Almira tak percaya jika teriakan Abdi tadi adalah teriakan terakhir lelaki itu sebelum terkapar bersimbah darah di jalan.
Dengan sekuat tenaga Almira bangkit setelah didorong paksa tadi, hingga sempoyongan menuju tubuh suaminya yang kini terbaring lemah. Darah ke mana-mana sampai Almira tercekat antara syok dan bingung.“Tolongggg!” teriaknya sekuat tenaga.***“Mana, Abdi. Mana?” nyonya Subagiyo berlari cemas ke lorong rumah sakit.Ia baru saja diberi kabar kalau putranya mengalami kecelakaan tabrak lari.Sekarang matanya tertuju pada menantunya yang tertunduk lesu di bangku tunggu rumah sakit, tanpa basa-basi nyonya Subagiyo segera menghampiri wanita itu.“Mana Abdi?! Kau apakan dia, hah!” sentak nyonya Subagiyo penuh amarah.Almira hanya bisa mengangkat wajahnya lalu menatap nanar nyonya Subagiyo. Bibirnya mendadak terkatup dan terkunci rapat, mau mengeluarkan satu kalimat rasanya susah dan berat sekali. Hanya air mata yang mampu Almira tunjukkan pada mertuanya ini sekarang.“Mana Abdi?! Hah! Dasar wanita pembawa sial!”Nyonya Subgaiyo dengan perasaan kacau melampiaskan amarahnya pada Almira yang terduduk lemas tak berdaya, wanita ini hanya menangis dan terdiam saat kedua tangan nyonya Subagiyo menarik-narik kerah kemeja Almira yang sebagian terkena darah Abdi.“Dasar kamu pembawa sial! Kalau kamu tidak di dekat putraku! Abdi tidak akan begini!” sentaknya masih dengan emosi tinggi.Yang bisa dilakukan hanya menarik-narik kerah Almira tidak peduli jika wanita ini mengalami kesakitan, tidak sampai di situ. Nyonya Subagiyo juga menampar beberapa kali Almira.‘Plak!’“Wanita murahan! Pembawa sial! Enyah kamu dari sini!”‘Plak!’Nyonya Subagiyo membabi buta melimpahkan kecelakaan Abdi ke Almira semuanya, seolah tidak memberi kesempatan pada gadis ini untuk memberi penjelasan.“Kamu memang pembawa sial! Pembawa sial!” tudingnya masih menunjuk-nunjuk.Hingga dua sahabat Abdi mencoba meredam amarah nyonya Subagiyo setelah tiba di rumah sakit.“Tenang, Tante. Tenang, jangan bikin keributan,” Rega menahan tubuh nyonya Subagiyo agar tidak mendekati Almira lagi.“Tante tidak bisa tenang, Rega! Sebelum tahu kondisi Abdi! Semua salah gadis sial ini!”Mata nyonya Subagiyo melotot ke arah Almira berada seperti mau memakannya hidup-hidup. Sedangkan Almira yang rambutnya sudah tidak tertata rapi hanya tergugu dan sesenggukan, ia juga bingung harus menjelaskan apa kepada nyonya Subagiyo soal Abdi tadi. Kejadian tabrak lari yang menimpa Abdi benar-benar singkat dan cepat sampai Almira tidak bisa menolongnya.Kalau boleh jujur Almira juga sedih dan hancur menunggu Abdi di luar ruang operasi begini, jika diizinkan menggantikan tentu Almira lakukan. Dan sayangnya semua sudah terjadi dan Almira rela disalahkan, toh Abdi begini karena ingin menyelamatkan dirinya.Tak terasa air mata Almira jatuh berulang kali tanpa bisa dicegah, tenaganya sudah terkuras habis sejak meraung-raung menyelamatkan suaminya. Almira juga tidak peduli atas perlakukan mertuanya sekarang, semua cacian dan hinaan ia terima. Mungkin ini akan setimpal dengan perbuatannya yang sudah membuat Abdi celaka.“Dasar wanita murahan! Pembawa sial!”Nyonya Subagiyo yang ditahan Rega terus menuding ke menantunya, amarahnya sudah di puncak. Ibu mana yang bisa terima jika putranya di ruang operasi karena menantu tak dianggapnya itu.Rega berusaha keras supaya Nyonya Subagiyo tidak berbuat kasar pada Almira, sebagai teman baiknya Abdi tidak mungkin memihak salah satu.Sedangkan Almira yang masih tergugu sambil duduk di usap pundaknya pelan oleh Haris, lelaki ini juga iba melihat kondisi istri temannya begitu memperhatikan.