Danish lari menyusuri koridor mencari keberadaan Isha yang dirawat di rumah sakit. Tadi Aulia mengabari jika Isha pingsan. Karena itu dia langsung menuju ke rumah sakit.“Di ruangan mana?” Danish yang berlari bertanya pada Aulia dari sambungan telepon.“Ruangan anggrek nomor empat, Pak.”Mendapati jawaban itu membuat Danish bergegas ke sana. Jantungnya berdegup kencang. Dia benar-benar merasa ketakutan sekali terjadi apa-apa pada istri dan anaknya.Danish langsung membuka pintu ketika mendapati ruangan di mana sang istri dirawat. Saat masuk, ada Aulia yang sedang menunggu sang istri. Tampak sang istri tertidur di ranjang perawatan.“Bagaimana keadaannya?” Danish menatap Aulia.“Tadi dokter bilang baik-baik saja, Pak. Hanya karena Bu Isha lemas jadi dokter menyarankan untuk dirawat.” Aulia mencoba menjelaskan.Danish bernapas lega ketika sang istri baik-baik saja.“Sebenarnya bagaimana tadi dia bisa pingsan?” Danish begitu penasaran sekali.“Tadi pria itu datang, Pak. Bu Isha berbicara
Waktu yang diberikan Abra tinggal besok saja, sedangkan Danish belum punya jawaban sama sekali.“Entah aku belum bisa memiliki jawab.”Dino menepuk bahu Danish. “Pikirkan saja pelan-pelan.”Danish mengangguk.“Aku pergi dulu kalau begitu.” Dino kembali berpamitan.Setelah Dino berpamitan, Danish segera kembali ke kamar. Menemui Isha. Saat masuk, ternyata istrinya itu sudah terlelap. Danish yang tidak mau mengganggu pun memilih untuk menyegarkan tubuhnya. Apalagi Dino sudah membawakan baju.Saat makan malam, Danish menyuapi sang istri dengan telaten. Memastikan jika sang istri makan banyak.“Aku bisa makan sendiri, kenapa harus disuapi seperti anak kecil.” Isha melayangkan protesnya.“Sudah makan saja. Jangan terlalu banyak protes.” Danish terus menyuapi Isha.Isha hanya pasrah ketika sang suami terus menyuapi. Hingga makanan habis pun dia memilih diam dan tidak banyak protes.“Pintar.” Danish mendaratkan kecupan ketika Isha begitu pintarnya makan dengan banyak.Isha hanya tersenyum. D
Danish melepaskan pelukannya untuk dapat melihat wajah Isha. Dia menatap lekat wajah Isha. Rasanya berat untuk melepaskan Isha dengan dua pilihan itu."Kenapa diam?""Bolehkah aku tidak memilih keduanya?" Rasanya Danish tidak sanggup jika harus memilih."Kamu harus memilih." Isha meyakinkan Danish."Pengacara menyarankan untuk melaporkan Abra. Pilihan ini yang yang paling bisa aku terima. Menurut pengacara, dia akan membelamu dan kamu tidak akan lama mendapatkan hukuman." Danish mencoba menjelaskannya pada sang istri. "Tapi, aku tidak bisa melihatmu dipenjara." Danish benar-benar berat membayangkan itu.Isha kembali memeluk Danish. Berusaha menenangkan Danish. "Laporkan dia. Aku tidak masalah jika harus mendekam di penjara. Dari pada aku harus berpisah denganmu." Isha memberikan pilihan yang tepat untuk Danish. Dia begitu mencintai Danish. Jadi tak mau jauh dari Danish.Danish langsung melepaskan pelukannya itu. Dia menatap Isha lekat. "Apa kamu sadar jika dipenjara kamu tidak akan ba
"Tentu saja tidak. Aku ke sini tidak untuk kembali padamu." Isha mengulas senyum manisnya.Abra tersenyum. Ternyata Isha lebih memilih untuk masuk penjara dibanding kembali padanya. Tentu saja dia tidak akan tinggal diam."Apa kamu sadar jika kamu tidak mau kembali padaku artinya kamu akan masuk penjara?""Siapa yang masuk penjara? Aku?" Isha bertanya pada Abra. "Yang akan masuk penjara adalah kalian. Bukan aku." Isha menyeringai."Kalian?" Abra masih bingung kata kalian yang disebut Isha."Pak polisi tolong tangkap mereka." Danish langsung memanggil polisi yang sedari tadi di luar.Polisi langsung masuk ke dalam. Mereka menangkap Abra dan juga Ina."Apa-apa ini?" Abra berusaha untuk melepaskan diri. Dia tidak mengerti kenapa dirinya ditangkap."Apa ini? Kenapa aku juga ikut ditangkap?" Ina merasa tidak tahu kenapa ada polisi yang menangkapnya juga."Kalian ditangkap karena pencurian di toko Kaula." Polisi langsung memberitahu apa yang membuat Abra dan Ina tertangkap.Abra begitu terk
