Terima kasih atas hadiah, dukungan, bintang dan komentarnya. Semoga suka. Maaf telat update. Maaf tidak bisa double update. Love u.
Selesai mengurus Wijaya hingga selesai sarapan. Amira berpindah pada Keano. Wanita itu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk bisa bersama putranya. Dia takut bayi tampan itu akan diambil Luna. “Keano sayang. Mama sangat rindu.” Amira memeluk dan mencium Keano. Mereka duduk di sofa berdua saja. Wanita itu benar-benar tidak ingin melepaskan putranya walaupun sedetik saja.“Apa kita bisa pergi sekarang?” tanya Wijaya masuk ke kamar Keano.“Ya. Apa Keano akan baik-baik saja di rumah?” Amira menatap Wijaya.“Ya. Bibi tidak akan membawa Keano keluar rumah,” ucap Wijaya.“Baiklah.” Amira membaringkan Keano di atas kasur.“Sayang, Mama temani papa ke rumah sakit dan bekerja ya. Keano di rumah saja. Mama sayang, Keano.” Amira mencium Keano berkali-kali. Dia merasa sangat berat meninggalkan putranya.“Papa dan mama pergi dulu. Jadi anak baik dan cerdas.” Wijaya mencium Keano dan Amira bergantian.“Bibi, tolong jaga Keano,” ucap Amira ketika bibi sudah masuk ke kamar.“Iya, Non.” Bibi tersenyu
Dokter Ibra segera menyusul Wijaya agar tidak pulang. Pria itu harus membicarakan lebih detail tentang situasi dan kondisi yang dialami Amira.“Wijaya! Tunggu!” Ibra berhasil menghentikan pintu lift yang akan tertutup.“Ada apa?” tanya Ibra.“Bawa Amira ke ruang perawatan. Jika kamu benar-benar ingin mengetahui semuanya,” jawab Ibra.“Amira pasti akan bertanya lagi tentang putranya ketika dia siuman,” ucap Ibra.“Baiklah.” Wijaya keluar dari lift dan mengikuti Ibra ke ruangan pasien.“Biarkan dia istirahat di sini. Suster Sinta akan menemaninya,” ucap Ibra melihat pada seorang wanita yang sudah menunggu di dalam kamar.“Suster Sinta adalah perawat Amira ketika melahirkan,” jelas Ibra.“Hm.” Wijaya meninggalkan Amira bersama dengan Sinta. Pria itu keluar dan bertemu lagi dengan Nathaniel.“Ibu Amira semakin cantik saja. Apa pria itu suami barunya?” Suster Sinta tersenyum pada Amira. Dia merapikan selimut dan duduk di sofa. Wanita itu selalu bersikap lembut pada pasiennya.Nathaniel masi
Amira beranjak dari tempat tidur. Dia mencium Keano yang sedang tidur. Wanita itu membawa tas dan ponsel. Keluar dari kamar dan menuruni tangga.“Anda mau kemana, Nona?” tanya bibi yang baru saja pergi ke dapur membawakan buah-buahan, salad dan jus untuk Amira.“Aku akan pergi sebentar,” jawab Amira yanga akan mengambil kunci mobil dari lemari kaca.“Di mana kunci lemari ini?” tanya Amira pada bibi.“Maaf, Non. Non Amira tidak bisa pergi tanpa Pak Wijaya,” jawab bibi.“Apa?” Amira terkejut. Dia ingat dengan ucapan Wijaya ketika pergi sendirian dan bersama dengan Kristian.“Aku akan pergi dengan taksi,” ucap Amira kesal. Dia berjalan menuju pintu utama dan melihat halaman yang luas.“Kenapa rumah ini memiliki jarak yang jauh antara pintu pagar dan pintu utama?” Amira akan kelelahan ketika harus berjalan keluar dari rumah.“Maaf, Non Amira. Non benar-benar tidak boleh keluar rumah. Pintu tidak akan dibuka,” jelas bibi mengikuti Amira hingga ke pintu depan. “Hah! Wijaya benar-benar mengu
