Sudah dua hari Abdi dirawat di Rumah Sakit, hanya ada beberapa kemajuan mengenai kondisinya pasca operasi kepala. Dokter pun hanya meminta keluarga supaya sabar dan berdoa, meskipun operasinya berjalan lancar tetap saja keputusan ada di tangan Tuhan.
Pagi ini rumah sakit tempat Abdi di rawat mendadak heboh, lelaki itu yang sudah tertidur selama dua hari akhirnya membuka matannya. Rasa bahagia tentu terlihat sekali di raut Almira dan nyonya Subagiyo, di mana mereka sudah menunggu selama dua hari ini.“Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya nyonya Subagiyo tidak sabaran.“Iya, Dok. Bagaimana suami saya?” kini berganti Almira yang bertanya.Saat nyonya Subagiyo mendengar kalimat suami mendadak wajahnya berubah masam, lirikan tajam sempat dilayangkan ke arah sang mantu.“Alhamdulillah, Tuan Abdi sekarang sudah siuman. Hanya....” kalimat menggantung dari sang dokter membuat nyonya Subagiyo dan Almira mulai khawatir. Ditambah raut wajah dokter itu pun berubah sendu.“Kenapa dengan anak saya, Dok?!” nyonya Subagiyo bertanya dengan nada tajam. “Apa yang terjadi?”Sementara di tempatnya Almira masih dengan tatapan nanarnya, bingung dan takut meskipun rasa cemasnya juga sama besarnya dengan nyonya Subagiyo.Si dokter tadi menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, “Begini Nyonya dan Nona, saya harus menyampaikan kemungkinan buruk yang mungkin dialami Tuan Abdi. Mengingat selama dua hari ini beliau tidak sadarkan diri.”Almira tak terasa menggigit bibir bawahnya, pikirannya mendadak kacau balau dan linglung.“Maksud, Dokter?” tanya nyonya Subagiyo sudah tidak sebaran sejak tadi.“Hmm, besar kemungkinan ingatan Tuan Abdi menghilang. Saya juga tidak bisa memastikan berapa persen kehilangan memorinya, kita berdoa saja yang terbaik,” ujar si dokter lalu pergi karena harus ke pasien lain.Nyonya Subagiyo mulai lunglai setelah mendengar kesimpulan dokter, yang ditakutkan sebagai ibu adalah putranya tidak mengenali dirinya. Tanpa pikir panjang nyonya Subagiyo berlari ke ruang rawat putranya yang disusul Almira.Abdi berbaring lemas di atas kasur bangsal rumah sakit dengan selang infus di lengan, ada perban yang membalut di kepala.Almira yang biasanya bisa menatap dari luar kamar akhirnya bisa melihat Abdi dari dekat, raut wajah gadis itu terlihat sendu dan sedih. Bagaimana tidak orang yang paling dicintainya harus terbaring lemah hanya karena menyelamatkannya.Setelah cukup berdiri lama barulah Almira memberanikan diri untuk mendekat, tapi tangan nyonya Subagiyo langsung direntangkan tidak memberi kesempatan Almira ke sana.“Mama,” ujar Almira lirih masih belum percaya jika mertuanya sendiri melakukan ini.Memang sebelumnya Almira memaklumi kalau mertuanya butuh waktu untuk menerimanya, tetapi pagi ini perlakukannya sudah di luar batas. Bagaimana bisa Almira dijauhkan oleh suaminya sendiri, dengan pandangan nanar dan sedih Almira masih berdiri di tempat.“Ingat tempat mu dan batasanmu, semua karena ulahmu paham.” Nyonya Subagiyo akhirnya berjalan maju mendekati kasur Abdi dan membiarkan Almira tetap di tempatnya.Setelah dekat di tempat pembaringan Abdi, tangan kanan nyonya Subagiyo terulur satu untuk mengelusnya. Hati ibu mana yang tidak sakit ketika sang putra paling dicintainya harus koma selama dua hari, itu pun kalau nanti Abdi bisa mengenali mamanya kalau tidak.