Isha memikirkan apa yang membuat Danish mengusirnya. Seingatnya kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak ada yang salah. Jadi tidak ada alasan untuk mengusirnya.“Aku bukan mau mengusirmu.” Danish menatap malas pada Isha. Istrinya begitu berdrama sekali. Padahal bukan itu niatnya.“Lalu kenapa Pak Danish meminta saya untuk mengemasi pakaian?” Isha masih belum paham dengan Danish menyuruhnya itu. Di pikirannya jika mengemasi pakaian itu adalah diusir.Danish mengembuskan napasnya kasar. Berusaha untuk menenangkan diri. “Kamu dengar bukan tadi jika aku bilang kita akan menginap di hotel. Jadi aku menyuruhmu untuk mengemasi pakaian, karena kita mau menginap di hotel.” Dia mengingatkan Isha tentang ucapannya pada sang mami.Isha tampak terkejut mendengar hal itu. “Apa yang Anda ucapan benar-benar akan dikerjakan?” Isha pikir ucapan tadi hanya alasan saja. Tidak benar-benar akan dikerjakan oleh Danish. Hanya sekadar alasan yang untuk menghindari ajakan dari sang mami.“Tentu saja harus di
“Ini aku.” Mendengar hanya dijawab seperti itu membuat Isha bingung. “Aku siapa?” tanyanya. Dia melihat ponselnya kembali. Melihat nomor telepon yang berada di layarnya. Hanya nomor saja yang tertera dan saat membacanya kembali, Isha tidak tahu nomor siapa itu.“Aku suamimu.” Di seberang sana Danish tampak kesal sekali mendengar pertanyaan Isha.“Pak Danish maksudnya?” Isha memastikan kembali.“Iya, memang suamimu ada berapa sampai kamu bertanya.” Danish dengan ketus menjawab.Isha menekuk bibirnya. Danish selalu saja ketus sekali. Tak pernah berubah sama sekali meskipun di dalam sambungan telepon.“Nomor Anda baru pertama kali masuk ke ponsel saya. Jadi wajar saya tidak tahu jika ini Anda.” Isha memberikan alasannya.Danish di seberang sana merasa males sekali berdebat dengan Isha. “Sudah jangan bahas itu. Sekarang kamu di mana?” “Saya di coffee shop samping kolam renang.” Isha menjelaskan.Tanpa mendapati jawaban apa-apa, tiba-tiba sambungan telepon terputus. Isha benar-benar habi
“Tidak … tidak.”Isha mencari sumber suara itu. Ternyata suara itu berasal dari Danish. Dari apa yang dilihat, Danish masih memejamkan matanya. Artinya Danish sedang mimpi buruk. Karena itu dia mengingau. Dengan segera Isha menghampiri Danish. Mengecek apa yang terjadi.“Dara … Dara ….” Danish tampak memanggil nama seseorang. Matanya masih tetap terpejam.“Dara?” Isha menyebut nama yang dipanggil Danish. Nama itu tampak asing di telinganya. “Apa itu nama mantan istrinya?” tanya Isha pada dirinya sendiri. Sampai detik ini dia memang tidak tahu nama mendiang istri Danish.Danish tampak ketakutan. Keringatnya menetes di pelipis meskipun pendingin ruangan menyala. Isha yang melihat hal itu merasa takut sekali. Karena itu dia segera membangunkan Danish.“Pak Danish.” Isha menggoyangkan tubuh Danish. Sayangnya, Danish tidak bangun. Hingga membuatnya kembali menggoyangkan tubuh Danish lagi. “Pak Danish.” Kembali Isha memanggil Danish.Mendengar namanya dipanggil dan tubuhnya digoyangkan, Da
