Almira masih berdiri mematung setelah tiba di depan pintu rumah mertuanya yang tidak mengakuinya sebagai menantu. Mereka berdua terpaksa ke rumah ini karena permintaan si pemilik rumah, walaupun Almira dan suaminya tidak mengetahui alasan yang sebenarnya.
“Kenapa sayang? ayuk masuk, mama sudah menunggu,” ajak Abdi yang masih memegangi jemari istrinya.Sebenarnya Almira tidak yakin niat baik mertuanya malam ini kepada mereka, bayangan masa lalu masih terekam jelas di benak saat mama mertuanya menghina dan mengusir. Tidak sampai di sana perempuan itu juga menyalahkan Almira akan tindakan putranya meninggalkan rumah. Entahlah, semua masalah sepertinya dibebankan kepada Almira.Wajah Almira terlihat cemas, “Tapi Mas.” Tanpa sadar menggigit bibir bawahnya.Ia tidak yakin mengikuti suaminya ke sini adalah pilihan terbaik. Ia mendadak ragu.Abdi yang mengetahui kegelisahan istrinya langsung menguatkan, ditarik tangan perempuan itu ke dadanya yang bidang. “Percayalah sama Mas, sayang. Yakin saja mama sepertinya sudah luluh menerima mu.”Ucapan lelaki ini begitu gampang dan mudah sekali diucapkan, padahal kenyataannya tidak semudah itu berurusan dengan keluarga Subagiyo. Almira memang sudah lancang menerima cinta anak tunggal Subagiyo, dan konyolnya lagi mau dinikahi secara siri alias di luar payung hukum.Bukan Abdi orang jahat yang mau enaknya saja, lebih tepatnya pihak keluarga Abdi-lah yang membuat urusan cinta mereka berdua menjadi ribet.Sekarang tidak ada angin dan hujan mama Abdi meminta mereka berdua datang ke rumahnya setelah satu bulan tidak menganggap mereka ada. Entah tujuannya apa, meskipun Almira bersikeras agar Abdi lebih waspada. Nyatanya usahanya sia-sia, Abdi meyakini mamanya sudah menjelma menjadi malaikat setelah ditinggalnya pergi.Setelah menenangkan pikiran kacaunya, Almira akhirnya mengangguk setuju. Toh, mereka sudah ada di ambang pintu tinggal masuk.“Nah, gitu, donk. Percaya aja, mama gak sejahat yang kamu kira, kok. Mama cuma perlu waktu saja,” terang Abdi meyakinkan pada Almira.Meskipun Almira tidak bisa yakin seratus persen begitu saja.Pintu utama terkuak lebar, pandangan Almira sekarang tertuju pada meja utama di mana ada mertuanya dan beberapa tamu. Di mana tidak ada satu pun yang Almira kenal.Nyonya Subagiyo bangkit diikuti tamu lainnya setelah tahu siapa yang datang, wajah sebagai ibu merindukan putarnya sangat kentara sekali. Almira yakin nyonya Subagiyo pasti mengutuk habis-habisan setelah membawa kabur putra tunggalnya. Almira benar-benar masih belum percaya niat nyonya Subagiyo.“Sayangggg.” Nyonya Subagiyo yang berdiri dari tempatnya langsung merentangkan kedua tangannya lebar ke arah mereka berdua.Ralat, hanya Abdi yang disambut. Almira bisa melihat jelas ke mana bola mata nyonya Subagiyo terarah.Abdi yang mengapit tangan Almira mulai berjalan mendekat, jika Abdi mungkin santai tidak dengan Almira. Degupan jantungnya semakin cepat terpacu, ditambah saat matanya bertemu dengan nyonya Subagiyo. Buru-buru Almira menunduk menatap marmer yang dipijaknya.“Sayangg, Mama kangen banget,” ujar Nyonya Subagiyo sambil memeluk sang putra.Tidak lupa ritual cium pipi dilakukan, dan itu wajar saat anak dan ibu terpisahkan selama satu bulan lebih satu hari.Almira sangat hafal berapa lama mereka meninggalkan rumah mewah ini.