“Abdi....” panggil Nyonya Subagiyo lirih terdengar serak, saking sedihnya.Wanita lima puluhan ini mencoba mengusap beberapa kali air matanya karena tidak bisa dibendung lagi, hingga tak menyadari kelopak mata Abdi perlahan terbuka.“Ma-ma,” panggilnya serak dan lirih.Nyonya Subagiyo yang mendengar langsung mendekat dan menatap lelaki itu dengan lekat, diusap lembut kedua pipi sang putra.“Sayang, kamu sudah sadar sekarang.” Tak bisa dirangkai kata-kata betapa bahagianya wanita ini sampai melupakan ada menantunya di belakang, “Kamu ingat mama, kan? Ini mama sayang,” cecar nyonya Subagiyo meyakinkan kalau Abdi benar-benar mengingatnya.Masih berbaring Abdi menatap mamanya lalu mengedip pelan satu kali, tanda bahwa dirinya benar-benar mengingat wajah wanita yang melahirkannya itu.“Syukurlah sayang, Mama khawatir kalau kamu tidak bisa mengenali Mama.”Almira yang antusias dengan kesadaran Abdi awalnya ingin mendekat ke kasur suaminya, tetapi sengaja ditahan karena masih ada mertuanya yang belum melepaskan tautan di tubuh Abdi. Dan Almira memaklumi itu.Walaupun di hatinya Almira merasakan kebahagiaan yang luar biasa, akhirnya penantiannya selama dua hari ini terbayar dengan kesembuhan Abdi.Nyonya Subagiyo segera menekan tombol di dinding untuk memanggil pihak rumah sakit kalau putranya sudah siuman.“Sabar ya sayang, dokter segera ke sini.” Nyonya Subagiyo masih mengusap-usap lembut pipi putranya.Hingga tak lama segerombolan dokter pun berdatangan ke ruangan Abdi, satu dokter utama mulai memeriksa semua tanda vitalnya.“Bagaimana, dok?” tanya nyonya Subagiyo yang masih was-was setelah dokter memeriksa.Si dokter tampak tersenyum ke arahnya, “Syukurlah, Bu. Tuan Abdi tidak mengalami hal yang serius.”“Ya Allah, terima kasih,” jawab nyonya Subagiyo penuh haru.Dokter tadi melirik ke arah Almira berada, tentu dokter ini tahu siapa Almira. Karena hampir di rumah sakit Almira menghabiskan hidupnya untuk menunggu Abdi siuman.“Nona Almira, silakan menemui suami Anda. Bukankah momen ini yang Anda tunggu,” ucap Dokter juga ikut bahagia melihat keluarga pasien memiliki harapan lagi.Almira terperanjat kaget saat mendapat instruksi dari dokter tadi, wajahnya mendadak mengetat lalu menatap sang mertua. Karena alasan kenapa Almira masih berdiri di tempatnya karena mama Abdi melarangnya, Almira tidak mau menjadi menantu durhaka setelah merebut putranya darinya.Sekilas melirik ke mama mertua yang masih menatap Abdi, seperti tidak peduli dengan ucapan dokter tadi pada Almira.“Silakan.” Si dokter memberi jalan pada Almira agar bisa mendekati Abdi yang masih terbaring lemah meskipun matanya terbuka.Dari tempatnya masih membelakangi Almira, nyonya Subagiyo tidak mau menggeser sedikit pun badannya. Tubuhnya yang berisi itu sengaja menutup acces ke arah Abdi.Mau gak mau Almira akhirnya memberanikan diri melangkah mendekati kasur suaminya, kapan lagi memiliki kesempatan seperti ini. Mengingat nyonya Subagiyo yang keras kepala menentang hubungannya, Almira yakin perempuan itu tidak akan berani melarangnya di depan sang dokter. Karena mama Abdi lebih memilih memendam amarah ketimbang mencoreng nama besar keluarganya. Jangan sampai orang lain tahu kalau dirinya memusuhi menantunya. Setelah menarik napas panjang barulah Almira berjalan perlahan ke arah bangsal Abdi, hingga suara yang sejak tadi dibungkam akhirnya keluar juga.