Danish yang bangun tidak mendapati sang istri di sebelahnya. Hal itu membuatnya segera bangun untuk mencari sang istri. Tempat pertama yang menjadi tujuan Danish adalah kamar mandi. Sayangnya, dia tidak menemukan sang istri di sana. Karena itu, akhirnya Danish memilih untuk segera keluar. Mencarinya istrinya itu. Saat baru saja keluar dari kamar, Daniah mencium aroma manis. Saat itu juga Danuag tahu di mana dia akan menemukan sang istri. Dengan segera Danish menuruni anak tangga. Aroma semakin kuat ketika menuruni anak tangga. Aroma itu tercium dari dapur. Tampak menggugah selera sekali.Sesampainya di dapur, Danish melihat jika istrinya sedang asyik memasak. Dari aromanya, Danish menebak jika sang istri sedang memasak kue."Astaga." Isha yang berbalik melihat Danish yang sedang berdiri tepat di belakangnya. "Kenapa begitu terkejut?" Danish mengulas senyumnya."Kamu tiba-tiba sekali di belakang aku. Jadi aku jelas terkejut." Isha menatap Danish sambil mencebikkan bibirnya. Danish y
“Apa kamu punya janji?” Isha menatap sang suami ketika hendak memberikan kue.“Aku tidak punya janji.” Danish menggeleng.Isha tampak berpikir siapa gerangan yang datang itu. Seingatnya dia juga tidak punya janji.“Aunty, Uncle.”Saat mendengar suara itu, Danish dan Isha saling pandang. Mereka tahu siapa yang datang. Siapa lagi jika bukan keponakan Danish.“Wah … ternyata Uncle sedang ada acara.” Luel melihat jika pamannya itu sedang makan-makan. Jadi begitu bersemangat sekali.Danish mengembuskan napas kasar. Dia merasa jika sepertinya acara perayaan ini akan terganggu dengan keponakannya.“Aunty ulang tahun?” Luel menatap sang bibi ketika melihat ada kue yang berada di atas meja.“Tidak.” Isha menggeleng.“Lalu kenapa ada kue?”“Aku hanya ingin membuat kue saja. Jadi ada kue.”“Sepertinya kuenya enak.” Luel melihat jelas jika kue yang dibuat sang bibi begitu menggiurkan sekali.“Kamu mau?” tanya Isha.“Mau-mau.” Luel langsung mengangguk.“Ini” Isha langsung memberikan kue yang berad
Melihat sang menantu yang di lantai atas, Mami Neta pun terheran-heran. Dengan keadaan hamil, tidak seharusnya Isha di lantai atas. Jika sampai terjadi apa-apa. Pastinya itu akan sangat bahaya. Bisa-bisa mereka akan kehilangan cucu.“Iya, Mi.” Isha mengangguk. Mendengar jawaban sang menantu membuat Mami Neta sedikit kesal. Anaknya benar-benar ceroboh sekali. Tepat saat Isha dan Mami Neta sedang bicara, Danish turun dari lantai atas. Dia melihat sang istri yang sedang hendak naik ke lantai atas.“Sayang, kamu mau ke atas?” Danish mengayunkan langkah menghampiri sang istri yang berada di anak tangga paling bawah.“Iya, aku mau memanggilmu, tapi kamu sudah turun.”“Nish, kenapa kamu masih tidur di lantai atas. Kenapa tidak pindah ke lantai bawah?” Mami Neta yang penasaran segera bertanya. Tak suka ketika anaknya membiarkan menantunya di lantai atas.Danish terdiam. Kamar utama yang berada di lantai bawah masih terisi barang Dara. Jadi dia belum bisa memindahkan Isha ke kamar bawah.“De
Danish meletakkan barang-barang milik sang istri di lantai. Bolak-balik dari lantai atas ke bawah memang begitu melelahkan.Hari ini Danish memindahkan barang-barangnya yang berada di lantai atas ke lantai bawah. Rencananya sementara mereka akan tinggal di kamar tamu yang berada di lantai bawah. Danish tidak mau ambil risiko untuk Isha bolak-balik ke lantai atas. Lagi pula, maminya sudah memberikan peringatan keras.Sementara kamar utama belum dibereskan, mereka akan memakai kamar tamu. Biasanya kamar ini dipakai jika Mami Neta atau Papi Dathan ke rumah."Kamu tidak apa-apa 'kan sementara di sini?" Danish memastikan pada sang istri."Tidak apa-apa." Isha mengulas senyumnya. Ini sudah ke sekian kali Danish bertanya."Aku janji akan segera merapikan kamar utama. Nanti setelah itu kamu boleh mendekornya sesuai dengan keinginanmu." Danish membawa sang istri ke dalam pelukannya.Sejujurnya Danish hanya merasa sedih jika sampai Isha merasa tidak kunjung menempati kamar utama. Takut Isha ber
