Terima kasih. Semoga suka. See U dan Love All.
Wijaya pergi ke rumah yang sudah ditinggalkan. Pria itu tidak terlalu rumah yang penuh dengan kenangan bersama Amira menjadi tempat pembantaian. “Jack. Apa bisa pindahkan mereka ke gudang? Aku tidak tega membuat rumah ini penuh dengan darah dan teriakan. Lebih baik merobohkannya saja.” Wijaya berdiri di depan pintu. Dia memadangi rumahnya.“Bisa, Bos.” Jack tersenyum.“Kita hanya perlu membuat mereka tidak sadarkan diri dan diangkut dengan truk tertutup,” ucap Jack.“Lakukan itu di malam hari. Aku tidak mau mengotori rumah pertama aku dan Amira,” tegas Wijaya.“Baik, Pak. Kami akan bergerak malam ini,” ucap Jack mengikuti Wijaya masuk ke dalam rumah.“Aku hanya mau memeriksa rumah saja. Bawa mereka semua ke penjara kematian.” Wijaya menaiki tangga menuju kamarnya dan Amira.“Terlalu banyak kenangan di kamar ini. Marahnya Amira ketika dia belum jatuh cinta padaku.” Wijaya tersenyum. Dia duduk di tepi kasur. Pria itu memperhatikan seisi kamar.“Sebaiknya aku pulang saja.” Wijaya beranja
Wijaya masuk ke dalam penjara dan mendekati pelayan yang telah jadi mata-mata di rumahnya. Pria itu mencengkram leher perempuan yang meringkuk kedinginan di lantai yang mulai membeku.“Kamu benar-benar berani masuk ke dalam rumahku.” Wijaya mencekik leher pelayan yang gemetar menahan dingin yang menusuk tulang.“Aku bahkan tidak sadar ada musuh, tetapi tidak akan mudah masuk lebih dalam.” Wijaya tersenyum tipis.“Siapa yang memerintahkan kamu?” tanya Wijaya melepaskan tangannya dari leher pelayan.“Plak!” Tamparan kuat mendarat di wajah wanita itu.“Aku tidak peduli kamu seorang wanita.” Wijaya memberi kode kepada penjaga untuk melakukan penyiksaan pada wanita itu agar menjawab pertanyaannya.“Lakuka napa pun untuk mendapatkan jawaban,” tegas Wijaya.“Baik, Pak.” Para penjaga melepaskan pakaian wanita sehingga hanya mengenakan dalaman saja.“Kamu bisa menjawab karena ada kamera di ruangan ini. Kami beri waktu tiga puluh menit,” ucap penjaga tersenyum.“To-tolong.” Bibir wanita itu berg
Luwiq menatap layar computer. Pria itu mendapatkan laporan bahwa anak buah terbaiknya telah hilang kontak. Dipastikan sudah ditangkap Wijaya.“Apa tidak ada yang tersisa?” tanya Luwiq.“Tidak ada, Bos. Mereka semua masuk ke rumah Wijaya untuk mengambil dua bayi yang disembunyikan,” jawab asisten pribadinya membungkuk.“Bodoh!” bentak Luwiq.“Aku menunggu waktu ini sangat lama dan masih gagal juga. Biaya yang aku keluarkan tidak sedikit dan Wijaya bahkan tidak mati.” Luwiq menatap tajam pada asistennya yang menunduk.“Jika tidak bisa membunuh Wijaya. Aku mau orang yang paling dicintainya. Wanita itu Amira kan? Dia bahkan rela melepaskan Luna demi seorang janda yang memang menggoda.” Luwiq melihat foto Amira yang ada di layar computer.“Siapa pria yang telah membuang wanita yang cantik dan seksi ini?” tanya Luwiq.“Andika. Pria itu terpaksa menceraikan Amira karena dorongan orang tua. Padahal, dia masih sangat mencintai sang istri,” jawab asisten.“Sekarang mencari sang anak yang dikabar