“Mas Abdi,” panggil Almira sepenuh hati, walaupun suaranya terdengar bergetar.Karena Almira tidak bisa menguraikan dengan kalimat apa pun, selain ingin memeluk tubuh lemah yang berbaring itu. Andai batasan yang diberikan oleh nyonya Subagiyo tidak ada mungkin tubuh Almira sudah berhambur ke tubuh Abdi.Masih dengan tatapan lurus ke depan ditambah rahangnya yang sejak tadi mengeras, nyonya Subagiyo enggan melirik ke arah Almira. Gadis ini dibiarkan begitu saja karena masih ada dokter.Abdi yang merasa terpanggil mengalihkan pandangan dari mamanya ke Almira, tatapan mereka bertemu tetapi ada yang lain dari tatapan Abdi.Almira juga merasakan hal itu hingga panggilan kedua dilayangkan lagi, “Mas Abdi.”Mata nyonya Sibagiyo ikutan menatap sang putra karena penasaran dengan sikap dinginnya pada istrinya. Entah, pikiran nyonya Subagiyo mendadak lain.Almira ditatap sedemikian rupa hanya tersenyum getir, kenapa wajah suaminya tidak seantusias biasanya.“Kamu siapa?” tanya Abdi lirih sekilas bergantian menatap sang mama, seolah meminta penjelasan padanya siapa gadis yang memanggilnya ini.Nyonya Subagiyo langsung menatap ke arah Almira berada dengan tatapan melotot hampir keluar dari cangkang.“Dokter bisa jelaskan ke saya apa yang terjadi pada putra saya?” nyonya Subagiyo sudah menatap ke arah dokter dengan tatapan penuh tanda tanya.Mimiknya terkesan tidak sebaran karena ini menyangkut kesehatan Abdi, kenapa juga anaknya tidak mengenali Almira yang dia tahu sangat dicintai oleh Abdi. Setelah berpikir keras akhirnya dokter menyimpulkan sesuatu yang membuat nyonya Subagiyo sedikit kaget. “Sebenarnya saya belum bisa memastikan, hanya kasus seperti ini pernah terjadi walaupun tidak banyak,” ujar si dokter tampak frustrasi. Karena diagnosa sebelumnya jauh dari perkiraan hari ini, beberapa kali si dokter tampak mengusap dagu karena ikutan bingung. “Maksud, dokter?” nyonya Subagiyo memberi tekanan, “Katakan apakah ini bahaya?” Dengan menggeleng cepat dokter menjawab pertanyaan nyonya Subagiyo, “Saya belum bisa menyimpulkan jika belum ada pemeriksaan lanjutan, Nyonya. Tapi....” “Tapi apa?! Katakan?!” Setelah dirasa yakin barulah dokter mengatakan, “Trauma yang dialami Tuan
Haris dan Rega tak bisa berbuat banyak membantu istri sahabatnya itu, bagaimana tidak dari sekian manusia di dekat Abdi hanya Almira sendiri yang dilupakan. Padahal jelas-jelas semua orang tahu Abdi sangat mencintai gadis itu. “Hari ini Tuan Abdi bisa dibawa pulang,” ucap Dokter yang selama ini merawat Abdi di rumah sakit. Tentu nyonya Subagiyo adalah orang yang paling bahagia akhirnya bisa pulang ke rumah bersama putranya dengan wajah berbinar wanita itu menggenggam tangan Abdi erat. “Dengar sayang, hari ini akhirnya kamu bisa pulang,” ujar nyonya Subagiyo antusias. Dengan mengangguk pelan Abdi tersenyum, “Iya Ma. Abdi juga tidak betah di rumah sakit.” Kini pandangannya diarahkan ke dua sahabatnya yang kebetulan ikut menjemput. “Habis dari sini, ajak gue keluar ya. Sumpah, gue butuh suasana baru.” Abdi memasang wajah malas.Rega dan Haris pun menyahuti dengan anggukkan, Abdi memang butuh suasana lain setelah mendekam cukup lama di rumah sakit. “Tentu, Sob!” Haris berkata yakin.
