Ina tampak terkejut dengan pertanyaan Isha. “Apa stok gudang dan buku berbeda?” Ina memastikan pada Isha.“Iya.” Isha mengangguk.“Mungkin aku salah catat. Kamu tahu sendiri, sejak kamu tidak masuk, aku sendiri di toko. Mengurus semuanya sendiri tentu saja membuat aku tidak fokus karena banyak hal yang aku kerjakan.” Ina mencoba menjelaskan semua pada Isha.Isha menyadari, mengerjakan stok, melayani pembeli, serta merapikan toko sendiri tentu saja adalah pekerjaan berat. Jadi wajar jika Ina salah dalam melakukan salah satu pekerjaan.“Sha, aku minta maaf.” Ina menarik tangan Isha.“Tenanglah, aku tidak marah. Aku hanya ingin memastikan saja. Aku tahu betapa sulitnya kamu yang mengerjakan semua sendiri.” Isha mengulas senyumnya.Ina bernapas lega karena Isha percaya. Dia memang sebenarnya cukup kewalahan. Bersyukur Isha mau mendengarkannya.Isha sadar jika dia memang harusnya mempekerjakan satu pegawai lagi agar pekerjaannya lebih ringan. Dari kemarin, dia berpikir belum punya cukup da
Isha melihat ruangan ini aneh sekali. Tidak seperti ruangan yang biasa didatangi. Biasanya ruangan yang didatangi ada kursi dan mejanya di mana keluarga napi bisa mengobrol leluasa. Ditempat itu juga, keluarga bisa menemani napi makan. Namun, ruangan ini justru hanya ada tempat tidur. Karena merasa aneh dengan ruangan itu, dia segera menutup kembali pintunya. Tepat saat itu juga, Abra datang menghampiri.“Isha.” Abra tampak terkejut ketika melihat Isha berada di penjara.“Kak Abra.” Isha berbinar ketika melihat Abra. Akhirnya setelah sekian lama, Isha dapat bertemu dengan pria yang begitu dicintainya itu.“Kamu di sini?” Abra masih bingung dengan keberadaan Isha di tempat ini.Isha mengalihkan pandangan ke arah pintu yang baru saja ditutupnya. “Iya, aku ke sini untuk menjenguk Kak Abra. Tadi polisi mengantarkan aku ke sini, tetapi aneh, ruangan ini tidak seperti biasanya aku kunjungi.” Isha mencoba menjelaskan sambil melihat ke ruangan yang baru saja ditutupnya.“Iya, pasti polisi sal
Mendapati pertanyaan itu Isha terperangah. Dia ragu untuk menjawab pertanyaan itu. Namun, tidak mungkin berbohong.“Belum, Kak.”Abra yang sedang makan seketika menghentikan makannya ketika mendapati jawaban dari Isha. “Kenapa belum?” tanyanya.“Aku baru menikah dua minggu yang lalu, jadi tentu saja aku tidak akan hamil.” Isha mencoba menjelaskan pada Abra.Abra kesal sekali dengan apa yang dikatakan Isha. “Harusnya setelah perceraian kita, kamu minta saja Pak Danish menghamilimu. Jadi saat ini paling tidak kamu sudah hamil.”Isha membulatkan matanya mendengar ucapan Abra. Dia tidak percaya Abra bisa mengatakan hal itu. Bagaimana bisa mantan suaminya meminta hamil sebelum menikah.“Jika kamu hamil sejak lama, aku bisa cepat segera keluar dari sini.” Abra meluapkan kekesalannya.Isha tidak habis pikir dengan Abra. Apa yang dikatakan Abra itu terlalu menyakitkan untuknya. Hamil di luar nikah bukan keinginannya, dan tidak akan pernah Isha lakukan.Abra menyadari jika kata-katanya membuat
“Isha sempat dibawa ke ruang khusus.” Dino menceritakan apa yang terjadi pada Isha“Ruang khusus apa?” Danish tampak terkejut ketika mendengar akan hal itu.“Kita bicara di ruangamu sebentar.” Dino merasa ada hal-hal penting yang harus dibicarakan dengan Danish.Danish mengangguk. Dia segera berjalan masuk ke rumah. Langkahnya diayunkan ke ruangan kerja yang berada di samping kamarnya. Dino mengikuti Danish yang berjalan ke ruang kerjanya.Di ruang kerja, mereka duduk di sofa yang berada di dalam ruang kerja. Saling berhadapan untuk lebih fokus saat bicara.“Ruangan khusus untuk apa?” Danish masih penasaran sekali dengan apa yang diucapkan oleh Dino.“Ruang bercinta.”Danish membulatkan matanya ketika mendengar hal itu. Tentu saja itu membuatnya merasa begitu terkejut sekali. “Bagai—”“Dengarkan aku dulu.” Dino langsung memotong ucapan Danish.Danish yang mengerti langsung diam. Meminta Dino untuk menjelaskan lebih dulu.“Tadi Isha masuk lebih dulu karena istriku menghubungi. Saat aku