Ponsel Amira tidak bisa melakukan panggilan. Wanita itu benar-benar bingung. Dia memeriksa pulsa dan jaringan. Tidak ada gangguan sama sekali.“Apa yang terjadi?” Amira bingung. “Aku tidak bisa menghubungi siapa pun.” Amira mencoba menghubungi Wijaya.“Halo, Sayang.” Panggilan Amira diterima oleh Wijaya.“Hah! Kenapa bisa tersambung?” tanya Amira heran. “Ada apa? Apa kamu sudah rindu padaku?” Wijaya duduk di sofa. Pria itu bisa menebak apa yang terjadi karena itu adalah ulahnya.“Tidak apa. Tadinya, aku tidak bisa menelpon,” ucap Amira. “Siapa yang kamu hubungi?” tanya Wijaya.“Emm.” Amira ragu untuk menjawab. Dia khawatir Wijaya akan cemburu buta dan kembali menggila. Pria itu sangat mengerikan saat marah.“Tidak ada. Apa aku boleh menyusul ke kantor?” tanya Amira.“Apak amu sudah baikan?” Wijaya balik bertanya.“Ya. Aku akan membantu kamu. Pasti sangat sibuk,” ucap Amira.“Minta sopir untuk mengantar kamu,” tegas Wijaya. “Baiklah. Aku akan segera pergi.” Amira bersemangat. Dia ti
Andika berusaha menghubungi Amira, tetapi gagal. Pria itu berada di dalam mobil. Dia menunggu mantan istri keluar dari perusahaan Wijaya Kusuma.“Apa kamu memblokirku, Amira? Kenapa tidak bisa dihubungi lagi?” Andika menatap layar ponsel. Dia juga melihat ke pintu keluar kantor Wijaya.“Ini sudah sore. Apa dia belum pulang?” Andika keluar dari mobil dan melihat Amira berjalan bersama dengan Wijaya.“Itu Amira dan Wijaya.” Andika ingin mendekati Amira, tetapi ragu. Pria itu tidak berani berhadapan langsung dengan Wijaya. Masa depan perusahaanya menjadi jaminan ketika membuat pengusaha kaya itu marah.“Hah! Perlakuan Wijaya pada Amira sangat istimewa. Mereka tidak seperti atasan dan bawahan.” Andika memperhatikan Amira dari dalam mobilnya. “Aku akan mengikuti mereka.” Andika menyalakan mesin mobil dan mengikuti Wijaya dari belakang.“Perumahan elit. Apa Amira pindah ke sini? Atau mereka tinggal bersama?” Mobil Andika tidak bisa memasuki kawasan pribadi milik Wijaya Kusuma. Dia hanya bis
Wijaya mengendarai mobil dengan tenang. Amira pun hanya diam saja. Wanita itu tidak tahu bahwa mereka akan bertemu dengan orang yang sangat dia kenal. “Café,” ucap Amira memperhatikan sekeliling ketika mobil Wijaya sudah berhenti di tempat parkir. “Ya. Ini tempat yang paling nyaman untuk bertemu.” Wijaya keluar dari mobil.“Kenapa wajahnya masam?” Amira membuka sabuk pengaman dan membuka pintu. Dia heran dengan perubahan sikap Wijaya yang tiba-tiba.“Ap akita akan bertemu dengan rekan bisnis?” tanya Amira. “Apa ada dijadwalku?” Wijaya balik bertanya.“Tidak ada,” jawab Amira berdiri di samping Wijaya.“Masuklah dan cari meja nomor sepuluh.” Wijaya meminta Amira untuk masuk duluan. Pria itu akan mengamati dari belakang.“Baiklah.” Amira mengangguk. Dia tidak membantah dan menuruti Wijaya. Dia melangkah di depan suaminya berjalan masuk menuju meja nomor sepuluh.“Ada yang bisa saya bantu, Kak?” tanya pelayan.“Aku menjadi meja nomor sepuluh,” jawab Amira tersenyum cantik.“Mari saya
Amira masih pada posisi yang sama. Wanita itu hanya diam dengan terus memeluk Wijaya dan menyembunyikan wajahnya. Perasaannya campur aduk. Ada marah, kesal dan juga malu ketika dia mengingat keganasannya bercinta. Sang suami bahkan memberikan kebebasan dan membiarkan istrinya memimpin permainan yang panas di dalam mobil.“Sampai kapan kamu mau begini? Apa akan ada ronde kedua?” tanya Wijaya tersenyum. “Diamlah!” Amira menggigit pundak Wijaya yang terbuka.“Aah!” Wijaya tidak marah sama sekali. Pria itu bahkan senang dengan rasa sakit yang diberikan oleh Amira.“Tidak apa. Kita melakukan dengan suka rela. Aku suka,” bisik Wijaya.“Apa kita akan tidur di sini hingga pagi?” tanya Wijaya.“Kita belum makan malam,” ucap pria itu lagi.“Mm.” Amira meraba-raba kursi untuk mencari gaunnya yang sudah dilempar. Wanita itu tidak mengenakan apa pun. Dia melepas semua kain yang melekat di tubuhnya begitu juga dengan Wijaya.“Ini.” Wijaya memberikan gaun pada Amira. Wanita itu segera mengenakannnya