Almira tahu itu pilihan sulit tapi harus dijalani karena tidak ingin jauh dari suaminya, di rumah sakit saja nyonya Subagiyo terang-terangan memperlihatkan perjodohan Abdi dengan gadis cantik itu.Ya, Almira bisa melihat gadis bernama Vivi itu berusaha mendekati Abdi walaupun ada Almira. Apalagi nanti Almira tidak ada di sisi Abdi, semua pikiran buruk mendadak hinggap di kepalanya hingga Ia berani memutuskan tetap tinggal di kediaman nyonya Subagyo dalam waktu entah sampai kapan. Sambil mengulas senyum seolah-olah Almira kuat menjalani kehidupannya, “Iya Mas, Almira mau bantu Mas Abdi pulih dari ingatannya pelan-pelan.” Lagi-lagi Rega dan Haris sekilas saling pandang sebelum mengutarakan pertanyaan lagi. Sebagai sahabat Abdi kedua pemuda ini begitu salut dan bersyukur temannya memiliki istri seperti Almira. “Tapi Mir, maksud ku apa kamu tidak keberatan jika nanti tante Subagiyo semena-mena dengan mu?” Rega masih memikirkan nasib Almira ke depannya setelah melihat kejadian di rum
Beberapa mobil mewah itu akhirnya masuk ke dalam halaman rumah Abdi yang super luas, saking luasnya bisa dibuat bangunan satu lagi. Saat semua penumpang mobil alphard turun beberapa pelayan sudah berdiri menyambutnya, akan tetapi langsung ditahan oleh nyonya Subagiyo menggunakan tangan.“Kalian siapkan kamar tuan Abdi saja, selebihnya siapkan makan siang sekaligus makan malam.” “Baik, nyonya.” Beberapa dari mereka meninggalkan tempat disusul yang lain hanya tinggal satu orang pelayan saja. “Ngapain kamu tetap di sini?” tanya nyonya Subagiyo heran. “Ini, Nya. Mau bawa tas milik Tuan Abdi.” “Gak usah, ada yang bawa, kok,” ujarnya hendak menuntun Abdi ke dalam.“Sudah, Ma. Abdi sudah sehat jangan dituntun kaya orang pesakitan gini.” Abdi mencoba melepas cekalan mamanya yang melingkar di pergelangan tangannya. “Ih, kamu ini. Mama di rumah sakit khawatir, Di. Jangan buat Mama sakit hati cuma pegang tangan saja gak boleh,” protesnya tidak terima. Abdi memaklumi yang dirasakan maman
Kediaman Tejo Joyo. Seorang lelaki sudah berumur tengah menikmati cerutunya yang tinggal separuh. Matanya tertuju pada pemandangan kota yang bisa dilihat dari tempat balkon rumahnya yang tak kalah megah. “Permisi, Tuan.” Si lelaki berbaju setelan jas mendekat dari arah belakang. “Ada apa?” tanyanya masih dengan ekspresi sama, datar. Sekaligus masih mempermainkan cerutunya dengan tangan. “Ini soal kasus nona Vivi.” Mendadak si kakek tadi menghentikan aktivitasnya sejenak, cerutu yang siap masuk ke dalam mulut sengaja ditahan karena membahas cucu kesayangannya jauh lebih penting ketimbang menghabiskan cerutunya yang sangat mahal itu. “Apa lagi? Bukankah sudah beres semuanya?” tanyanya serius, ekspresi datar yang ditampilkan mendadak hilang. Lelaki dengan setelan jas itu membungkuk lalu berkata, “Sepertinya ada media yang akan memberitakan soal insiden itu, Tuan.” Rahang Tuan Joyo terlihat mengeras sorotan matanya tampak tajam, “Bukankah semua sudah dibereskan? Kenapa ini bisa te
Kediaman Subagiyo. Wajah mereka bertiga di kamar Abdi mulai fokus pada pintu, mereka pun penasaran siapa manusia di baliknya yang sudah melakukan kecerobohan memecahkan bahan kaca. Akhirnya nyonya Subagiyo turun tangan melangkah maju mendekati pintu dan membukannya. “Kamu nguping?” tanyanya dengan wajah geram pada Almira yang duduk sembari membereskan pecahan gelas. Sekilas mengangkat wajahnya, “Maaf, Ma-,” “Hust!” sengaja pintu ditutup dari luar rapat-rapat supaya orang yang ada di dalam kamar tidak mendengar, “Sudah saya tekankan jangan panggil mama di rumah, ingat syarat kamu masih tinggal di sini.” Masih duduk sambil memunguti pecahan, Almira tidak bisa menjawab. Hatinya benar-benar sakit diperlakukan seperti ini. Tak lama pintu yang ditutup nyonya Subagiyo dibuka dari dalam. Vivi, ikut nimbrung. Melihat Almira bola mata Vivi memutar kesal, “Kamu lagi, kamu lagi. Kenapa gak diusir saja sih, Tan.” Sambil berkacak pinggang seolah menjadi penguasa di rumah ini. Setelah beres
Almira masih berdiri mematung setelah tiba di depan pintu rumah mertuanya yang tidak mengakuinya sebagai menantu. Mereka berdua terpaksa ke rumah ini karena permintaan si pemilik rumah, walaupun Almira dan suaminya tidak mengetahui alasan yang sebenarnya.“Kenapa sayang? ayuk masuk, mama sudah menunggu,” ajak Abdi yang masih memegangi jemari istrinya. Sebenarnya Almira tidak yakin niat baik mertuanya malam ini kepada mereka, bayangan masa lalu masih terekam jelas di benak saat mama mertuanya menghina dan mengusir. Tidak sampai di sana perempuan itu juga menyalahkan Almira akan tindakan putranya meninggalkan rumah. Entahlah, semua masalah sepertinya dibebankan kepada Almira. Wajah Almira terlihat cemas, “Tapi Mas.” Tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Ia tidak yakin mengikuti suaminya ke sini adalah pilihan terbaik. Ia mendadak ragu. Abdi yang mengetahui kegelisahan istrinya langsung menguatkan, ditarik tangan perempuan itu ke dadanya yang bidang. “Percayalah sama Mas, sayang.