“Tenang Tante, tenang,” ujar Rega mencoba membuat kondisi semakin kondusif, meskipun usahanya tampak sia-sia. “Jangan buat keributan, Tan. Yakin saja Abdi baik-baik saja.”“Diam? Kamu suruh Tante diam, saat putra Tante di sana.” Sambil menunjuk ruang operasi, kilatan matanya terlihat membara karena api kebencian, “seharusnya kamu melarang Abdi, Ga, menikahi wanita sialan ini.”Rega sudah tidak bisa berbuat apa-apa selain menahan wanita ini, meskipun sudah tidak muda jangan ditanya tenaga nyonya Subagiyo sampai Rega kewalahan. Sejenak Rega mengedik ke arah Haris di dekat Almira memberi isyarat untuk membawa pergi gadis itu.“Dasar murahan! Dasar pelacur!”Semua ucapan kotor keluar begitu saja tanpa bisa dicegah, kepala dua pemuda ini ikutan pusing mendengarkan kalimat nyonya Subagiyo kepada Almira, apalagi Almira yang dikatai.Akhirnya Haris dengan hati-hati mengajak Almira. “Ayuk, Mir. Mending kita keluar,” ucap Haris memandangi lekat istri temannya itu.Tatapan Almira nanar, kosong tanpa nyawa ke arah Haris, seolah ingin mengatakan kenapa harus pergi. Setelah menarik napas panjangnya sekali barulah Haris mengangguk lalu mengangkat kedua bahu Almira.Nyonya Subagiyo yang masih di tempatnya langsung mengetat sempurna, “Pergi sana! Saya tidak sudi melihat mu!”Rega beberapa kali menghela napasnya sambil menahan badan nyonya Subagiyo.“Sudah, Tan. Sudah,” ujar Rega mulai kebingungan.Setelah Almira pergi barulah nyonya Subagiyo mulai mengendurkan urat-uratnya, meskipun napasnya masih menderu setidaknya sudah terdengar stabil. Rega tidak mau membuang kesempatan yang ada segera menuntut nyonya Subagiyo ke kursi tunggu pasien.“Tenang Tan, tenang. Duduk di sini, ya.”Rega akhirnya bisa membujuk nyonya Subagiyo agar lebih tenang, betul juga saat Almira tidak ada di sini kemarahan nyonya Subagiyo bisa reda walaupun Rega sangat merasa bersalah dengan Almira.***Vivi yang baru saja sampai di rumahnya langsung turun dari mobil menuju kamar, pikirannya kacau dan bingung.Entah ia masih tak yakin jika ditabraknya tadi mas Abdi, dengan menggeleng kuat Vivi mencoba mengusir kecamuk di hatinya. Berharap apa di pikirannya tidak menjadi nyata.Gadis ini pun tidak menyadari sudah menggigit bibir bawahnya hingga berdarah sedikit, jemarinya digenggam kuat-kuat untuk meredam kegugupan dan ketakutannya.“Ti-dak, ti-dak, tadi bukan Mas Abdi?” tanya Vivi pada dirinya sendiri sambil menatap kanan dan kiri seperti orang linglung, “aku yakin itu, aku yakin.” Wajahnya mengetat sempurna.Setelah mengatakan itu semua Vivi berlari menuju kamarnya lalu mengunci pintu dari dalam agar tidak ada orang lain yang masuk.Di tempat tidur sambil menggigil Vivi terlihat ketakutan, “Bukan, bukan aku penyebabnya!”Kedua tangannya segera diangkat menutupi daun telinga, Vivi merasakan shock yang luar biasa setelah kejadian tadi.Hingga Vivi tidak menyadari kalau pintu kamarnya sudah dibuka paksa dari luar, matanya yang sempat terpejam mendadak terbuka lalu menatap ke arah pintu.“Opa,” panggil Vivi lirih, dengan wajah sedih dan kusut.Tanpa menunggu persetujuan Vivi langsung berhambur ke tubuh lelaki tua itu, dengan tangis sesenggukan Vivi memendamkan kepalannya ke dada opa-nya.“Tolong Vivi, Opa.” Disusul dengan tangis yang semakin kencang.Lelaki tuan yang dipanggil opa tadi langsung menepuk-nepuk pundak Vivi pelan, seolah memberikan perlindungan pada cucu kesayangannya itu.