“Baik, Ma. Mama sendiri bagaimana kabarnya?” Abdi yang sudah melepas tautannya dengan Almira bertanya.Nyonya Subagiyo mengusap pipinya yang basah, “Baik, sayang. Baik.” Mimiknya terlihat sendu. “Kamu kurusan, lihat. Jadi item, kan.”Abdi hanya menanggapi dengan senyum, bagaimanapun hidup satu bulan tanpa fasilitas dari mamanya memang cukup menguras tenaga dan pikirannya. Abdi sebenarnya bisa bekerja dengan ijazah S2 di luar negeri. Sayangnya acces itu tertutup karena ulah mamanya, jadi wajar saat Abdi mengalami penolakan berulang kali saat melamar.“Eh, Ma. Ini istri Abdi, Almira.”Tidak perlu dikenalkan lagi nyonya Subagiyo tahu siapa wanita di belakang putranya, karena gara-gara perempuan itu juga hubungan anak dan ibu renggang. Tidak akan pernah nyonya Subagiyo lupakan wajah wanita itu.Ini waktunya, Almira yang sejak tadi tidak masuk obrolan langsung terangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu satu sama lain, Almira bisa merasakan tatapan itu masih sama dengan tatapan satu bulan lalu saat nyonya Subagiyo menghinanya.Saat Almira hendak menyentuh tangan nyonya Subagiyo untuk menciumnya, buru-buru wanita itu menarik tangannya dari jangkauan Almira. Seolah tidak memberi kesempatan pada mantunya menyentuh jemarinya yang terlihat terawat sekali itu.“Sayang, perkenalkan ini tamu penting Mama.”Satu persatu tamu di situ mulai memperkenalkan diri pada Abdi tentunya, Almira yang berdiri di belakang Abdi seperti tidak dianggap. Mereka semua terfokus pada Abdi saja, tidak pada manusia di belakangnya.Pertemuan malam ini hanya sekilas setelah Abdi datang para tamu mamanya Abdi mulai undur pamit. Tinggal tersisa Almira dan Abdi saja.“Makan yang banyak ya, sayang. Lihat badan kamu kurusan.” Mama Abdi begitu perhatian pada putranya, dan itu wajar sekali.“Udah Ma, ini cukup.”“Hmm. Jangan nolak, Mama sudah siapain untuk kamu semuanya. Harus dimakan, ok!”Satu lauk dada ayam kesukaan Abdi ditaruh ke atas nasinya tanpa persetujuannya. Dan Abdi menyukai itu, kentara sekali.Sedangkan Almira hanya menyuap beberapa kali, meskipun masakan orang kaya tidak selalu mengecewakan tetap saja rasanya hambar setelah masuk mulut. Almira seperti orang lain tidak dianggap yang kebetulan ikut makan. Beberapa kali suaminya mengajak interaksi tapi ya itu, selalu dipotong sama mamanya. Selalu begitu dan lebih parahnya Abdi mengabaikan hal kecil itu.“Mama ingin kamu pindah ke rumah,” pinta nyonya Subagiyo pada Abdi.Mereka sengaja duduk di ruang tamu setelah makan malam usai, Almira memilih tidur ke kamar ketimbang ikut nimbrung tapi tidak diajak bicara.Sambil menatap ke depan Abdi menghela napasnya, “Mama tahu kan, kenapa Abdi mau pulang.” Sekilas ditatap wajah cantik yang sudah termakan usia itu. “Semua karena Almira, Abdi sudah katakan jika Mama menerima Abdi, Mama juga harus menerima Almira.”Mendengar persyaratan Abdi itu rasanya nyonya Subagiyo ingin berteriak lantang, hatinya mendadak panas. Sejak dulu sampai sekarang dirinya belum menerima perempuan yatim dan miskin itu. Padahal nyonya Subagiyo sudah mengatakan alasannya. Jika kasta Almira dan Abdi berbeda.Nyonya Subagiyo terdengar menghela napas, percuma berdebat sekarang. Karena Abdi sudah dibutakan dengan cinta konyolnya. Dan nyonya Subagiyo tidak mau ditinggalkan lagi, cukup satu bulan tersiksa dengan sang putra.