Seminggu sudah Almira tinggal bersama dengan nyonya Subagiyo, meskipun tinggal satu atap tetap saja nyonya Subagiyo seperti memberi tembok pembatas dengan menantunya itu. Tidak ada percakapan ataupun momen duduk bersama, sengaja nyonya Subagiyo melakukannya karena belum menerima Almira sebagai menantu. “Mama mau makan apa?” tanya Almira memberanikan diri, bagaimanapun rasanya aneh kalau satu rumah tanpa berkomunikasi. Mereka berdua memiliki ikatan mertua dan menantu, sayangnya hanya pihak Almira yang merasakannya. Nyonya Subagiyo yang mau pergi mendadak menghentikan langkahnya setelah dipanggil sang menantu. Dengan berdiri tegak wanita ini memandangi Almira dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya benar-benar terpancar kebencian. Mereka masih saling menatap satu sama lain, hingga suara nyonya Subagiyo akhirnya keluar. “Apa? Makan? Hah!” decaknya sinis seperti menghina, “Heh, asal kamu tahu, saya menampung kamu di sini karena anak saya. Kalau tidak, sudah saya usir, paham.” M
Kediaman Subagiyo. Wajah mereka bertiga di kamar Abdi mulai fokus pada pintu, mereka pun penasaran siapa manusia di baliknya yang sudah melakukan kecerobohan memecahkan bahan kaca. Akhirnya nyonya Subagiyo turun tangan melangkah maju mendekati pintu dan membukannya. “Kamu nguping?” tanyanya dengan wajah geram pada Almira yang duduk sembari membereskan pecahan gelas. Sekilas mengangkat wajahnya, “Maaf, Ma-,” “Hust!” sengaja pintu ditutup dari luar rapat-rapat supaya orang yang ada di dalam kamar tidak mendengar, “Sudah saya tekankan jangan panggil mama di rumah, ingat syarat kamu masih tinggal di sini.” Masih duduk sambil memunguti pecahan, Almira tidak bisa menjawab. Hatinya benar-benar sakit diperlakukan seperti ini. Tak lama pintu yang ditutup nyonya Subagiyo dibuka dari dalam. Vivi, ikut nimbrung. Melihat Almira bola mata Vivi memutar kesal, “Kamu lagi, kamu lagi. Kenapa gak diusir saja sih, Tan.” Sambil berkacak pinggang seolah menjadi penguasa di rumah ini. Setelah beres
Kediaman Tejo Joyo. Seorang lelaki sudah berumur tengah menikmati cerutunya yang tinggal separuh. Matanya tertuju pada pemandangan kota yang bisa dilihat dari tempat balkon rumahnya yang tak kalah megah. “Permisi, Tuan.” Si lelaki berbaju setelan jas mendekat dari arah belakang. “Ada apa?” tanyanya masih dengan ekspresi sama, datar. Sekaligus masih mempermainkan cerutunya dengan tangan. “Ini soal kasus nona Vivi.” Mendadak si kakek tadi menghentikan aktivitasnya sejenak, cerutu yang siap masuk ke dalam mulut sengaja ditahan karena membahas cucu kesayangannya jauh lebih penting ketimbang menghabiskan cerutunya yang sangat mahal itu. “Apa lagi? Bukankah sudah beres semuanya?” tanyanya serius, ekspresi datar yang ditampilkan mendadak hilang. Lelaki dengan setelan jas itu membungkuk lalu berkata, “Sepertinya ada media yang akan memberitakan soal insiden itu, Tuan.” Rahang Tuan Joyo terlihat mengeras sorotan matanya tampak tajam, “Bukankah semua sudah dibereskan? Kenapa ini bisa te