“Jangan kuatir sayang, Opa ada di sini semua urusan beres,” ujarnya pelan dan hati-hati.Vivi yang masih terisak menarik wajahnya di dada sang opa, matanya menatap ke arah opa-nya dengan berbagai pertanyaan.“Maksud Opa?”Sembari tersenyum, “Sudah, jangan kuatir dan sedih. Semua sudah Opa bereskan.”Entah apa yang dimaksud opa-nya itu setidaknya hati Vivi mendadak tenteram dan damai.Dipeluk lagi sang opa sedikit kuat, “Makasih, Opa.” Meskipun tangisan Vivi masih terdengar samar.Sudah dua hari Abdi dirawat di Rumah Sakit, hanya ada beberapa kemajuan mengenai kondisinya pasca operasi kepala. Dokter pun hanya meminta keluarga supaya sabar dan berdoa, meskipun operasinya berjalan lancar tetap saja keputusan ada di tangan Tuhan. Pagi ini rumah sakit tempat Abdi di rawat mendadak heboh, lelaki itu yang sudah tertidur selama dua hari akhirnya membuka matannya. Rasa bahagia tentu terlihat sekali di raut Almira dan nyonya Subagiyo, di mana mereka sudah menunggu selama dua hari ini. “Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya nyonya Subagiyo tidak sabaran. “Iya, Dok. Bagaimana suami saya?” kini berganti Almira yang bertanya. Saat nyonya Subagiyo mendengar kalimat suami mendadak wajahnya berubah masam, lirikan tajam sempat dilayangkan ke arah sang mantu. “Alhamdulillah, Tuan Abdi sekarang sudah siuman. Hanya....” kalimat menggantung dari sang dokter membuat nyonya Subagiyo dan Almira mulai khawatir. Ditambah raut wajah dokter itu pun berubah sendu. “Kenapa dengan anak say
“Dokter bisa jelaskan ke saya apa yang terjadi pada putra saya?” nyonya Subagiyo sudah menatap ke arah dokter dengan tatapan penuh tanda tanya.Mimiknya terkesan tidak sebaran karena ini menyangkut kesehatan Abdi, kenapa juga anaknya tidak mengenali Almira yang dia tahu sangat dicintai oleh Abdi. Setelah berpikir keras akhirnya dokter menyimpulkan sesuatu yang membuat nyonya Subagiyo sedikit kaget. “Sebenarnya saya belum bisa memastikan, hanya kasus seperti ini pernah terjadi walaupun tidak banyak,” ujar si dokter tampak frustrasi. Karena diagnosa sebelumnya jauh dari perkiraan hari ini, beberapa kali si dokter tampak mengusap dagu karena ikutan bingung. “Maksud, dokter?” nyonya Subagiyo memberi tekanan, “Katakan apakah ini bahaya?” Dengan menggeleng cepat dokter menjawab pertanyaan nyonya Subagiyo, “Saya belum bisa menyimpulkan jika belum ada pemeriksaan lanjutan, Nyonya. Tapi....” “Tapi apa?! Katakan?!” Setelah dirasa yakin barulah dokter mengatakan, “Trauma yang dialami Tuan
Haris dan Rega tak bisa berbuat banyak membantu istri sahabatnya itu, bagaimana tidak dari sekian manusia di dekat Abdi hanya Almira sendiri yang dilupakan. Padahal jelas-jelas semua orang tahu Abdi sangat mencintai gadis itu. “Hari ini Tuan Abdi bisa dibawa pulang,” ucap Dokter yang selama ini merawat Abdi di rumah sakit. Tentu nyonya Subagiyo adalah orang yang paling bahagia akhirnya bisa pulang ke rumah bersama putranya dengan wajah berbinar wanita itu menggenggam tangan Abdi erat. “Dengar sayang, hari ini akhirnya kamu bisa pulang,” ujar nyonya Subagiyo antusias. Dengan mengangguk pelan Abdi tersenyum, “Iya Ma. Abdi juga tidak betah di rumah sakit.” Kini pandangannya diarahkan ke dua sahabatnya yang kebetulan ikut menjemput. “Habis dari sini, ajak gue keluar ya. Sumpah, gue butuh suasana baru.” Abdi memasang wajah malas.Rega dan Haris pun menyahuti dengan anggukkan, Abdi memang butuh suasana lain setelah mendekam cukup lama di rumah sakit. “Tentu, Sob!” Haris berkata yakin.