Amira dan Wijaya tidur di atas kasur yang sama, tetapi mereka dipisahkan oleh dua bayi laki-laki yang akan memperebutkan asi ketika terbangun.“Sayang, apa bisa kamu tidur di sebelahku?” tanya Wijaya.“Siapa yang akan menjaga Keano?” Amira tersenyum.“Tetapi aku mau memeluk kamu,” ucap Wijaya.“Untuk mala mini. Kita hanya akan memeluk anak-anak.” Amira memejamkan mata dan memeluk Devano.“Hm. Satu saja kami rebutan. Apalagi dua.” Wijaya melihat dua bayi tampan yang ada diantara dirinya dan Amira.Malam semakin larut. Tidur Amira benar-benar nyenyak. Wanita itu tersenyum bahagia memeluk putranya, tetapi mata Wijaya terus terbuka. Dia tidak bisa memejamkan indera penglihatannya karena tidak memeluk sang istri.“Pasti dia sudah tidur.” Wijaya melihat tempat tidur yang memiliki dinding. Pria itu segera turun dan menarik pagar untuk melindungi putrinya. Dia berpindah ke tempat Amira.“Aku tidak bisa tidur. Jika tidak memeluk kamu, Sayang.” Wijaya mencium pipi dan mengecup bibir Amira. Dia m
Andika mengerahkan semua tenaga dan uang untuk mencari keberadaan Devano. Dia yakin bahwa itu adalah anaknya dan Amira. Pria itu ingin bersama kembali dengan mantan istrinya.“Pak, kami menemukan ini di lokasi kecelakaan pesawat.” Anak buah Andika memberikan rekaman video dan foto serta menemukan peluru.“Apa ini?” Andika bingung karena foto dan video itu benar-benar gelap.“Ini adalah mobil Pak Wijaya. Dia terlihat menggendong bayi,” jelas pria itu.“Wijaya!” Andika mengepalkan tangannya. Dia sangat marah karena terlambat datang ke lokasi sehingga Wijaya lebih dulu mendapatkan Devano.“Bayi ini dapat dipastikan adalah Devano karena Wijaya rela turun langsung ke lapangan untuk menjemputnya demi Amira.” Andika benar-benar kesal. Kehidupannya hancur karena Cantika. Dia harus kehilangan wanita yang dicintainya dan seorang anak laki-laki yang tampan.“Sial. Cantika. Aku akan membunuh kamu.” Andika meremas foto yang dipegangnya.“Kita tidak bisa mengambil Devano dari Wijaya. Hentikan penca
Amira masih berada di atas ranjang pasien. Wanita itu baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan mirip dengan dirinya secara normal. Dia baru sadarkan diri dan langsung mencari bayinya.“Suster di mana bayiku?” tanya Amira.“Ah, Anda sudah bangun, Nyonya.” Perawat mendekati Amira yang ditinggalkan sendiri di rumah sakit. Semua anggota keluarga suaminya sudah pulang dan tidak menunggu dirinya hingga siuman.“Ya. Di mana suamiku juga?” Amira mulai merasakan dirinya tidak nyaman. Tidak biasanya Andika meninggalkan dia begitu saja.“Kami benar-benar minta maaf, Nyonya.” Perawat memegang tangan Amira dengan lembut. Dia ingin memberikan kekuatan kepada wanita yang masih lemah karena baru saja melahirkan itu.“Minta maaf untuk apa?” Amira memaksakan dirinya untuk tersenyum. Dia benar-benar sudah ketakutan.“Anda kehilangan putra yang baru saja dilahirkan,” ucap perawat merapikan rambut Amira yang berantakan. “Apa? Tidak!” Amira segera duduk.“Aku susah payah untuk bisa h
Bibi memperhatikan Amira yang masih duduk diam di kursi. Wanita itu ragu untuk pergi ke kamar dan menemui suaminya. Dia benar-benar tidak punya apa pun lagi.“Mari saya antar ke kamar Anda, Bu.” Bibi mengulurkan tangan pada Amira.“Terima kasih. Aku bisa sendiri.” Amira beranjak dari tangan. Dia mengenakan tas di atas pundak kiri.“Ahh.” Amira hampir saja jatuh karena kelelahan dan kakinya lemah.“Hati-hati, Bu.” Bibi memegang tangan Amira.“Ada apa ribut-ribut?” Marni menuruni tangga. Wanita paruh baya yang tidak lain adalah mertua Amira. “Mama,” sapa Amira.“Kenapa kamu pulang ke rumah ini?” tanya Marni mendekati Amira. Wanita itu menatap tajam pada menantunya.“Karena ini rumah kita,” jawab Amira bingung. Dia memaksa diri tersenyum.“Ini bukan lagi rumah kamu,” tegas Marni.“Apa? Kenapa?” tanya Amira gemetar.“Karena kamu dan Andika akan segera bercerai,” jawab Marni tersenyum sinis.“Apa? Kenapa kamu bercerai?” tanya Amira dengan mata yang mulai basah. “Karena kamu sudah membuat