“Baiklah, meskipun berat. Kamu juga tahu, itu. Jangan paksa Mama, Di. Tapi beri waktu Mama bisa menerima Almira,” ujarnya seolah mau mengubah keputusannya.Padahal nyonya Subagiyo sudah berazam, tidak akan menerima wanita itu menjadi menantunya dalam kondisi apa pun. Untuk sekarang biar saja putranya percaya dulu dengan dirinya, sebelum rencana utamanya dilancarkan.Tujuan utama nyonya Subagiyo hanya satu memisahkan putranya dengan Almira dengan cara apa pun. Tidak sudi memiliki mantu seperti Almira.Wajah Abdi terlihat semringah mendengar penuturan mamanya itu, ia yakin jika berinteraksi terus menerus hati mamanya yang kokoh akan lunak. Mamanya hanya tidak mengenal baik Almira saja. “Makasih, Ma. Sudah memberi kesempatan pada Almira,” ujar Abdi percaya dengan ucapan mamanya tadi.“Iya, jangan pergi lagi ya.”Abdi mengangguk dan tersenyum.“Besok kamu kerja di perusahaan Mama saja, sayang tempat mu kosong.”Sebagai putra tunggal Subagiyo tentu Abdi adalah calon penerus perusahaan keluarganya yang digadang-gadang menjadi bos muda berprestasi. Dan sayangnya impian mamanya kandas karena satu orang wanita murahan seperti Almira.Seminggu sudah Almira tinggal bersama dengan nyonya Subagiyo, meskipun tinggal satu atap tetap saja nyonya Subagiyo seperti memberi tembok pembatas dengan menantunya itu. Tidak ada percakapan ataupun momen duduk bersama, sengaja nyonya Subagiyo melakukannya karena belum menerima Almira sebagai menantu. “Mama mau makan apa?” tanya Almira memberanikan diri, bagaimanapun rasanya aneh kalau satu rumah tanpa berkomunikasi. Mereka berdua memiliki ikatan mertua dan menantu, sayangnya hanya pihak Almira yang merasakannya. Nyonya Subagiyo yang mau pergi mendadak menghentikan langkahnya setelah dipanggil sang menantu. Dengan berdiri tegak wanita ini memandangi Almira dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya benar-benar terpancar kebencian. Mereka masih saling menatap satu sama lain, hingga suara nyonya Subagiyo akhirnya keluar. “Apa? Makan? Hah!” decaknya sinis seperti menghina, “Heh, asal kamu tahu, saya menampung kamu di sini karena anak saya. Kalau tidak, sudah saya usir, paham.” M
Almira tak percaya jika teriakan Abdi tadi adalah teriakan terakhir lelaki itu sebelum terkapar bersimbah darah di jalan. Dengan sekuat tenaga Almira bangkit setelah didorong paksa tadi, hingga sempoyongan menuju tubuh suaminya yang kini terbaring lemah. Darah ke mana-mana sampai Almira tercekat antara syok dan bingung. “Tolongggg!” teriaknya sekuat tenaga. *** “Mana, Abdi. Mana?” nyonya Subagiyo berlari cemas ke lorong rumah sakit. Ia baru saja diberi kabar kalau putranya mengalami kecelakaan tabrak lari. Sekarang matanya tertuju pada menantunya yang tertunduk lesu di bangku tunggu rumah sakit, tanpa basa-basi nyonya Subagiyo segera menghampiri wanita itu. “Mana Abdi?! Kau apakan dia, hah!” sentak nyonya Subagiyo penuh amarah. Almira hanya bisa mengangkat wajahnya lalu menatap nanar nyonya Subagiyo. Bibirnya mendadak terkatup dan terkunci rapat, mau mengeluarkan satu kalimat rasanya susah dan berat sekali. Hanya air mata yang mampu Almira tunjukkan pada mertuanya ini sekarang.
