Hisyam kembali ke kamarnya, ia tidak ingin menjadi pengganggu di antara mereka. Namun tak lama kemudian Zahra sudah muncul di hadapannya."Om... maaf tadi aku ke kamar Abie menjenguknya. Om nyariin aku nggak?" tanya Zahra pede.Hisyam tanpa banyak bicara langsung memeluk Zahra. Entah mengapa tiba-tiba ada semacam rasa kehilangan menghantuinya. Padahal baru di tinggal beberapa menit saja."Om tidak apa-apa kan?" tanya Zahra lagi."Iya, Om tidak apa-apa," sahut Hisyam pelan."Om, hari ini kuliahku libur. Om libur nggak kerjanya?" tanya Zahra."Maaf, aku berangkat hari ini. Karena ada rapat penting," ucap Hisyam.Mendengar jawaban Hisyam, Zahra sedikit kecewa. Ia ingin menghabiskan waktunya bersama Hisyam tapi kesibukan Hisyam mengalahkan segalanya."Ya udah aku siapin baju kerja Om."Zahra melepaskan diri dari pelukan Hisyam. Ia sebenarnya berat di rumah sendirian meski banyak ART. Tapi tugasnya adalah membantu merawat Abie. Ia enggan melakukannya. Karena Abie seperti orang sehat tidak
"Sudahlah Zahra, kamu sama aku saja. Aku lebih muda dari papa pastinya lebih strong kalau buat yang satu itu," ucap Abie penuh percaya diri.Telinga Zahra terasa panas mendengar perkataan Abie yang terlalu percaya diri. Sudah jelas kalau di lihat dari segi manapun Hisyam tetep nomor satu. Wajah lebih tampan Hisyam, badan dan tinggi juga lebih oke Hisyam. Kalau soal satu itu Zahra memang belum pernah rasakan.Tapi waktu adegan handuk melorot itu, Zahra tak sengaja melihat pusaka Hisyam juga terbilang oke. Berurat dan keren. Duh, pikiran Zahra jadi kemana-mana gara-gara ucapan Abie."Kurasa fisik kamu tidak sakit, tapi yang sakit itu otak dan hati kamu!" Jari telunjuk Zahra mengarah ke dada Abie.Pria itu hampir saja menangkap jari Zahra namun gadis itu cekatan mundur selangkah sehingga Abie tidak berhasil menangkap jarinya."Eits ... ingat aku sekarang mama kamu. Terserah kamu mau terima atau tidak. Yang jelas, aku istri sah papa kamu. Jangan pernah mimpi untuk menjadi suamiku!""Suami
Zahra berhasil keluar lift lebih dulu, sementara Hisyam hendak mengejar ada seseorang yang memanggilnya."Hisyam!"Lama kita tidak bertemu," ujar lelaki itu. Langkah Hisyam terpaksa berhenti mengejar Zahra. Karena orang itu juga lebih penting untuk menyelamatkan Abie."Ayo masuk ke ruanganku," ajak Hisyam. Pikirannya masih tidak tenang dengan kemarahan Zahra. Sekarang ada masalah baru di depan matanya.Di dalam ruangan Reno melihat ke sekelilingnya. Dia merasa iri karena ruang kerja Hisyam lebih bagus dan mewah."Untuk apa kamu memanggilku kemari?" tanya Reno."Putramu ...""Ada apa dengan Abie?" Reno menatap tajam ke arah Hisyam."Dia terkena kanker, kamu salah satu orang tuanya yang masih hidup. Operasi sumsum tulang belakang mungkin bisa membantunya," ucap Hisyam."Ibu dan anak sama saja. Tidak ada yang bisa di harapkan," jawab Reno."Ada harga untuk menerima sumsum tulang belakangku," ucapnya kemudian.Hisyam ingin sekali meninju wajah Reno. Pria itu benar-benar tidak berperasaan.