Almira tahu itu pilihan sulit tapi harus dijalani karena tidak ingin jauh dari suaminya, di rumah sakit saja nyonya Subagiyo terang-terangan memperlihatkan perjodohan Abdi dengan gadis cantik itu.Ya, Almira bisa melihat gadis bernama Vivi itu berusaha mendekati Abdi walaupun ada Almira. Apalagi nanti Almira tidak ada di sisi Abdi, semua pikiran buruk mendadak hinggap di kepalanya hingga Ia berani memutuskan tetap tinggal di kediaman nyonya Subagyo dalam waktu entah sampai kapan. Sambil mengulas senyum seolah-olah Almira kuat menjalani kehidupannya, “Iya Mas, Almira mau bantu Mas Abdi pulih dari ingatannya pelan-pelan.” Lagi-lagi Rega dan Haris sekilas saling pandang sebelum mengutarakan pertanyaan lagi. Sebagai sahabat Abdi kedua pemuda ini begitu salut dan bersyukur temannya memiliki istri seperti Almira. “Tapi Mir, maksud ku apa kamu tidak keberatan jika nanti tante Subagiyo semena-mena dengan mu?” Rega masih memikirkan nasib Almira ke depannya setelah melihat kejadian di rum
Beberapa mobil mewah itu akhirnya masuk ke dalam halaman rumah Abdi yang super luas, saking luasnya bisa dibuat bangunan satu lagi. Saat semua penumpang mobil alphard turun beberapa pelayan sudah berdiri menyambutnya, akan tetapi langsung ditahan oleh nyonya Subagiyo menggunakan tangan.“Kalian siapkan kamar tuan Abdi saja, selebihnya siapkan makan siang sekaligus makan malam.” “Baik, nyonya.” Beberapa dari mereka meninggalkan tempat disusul yang lain hanya tinggal satu orang pelayan saja. “Ngapain kamu tetap di sini?” tanya nyonya Subagiyo heran. “Ini, Nya. Mau bawa tas milik Tuan Abdi.” “Gak usah, ada yang bawa, kok,” ujarnya hendak menuntun Abdi ke dalam.“Sudah, Ma. Abdi sudah sehat jangan dituntun kaya orang pesakitan gini.” Abdi mencoba melepas cekalan mamanya yang melingkar di pergelangan tangannya. “Ih, kamu ini. Mama di rumah sakit khawatir, Di. Jangan buat Mama sakit hati cuma pegang tangan saja gak boleh,” protesnya tidak terima. Abdi memaklumi yang dirasakan maman
Kediaman Tejo Joyo. Seorang lelaki sudah berumur tengah menikmati cerutunya yang tinggal separuh. Matanya tertuju pada pemandangan kota yang bisa dilihat dari tempat balkon rumahnya yang tak kalah megah. “Permisi, Tuan.” Si lelaki berbaju setelan jas mendekat dari arah belakang. “Ada apa?” tanyanya masih dengan ekspresi sama, datar. Sekaligus masih mempermainkan cerutunya dengan tangan. “Ini soal kasus nona Vivi.” Mendadak si kakek tadi menghentikan aktivitasnya sejenak, cerutu yang siap masuk ke dalam mulut sengaja ditahan karena membahas cucu kesayangannya jauh lebih penting ketimbang menghabiskan cerutunya yang sangat mahal itu. “Apa lagi? Bukankah sudah beres semuanya?” tanyanya serius, ekspresi datar yang ditampilkan mendadak hilang. Lelaki dengan setelan jas itu membungkuk lalu berkata, “Sepertinya ada media yang akan memberitakan soal insiden itu, Tuan.” Rahang Tuan Joyo terlihat mengeras sorotan matanya tampak tajam, “Bukankah semua sudah dibereskan? Kenapa ini bisa te