Andika berjalan mendekati Cantika yang tersenyum padanya. Wanita itu langsung menggendong tangan sang kekasih dengan mesra. Menempelkan diri dengan manja.“Apa yang kamu lakukan di luar?” tanya Andika tersenyum pada Cantika.“Aku menunggu kamu.” Cantika mencium pipi Andika.“Kenapa lama?” Cantika benar-benar sangat berani. Dia menggeserkan bagian dadanya pada lengan kekar Andika.“Oh! Aku membeli kue kesukaan kamu.” Andika melepaskan tangan Cantika dan kembali pada mobilnya.“Oh terima kasih, Sayang. Kita benar-benar sehati. Aku memberikan kue kesukaan kamu juga.” Cantika tersenyum lebar. Dia benar-benar bahagia karena Andika sangat perhatian padanya.“Aku mencintai kamu.” Cantika mengecup bibir Andika.“Aku juga cinta kamu,” balas Andika melingkarkan tangan di pinggang Cantika. Tidak aka nada pria yang akan menolak wanita yang menyerahkan diri dengan mudahnya kepada pelukan mereka. Apalagi pasangan kekasih.“Ayo masuk, Sayang.” Andika menggandeng tangan Cantika masuk ke dalam rumah.“
Wijaya pergi ke penjara. Pria itu sudah lama tidak mengunjungi orang tua Luna. "Kenapa Anda pergi ke penjara yang kotor, Bos?" tanya Jack mengikuti Wijaya. "Aku hanya mau memastikan keinginan terakhir Lucas dan istrinya," jawab Wijaya. "Baik, Bos." Jack membuka pintu pertama penjara Unu Wijaya. "Pak Wijaya." Leon berdiri di depan pintu. Dia menyambut kedatangan Wijaya. "Kenapa kamu memilih tinggal di sini?" tanya Wijaya kepada Leon. "Ini adalah tempat terbaik untuk bekerja, Bos." Leon tersenyum. Dia senang bisa melihat Wijaya."Terserah kamu." Wijaya menepuk pundak Leon dan melewati pria itu. "Jika kamu mau balas dendam ke pulau. Kamu bebas pergi dan membawa anak buah," ucap Wijaya berlalu.“Aku tidak tertarik, Bos.” Leon tidak menyimpan dendam sama sekali. Baginya itu adalah resiko dari tugas yang dijalankannya.“Kenapa?” tanya Wijaya menghentikan langkah kaki dan menoleh pada Leon.“Tidak apa, Bos. Itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga saja. Em, biaya juga.” Leon tersenyu
Dena telah mempersiapkan makan malam untuk Andika. Wanita itu masih berharap dinikahi Andika, tetapi belum juga ada kepastian. “Kenapa Pak Andika masih belum menikahiku?” tanya Dena pada diri sendiri. Dia berdiri di depan cermin melihat tubuhnya yang seksi.“Tubuhku jauh lebih seksi dari pada wanita tadi yang kurus krempeng.” Dena tersenyum menganggumi tubuh sendiri.“Tidak mungkin Pak Andika tergoda dengan sekretarisnya. Tubuhku lebih mirip dengan ibu Amira. Montok dan padat berisi.” Dena berputar di depan cermin.“Aku mendapatkan gaji yang cukup tinggi selama di rumah ini. Tidak masalah hanya menjadi teman tidur Pak Andika. Aku tidak rugi juga. Dia tampandan kaya.” Dena benar-benar menikmati hidup sebagai simpanan Andika.“Kenapa Pak Andika belum juga pulang?” Dena melihat ke luar jendela dan belum ada mobil Andika. “Apa Pak Andika membohongiku.” Dena menerima pesan dari nomor ponsel Andika. “Pak Andika.” Dena sangat senang dan segera membuka pesan.“Apa?” Dena terkejut karena pe