Amira yang lelah dan lemah benar-benar tidur dengan pulas. Dia tidak terbangun meskipun hari sudah terang. Bibi yang sibuk di dapur pun tidak membangunkan wanita yang baru saja selesai melahirkan itu.Semua anggota keluarga sudah berada di ruang makan untuk menikmati sarapan. Tidak ada yang ingat apalagi peduli pada Amira yang memamg sudah diusir dari rumah mereka.“Dika, apa berkas untuk perceraian sudah siap?” tanya Marni.“Sudah, Ma,” jawab Andika.“Apa kita bisa makan dengan tenang dan tidak membahas apa pun?” Handoko menatap tajam pada Marni.“Aku hanya mengingatkan Andika agar dia mempercepat proses perceraian dengan wanita lemah itu. Melahirkan satu bayi saja tidak mampu. Menghabiskan uang selama program,” kesal Marni.“Ah, Ibu pasti masih tidur.” Bibi ragu untuk pergi ke kamar Amira karena dia masih harus menunggu semua orang selesai makan.“Semalam aku mendengar keributan. Apa yang terjadi?” Handoko menyelesaikan sarapannya. Pria itu mengeringkan mulutnya dengan tisu.“Menant
Andika mengerahkan semua tenaga dan uang untuk mencari keberadaan Devano. Dia yakin bahwa itu adalah anaknya dan Amira. Pria itu ingin bersama kembali dengan mantan istrinya.“Pak, kami menemukan ini di lokasi kecelakaan pesawat.” Anak buah Andika memberikan rekaman video dan foto serta menemukan peluru.“Apa ini?” Andika bingung karena foto dan video itu benar-benar gelap.“Ini adalah mobil Pak Wijaya. Dia terlihat menggendong bayi,” jelas pria itu.“Wijaya!” Andika mengepalkan tangannya. Dia sangat marah karena terlambat datang ke lokasi sehingga Wijaya lebih dulu mendapatkan Devano.“Bayi ini dapat dipastikan adalah Devano karena Wijaya rela turun langsung ke lapangan untuk menjemputnya demi Amira.” Andika benar-benar kesal. Kehidupannya hancur karena Cantika. Dia harus kehilangan wanita yang dicintainya dan seorang anak laki-laki yang tampan.“Sial. Cantika. Aku akan membunuh kamu.” Andika meremas foto yang dipegangnya.“Kita tidak bisa mengambil Devano dari Wijaya. Hentikan penca
Amira dan Wijaya tidur di atas kasur yang sama, tetapi mereka dipisahkan oleh dua bayi laki-laki yang akan memperebutkan asi ketika terbangun.“Sayang, apa bisa kamu tidur di sebelahku?” tanya Wijaya.“Siapa yang akan menjaga Keano?” Amira tersenyum.“Tetapi aku mau memeluk kamu,” ucap Wijaya.“Untuk mala mini. Kita hanya akan memeluk anak-anak.” Amira memejamkan mata dan memeluk Devano.“Hm. Satu saja kami rebutan. Apalagi dua.” Wijaya melihat dua bayi tampan yang ada diantara dirinya dan Amira.Malam semakin larut. Tidur Amira benar-benar nyenyak. Wanita itu tersenyum bahagia memeluk putranya, tetapi mata Wijaya terus terbuka. Dia tidak bisa memejamkan indera penglihatannya karena tidak memeluk sang istri.“Pasti dia sudah tidur.” Wijaya melihat tempat tidur yang memiliki dinding. Pria itu segera turun dan menarik pagar untuk melindungi putrinya. Dia berpindah ke tempat Amira.“Aku tidak bisa tidur. Jika tidak memeluk kamu, Sayang.” Wijaya mencium pipi dan mengecup bibir Amira. Dia m