Seketika Isha membulatkan mata ketika mendengar jika pembayaran barang minggu lalu belum dibayarkan. Seingatnya dia sudah menitipkan pada Ina sebelum libur untuk menikah dengan Danish.“Pembayaran barang belum dibayarkan?” Isha memastikan kembali.“Iya, Bu. Belum.”Isha benar-benar bingung sekali. Karena uang untuk pembayaran itu tidak ada sekarang. Jadi tentu saja dia tidak bisa membayarnya.“Maaf, Pak. Saya tidak membawa uang tersebut jadi tolong kembali besok. Besok saya akan membayar tagihan tersebut.” Isha mencoba meminta waktu. Dia perlu bicara dengan Ina. Menanyakan ke mana uang untuk membayar supplier yang sudah diberikan.“Baiklah, kalau begitu saya akan kembali besok.”Usai supplier itu pergi, Isha segera membuka tokonya. Sampai Isha selesai membuka toko, Ina belum terlihat datang. Ina juga tidak menghubunginya untuk memberikan kabar apa pun. Entah kenapa perasaan Isha tidak enak. Dia mulai curiga pada temannya itu.“Sepertinya aku harus menghubunginya.” Isha mengambil ponse
“Tidak, Isha hanya menjenguk selama satu jam.” Dino mengingat-ingat berapa lama Isha menjenguk Abra kemarin.“Kenapa dia lama sekali?” Danish merasa kesal ketika menunggu wanita tersebut keluar dari penjara.“Sabar.” Dino hanya bisa menenangkan temannya yang tidak sabaran itu.Tepat jam tiga akhirnya wanita itu keluar. Danish dan Dino memerhatikan wanita tersebut. Saat melihat wanita tersebut, Danish mengenali wanita itu.“Bukan itu pegawai Isha?” Danish menatap Dino untuk memastikan.“Iya, dia pegawai Isha.” Dino membenarkan. “Apa dia punya hubungan khusus dengan Abra?” Dino menebak.“Sepertinya kita harus tanya Isha dulu. Aku akan tanyakan padanya apakah Isha menyuruhnya atau tidak.” Danish tidak mau gegabah untuk menyimpulkannya.“Kalau begitu kamu tanya saja.”“Kenapa aku?” Danish menatap Dino sambil menunjuk dirinya.“Karena kamu suaminya. Lagi pula, kamu yang ingin tahu siapa wanita yang diajak Abra ke ruangan khusus.” Dino menyeringai. Merasa jika temannya sendiri yang harus m
“Memangnya kenapa?” Isha yang mendapati pertanyaan itu justru balik bertanya.“Celanamu merah.” Danish memberitahu seraya menunjuk ke arah celana yang dipakai Isha.Spontan Isha langsung memutar tubuhnya untuk melihat apa yang dikatakan oleh Danish. Benar saja jika ada bercak merah di sana. Buru-buru Isha kembali ke tempat tidur. Melihat ke tempat tidur. Di tempat tidur, Isha mendapati jika ada bercak merah di sana. Bercak yang sama dengan yang berada di celannya.Sejenak Isha terdiam. Tubuhnya lemas ketika mendapati bercak darah itu. Bercak darah itu adalah darah datang bulan yang menembus ke celana dan seprei. Itu artinya dia tidak hamil. Tentu saja itu adalah pukulan berat untuk Isha, mengingat dia ingin segera hamil.“Apa kamu datang bulan?” Danish memastikan ketika melihat bercak merah di celana Isha.“Iya.” Isha langsung mengusap wajahnya kasar. Merasa sedih sekali.Danish melihat jelas wajah kecewa Isha. Tampak Isha begitu menginginkan anak yang hadir di rahimnya. Namun, sepert
“Sudah ikut saja.” Danish terus mengayunkan langkahnya. Mengabaikan Isha yang memanggilnya.Isha tidak punya pilihan selain ikut Danish. Mengekor di belakang suaminya itu. Sambil berjalan di belakang Danish, Isha melihat ke arah kanan dan kiri. Menebak ke mana Danish pergi.Tepat di samping pencucian mobil ada ruko-ruko tempat makan yang cukup banyak. Isha menebak jika Danish pasti akan mencari makanan. Langkah Danish berbelok ke toko kue yang tak jauh dari tempat pencucian mobil. Danish ingin menikmati sepotong kue sambil menunggu mobilnya selesai dicuci. Hal ini juga sering dilakukannya. “Dia ke sini.” Akhirnya Isha tahu ke mana Danish pergi. Dia pun mengikuti ke mana Danish pergi. Yaitu toko kue. Saat masuk aroma kue yang manis tercium begitu menggoda sekali. Isha yang mencium aroma itu langsung tergoda untuk segera memakan kue yang berada di dalamnya.Kue yang berjajar di etalase tampak begitu menggiurkan. Berbagai rasa dan warna tersaji di depan mata. Ingin rasanya Isha makan