Sampai di rumah orang tuanya, Zahra mendapatkan serentetan pertanyaan. Karena dia datang sendiri tanpa Hisyam di sisinya."Zahra, Nak Hisyam mana? Kenapa kamu datang sendirian?" tanya Bu Siti."Om lagi sibuk, Ma," jawab Zahra."Om... kamu panggil suami kamu dengan panggilan Om?" Dahi Siti mengkerut tak percaya. Ia kira setelah beberapa bulan lamanya mereka menikah Zahra sudah berubah."Terus ... panggil apa lagi ... Mas? Ih, enggak ah. Keenakan dia dong, Ma," jawab Zahra.Siti memerhatikan putri semata wayangnya dari atas hingga ke bawah. Perutnya juga masih rata, wajah Zahra tidak ada yang berubah masih seperti remaja. Jangan ... jangan ... "Zahra. Maaf kalau mama turut campur pernikahanmu. Selama ini kamu sudah melakukan hubungan suami istri belum sama Hisyam?" tanyanya.Zahra terdiam, dia memang tidur bersama dengan Hisyam tapi sampai sekarang dia masih Virgin. Itu karena dia takut dan belum mau kalau di ajak begituan. Maunya kissing-kissing doang."Ih, mama kok tanyanya begitu. K
Hisyam terus mengikuti Zahra sampai di kamarnya. Kamar nuansa serba Pink dengan pernak pernik serba Pink pula. Hisyam tersenyum, setidaknya dia tahu warna kesukaan istrinya."Kita bisa mengubah kamar kita di rumah menjadi seperti ini kalau kamu mau," ujar Hisyam. "Enggak usah repot-repot. Palingan juga aku sebentar lagi tidak ada di sana. Om bisa nikah sama Tante Brenda dengan tenang," jawab Zahra ketus."Kamu cemburu lihat aku sama Brenda?" tanya Hisyam."Eh, Om jangan ge - er ya. Aku bilang gini karena merasa harga diriku sebagai istri Om sudah di injak-injak," jawab Zahra membela diri. Hisyam naik ke tempat tidur, sementara Zahra langsung membatasi dengan guling."Om jangan macam-macam ya. Aku tidak mau deket-deket Om," tolak Zahra. Ia memunggungi Hisyam yang masih terhalang guling. Sementara Hisyam merogoh sesuatu dari sakunya."Aku punya rekaman cctv yang membuktikan kalau aku tidak macam-macam dengan Brenda. Tapi dia yang merayuku," kata Hisyam. Dia menyodorkan hapenya pada Z
Sentuhan lembut di bibirku menyapa entah sudah berapa kali Om Hisyam melakukannya. Maklum duda perjaka ini sudah berapa tahun miliknya karatan tidak di gunakan. Sepertinya perlu waktu lama untuk mengasahnya kembali. Ciuman itu terasa lebih dalam dan menuntut, seakan menunjukkan besarnya keinginan Om Hisyam untuk melakukannya lagi."Sayang," panggilannya yang mendayu-dayu membuatku terhipnotis seketika. Ia meminta apapun aku turuti, asal nggak nyemplung sumur. Surga dunia baru aku nikmati masa mau mati.Bibir itu kembali mengukir mahakarya di tubuhku. Meninggalkan jejak di sana sini. Tangannya terampil menyapa area pribadiku. Membuatku tidak tahan lagi agar pusaka miliknya itu menyusup kembali. Rasanya nikmat tiada tara, melebihi kenikmatan lezatnya cilok yang sering aku beli di kampus.Wajah tampannya yang berkeringat membuatnya makin mempesona. Tubuhnya yang kekar atletis berada di atasku penuh semangat 45 memacu miliknya masuk dalam area pribadiku. Miliknya yang berukuran besar s
Hisyam boleh merasa tenang karena dapat memenangkan hatinya Zahra. Namun di sisi lain, Abie tengah memegang nyawa. DiaSampai di Jakarta, Hisyam langsung menuju ke rumah sakit sesuai pemberitahuan Candra. Zahra juga menemaninya, mereka terlihat saling menguatkan satu sama lain."Bagaimana keadaannya?" Tanya Hisyam pada Dokter Deni."Sepertinya dia membutuhkan donor sumsum tulang belakang secepatnya," ucap Deni. "Apa tidak ada cara lain?" Hisyam masih ingat bagaimana Reno memanfaatkan situasi dengan penukaran yang licik. Sekarang Hisyam memiliki Zahra yang mencintainya. Ia juga tidak ingin Zahra ikut menderita jika dirinya jatuh miskin gara-gara Reno."Selain cara dari saudara kandung atau orang tuanya. Masihkah ada kemungkinan lain yang bisa menolongnya?" tanya Hisyam lagi.Dokter Deni diam sejenak ia lalu kembali menatap ke arah Hisyam. "Sebenarnya ada, tetapi kemungkinan ini biasanya sangat kecil. Karena yang memiliki kemiripan jenis sumsum tulang belakang yang di inginkan biasany