Luwiq menatap layar computer. Pria itu mendapatkan laporan bahwa anak buah terbaiknya telah hilang kontak. Dipastikan sudah ditangkap Wijaya.“Apa tidak ada yang tersisa?” tanya Luwiq.“Tidak ada, Bos. Mereka semua masuk ke rumah Wijaya untuk mengambil dua bayi yang disembunyikan,” jawab asisten pribadinya membungkuk.“Bodoh!” bentak Luwiq.“Aku menunggu waktu ini sangat lama dan masih gagal juga. Biaya yang aku keluarkan tidak sedikit dan Wijaya bahkan tidak mati.” Luwiq menatap tajam pada asistennya yang menunduk.“Jika tidak bisa membunuh Wijaya. Aku mau orang yang paling dicintainya. Wanita itu Amira kan? Dia bahkan rela melepaskan Luna demi seorang janda yang memang menggoda.” Luwiq melihat foto Amira yang ada di layar computer.“Siapa pria yang telah membuang wanita yang cantik dan seksi ini?” tanya Luwiq.“Andika. Pria itu terpaksa menceraikan Amira karena dorongan orang tua. Padahal, dia masih sangat mencintai sang istri,” jawab asisten.“Sekarang mencari sang anak yang dikabar
Wijaya masuk ke dalam penjara dan mendekati pelayan yang telah jadi mata-mata di rumahnya. Pria itu mencengkram leher perempuan yang meringkuk kedinginan di lantai yang mulai membeku.“Kamu benar-benar berani masuk ke dalam rumahku.” Wijaya mencekik leher pelayan yang gemetar menahan dingin yang menusuk tulang.“Aku bahkan tidak sadar ada musuh, tetapi tidak akan mudah masuk lebih dalam.” Wijaya tersenyum tipis.“Siapa yang memerintahkan kamu?” tanya Wijaya melepaskan tangannya dari leher pelayan.“Plak!” Tamparan kuat mendarat di wajah wanita itu.“Aku tidak peduli kamu seorang wanita.” Wijaya memberi kode kepada penjaga untuk melakukan penyiksaan pada wanita itu agar menjawab pertanyaannya.“Lakuka napa pun untuk mendapatkan jawaban,” tegas Wijaya.“Baik, Pak.” Para penjaga melepaskan pakaian wanita sehingga hanya mengenakan dalaman saja.“Kamu bisa menjawab karena ada kamera di ruangan ini. Kami beri waktu tiga puluh menit,” ucap penjaga tersenyum.“To-tolong.” Bibir wanita itu berg
Wijaya pergi ke rumah yang sudah ditinggalkan. Pria itu tidak terlalu rumah yang penuh dengan kenangan bersama Amira menjadi tempat pembantaian. “Jack. Apa bisa pindahkan mereka ke gudang? Aku tidak tega membuat rumah ini penuh dengan darah dan teriakan. Lebih baik merobohkannya saja.” Wijaya berdiri di depan pintu. Dia memadangi rumahnya.“Bisa, Bos.” Jack tersenyum.“Kita hanya perlu membuat mereka tidak sadarkan diri dan diangkut dengan truk tertutup,” ucap Jack.“Lakukan itu di malam hari. Aku tidak mau mengotori rumah pertama aku dan Amira,” tegas Wijaya.“Baik, Pak. Kami akan bergerak malam ini,” ucap Jack mengikuti Wijaya masuk ke dalam rumah.“Aku hanya mau memeriksa rumah saja. Bawa mereka semua ke penjara kematian.” Wijaya menaiki tangga menuju kamarnya dan Amira.“Terlalu banyak kenangan di kamar ini. Marahnya Amira ketika dia belum jatuh cinta padaku.” Wijaya tersenyum. Dia duduk di tepi kasur. Pria itu memperhatikan seisi kamar.“Sebaiknya aku pulang saja.” Wijaya beranja
Wijaya sudah siap untuk pergi ke Perusahaan. Pria itu sudah cukup lama meninggalkan pekerjaan. Dia harus menyelesaikan banyak hal.“Apa kamu akan pergi ke kantor?” Amira merapikan dasi dan jas Wijaya.“Ya, Sayang. Kita punya dua bayi yang harus dibesarkan.” Wijaya tersenyum.“Kamu di rumah saja bersama anak-anak. Aku akan terlambat pulang karena sudah beberapa hari tidak masuk kantor. Jadi, tidak usah menungguku.” Wijaya mencium dahi Amira.“Apa kamu benar-benar sudah pulih?” Amira menatap Wijaya khawatir.“Tentu saja, Sayang. Aku bukan pria lemah.” Wijaya dan Amira berjalan ke halaman. Wanita itu mengantarkan suaminya hingga ke mobil.“Aku berangkat dulu. Tetap di rumah dan jangan keluar. Kamu tahu kan ada orang jahat yang sedang mengintai kita.” Wijaya tersenyum.“Apa ini ada hubungan dengan Devano?” tanya Amira.“Bisa jadi, Sayang. Jadi, tetap berada di dalam rumah bersama anak-anak,” ucap Wijaya.“Ya.” Amira mengangguk.“Aku mencintai kamu.” Wijaya mengecup bibir Amira.“Aku juga.”
