudah cukup. Loyalitas dan kerja kerasnya jangan ditanya lagi. Dan Berliana pun tidak marah saat ia mendatangi ruangannya. Terus terang soal itu, soal gajinya yang masih di bawah anak kemarin sore.
“Jadi aku ditolak?” ucap Angga lirih.Suaranya terdengar serak. Terdengar sangat berat saat mengucapkannya. Sorot matanya kosong. Menengadah, menatap dedaunan pohon mangga yang gugur demi satu.“Jadi perjuanganku selama ini masih kurang?” ujarnya lagi sambil tersenyum kecut. Meski sudah mengira jawaban inilah yang akan diterimanya tapi tetap saja. Tak ada yang lebih sakit dari rasa sakit yang tak bersuara.Bahkan hampir saja pertanyaan itu tak bisa meluncur dari mulutnya. Hampir saja tak sanggup mengucapkannya. Hampir saja ia ingin segera pergi dari tempat ini. Membiarkan kaca helm hitamnya menutupi air mata yang saat ini masih ditahannya.Agar tidak jatuh, agar tidak membuatnya malu di depan perempuan ini. Perempuan yang kini menggelengkan kepala. Buru-buru menangkap tangan Angga yang ada di atas meja. Meremasnya, menahannya agar tidak pergi.“Aku b
“Tap–tapi, kalian tampak baik-baik saja bukan?” tanya Angga memecah keheningan. “Kalian tak tampak ada masalah apalagi saling ingin menyingkirkan.”“Ya emang bener apa kata lu,” Dhita meraih gelas es nya lagi. Meneguknya, mengusir rasa kering di tenggorokannya hilang. “Laki-laki sok tahu yang kariernya di restoran itu karena terbantu Bu Berliana. Cih ....!!!” lanjutnya sambil membuang ludah.“Kau iri dengan dirinya?” tanya Angga. Sorot matanya jadi setajam sebelumnya. Mulai ikut terbawa emosi lawan bicaranya.“Mungkin,” jawab wanita itu singkat. “Aku hanya tidak suka caranya mendapatkan apa yang dia miliki sekarang. Hanya karena ia bisa mendapatkan hati bos kita, ia seperti semena-mena. Superior, selalu ingin jadi yang paling gemilang dari karyawan lain. Kau ingat kejadian siang itu. Dia pikir ia bisa jadi pahlawan? Ia mungkin ba
Hari ini Restoran janda buka seperti biasa.Hari yang sangat indah dan cerah. Hari di mana peluang-peluang baru terbuka lebar. Sama seperti betapa ramainya Restoran pada siang hari ini.Kesibukan tergambar jelas di arah bilik memasak. Ruang kerja Dhita dan Vero yang bersebelahan. Hilir mudik Angga dan Vera keluar masuk dari sana menyebutkan pesanan dari meja kasir, mendikte beberapa pesanan yang menyusul.Tak jarang Dhita dan Vero dibuat bingung. Saking banyaknya pesanan, saking menumpuknya orderan. Membuat mereka harus bertanya lagi kepada dua orang pelayan sekaligus penjaga kasir.Wilda bahkan sudah bergabung sedari tadi. Cuaca yang panas dan terik matahari yang menyengat membuat lapak kopinya sepi. Orang-orang lebih memilih memesan berbagai jenis es dan tersedia di sini. Membuat Wilda harus keluar dari persembunyiannya. Ikut membantu membawa pesanan makanan ke depan.Saking ra