“Menemui dia?” Tentu saja ‘dia’ yang dimaksud Isha adalah Abra.“Aku tidak memberikanmu izin. Kamu baru saja menemuinya dua minggu yang lalu, dan sekarang kamu mau menemuinya lagi.” Danish dengan tegas menolaknya.“Tapi, ini penting.” Isha masih tetap kekeh ingin bertemu dengan Abra. Dia ingin bertanya, kenapa Abra tega membohonginya?“Mau sepenting apa pun, aku tidak memberikan izin.” Danish tidak mau jika harus mengantarkan Isha bertemu mantan suaminya. Jadi dia harus menunggu Dino. Sayangnya, Dino sedang libur. Jadi dia tidak bisa membiarkan Isha pergi sendiri.Isha mengembuskan napasnya kasar. Kesal sekali karena tidak diizinkan oleh Danish. Padahal Isha gemas sekali ingin bertemu dengan Abra. Isha ingin mendengar penjelasan Abra ke mana uangnya selama ini. Kenapa Abra harus membohonginya?“Kalau begitu ayo pulang.” Isha yang kesal pun akhirnya meminta untuk pulang.“Habiskan dulu kuemu!”“Tidak mau.”“Aku sudah mengeluarkan uang untuk kue yang kamu pesan, dan kamu membiarkan beg
Tanpa terasa Dario sudah sebelas bulan. Dia susah mulai berdiri-diri. Berpegangan beberapa barang yang ada di sekitarnya. Pagi ini, dia bermain dengan sang mami dan papinya di taman belakang. “Minggu depan pembukaan toko. Apa yang harus aku persiapkan?” Pembangunan toko milik Isha, akhirnya selesai juga. Walaupun sedikit meleset dari perkiraan, tapi tidak banyak kendala yang terjadi. “Tidak perlu menyiapkan apa-apa. Siapkan dirimu saja. Aku sudah siapkan semua.” Danish selalu ingin yang terbaik untuk istrinya. “Terima kasih.” Isha merasa sangat beruntung sekali karena sang suami selalu mempermudah semuanya. Danish memegangi Dario yang sedang berdiri. Karena senangnya berdiri-diri, anaknya itu memang selalu meminta untuk berdiri. Saat sedang berpegangan pada sang papi, tiba-tiba Dario melepaskan tagannya yang berpegang pads sang papi. Danish dan Isha tampak terkejut ketika melihat hal itu. “Rio ....” Isha memanggil anaknya itu. Dario yang dipanggil pun segera mengayunkan langkah
“Aaaccchhh ....”Suara indah yang keluar dari mulutnya keduanya menandakan jika pelepasan sempurna didapat oleh keduanya.Tubuh Danish seketika lemas dan terjatuh di atas tubuh sang istri. Mengatur napas yang terengah-engah.Isha pun merasakan hal yang sama. Tubuhnya lelah dan butuh waktu untuk beristirahat. Mengatur napasnya yang seperti baru saja lari kiloan meter.Butuh waktu beberapa saat untuk mengembalikan tenaganya. Hingga akhirnya, membersihkan diri.****Isha dan Danish memutuskan pulang saat sore hari. Seharian mereka memanfaatkan waktu untuk mencari kenikmatan. Melepaskan hasrat yang terpendam beberapa bulan.“Aku malu sekali mau pulang.” Tiba-tiba saja Isha merasakan hal itu.“Bersikaplah tenang. Nanti mereka akan curiga jika kamu bersikap seperti itu.”Isha bersikap tenang seperti yang suaminya katakan. Dia tidak mau membuat kakak iparnya curiga.Mereka sampai di rumah. Tampak mobil Liam-suami Loveta sudah di depan rumah. Isha dan Danish berusaha untuk tenang seperti tida