Amira masuk ke kamar anak-anak bersama dengan Wijaya. Wanita itu sangat senang melihat ruangan yang luas lengkap dengan taman bermain.“Kamu di sini bersama anak-anak. Aku harus melakukan perawatan.” Wijaya mencium dahi Amira.“Aku akan menemani kamu,” ucap Amira.“Sekarang waktu untuk anak-anak, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Amira dengan lembut.“Kasian mereka.” Wijaya melihat dua putra yang tampak kembar sedang terlelap dengan perut kenyang mereka.“Anak-anak tidak bisa tanpa kamu karena mereka butuh asi. Aku akan bertahan hingga sembuh dan memakan istriku yang cantik ini.” Wijaya melahab bibi Amira.“Tetap di kamar anak-anak. Sekarang jawab pengobatan diriku.” Wijaya mengecup dahi Amira.“Ya.” Amira mengangguk dan melihat Wijaya pergi meninggalkannya bersama dua putra tampan.“Sekarang aku punya dua putra.” Amira memeluk Devano dan Keano bersama. Dia mencium dua bayi itu berkali-kali. Air matanya pun menetes setiap kali melihat putra kandungnya.“Devano.” Amira mengangkat tubuh De
Mobil yang membawa Wijaya dan Amira tiba di rumah. Dua orang itu turun bersama. Mereka memasuki rumah yang tampak tenang dan tidak terjadi apa pun.“Kenapa sepi sekali?” tanya Amira memperhatikan sekeliling.“Anak-anak bersembunyi, Sayang.” Wijaya tersenyum.“Ayo kita temui mereka.” Wijaya menjauhkan Amira dari kamar rahasia yang telah mengurung penjahat.“Kita akan pindah rumah,” ucap Wijaya.“Rumah mana?” tanya Amira. “Aku punya banyak rumah, Sayang.” Wijaya tersenyum.“Jack. Siapkan semuanya. Aku akan membawa Amira ke ruangan anak-anak!” Perintah Wijaya bergerak dengan kursi roda.“Siap, Pak.” Jack tersenyum.“Kemari, Sayang.” Wijaya menarik tubuh Amira jatuh di pangkuannya.“Sayang, kamu sedang sakit.” Amira ingin turun dari pangkuan Wijaya.“Aku sehat, Sayang. Hanya butuh waktu membersihkan racun. Tidak akan mudah membunuhku.” Wijaya menggerakkan kursi roda. Dia mendekati dinding dengan pintu kamuflase. Pria itu menempelkan jarinya dan dinding itu tebuka.“Lift.” Amira terkejut.
Amira dan Wijaya masih dalam perawatan. Pria itu tahu bahwa dua bayi kesayangan berada di tempat yang tepat, tetapi dia cukup khawatir karena Keano dan Devano butuh asi.“Kami harus pulang,” ucap Wijaya yang sudah duduk.“Tidak bisa, Pak. Anda masih dalam permbersihan racun,” tegas perawat.“Jack!” teriak Wijaya.“Iya, Bos. Bagaimana kabar rumah?” tanya Wijaya.“Rumah sudah dibersihkan. Ada teman-teman Leon yang berjaga,” jawab Jack.“Di mana Amira?” Wijaya baru sadar tempat tidur Amira yang sudah kosong.“Nyonya sedang melakukan terapi di kamar sebelah,” jawab Jack.“Apa? Siapa yang menjaga dan menemani dia?” Wijaya sangat khawatir ketika Amira tidak terlihat di depan matanya.“Anda tidak perlu khawatir, Pak. Orang-orang kepecayaan kita dan dokter Ibra ada di sana.” Jack bisa melihat Wijaya yang tidak tenang. “Pak. Sekarang Anda harus pulih agar kita bisa balas dendam. Kami tidak bisa menemukan anak-anak,” ucap Jack.“Ya. Hanya aku yang bisa membuka pintu itu. Aku harap bibi tidak lu