Abie masih membutuhkan waktu pemulihan yang lama. Meski operasi itu berjalan lancar. Tapi tidak menutup kemungkinan akan terjadi indikasi akibat operasi sumsum tulang belakang itu. Untuk itulah Abie beberapa bulan ke depan masih mendapat perawatan intensif di rumah sakit.Hisyam berdiri di samping Abie. Ia menatap penuh rasa iba kepada putranya. Perlahan Abie membuka matanya. Ia melihat ke sekeliling, hanya ada Hisyam di sana. Tidak ada Zahra di sisi papanya."Kemana Zahra, Pa?" tanya Abie. Satu hal yang ada di pikiran Abie hanya Zahra dan Zahra."Kemarin Zahra ke rumah orang tuanya. Sekarang dia sudah kembali dan istirahat di rumah," terang Hisyam. Ia memang sengaja tidak memunculkan Zahra di depan Abie, karena anaknya itu pasti ingin dekat dengan Zahra terus menerus."Aku ingin Zahra menemaniku di sini, Pa," pinta Abie tanpa mempedulikan perasaan Hisyam.Hisyam rasanya geram terhadap sikap putranya yang masih saja mengharapkan Zahra. Untung saja dia tengah sakit. Kalau tidak Hisyam
Perjalanan yang tidak cukup jauh berboncengan motor matic antara Abie dan Winda kini mengantarkan mereka sampai di rumah makan. Abie berhenti di parkiran membantu Winda melepaskan helmnya saat ia sudah turun dari motor."Win, kenapa kita tidak ke rumahmu saja ketemuannya. Agar aku juga tahu dimana rumahmu," ucap Abie sembari berjalan beriringan menggandeng tangan Winda masuk ke dalam rumah makan.Tak sedikitpun Abie melepaskan gandengan tangannya. Membuat Winda merasa dag dig dug. Ia mengambil nafas agar bisa mengontrol jantungnya berdetak lebih teratur.Dari kejauhan Hilman melihat putrinya di gandeng seorang pria tampan yang berjalan ke arahnya. Entah mengapa dia merasa familiar dengan wajah pria tersebut. Tapi dimana dia pernah bertemu. Ia kesulitan mengingatnya.Hingga kaki langkah mereka semakin mendekat ke arahnya. Winda sekilas seperti memberi isyarat pada Abie untuk menghentikan langkahnya."Mas, itu Papaku. Dia yang memakai kemeja hitam," bisik Winda. Winda memang sudah mengi
Abie tidak jadi belah duren. Ia akhirnya memilih mandi air dingin. Winda merasa tidak enak pada suaminya. Pertama kali malahan tidak bisa memberikan jatah pada Abie.Tak lama Abie keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan tubuh segar. Wajah Rosa menunduk. Ada rasa malu menggelayuti hatinya. Kejadian tadi terjadi begitu cepat. Ia masih ingat bagaimana tadi tubuh kekar itu sempat menindihnya. Dan ciuman Abie membuatnya melayang-layang. Kini tubuh kekar nan gagah dengan handuk melilit di perutnya berdiri di hadapannya. Winda juga sempat melihat betapa besar dan panjangnya milik suaminya yang tersembunyi di balik handuk itu."Mas, maafin aku ya," lirih Winda kemudian."Maaf soal apa, Win?" Abie mengambil posisi duduk di dekat Winda. Jantung Winda makin berdegup kencang. Ia takut manusia tampan di sampingnya itu menerkamnya lagi."Soal tadi Mas ... aku juga nggak tau kalo bakal halangan," ucap Winda. Wajahnya masih tertunduk saat mengatakannya.Abie menepuk pundak Winda. Membuat jan