Pagi-pagi Loveta sudah sampai di rumah Danish. Semalam, dia dikabari oleh adiknya itu untuk membantu menjaga Dario. “Kak Loveta.” Isha menyapa kakak iparnya itu. “Mana Iyoo?” Loveta senang sekali karena akhirnya diminta jaga keponakannya. “Baru saja tidur, Kak.” Isha segera mempersilakan kakak iparnya untuk masuk ke rumah. Menyajikan teh sambil menunggu Danish bersiap. Beberapa saat kemudian, Danish keluar dari kamarnya. Kemudian menghampiri sang istri. “Kak Lolo sudah datang, kalau begitu ayo pergi.” Danish menatap istrinya. Isha masih diam. Dia masih tidak enak sekali dengan kakak iparnya karena harus menjaga sang anak. “Sudah, kalian pergi saja. Serahkan anak kalian padaku.” Loveta berusaha untuk meyakinkan adik iparnya. Saat mendapati ucapan itu, Isha segera bersiap untuk meraih tasnya yang berada di sofa ruang keluarga. “Titip Rio yang, Kak.” Sebelum berangkat dia menitipkan lagi anaknya. “Iya.” Loveta mengangguk. Isha dan Danish segera pergi. Danish mengendarai mobiln
Levon dan Luel semakin nyaman menjalani hubungan setelah mendapatkan restu. Perjalanan masih panjang untuk hubungan mereka ke jenjang serius. Mereka lebih memilih untuk menikmati hubungan. Apalagi mereka harus fokus pada kuliah mereka.Isha semakin nyaman menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga. Anaknya semakin gembul sekali. Apalagi sang anak minum ASI.Kehadiran Dario membuat rumah menjadi ramai. Keluarga sering datang ke rumah untuk bertemu Dario. Mulai Nessia, Loveta, atau pun Mami Neta.Seperti hari ini, Loveta datang untuk berkunjung. Dia terus bermain dengan Dario.“Iyoo ... Iyooo ....” Loveta memanggil keponakannya itu.“Mi, namanya Dario, kenapa dipanggil Iyoo?” Ve melemparkan protesnya.“Susah jika dipanggil Dario. Seperti namamu saja. Singkat. Hanya ‘Ve’.” Loveta menjelaskan pada sang anak.Ve hanya bisa menggeleng heran. Ternyata itulah yang membuat sang mami memanggilnya singkat. Agar lebih mudah.Isha yang mendengar perdebatan itu hanya tersenyum saja.“Kak Loveta su
Mendapati pertanyaan sang anak, Dona terdiam sejenak. Memandang Luel.Luel yang melihat mama Levon menunggu jawaban dari wanita itu. Penasaran apa jawaban yang akan diberikan.“Iya, Mama tidak marah.” Dona langsung membenarkan apa yang diucapkan oleh Levon.Luel merasa lega sekali mendengar hal itu. Rasanya ketakutan yang dirasakannya menguap.Tok ... tok ....Suara ketukan pintu terdengar. Luel, Levon, dan Dona mengalihkan pandangan merek. Dilihatnya Isha yang mengetuk pintu.“Minumannya aku taruh di meja. Silakan diminum.” Isha melebarkan pintu untuk memberitahu di mana ditaruh minumannya.“Terima kasih, Aunty.” Levon mengangguk.“Mama akan ke sana.” Dona menepuk bahu Levon. Kemudian mengayunkan langkahnya keluar.Levon memilih untuk tetap tinggal di kamar Luel. Menemani Luel.Dona segera keluar untuk menikmati teh yang dibuat oleh Isha. Menghargai Isha yang membuatkan minuman.Melihat Dona yang keluar dan Levon yang tetap tinggal di kamar, membuat Isha memutuskan untuk menemani Don
“Makanlah dulu.” Isha memberikan semangkuk bubur pada Luel.“Terima kasih, Aunty.” Luel segera menerima mangkuk yang diberikan. Dengan perlahan dia memakan bubur yang dibuatkan oleh aunty-nya.Isha tidak tega melihat Luel yang sakit. Padahal kemarin dia sudah mengingatkan Luel untuk makan.“Apa tidak apa-apa jika tidak mengabari mami dan papimu?” Isha memastikan pada Luel.“Iya, Aunty. Tidak perlu. Lagi pula aku sudah lebih baik.” Luel menolak tawaran sang aunty. Takut justru membuat orang tuanya khawatir atau bahkan menyalahkan paman dan bibinya.“Baiklah kalau begitu.” Isha tidak mau memaksa jika Luel tidak mau. “Kalau begitu kamu habiskan buburnya. Setelah itu kamu minum obat.”Luel segera memakan bubur yang diberikan oleh Isha. Tak lupa memakan obat dari dokter.“Istirahatlah lagi kalau begitu.” Isha segera meraih kembali mangkuk bubur yang kini sudah kosong.Isha meninggalkan Luel di kamarnya. Memberikan waktu untuk Luel beristirahat. Dia segera turun ke lantai bawah. Menyusul sa