Kediaman Subagiyo. Wajah mereka bertiga di kamar Abdi mulai fokus pada pintu, mereka pun penasaran siapa manusia di baliknya yang sudah melakukan kecerobohan memecahkan bahan kaca. Akhirnya nyonya Subagiyo turun tangan melangkah maju mendekati pintu dan membukannya. “Kamu nguping?” tanyanya dengan wajah geram pada Almira yang duduk sembari membereskan pecahan gelas. Sekilas mengangkat wajahnya, “Maaf, Ma-,” “Hust!” sengaja pintu ditutup dari luar rapat-rapat supaya orang yang ada di dalam kamar tidak mendengar, “Sudah saya tekankan jangan panggil mama di rumah, ingat syarat kamu masih tinggal di sini.” Masih duduk sambil memunguti pecahan, Almira tidak bisa menjawab. Hatinya benar-benar sakit diperlakukan seperti ini. Tak lama pintu yang ditutup nyonya Subagiyo dibuka dari dalam. Vivi, ikut nimbrung. Melihat Almira bola mata Vivi memutar kesal, “Kamu lagi, kamu lagi. Kenapa gak diusir saja sih, Tan.” Sambil berkacak pinggang seolah menjadi penguasa di rumah ini. Setelah beres
Almira masih berdiri mematung setelah tiba di depan pintu rumah mertuanya yang tidak mengakuinya sebagai menantu. Mereka berdua terpaksa ke rumah ini karena permintaan si pemilik rumah, walaupun Almira dan suaminya tidak mengetahui alasan yang sebenarnya.“Kenapa sayang? ayuk masuk, mama sudah menunggu,” ajak Abdi yang masih memegangi jemari istrinya. Sebenarnya Almira tidak yakin niat baik mertuanya malam ini kepada mereka, bayangan masa lalu masih terekam jelas di benak saat mama mertuanya menghina dan mengusir. Tidak sampai di sana perempuan itu juga menyalahkan Almira akan tindakan putranya meninggalkan rumah. Entahlah, semua masalah sepertinya dibebankan kepada Almira. Wajah Almira terlihat cemas, “Tapi Mas.” Tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Ia tidak yakin mengikuti suaminya ke sini adalah pilihan terbaik. Ia mendadak ragu. Abdi yang mengetahui kegelisahan istrinya langsung menguatkan, ditarik tangan perempuan itu ke dadanya yang bidang. “Percayalah sama Mas, sayang.
Kediaman Subagiyo. Wajah mereka bertiga di kamar Abdi mulai fokus pada pintu, mereka pun penasaran siapa manusia di baliknya yang sudah melakukan kecerobohan memecahkan bahan kaca. Akhirnya nyonya Subagiyo turun tangan melangkah maju mendekati pintu dan membukannya. “Kamu nguping?” tanyanya dengan wajah geram pada Almira yang duduk sembari membereskan pecahan gelas. Sekilas mengangkat wajahnya, “Maaf, Ma-,” “Hust!” sengaja pintu ditutup dari luar rapat-rapat supaya orang yang ada di dalam kamar tidak mendengar, “Sudah saya tekankan jangan panggil mama di rumah, ingat syarat kamu masih tinggal di sini.” Masih duduk sambil memunguti pecahan, Almira tidak bisa menjawab. Hatinya benar-benar sakit diperlakukan seperti ini. Tak lama pintu yang ditutup nyonya Subagiyo dibuka dari dalam. Vivi, ikut nimbrung. Melihat Almira bola mata Vivi memutar kesal, “Kamu lagi, kamu lagi. Kenapa gak diusir saja sih, Tan.” Sambil berkacak pinggang seolah menjadi penguasa di rumah ini. Setelah beres
Kediaman Tejo Joyo. Seorang lelaki sudah berumur tengah menikmati cerutunya yang tinggal separuh. Matanya tertuju pada pemandangan kota yang bisa dilihat dari tempat balkon rumahnya yang tak kalah megah. “Permisi, Tuan.” Si lelaki berbaju setelan jas mendekat dari arah belakang. “Ada apa?” tanyanya masih dengan ekspresi sama, datar. Sekaligus masih mempermainkan cerutunya dengan tangan. “Ini soal kasus nona Vivi.” Mendadak si kakek tadi menghentikan aktivitasnya sejenak, cerutu yang siap masuk ke dalam mulut sengaja ditahan karena membahas cucu kesayangannya jauh lebih penting ketimbang menghabiskan cerutunya yang sangat mahal itu. “Apa lagi? Bukankah sudah beres semuanya?” tanyanya serius, ekspresi datar yang ditampilkan mendadak hilang. Lelaki dengan setelan jas itu membungkuk lalu berkata, “Sepertinya ada media yang akan memberitakan soal insiden itu, Tuan.” Rahang Tuan Joyo terlihat mengeras sorotan matanya tampak tajam, “Bukankah semua sudah dibereskan? Kenapa ini bisa te