Sudah dua hari Abdi dirawat di Rumah Sakit, hanya ada beberapa kemajuan mengenai kondisinya pasca operasi kepala. Dokter pun hanya meminta keluarga supaya sabar dan berdoa, meskipun operasinya berjalan lancar tetap saja keputusan ada di tangan Tuhan. Pagi ini rumah sakit tempat Abdi di rawat mendadak heboh, lelaki itu yang sudah tertidur selama dua hari akhirnya membuka matannya. Rasa bahagia tentu terlihat sekali di raut Almira dan nyonya Subagiyo, di mana mereka sudah menunggu selama dua hari ini. “Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya nyonya Subagiyo tidak sabaran. “Iya, Dok. Bagaimana suami saya?” kini berganti Almira yang bertanya. Saat nyonya Subagiyo mendengar kalimat suami mendadak wajahnya berubah masam, lirikan tajam sempat dilayangkan ke arah sang mantu. “Alhamdulillah, Tuan Abdi sekarang sudah siuman. Hanya....” kalimat menggantung dari sang dokter membuat nyonya Subagiyo dan Almira mulai khawatir. Ditambah raut wajah dokter itu pun berubah sendu. “Kenapa dengan anak say
“Dokter bisa jelaskan ke saya apa yang terjadi pada putra saya?” nyonya Subagiyo sudah menatap ke arah dokter dengan tatapan penuh tanda tanya.Mimiknya terkesan tidak sebaran karena ini menyangkut kesehatan Abdi, kenapa juga anaknya tidak mengenali Almira yang dia tahu sangat dicintai oleh Abdi. Setelah berpikir keras akhirnya dokter menyimpulkan sesuatu yang membuat nyonya Subagiyo sedikit kaget. “Sebenarnya saya belum bisa memastikan, hanya kasus seperti ini pernah terjadi walaupun tidak banyak,” ujar si dokter tampak frustrasi. Karena diagnosa sebelumnya jauh dari perkiraan hari ini, beberapa kali si dokter tampak mengusap dagu karena ikutan bingung. “Maksud, dokter?” nyonya Subagiyo memberi tekanan, “Katakan apakah ini bahaya?” Dengan menggeleng cepat dokter menjawab pertanyaan nyonya Subagiyo, “Saya belum bisa menyimpulkan jika belum ada pemeriksaan lanjutan, Nyonya. Tapi....” “Tapi apa?! Katakan?!” Setelah dirasa yakin barulah dokter mengatakan, “Trauma yang dialami Tuan
Haris dan Rega tak bisa berbuat banyak membantu istri sahabatnya itu, bagaimana tidak dari sekian manusia di dekat Abdi hanya Almira sendiri yang dilupakan. Padahal jelas-jelas semua orang tahu Abdi sangat mencintai gadis itu. “Hari ini Tuan Abdi bisa dibawa pulang,” ucap Dokter yang selama ini merawat Abdi di rumah sakit. Tentu nyonya Subagiyo adalah orang yang paling bahagia akhirnya bisa pulang ke rumah bersama putranya dengan wajah berbinar wanita itu menggenggam tangan Abdi erat. “Dengar sayang, hari ini akhirnya kamu bisa pulang,” ujar nyonya Subagiyo antusias. Dengan mengangguk pelan Abdi tersenyum, “Iya Ma. Abdi juga tidak betah di rumah sakit.” Kini pandangannya diarahkan ke dua sahabatnya yang kebetulan ikut menjemput. “Habis dari sini, ajak gue keluar ya. Sumpah, gue butuh suasana baru.” Abdi memasang wajah malas.Rega dan Haris pun menyahuti dengan anggukkan, Abdi memang butuh suasana lain setelah mendekam cukup lama di rumah sakit. “Tentu, Sob!” Haris berkata yakin.
Almira tahu itu pilihan sulit tapi harus dijalani karena tidak ingin jauh dari suaminya, di rumah sakit saja nyonya Subagiyo terang-terangan memperlihatkan perjodohan Abdi dengan gadis cantik itu.Ya, Almira bisa melihat gadis bernama Vivi itu berusaha mendekati Abdi walaupun ada Almira. Apalagi nanti Almira tidak ada di sisi Abdi, semua pikiran buruk mendadak hinggap di kepalanya hingga Ia berani memutuskan tetap tinggal di kediaman nyonya Subagyo dalam waktu entah sampai kapan. Sambil mengulas senyum seolah-olah Almira kuat menjalani kehidupannya, “Iya Mas, Almira mau bantu Mas Abdi pulih dari ingatannya pelan-pelan.” Lagi-lagi Rega dan Haris sekilas saling pandang sebelum mengutarakan pertanyaan lagi. Sebagai sahabat Abdi kedua pemuda ini begitu salut dan bersyukur temannya memiliki istri seperti Almira. “Tapi Mir, maksud ku apa kamu tidak keberatan jika nanti tante Subagiyo semena-mena dengan mu?” Rega masih memikirkan nasib Almira ke depannya setelah melihat kejadian di rum