“Uncle, tadi Luel pingsan dan sekarang di rumah sakit. Kata dokter dia terkena asam lambung.”Mendengar hal itu Danish seketika terkejut. Tadi keponakannya itu berangkat baik-baik saja. Tapi, kenapa tiba-tiba sakit.“Kirimkan alamat rumah sakitnya, aku akan ke sana.”“Baik, Uncle.” Levon mengangguk.Akhirnya Danish mematikan sambungan teleponnya.“Siapa yang di rumah sakit?” Isha tampak penasaran sekali. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Luel.”“Luel?” Isha membulatkan matanya ketika mendengar jika Luel di rumah sakit. “Kenapa dia?” tanyanya ingin tahu.“Katanya dia asam lambung.” Danish menjawab seraya mengambil jaket di dalam lemari.“Pasti karena seharian dia tidak makan.” Sejenak Isha teringat dengan hal itu.Mendengar ucapan Danish, dia teringat ucapan Isha. Jika Luel tidak makan sejak pagi.“Bisa jadi.” Danish membenarkan.Danish segera bersiap untuk ke rumah sakit. Dia harus mengecek keadaan keponakannya itu.“Aku pergi dulu. Kamu baik-baik di rumah.” Danish mendarat
Dona tampak terkejut melihat anaknya dengan seorang gadis. Yang menjadi perhatiannya jika ternyata gadis itu adalah gadis yang ditemuinya tadi di toilet. Dona memerhatikan gadis yang berada di sampingnya itu sedang melingkarkan tangan di lengan sang anak. Jika hanya teman, rasanya Dona yakin bukan. Karena teman tidak mungkin sedekat itu. “Ma.” Levon menyapa sang mama.Dona tidak langsung menjawab sapaan itu. Dia memilih memerhatikan gadis di samping sang anak.Levon menyadari hal itu. Mamanya sedang memerhatikan Luel. “Ma, kenalkan ini Luel, pacarku.” Dia pun segera memperkenalkan Luel.Pacar? Pikiran Dona melayang memikirkan pacar anaknya. Seingatnya sang anak sedang menjalin hubungan dengan keponakan Danish.‘Apa dia keponakan Danish?’ Dona bertanya dalam hatinya.“Luel?” Sejenak Dona mengingat sesuatu. Beberapa bulan lalu saat anaknya sakit, seorang gadis datang ke rumah sakit. Dona ingat nama gadis itu.“Kamu gadis yang ada di rumah sakit waktu itu?” tanya Dona memastikan.“Iya,
Luel memilih gaun cukup lama. Hingga membuat Levon menunggu. Karena orang tua Luel sedang pergi, jadi Levon menunggu sendiri. “Kak Luel mau pilih yang mana sebenarnya?” Ve merasa jika sedari tadi kakaknya terus memilih gaun tanpa tahu mana yang mau dipakai. “Iya, aku bingung. Kasihan Kak Levon sedari tadi menunggu. “Iya, sebentar lagi.” Luel mencari gaun. Hingga akhirnya dia mendapatkan gaun tersebut. Tak butuh waktu lama, dia pun mendapatkan gaun yang dicarinya. Gaun hitam dengan payet warna gold. Perpaduan pas untuk pesta malam ini. Tadi juga Luel sudah bertanya pada Levon. Baju warna apa saja yang dimiliki Levon. Hitam dan gold tadi disebut oleh Levon. Jadi tentu saja nanti mereka akan serasi. Saat mendapatkan gaun, segera dia berdandan untuk acara pesta. Dia tak punya banyak waktu. Jadi harus segera bersiap.Tepat jam lima sore akhirnya Luel siap. Segera mereka berangkat. Sebelum ke tempat pesta, Levon mengajak Luel untuk ke kost tempatnya lebih dulu karena dia gantian akan