"Win ..." Abie memanggil Winda dengan suara pelan sambil berbisik. Matanya menatap ke bibir Winda yang begitu dekat. Meski sebenarnya dia gugup takut kalau Winda menolaknya.Winda tertunduk malu hatinya berdegup kencang."Boleh ... Mas."Suaranya terdengar lirih meskipun begitu Abie bisa mendengarnya. Ia tersenyum tipis melihat wajah istrinya sedikit memerah seperti kepiting rebus. Hal itu justru semakin membuat Abie bersemangat melakukan keinginannya.Tanpa ragu, Abie mendekatkan bibirnya pada bibir Winda. Ciuman itu begitu lembut tidak terburu-buru berbeda dengan Abie dulu yang biasanya liar ketika mencium seorang wanita. Tiap sentuhan bibirnya mengandung kehati-hatian. Seolah Winda adalah benda porselen mahal yang harus di perlakukan istimewa.Keduanya merasakan kehangatan di antara mereka. Tanpa sadar Winda mengikuti irama. Dia membalas ciuman Abie. Baru kali ini dia merasakan ternyata begitu nikmatnya ciuman dengan suaminya. Sementara Abie merasa ciuman hari ini sangat manis. Berb
Citra pulang dengan perasaan dongkol. Apalagi di rumah Reno hanya ongkang-ongkang saja tidak mau bekerja."Mana makanan pesananku!" Tangan Reno tengadah meminta yang di pesannya.Wajah Citra memucat, gara-gara ketemu Abie di warung tadi. Seharian pikirannya di penuhi mantan suaminya. Ia lupa kalau sehabis pulang kerja harus membawakan sebungkus nasi padang untuk Reno.Reno selalu mengancam dirinya kalau sampai kabur darinya dia akan mengobrak-abrik warung bakso bosnya. Padahal cari pekerjaan sulit. Citra tidak ingin kehilangan pekerjaan. Maka dari untuk sementara ini Citra tidak berani kabur dari rumah. Ia masih butuh uang untuk bertahan hidup. Tabungannya sudah habis di curi Reno. Ia harus kerja keras lagi mengumpulkannya sehingga kalau kabur nanti dia masih punya pegangan uang bertahan hidup."Kok diam! Kamu lupa kalau aku pesan nasi padang!" sentak Reno."Kerjaan di warung banyak. Jadi aku lupa," jawab Citra lirih. Perasaannya masih kacau. Keinget Abie sama perempuan cantik tadi."
"Kenapa pipi Mas memerah sedari tadi? Mas sakit?" tanya Winda."Aku nggak apa-apa kok. Kamu pilih aja baju yang kamu sukai. Nanti Mas yang bayarin," kata Abie. Gimana pipinya tidak memerah sepanjang perjalanan Winda memeluk erat pinggangnya. Saking nurutnya Winda tidak melepaskan pegangannya hingga sampai ke tujuan. Gara-gara tindakan Winda itu, miliknya jadi makin sesak. Tubuhnya memanas karena menahan diri cukup lama.Winda sebenarnya ragu ingin membeli baju yang biasa di belinya. Takutnya kemahalan dan mencolok akhirnya dia memilih yang biasa saja."Mas, aku cobain yang ini ya," izin Winda."Bener kamu suka itu?" tanya Abie memastikan. Karena di liatnya ukurannya terlalu besar dan modelnya kurang menarik. Gini-gini Abie dulu juga sering mengantar Citra berbelanja. Ia tahu baju yang sesuai fashion sama tidak. Apalagi melihat pilihan baju yang pernah di pakai Winda saat kecelakaan sepertinya beda jauh. Setidaknya meski beda harga ukurannya juga nggak jauh beda kan?Winda jadi ragu. "