Beberapa mobil mewah itu akhirnya masuk ke dalam halaman rumah Abdi yang super luas, saking luasnya bisa dibuat bangunan satu lagi. Saat semua penumpang mobil alphard turun beberapa pelayan sudah berdiri menyambutnya, akan tetapi langsung ditahan oleh nyonya Subagiyo menggunakan tangan.“Kalian siapkan kamar tuan Abdi saja, selebihnya siapkan makan siang sekaligus makan malam.” “Baik, nyonya.” Beberapa dari mereka meninggalkan tempat disusul yang lain hanya tinggal satu orang pelayan saja. “Ngapain kamu tetap di sini?” tanya nyonya Subagiyo heran. “Ini, Nya. Mau bawa tas milik Tuan Abdi.” “Gak usah, ada yang bawa, kok,” ujarnya hendak menuntun Abdi ke dalam.“Sudah, Ma. Abdi sudah sehat jangan dituntun kaya orang pesakitan gini.” Abdi mencoba melepas cekalan mamanya yang melingkar di pergelangan tangannya. “Ih, kamu ini. Mama di rumah sakit khawatir, Di. Jangan buat Mama sakit hati cuma pegang tangan saja gak boleh,” protesnya tidak terima. Abdi memaklumi yang dirasakan maman
Almira tahu itu pilihan sulit tapi harus dijalani karena tidak ingin jauh dari suaminya, di rumah sakit saja nyonya Subagiyo terang-terangan memperlihatkan perjodohan Abdi dengan gadis cantik itu.Ya, Almira bisa melihat gadis bernama Vivi itu berusaha mendekati Abdi walaupun ada Almira. Apalagi nanti Almira tidak ada di sisi Abdi, semua pikiran buruk mendadak hinggap di kepalanya hingga Ia berani memutuskan tetap tinggal di kediaman nyonya Subagyo dalam waktu entah sampai kapan. Sambil mengulas senyum seolah-olah Almira kuat menjalani kehidupannya, “Iya Mas, Almira mau bantu Mas Abdi pulih dari ingatannya pelan-pelan.” Lagi-lagi Rega dan Haris sekilas saling pandang sebelum mengutarakan pertanyaan lagi. Sebagai sahabat Abdi kedua pemuda ini begitu salut dan bersyukur temannya memiliki istri seperti Almira. “Tapi Mir, maksud ku apa kamu tidak keberatan jika nanti tante Subagiyo semena-mena dengan mu?” Rega masih memikirkan nasib Almira ke depannya setelah melihat kejadian di rum
Haris dan Rega tak bisa berbuat banyak membantu istri sahabatnya itu, bagaimana tidak dari sekian manusia di dekat Abdi hanya Almira sendiri yang dilupakan. Padahal jelas-jelas semua orang tahu Abdi sangat mencintai gadis itu. “Hari ini Tuan Abdi bisa dibawa pulang,” ucap Dokter yang selama ini merawat Abdi di rumah sakit. Tentu nyonya Subagiyo adalah orang yang paling bahagia akhirnya bisa pulang ke rumah bersama putranya dengan wajah berbinar wanita itu menggenggam tangan Abdi erat. “Dengar sayang, hari ini akhirnya kamu bisa pulang,” ujar nyonya Subagiyo antusias. Dengan mengangguk pelan Abdi tersenyum, “Iya Ma. Abdi juga tidak betah di rumah sakit.” Kini pandangannya diarahkan ke dua sahabatnya yang kebetulan ikut menjemput. “Habis dari sini, ajak gue keluar ya. Sumpah, gue butuh suasana baru.” Abdi memasang wajah malas.Rega dan Haris pun menyahuti dengan anggukkan, Abdi memang butuh suasana lain setelah mendekam cukup lama di rumah sakit. “Tentu, Sob!” Haris berkata yakin.