Amira duduk santai memperhatikan dua putranya yang sedang belajar banyak hal di taman. Wijaya memanggil pengajar dalam segala bidang untuk melihat minat dan bakat dua anaknya agar bisa diarahkan.“Nyonya, apa Anda butuh sesuatu?” tanya bibi.“Ya. Aku mau jus Alpukat,” jawab Amira.“Apa?” Bibi terkejut karena Amira sudah minum tiga gelas besar jus buah bergantian.“Nyonya, apa perut Anda tidak apa-apa?” Bibi memperhatikan Amira.“Kenapa dengan perutku?” Amira mengusap perutnya yang rata.“Aku tidak sedang sakit atau pun gembung.” Amira tersenyum dan menatap bibi.“Anda minum jus buah dan makan banyak buah.” Bibi melihat piring buah yang telah kosong.“Akhir-akhir ini aku suka sekali buah-buahan dan daging. Ah ya. Menu makan malam harus sea food.” Amira tersenyum lebar.“Aku sudah mencatatnya.” Amira memberikan selembar kertas kepada bibi.“Ini makanan yang mau aku makan,” ucap Amira.“Baik, Nyonya.” Bibi membaca kertas dengan tulisan tangan yang sangat rapi.“Ini masakan restaurant. Tid
Amira masih berada di atas kasur dalam pelukan Wijaya. Wanita itu sangat lelah setelah bercinta cukup panjang dan penuh gairah bersama sang suami. “Pukul berapa sekarang?” tanya Amira membuka mata dan melihat ruang kamar yang masih gelap karena semua gorden tertutup rapat.“Tidak usah tanyakan waktu. Tidurlah. Tidak ada yang melarang atau menganggu kamu,” bisik Wijaya memeluk erat tubuh Amira. “Sayang, anak-anak pasti sudah bangun,” ucap Amira mendongak. “Istriku tercinta. Apa kamu lupa? Devano dan Keano harus mulai mandiri. Mereka sudah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin Perusahaan. Kamu harus mulai belajar melepaskan mereka,” jelas Wijaya.“Apa?” Amira terkejut dengan ucapan Wijaya.“Kita tidak boleh memanjakan mereka lagi. Seseorang yang sukses harus dimulai dengan hidup disiplin dan mandiri. Ingat, kamu sedang program hamil. Kita akan memiliki sepasang bayi kembar.” Wijaya tersenyum. “Sayang, anak-anak masih kecil. Mereka termasuk bayi.” Amira menatap Wijaya. “Susah di waktu
Andika mencoba menghubungi orang tua Cantika, tetapi gagal. Pria itu ingin menanyakan kabar istrinya.“Kenapa nomor mereka tidak aktif? Aku pergi ke rumah pun kosong.” Andika tampak gelisah. Dia berada di kantor dan akan mengadakan rapat rutin akhir tahun. Pria itu butuh istrinya untuk memberikan tanda tangan dan cap jari.“Kemana mereka pergi? Apa keluar negeri?” Pria itu hanya bisa bertanya kepada diri sendiri. Dia benar-benar kehilangan Cantika dan keluarga.“Bagaimana mereka bisa menghilang dan tidak bisa aku temukan? Siapa yang melindungi?” Andika duduk di sofa. Pria itu tampak melamun dan berpikir keras.“Padahal dunia ini terasa tenang,” ucap Andika.“Permisi, Pak. Semua orang sudah menunggu di ruang rapat.” Sekretaris Andika mengetuk pintu yang terbuka.“Aku akan segera datang. Apa semua berkas sudah siap?” tanya Andika beranjak dari sofa. Dia merapikan diri.“Sudah, Pak. Tanda tangan Ibu Cantika pun telah diselesaikan,” jawab sekretaris.“Benarkah?” Andika menatap pada sekrert
Warning 21+Wijaya menggendong Amira ke kamar mereka. Para pelayan segera merapikan dan membersihkan taman dengan cepat. Bibi memiliki tugas menjaga dua bayi yang sudah tidur.“Apa malam ini kita bisa bercinta?” tanya Wijaya.“Tentu saja.” Amira tersenyum. Dia melingkarkan tangan di leher Wijaya dengan tatapan yang menggoda.“Jangan berteriak.” Wijaya melepaskan Amira di kasur. Dia mulai menyerang leher istrinya yang putih. “Hahaha.” Amira tertawa geli. Wanita itu benar-benar menjadi manja dan menikmati setiap sentuhan Wijaya.“Aaahhh!” Jari-jari Amira mengacak rambut Wijaya. Ciuman kuat dan gigitan pria itu membuat sang istri berteriak menahan hasrat yang terus bangkit. Leher dan lengan yang putih telah menjadi merah.“Hhhhhh!” Wijaya benar-benar sangat liar. Dia menjelajahi tubuh istrinya dengan lidahnya yang hangat. Menghisap putting susu yang masih memiliki asi walaupun tidak banyak lagi. Ada sisa-sisa dari dua putranya yang sudah minum susu formula sehingga cairan putih itu mulai