Beberapa mobil mewah itu akhirnya masuk ke dalam halaman rumah Abdi yang super luas, saking luasnya bisa dibuat bangunan satu lagi. Saat semua penumpang mobil alphard turun beberapa pelayan sudah berdiri menyambutnya, akan tetapi langsung ditahan oleh nyonya Subagiyo menggunakan tangan.“Kalian siapkan kamar tuan Abdi saja, selebihnya siapkan makan siang sekaligus makan malam.” “Baik, nyonya.” Beberapa dari mereka meninggalkan tempat disusul yang lain hanya tinggal satu orang pelayan saja. “Ngapain kamu tetap di sini?” tanya nyonya Subagiyo heran. “Ini, Nya. Mau bawa tas milik Tuan Abdi.” “Gak usah, ada yang bawa, kok,” ujarnya hendak menuntun Abdi ke dalam.“Sudah, Ma. Abdi sudah sehat jangan dituntun kaya orang pesakitan gini.” Abdi mencoba melepas cekalan mamanya yang melingkar di pergelangan tangannya. “Ih, kamu ini. Mama di rumah sakit khawatir, Di. Jangan buat Mama sakit hati cuma pegang tangan saja gak boleh,” protesnya tidak terima. Abdi memaklumi yang dirasakan maman
Almira tahu itu pilihan sulit tapi harus dijalani karena tidak ingin jauh dari suaminya, di rumah sakit saja nyonya Subagiyo terang-terangan memperlihatkan perjodohan Abdi dengan gadis cantik itu.Ya, Almira bisa melihat gadis bernama Vivi itu berusaha mendekati Abdi walaupun ada Almira. Apalagi nanti Almira tidak ada di sisi Abdi, semua pikiran buruk mendadak hinggap di kepalanya hingga Ia berani memutuskan tetap tinggal di kediaman nyonya Subagyo dalam waktu entah sampai kapan. Sambil mengulas senyum seolah-olah Almira kuat menjalani kehidupannya, “Iya Mas, Almira mau bantu Mas Abdi pulih dari ingatannya pelan-pelan.” Lagi-lagi Rega dan Haris sekilas saling pandang sebelum mengutarakan pertanyaan lagi. Sebagai sahabat Abdi kedua pemuda ini begitu salut dan bersyukur temannya memiliki istri seperti Almira. “Tapi Mir, maksud ku apa kamu tidak keberatan jika nanti tante Subagiyo semena-mena dengan mu?” Rega masih memikirkan nasib Almira ke depannya setelah melihat kejadian di rum
Haris dan Rega tak bisa berbuat banyak membantu istri sahabatnya itu, bagaimana tidak dari sekian manusia di dekat Abdi hanya Almira sendiri yang dilupakan. Padahal jelas-jelas semua orang tahu Abdi sangat mencintai gadis itu. “Hari ini Tuan Abdi bisa dibawa pulang,” ucap Dokter yang selama ini merawat Abdi di rumah sakit. Tentu nyonya Subagiyo adalah orang yang paling bahagia akhirnya bisa pulang ke rumah bersama putranya dengan wajah berbinar wanita itu menggenggam tangan Abdi erat. “Dengar sayang, hari ini akhirnya kamu bisa pulang,” ujar nyonya Subagiyo antusias. Dengan mengangguk pelan Abdi tersenyum, “Iya Ma. Abdi juga tidak betah di rumah sakit.” Kini pandangannya diarahkan ke dua sahabatnya yang kebetulan ikut menjemput. “Habis dari sini, ajak gue keluar ya. Sumpah, gue butuh suasana baru.” Abdi memasang wajah malas.Rega dan Haris pun menyahuti dengan anggukkan, Abdi memang butuh suasana lain setelah mendekam cukup lama di rumah sakit. “Tentu, Sob!” Haris berkata yakin.