Beberapa mobil mewah itu akhirnya masuk ke dalam halaman rumah Abdi yang super luas, saking luasnya bisa dibuat bangunan satu lagi. Saat semua penumpang mobil alphard turun beberapa pelayan sudah berdiri menyambutnya, akan tetapi langsung ditahan oleh nyonya Subagiyo menggunakan tangan.“Kalian siapkan kamar tuan Abdi saja, selebihnya siapkan makan siang sekaligus makan malam.” “Baik, nyonya.” Beberapa dari mereka meninggalkan tempat disusul yang lain hanya tinggal satu orang pelayan saja. “Ngapain kamu tetap di sini?” tanya nyonya Subagiyo heran. “Ini, Nya. Mau bawa tas milik Tuan Abdi.” “Gak usah, ada yang bawa, kok,” ujarnya hendak menuntun Abdi ke dalam.“Sudah, Ma. Abdi sudah sehat jangan dituntun kaya orang pesakitan gini.” Abdi mencoba melepas cekalan mamanya yang melingkar di pergelangan tangannya. “Ih, kamu ini. Mama di rumah sakit khawatir, Di. Jangan buat Mama sakit hati cuma pegang tangan saja gak boleh,” protesnya tidak terima. Abdi memaklumi yang dirasakan maman
Kediaman Tejo Joyo. Seorang lelaki sudah berumur tengah menikmati cerutunya yang tinggal separuh. Matanya tertuju pada pemandangan kota yang bisa dilihat dari tempat balkon rumahnya yang tak kalah megah. “Permisi, Tuan.” Si lelaki berbaju setelan jas mendekat dari arah belakang. “Ada apa?” tanyanya masih dengan ekspresi sama, datar. Sekaligus masih mempermainkan cerutunya dengan tangan. “Ini soal kasus nona Vivi.” Mendadak si kakek tadi menghentikan aktivitasnya sejenak, cerutu yang siap masuk ke dalam mulut sengaja ditahan karena membahas cucu kesayangannya jauh lebih penting ketimbang menghabiskan cerutunya yang sangat mahal itu. “Apa lagi? Bukankah sudah beres semuanya?” tanyanya serius, ekspresi datar yang ditampilkan mendadak hilang. Lelaki dengan setelan jas itu membungkuk lalu berkata, “Sepertinya ada media yang akan memberitakan soal insiden itu, Tuan.” Rahang Tuan Joyo terlihat mengeras sorotan matanya tampak tajam, “Bukankah semua sudah dibereskan? Kenapa ini bisa te
Kediaman Subagiyo. Wajah mereka bertiga di kamar Abdi mulai fokus pada pintu, mereka pun penasaran siapa manusia di baliknya yang sudah melakukan kecerobohan memecahkan bahan kaca. Akhirnya nyonya Subagiyo turun tangan melangkah maju mendekati pintu dan membukannya. “Kamu nguping?” tanyanya dengan wajah geram pada Almira yang duduk sembari membereskan pecahan gelas. Sekilas mengangkat wajahnya, “Maaf, Ma-,” “Hust!” sengaja pintu ditutup dari luar rapat-rapat supaya orang yang ada di dalam kamar tidak mendengar, “Sudah saya tekankan jangan panggil mama di rumah, ingat syarat kamu masih tinggal di sini.” Masih duduk sambil memunguti pecahan, Almira tidak bisa menjawab. Hatinya benar-benar sakit diperlakukan seperti ini. Tak lama pintu yang ditutup nyonya Subagiyo dibuka dari dalam. Vivi, ikut nimbrung. Melihat Almira bola mata Vivi memutar kesal, “Kamu lagi, kamu lagi. Kenapa gak diusir saja sih, Tan.” Sambil berkacak pinggang seolah menjadi penguasa di rumah ini. Setelah beres