Hisyam menghela napas."Kamu main perempuan lagi? Makanya kamu terpaksa menikahinya," tebak Hisyam.Tuduhan itu sama sekali tidak membuat Abie marah. Ia paham betul bagaimana sikapnya dulu yang seenaknya. Suka main perempuan dan berfoya-foya. Sudah sepantasnya Hisyam berpasangka buruk terhadapnya."Bu ... bukan seperti itu, Pa. Aku tak sengaja menemukannya pingsan di jalanan depan rumahku. Karena aku tidak memiliki cukup uang akhirnya aku putuskan merawatnya hingga sembuh. Namun ... warga sekitar justru salah paham mengiraku berbuat macam-macam padanya selama tinggal di rumahku," terang Abie."Lalu ... mereka memaksaku menikahinya. Dan ... sekarang aku berusaha menerima pernikahan ini, Pa," lanjut Abie.Nafas Hisyam sempat tertahan mendengar pengakuan Abie. Tiap kalimat yang di ucapkan Abie begitu lancar seperti tidak ada yang di tutupi. Tatapannya juga sendu. Tidak terlihat berapi-api. Mungkinkah Abie memang sudah berubah?Di sisi lain dia terharu sekaligus kasihan. Gaji OB di perusah
Abie terdiam sesaat, membuat Winda yang tengah menunggu jawabannya menjadi gelisah. Ia yakin kalau Abie masih ada perasaan dengan mantan istrinya."Kalau aku bilang sudah tidak mencintainya apa kamu percaya?" Abie justru balik bertanya."Bener juga, siapa yang tahu hati seseorang. Mas juga belum mencintaiku sekarang. Akupun begitu. Kita ganti topik saja." Winda berusaha menenangkan dirinya. Kalau dia belum mencintai Abie lalu kenapa harus takut mendengar pengakuan suaminya. Mengenai perasaan Abie pada mantan istrinya?Tangan Abie menggenggam Winda erat. Tatapannya teduh seolah berusaha menenangkan hati Winda yang gundah.Reaksi Winda cukup kaget. Ia hendak menarik tangannya namun Abie menggenggamnya makin erat."Aku sudah tidak mencintainya. Sekarang aku hanya fokus pada keluarga kecil ini. Aku ingin mulai dari awal denganmu. Maukah kamu bersabar agar kita saling mencintai sepenuhnya."Ucapan Abie cukup menguatkan hati Winda. Ia pun mengangguk pelan sembari tersenyum manis."Terima ka
"Kembalikan uangku!" Citra memaksa merogoh saku celana Reno. Reno tidak terima perlakuan Citra, ia langsung mendorong Citra hingga jatuh terduduk di lantai.Citra tidak pantang menyerah dia juga membalas mendorong tubuh Reno hingga terjatuh. Reno yang masih setengah mabuk berusaha bangkit namun tubuhnya sempoyongan. Citra tidak mendapatkan apa-apa dari saku Reno."Kenapa Om habiskan semua uangku!""Aaargh!" Citra berteriak histeris. Dia sudah tidak tahan hidup seperti ini. Susah payah dia mendapatkan uang itu. Seenaknya saja Reno menghabiskannya.Citra langsung ke kamarnya. Ia sudah tidak tahan hidup satu atap dengan parasit seperti Reno. Harapannya untuk menjadi Nyonya besar yang di manja pupus sudah. Reno sudah jatuh miskin. Tak ada yang bisa di harapkan dari Reno.Ia memasukkan semua pakaiannya di koper. Entah mau pergi kemana. Citra juga tidak tahu. Yang terpenting pergi secepatnya dari tempat yang terkutuk ini. Ia tidak mau hidup satu atap dengan pemabuk yang kerjaannya hanya men
Abie spontan menggenggam jemari Winda. Tatapannya penuh kecemasan karena mendengar teriakan Winda akibat mati lampu.Namun tiba-tiba cahaya dari hape itu juga ikut padam. Winda ketakutan langsung memeluk Abie yang berada di dekatnya."Aku takut Mas!" Teriaknya.Abi yang sudah lama tidak pernah berpelukan dengan wanita. Kaget Winda menghamburkan diri dalam dekapannya. Susah payah berusaha menguasai perasaannya."Tenanglah, aku ada di sini. Tidak akan ada apa-apa," ucap Abie lembut. Winda merasakan kehangatan yang mulai tumbuh dalam hatinya setelah mendengar perkataan Abie."Mas, jangan ninggalin aku ya. Aku takut gelap," lirih Winda.Ganti Abie yang tidak bisa menguasai gemuruh degup jantungnya yang bertalun-talun sejak tadi. Gimana tidak gugup Winda tanpa sadar merapatkan tubuhnya memeluknya erat. Ia bisa merasakan aroma harum istrinya.Naluri kelaki-lakiannya pun bangkit. Abie berusaha keras menahan diri. Ia tidak ingin Winda makin ketakutan kalau dirinya berbuat macam-macam.Winda j