“Dokter bisa jelaskan ke saya apa yang terjadi pada putra saya?” nyonya Subagiyo sudah menatap ke arah dokter dengan tatapan penuh tanda tanya.Mimiknya terkesan tidak sebaran karena ini menyangkut kesehatan Abdi, kenapa juga anaknya tidak mengenali Almira yang dia tahu sangat dicintai oleh Abdi. Setelah berpikir keras akhirnya dokter menyimpulkan sesuatu yang membuat nyonya Subagiyo sedikit kaget. “Sebenarnya saya belum bisa memastikan, hanya kasus seperti ini pernah terjadi walaupun tidak banyak,” ujar si dokter tampak frustrasi. Karena diagnosa sebelumnya jauh dari perkiraan hari ini, beberapa kali si dokter tampak mengusap dagu karena ikutan bingung. “Maksud, dokter?” nyonya Subagiyo memberi tekanan, “Katakan apakah ini bahaya?” Dengan menggeleng cepat dokter menjawab pertanyaan nyonya Subagiyo, “Saya belum bisa menyimpulkan jika belum ada pemeriksaan lanjutan, Nyonya. Tapi....” “Tapi apa?! Katakan?!” Setelah dirasa yakin barulah dokter mengatakan, “Trauma yang dialami Tuan
Sudah dua hari Abdi dirawat di Rumah Sakit, hanya ada beberapa kemajuan mengenai kondisinya pasca operasi kepala. Dokter pun hanya meminta keluarga supaya sabar dan berdoa, meskipun operasinya berjalan lancar tetap saja keputusan ada di tangan Tuhan. Pagi ini rumah sakit tempat Abdi di rawat mendadak heboh, lelaki itu yang sudah tertidur selama dua hari akhirnya membuka matannya. Rasa bahagia tentu terlihat sekali di raut Almira dan nyonya Subagiyo, di mana mereka sudah menunggu selama dua hari ini. “Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya nyonya Subagiyo tidak sabaran. “Iya, Dok. Bagaimana suami saya?” kini berganti Almira yang bertanya. Saat nyonya Subagiyo mendengar kalimat suami mendadak wajahnya berubah masam, lirikan tajam sempat dilayangkan ke arah sang mantu. “Alhamdulillah, Tuan Abdi sekarang sudah siuman. Hanya....” kalimat menggantung dari sang dokter membuat nyonya Subagiyo dan Almira mulai khawatir. Ditambah raut wajah dokter itu pun berubah sendu. “Kenapa dengan anak say
Almira tak percaya jika teriakan Abdi tadi adalah teriakan terakhir lelaki itu sebelum terkapar bersimbah darah di jalan. Dengan sekuat tenaga Almira bangkit setelah didorong paksa tadi, hingga sempoyongan menuju tubuh suaminya yang kini terbaring lemah. Darah ke mana-mana sampai Almira tercekat antara syok dan bingung. “Tolongggg!” teriaknya sekuat tenaga. *** “Mana, Abdi. Mana?” nyonya Subagiyo berlari cemas ke lorong rumah sakit. Ia baru saja diberi kabar kalau putranya mengalami kecelakaan tabrak lari. Sekarang matanya tertuju pada menantunya yang tertunduk lesu di bangku tunggu rumah sakit, tanpa basa-basi nyonya Subagiyo segera menghampiri wanita itu. “Mana Abdi?! Kau apakan dia, hah!” sentak nyonya Subagiyo penuh amarah. Almira hanya bisa mengangkat wajahnya lalu menatap nanar nyonya Subagiyo. Bibirnya mendadak terkatup dan terkunci rapat, mau mengeluarkan satu kalimat rasanya susah dan berat sekali. Hanya air mata yang mampu Almira tunjukkan pada mertuanya ini sekarang.
Seminggu sudah Almira tinggal bersama dengan nyonya Subagiyo, meskipun tinggal satu atap tetap saja nyonya Subagiyo seperti memberi tembok pembatas dengan menantunya itu. Tidak ada percakapan ataupun momen duduk bersama, sengaja nyonya Subagiyo melakukannya karena belum menerima Almira sebagai menantu. “Mama mau makan apa?” tanya Almira memberanikan diri, bagaimanapun rasanya aneh kalau satu rumah tanpa berkomunikasi. Mereka berdua memiliki ikatan mertua dan menantu, sayangnya hanya pihak Almira yang merasakannya. Nyonya Subagiyo yang mau pergi mendadak menghentikan langkahnya setelah dipanggil sang menantu. Dengan berdiri tegak wanita ini memandangi Almira dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya benar-benar terpancar kebencian. Mereka masih saling menatap satu sama lain, hingga suara nyonya Subagiyo akhirnya keluar. “Apa? Makan? Hah!” decaknya sinis seperti menghina, “Heh, asal kamu tahu, saya menampung kamu di sini karena anak saya. Kalau tidak, sudah saya usir, paham.” M