Kediaman Tejo Joyo. Seorang lelaki sudah berumur tengah menikmati cerutunya yang tinggal separuh. Matanya tertuju pada pemandangan kota yang bisa dilihat dari tempat balkon rumahnya yang tak kalah megah. “Permisi, Tuan.” Si lelaki berbaju setelan jas mendekat dari arah belakang. “Ada apa?” tanyanya masih dengan ekspresi sama, datar. Sekaligus masih mempermainkan cerutunya dengan tangan. “Ini soal kasus nona Vivi.” Mendadak si kakek tadi menghentikan aktivitasnya sejenak, cerutu yang siap masuk ke dalam mulut sengaja ditahan karena membahas cucu kesayangannya jauh lebih penting ketimbang menghabiskan cerutunya yang sangat mahal itu. “Apa lagi? Bukankah sudah beres semuanya?” tanyanya serius, ekspresi datar yang ditampilkan mendadak hilang. Lelaki dengan setelan jas itu membungkuk lalu berkata, “Sepertinya ada media yang akan memberitakan soal insiden itu, Tuan.” Rahang Tuan Joyo terlihat mengeras sorotan matanya tampak tajam, “Bukankah semua sudah dibereskan? Kenapa ini bisa te
Beberapa mobil mewah itu akhirnya masuk ke dalam halaman rumah Abdi yang super luas, saking luasnya bisa dibuat bangunan satu lagi. Saat semua penumpang mobil alphard turun beberapa pelayan sudah berdiri menyambutnya, akan tetapi langsung ditahan oleh nyonya Subagiyo menggunakan tangan.“Kalian siapkan kamar tuan Abdi saja, selebihnya siapkan makan siang sekaligus makan malam.” “Baik, nyonya.” Beberapa dari mereka meninggalkan tempat disusul yang lain hanya tinggal satu orang pelayan saja. “Ngapain kamu tetap di sini?” tanya nyonya Subagiyo heran. “Ini, Nya. Mau bawa tas milik Tuan Abdi.” “Gak usah, ada yang bawa, kok,” ujarnya hendak menuntun Abdi ke dalam.“Sudah, Ma. Abdi sudah sehat jangan dituntun kaya orang pesakitan gini.” Abdi mencoba melepas cekalan mamanya yang melingkar di pergelangan tangannya. “Ih, kamu ini. Mama di rumah sakit khawatir, Di. Jangan buat Mama sakit hati cuma pegang tangan saja gak boleh,” protesnya tidak terima. Abdi memaklumi yang dirasakan maman
Almira tahu itu pilihan sulit tapi harus dijalani karena tidak ingin jauh dari suaminya, di rumah sakit saja nyonya Subagiyo terang-terangan memperlihatkan perjodohan Abdi dengan gadis cantik itu.Ya, Almira bisa melihat gadis bernama Vivi itu berusaha mendekati Abdi walaupun ada Almira. Apalagi nanti Almira tidak ada di sisi Abdi, semua pikiran buruk mendadak hinggap di kepalanya hingga Ia berani memutuskan tetap tinggal di kediaman nyonya Subagyo dalam waktu entah sampai kapan. Sambil mengulas senyum seolah-olah Almira kuat menjalani kehidupannya, “Iya Mas, Almira mau bantu Mas Abdi pulih dari ingatannya pelan-pelan.” Lagi-lagi Rega dan Haris sekilas saling pandang sebelum mengutarakan pertanyaan lagi. Sebagai sahabat Abdi kedua pemuda ini begitu salut dan bersyukur temannya memiliki istri seperti Almira. “Tapi Mir, maksud ku apa kamu tidak keberatan jika nanti tante Subagiyo semena-mena dengan mu?” Rega masih memikirkan nasib Almira ke depannya setelah melihat kejadian di rum
Haris dan Rega tak bisa berbuat banyak membantu istri sahabatnya itu, bagaimana tidak dari sekian manusia di dekat Abdi hanya Almira sendiri yang dilupakan. Padahal jelas-jelas semua orang tahu Abdi sangat mencintai gadis itu. “Hari ini Tuan Abdi bisa dibawa pulang,” ucap Dokter yang selama ini merawat Abdi di rumah sakit. Tentu nyonya Subagiyo adalah orang yang paling bahagia akhirnya bisa pulang ke rumah bersama putranya dengan wajah berbinar wanita itu menggenggam tangan Abdi erat. “Dengar sayang, hari ini akhirnya kamu bisa pulang,” ujar nyonya Subagiyo antusias. Dengan mengangguk pelan Abdi tersenyum, “Iya Ma. Abdi juga tidak betah di rumah sakit.” Kini pandangannya diarahkan ke dua sahabatnya yang kebetulan ikut menjemput. “Habis dari sini, ajak gue keluar ya. Sumpah, gue butuh suasana baru.” Abdi memasang wajah malas.Rega dan Haris pun menyahuti dengan anggukkan, Abdi memang butuh suasana lain setelah mendekam cukup lama di rumah sakit. “Tentu, Sob!” Haris berkata yakin.