Danish menelan salivanya ketika melihat siapa yang datang. Padahal tadi dia sudah berbohong pada Isha. Menceritakan jika makanan sudah dimakan keponakannya, tetapi kini keponakannya di depan mata.“Mami dan Luel ke sini?” tanya Danish. Dia tampak terkejut melihat keponakannya dan juga sang mami datang.“Mami tadi belanja diantara Luel. Karena itu, Mami mampir ke sini.” Mami Neta menjelaskan.Isha yang mendengar suara seseorang, segera mengecek siapa itu. Dia melihat jika ternyata itu adalah mertuanya.“Isha.” Mami Neta memanggil menantunya saat melihat wanita itu di belakang sang anak.Danish segera mengalihkan pandangan ketika sang mami memanggil istrinya. Tampak sang istri berada di sana. Saat sang mami sudah melihat Isha, tentu saja dia tidak punya pilihan untuk sang mami bertemu Isha,Isha mengangguk. Kemudian mengayunkan langkah untuk menghampiri sang mertua. Dia langsung mencium punggung tangan mertuanya itu.“Apa kabar kamu, Isha?” Mami Neta mengulas senyum manisnya.“Kabar bai
Isha memikirkan apa yang membuat Danish mengusirnya. Seingatnya kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak ada yang salah. Jadi tidak ada alasan untuk mengusirnya.“Aku bukan mau mengusirmu.” Danish menatap malas pada Isha. Istrinya begitu berdrama sekali. Padahal bukan itu niatnya.“Lalu kenapa Pak Danish meminta saya untuk mengemasi pakaian?” Isha masih belum paham dengan Danish menyuruhnya itu. Di pikirannya jika mengemasi pakaian itu adalah diusir.Danish mengembuskan napasnya kasar. Berusaha untuk menenangkan diri. “Kamu dengar bukan tadi jika aku bilang kita akan menginap di hotel. Jadi aku menyuruhmu untuk mengemasi pakaian, karena kita mau menginap di hotel.” Dia mengingatkan Isha tentang ucapannya pada sang mami.Isha tampak terkejut mendengar hal itu. “Apa yang Anda ucapan benar-benar akan dikerjakan?” Isha pikir ucapan tadi hanya alasan saja. Tidak benar-benar akan dikerjakan oleh Danish. Hanya sekadar alasan yang untuk menghindari ajakan dari sang mami.“Tentu saja harus di
“Ini aku.” Mendengar hanya dijawab seperti itu membuat Isha bingung. “Aku siapa?” tanyanya. Dia melihat ponselnya kembali. Melihat nomor telepon yang berada di layarnya. Hanya nomor saja yang tertera dan saat membacanya kembali, Isha tidak tahu nomor siapa itu.“Aku suamimu.” Di seberang sana Danish tampak kesal sekali mendengar pertanyaan Isha.“Pak Danish maksudnya?” Isha memastikan kembali.“Iya, memang suamimu ada berapa sampai kamu bertanya.” Danish dengan ketus menjawab.Isha menekuk bibirnya. Danish selalu saja ketus sekali. Tak pernah berubah sama sekali meskipun di dalam sambungan telepon.“Nomor Anda baru pertama kali masuk ke ponsel saya. Jadi wajar saya tidak tahu jika ini Anda.” Isha memberikan alasannya.Danish di seberang sana merasa males sekali berdebat dengan Isha. “Sudah jangan bahas itu. Sekarang kamu di mana?” “Saya di coffee shop samping kolam renang.” Isha menjelaskan.Tanpa mendapati jawaban apa-apa, tiba-tiba sambungan telepon terputus. Isha benar-benar habi
“Tidak … tidak.”Isha mencari sumber suara itu. Ternyata suara itu berasal dari Danish. Dari apa yang dilihat, Danish masih memejamkan matanya. Artinya Danish sedang mimpi buruk. Karena itu dia mengingau. Dengan segera Isha menghampiri Danish. Mengecek apa yang terjadi.“Dara … Dara ….” Danish tampak memanggil nama seseorang. Matanya masih tetap terpejam.“Dara?” Isha menyebut nama yang dipanggil Danish. Nama itu tampak asing di telinganya. “Apa itu nama mantan istrinya?” tanya Isha pada dirinya sendiri. Sampai detik ini dia memang tidak tahu nama mendiang istri Danish.Danish tampak ketakutan. Keringatnya menetes di pelipis meskipun pendingin ruangan menyala. Isha yang melihat hal itu merasa takut sekali. Karena itu dia segera membangunkan Danish.“Pak Danish.” Isha menggoyangkan tubuh Danish. Sayangnya, Danish tidak bangun. Hingga membuatnya kembali menggoyangkan tubuh Danish lagi. “Pak Danish.” Kembali Isha memanggil Danish.Mendengar namanya dipanggil dan tubuhnya digoyangkan, Da