“Dokter bisa jelaskan ke saya apa yang terjadi pada putra saya?” nyonya Subagiyo sudah menatap ke arah dokter dengan tatapan penuh tanda tanya.Mimiknya terkesan tidak sebaran karena ini menyangkut kesehatan Abdi, kenapa juga anaknya tidak mengenali Almira yang dia tahu sangat dicintai oleh Abdi. Setelah berpikir keras akhirnya dokter menyimpulkan sesuatu yang membuat nyonya Subagiyo sedikit kaget. “Sebenarnya saya belum bisa memastikan, hanya kasus seperti ini pernah terjadi walaupun tidak banyak,” ujar si dokter tampak frustrasi. Karena diagnosa sebelumnya jauh dari perkiraan hari ini, beberapa kali si dokter tampak mengusap dagu karena ikutan bingung. “Maksud, dokter?” nyonya Subagiyo memberi tekanan, “Katakan apakah ini bahaya?” Dengan menggeleng cepat dokter menjawab pertanyaan nyonya Subagiyo, “Saya belum bisa menyimpulkan jika belum ada pemeriksaan lanjutan, Nyonya. Tapi....” “Tapi apa?! Katakan?!” Setelah dirasa yakin barulah dokter mengatakan, “Trauma yang dialami Tuan
Sudah dua hari Abdi dirawat di Rumah Sakit, hanya ada beberapa kemajuan mengenai kondisinya pasca operasi kepala. Dokter pun hanya meminta keluarga supaya sabar dan berdoa, meskipun operasinya berjalan lancar tetap saja keputusan ada di tangan Tuhan. Pagi ini rumah sakit tempat Abdi di rawat mendadak heboh, lelaki itu yang sudah tertidur selama dua hari akhirnya membuka matannya. Rasa bahagia tentu terlihat sekali di raut Almira dan nyonya Subagiyo, di mana mereka sudah menunggu selama dua hari ini. “Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya nyonya Subagiyo tidak sabaran. “Iya, Dok. Bagaimana suami saya?” kini berganti Almira yang bertanya. Saat nyonya Subagiyo mendengar kalimat suami mendadak wajahnya berubah masam, lirikan tajam sempat dilayangkan ke arah sang mantu. “Alhamdulillah, Tuan Abdi sekarang sudah siuman. Hanya....” kalimat menggantung dari sang dokter membuat nyonya Subagiyo dan Almira mulai khawatir. Ditambah raut wajah dokter itu pun berubah sendu. “Kenapa dengan anak say
Almira tak percaya jika teriakan Abdi tadi adalah teriakan terakhir lelaki itu sebelum terkapar bersimbah darah di jalan. Dengan sekuat tenaga Almira bangkit setelah didorong paksa tadi, hingga sempoyongan menuju tubuh suaminya yang kini terbaring lemah. Darah ke mana-mana sampai Almira tercekat antara syok dan bingung. “Tolongggg!” teriaknya sekuat tenaga. *** “Mana, Abdi. Mana?” nyonya Subagiyo berlari cemas ke lorong rumah sakit. Ia baru saja diberi kabar kalau putranya mengalami kecelakaan tabrak lari. Sekarang matanya tertuju pada menantunya yang tertunduk lesu di bangku tunggu rumah sakit, tanpa basa-basi nyonya Subagiyo segera menghampiri wanita itu. “Mana Abdi?! Kau apakan dia, hah!” sentak nyonya Subagiyo penuh amarah. Almira hanya bisa mengangkat wajahnya lalu menatap nanar nyonya Subagiyo. Bibirnya mendadak terkatup dan terkunci rapat, mau mengeluarkan satu kalimat rasanya susah dan berat sekali. Hanya air mata yang mampu Almira tunjukkan pada mertuanya ini sekarang.
Seminggu sudah Almira tinggal bersama dengan nyonya Subagiyo, meskipun tinggal satu atap tetap saja nyonya Subagiyo seperti memberi tembok pembatas dengan menantunya itu. Tidak ada percakapan ataupun momen duduk bersama, sengaja nyonya Subagiyo melakukannya karena belum menerima Almira sebagai menantu. “Mama mau makan apa?” tanya Almira memberanikan diri, bagaimanapun rasanya aneh kalau satu rumah tanpa berkomunikasi. Mereka berdua memiliki ikatan mertua dan menantu, sayangnya hanya pihak Almira yang merasakannya. Nyonya Subagiyo yang mau pergi mendadak menghentikan langkahnya setelah dipanggil sang menantu. Dengan berdiri tegak wanita ini memandangi Almira dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya benar-benar terpancar kebencian. Mereka masih saling menatap satu sama lain, hingga suara nyonya Subagiyo akhirnya keluar. “Apa? Makan? Hah!” decaknya sinis seperti menghina, “Heh, asal kamu tahu, saya menampung kamu di sini karena anak saya. Kalau tidak, sudah saya usir, paham.” M