“Dokter bisa jelaskan ke saya apa yang terjadi pada putra saya?” nyonya Subagiyo sudah menatap ke arah dokter dengan tatapan penuh tanda tanya.Mimiknya terkesan tidak sebaran karena ini menyangkut kesehatan Abdi, kenapa juga anaknya tidak mengenali Almira yang dia tahu sangat dicintai oleh Abdi. Setelah berpikir keras akhirnya dokter menyimpulkan sesuatu yang membuat nyonya Subagiyo sedikit kaget. “Sebenarnya saya belum bisa memastikan, hanya kasus seperti ini pernah terjadi walaupun tidak banyak,” ujar si dokter tampak frustrasi. Karena diagnosa sebelumnya jauh dari perkiraan hari ini, beberapa kali si dokter tampak mengusap dagu karena ikutan bingung. “Maksud, dokter?” nyonya Subagiyo memberi tekanan, “Katakan apakah ini bahaya?” Dengan menggeleng cepat dokter menjawab pertanyaan nyonya Subagiyo, “Saya belum bisa menyimpulkan jika belum ada pemeriksaan lanjutan, Nyonya. Tapi....” “Tapi apa?! Katakan?!” Setelah dirasa yakin barulah dokter mengatakan, “Trauma yang dialami Tuan
Sudah dua hari Abdi dirawat di Rumah Sakit, hanya ada beberapa kemajuan mengenai kondisinya pasca operasi kepala. Dokter pun hanya meminta keluarga supaya sabar dan berdoa, meskipun operasinya berjalan lancar tetap saja keputusan ada di tangan Tuhan. Pagi ini rumah sakit tempat Abdi di rawat mendadak heboh, lelaki itu yang sudah tertidur selama dua hari akhirnya membuka matannya. Rasa bahagia tentu terlihat sekali di raut Almira dan nyonya Subagiyo, di mana mereka sudah menunggu selama dua hari ini. “Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya nyonya Subagiyo tidak sabaran. “Iya, Dok. Bagaimana suami saya?” kini berganti Almira yang bertanya. Saat nyonya Subagiyo mendengar kalimat suami mendadak wajahnya berubah masam, lirikan tajam sempat dilayangkan ke arah sang mantu. “Alhamdulillah, Tuan Abdi sekarang sudah siuman. Hanya....” kalimat menggantung dari sang dokter membuat nyonya Subagiyo dan Almira mulai khawatir. Ditambah raut wajah dokter itu pun berubah sendu. “Kenapa dengan anak say
Almira tak percaya jika teriakan Abdi tadi adalah teriakan terakhir lelaki itu sebelum terkapar bersimbah darah di jalan. Dengan sekuat tenaga Almira bangkit setelah didorong paksa tadi, hingga sempoyongan menuju tubuh suaminya yang kini terbaring lemah. Darah ke mana-mana sampai Almira tercekat antara syok dan bingung. “Tolongggg!” teriaknya sekuat tenaga. *** “Mana, Abdi. Mana?” nyonya Subagiyo berlari cemas ke lorong rumah sakit. Ia baru saja diberi kabar kalau putranya mengalami kecelakaan tabrak lari. Sekarang matanya tertuju pada menantunya yang tertunduk lesu di bangku tunggu rumah sakit, tanpa basa-basi nyonya Subagiyo segera menghampiri wanita itu. “Mana Abdi?! Kau apakan dia, hah!” sentak nyonya Subagiyo penuh amarah. Almira hanya bisa mengangkat wajahnya lalu menatap nanar nyonya Subagiyo. Bibirnya mendadak terkatup dan terkunci rapat, mau mengeluarkan satu kalimat rasanya susah dan berat sekali. Hanya air mata yang mampu Almira tunjukkan pada mertuanya ini sekarang.
Seminggu sudah Almira tinggal bersama dengan nyonya Subagiyo, meskipun tinggal satu atap tetap saja nyonya Subagiyo seperti memberi tembok pembatas dengan menantunya itu. Tidak ada percakapan ataupun momen duduk bersama, sengaja nyonya Subagiyo melakukannya karena belum menerima Almira sebagai menantu. “Mama mau makan apa?” tanya Almira memberanikan diri, bagaimanapun rasanya aneh kalau satu rumah tanpa berkomunikasi. Mereka berdua memiliki ikatan mertua dan menantu, sayangnya hanya pihak Almira yang merasakannya. Nyonya Subagiyo yang mau pergi mendadak menghentikan langkahnya setelah dipanggil sang menantu. Dengan berdiri tegak wanita ini memandangi Almira dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya benar-benar terpancar kebencian. Mereka masih saling menatap satu sama lain, hingga suara nyonya Subagiyo akhirnya keluar. “Apa? Makan? Hah!” decaknya sinis seperti menghina, “Heh, asal kamu tahu, saya menampung kamu di sini karena anak saya. Kalau tidak, sudah saya usir, paham.” M