Wijaya melihat jam yang telah menunjukkan pukul enam sore. Pria itu segera beranjak dari kursi dan mengambil jas. “Kita pulang sekarang,” ucap Wijaya.“Baik, Pak.” Jack mengambil berkas yang tersisa dan memasukan ke dalam tas. Pria itu dengan cepat menyusul Wijaya yang sudah lebih dulu keluar dari ruang kerja.Wijaya meninggalkan kantor yang sudah sepi karena para pegawa telah pulang di pukul empat. Pria itu benar-benar lembur untuk menyelesaikan banyak berkas yang harus di tanda tangan segera.“Kita sampai, Pak. Saya akan membawa berkas ke ruang kerja Anda,” ucap Jack.“Ya.” Wijaya keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Pria itu dengan cepat menaiki tangga menuju kamarnya. Dia harus membersihkan diri dan berganti pakaian. Bersiap untuk makan malam berdua dengan sang istri.“Sayang.” Amira tersenyum. “Sayang.” Wijaya tidak menyangka sang istri telah menunggu di kamar mereka.“Aku pikir kamu di kamar anak-anak.” Wijaya segera mencium bibir istrinya. Dia sangat merindukan Amira ka
Wijaya tidak pernah datang ke Perusahaan orang lain, tetapi mereka yang membutuhkan pria itulah yang akan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan.“Pak, ada Pak Radit di ruang tunggu.” Jack melaporkan. Pria itu menggantikan posisi Dody dan Amira karena Wijaya tidak mudah mempercayai orang lain untuk menjadi sekretaris pribadinya. Dia bisa menilai seseorang dengan satu kali tatap. Itu juga yang membuat jatuh cinta kepada istrinya. “Aku akan menemuinya,” ucap Wijaya yang sedang bermain-main dengan kehidupan orang lain. Dia mengganti cara kejamnya untuk balas dendam. Tidak lagi menyiksa secara langsung karena dirinya telah bahagia bersama sang istri dan anak-anak. “Baik, Pak.” Jack mengikuti Wijaya keluar dari ruang kerja untuk menemui Radit.“Pak Wijaya.” Radit yang sedang duduk segera berdiri ketika melihat Wijaya masuk. “Duduklah,” ucap Wijaya yang juga menghempaskan tubuhnya di sofa.“Terima kasih, Pak.” Radit tersenyum.Wijaya memang masih muda, tetapi harta dan tahta yang dimi
Wijaya merasa rumahnya begitu sepi. Sang istri hampir tidak pernah lagi menghampirinya. Dia merasa ada sesuatu yang hilang. “Ada apa, Bos?” tanya Jack bingung dengan Wijaya yang menghentikan langkah kaki di ruang tengah.“Aku merasa ada yang hilang,” jawab Wijaya menatap pada Jack. “Apa?” Jack mengerutkan dahinya.“Aku merasa istriku tidak pernah lagi menghampiri dan mengganggu diriku di ruang kerja. Dia tidak mendatangiku di jam-jam tertentu.” Wijaya menghela napasnya dengan berat.“Apa cinta dia sudah berkurang?” tanya Wijaya.“Maaf, Bos. Nyonya punya dua putra. Jadi, dia pasti sangat sibuk.” Jack tersenyum.“Hah! Dua anak itu telah merebut istriku.” Wijaya menggelengkan kepalanya.“Bukankah Anda masih mau menambah anak?” Jack menahan senyum. “Aarggh! Ini benar-benar mengacaukan. Aku mau punya anak bersama Amira. Tidak bisa ditunda lagi. Aku rela harus mengalah.” Wijaya berjalan cepat pergi ke kamar anaknya.“Bos. Kita mau ke kantor.” Jack tertawa melihat Wijaya menjadi bingung ka