Tanpa terasa Dario sudah sebelas bulan. Dia susah mulai berdiri-diri. Berpegangan beberapa barang yang ada di sekitarnya. Pagi ini, dia bermain dengan sang mami dan papinya di taman belakang. “Minggu depan pembukaan toko. Apa yang harus aku persiapkan?” Pembangunan toko milik Isha, akhirnya selesai juga. Walaupun sedikit meleset dari perkiraan, tapi tidak banyak kendala yang terjadi. “Tidak perlu menyiapkan apa-apa. Siapkan dirimu saja. Aku sudah siapkan semua.” Danish selalu ingin yang terbaik untuk istrinya. “Terima kasih.” Isha merasa sangat beruntung sekali karena sang suami selalu mempermudah semuanya. Danish memegangi Dario yang sedang berdiri. Karena senangnya berdiri-diri, anaknya itu memang selalu meminta untuk berdiri. Saat sedang berpegangan pada sang papi, tiba-tiba Dario melepaskan tagannya yang berpegang pads sang papi. Danish dan Isha tampak terkejut ketika melihat hal itu. “Rio ....” Isha memanggil anaknya itu. Dario yang dipanggil pun segera mengayunkan langkah
“Aaaccchhh ....”Suara indah yang keluar dari mulutnya keduanya menandakan jika pelepasan sempurna didapat oleh keduanya.Tubuh Danish seketika lemas dan terjatuh di atas tubuh sang istri. Mengatur napas yang terengah-engah.Isha pun merasakan hal yang sama. Tubuhnya lelah dan butuh waktu untuk beristirahat. Mengatur napasnya yang seperti baru saja lari kiloan meter.Butuh waktu beberapa saat untuk mengembalikan tenaganya. Hingga akhirnya, membersihkan diri.****Isha dan Danish memutuskan pulang saat sore hari. Seharian mereka memanfaatkan waktu untuk mencari kenikmatan. Melepaskan hasrat yang terpendam beberapa bulan.“Aku malu sekali mau pulang.” Tiba-tiba saja Isha merasakan hal itu.“Bersikaplah tenang. Nanti mereka akan curiga jika kamu bersikap seperti itu.”Isha bersikap tenang seperti yang suaminya katakan. Dia tidak mau membuat kakak iparnya curiga.Mereka sampai di rumah. Tampak mobil Liam-suami Loveta sudah di depan rumah. Isha dan Danish berusaha untuk tenang seperti tida
Pagi-pagi Loveta sudah sampai di rumah Danish. Semalam, dia dikabari oleh adiknya itu untuk membantu menjaga Dario. “Kak Loveta.” Isha menyapa kakak iparnya itu. “Mana Iyoo?” Loveta senang sekali karena akhirnya diminta jaga keponakannya. “Baru saja tidur, Kak.” Isha segera mempersilakan kakak iparnya untuk masuk ke rumah. Menyajikan teh sambil menunggu Danish bersiap. Beberapa saat kemudian, Danish keluar dari kamarnya. Kemudian menghampiri sang istri. “Kak Lolo sudah datang, kalau begitu ayo pergi.” Danish menatap istrinya. Isha masih diam. Dia masih tidak enak sekali dengan kakak iparnya karena harus menjaga sang anak. “Sudah, kalian pergi saja. Serahkan anak kalian padaku.” Loveta berusaha untuk meyakinkan adik iparnya. Saat mendapati ucapan itu, Isha segera bersiap untuk meraih tasnya yang berada di sofa ruang keluarga. “Titip Rio yang, Kak.” Sebelum berangkat dia menitipkan lagi anaknya. “Iya.” Loveta mengangguk. Isha dan Danish segera pergi. Danish mengendarai mobiln
Levon dan Luel semakin nyaman menjalani hubungan setelah mendapatkan restu. Perjalanan masih panjang untuk hubungan mereka ke jenjang serius. Mereka lebih memilih untuk menikmati hubungan. Apalagi mereka harus fokus pada kuliah mereka.Isha semakin nyaman menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga. Anaknya semakin gembul sekali. Apalagi sang anak minum ASI.Kehadiran Dario membuat rumah menjadi ramai. Keluarga sering datang ke rumah untuk bertemu Dario. Mulai Nessia, Loveta, atau pun Mami Neta.Seperti hari ini, Loveta datang untuk berkunjung. Dia terus bermain dengan Dario.“Iyoo ... Iyooo ....” Loveta memanggil keponakannya itu.“Mi, namanya Dario, kenapa dipanggil Iyoo?” Ve melemparkan protesnya.“Susah jika dipanggil Dario. Seperti namamu saja. Singkat. Hanya ‘Ve’.” Loveta menjelaskan pada sang anak.Ve hanya bisa menggeleng heran. Ternyata itulah yang membuat sang mami memanggilnya singkat. Agar lebih mudah.Isha yang mendengar perdebatan itu hanya tersenyum saja.“Kak Loveta su
Mendapati pertanyaan sang anak, Dona terdiam sejenak. Memandang Luel.Luel yang melihat mama Levon menunggu jawaban dari wanita itu. Penasaran apa jawaban yang akan diberikan.“Iya, Mama tidak marah.” Dona langsung membenarkan apa yang diucapkan oleh Levon.Luel merasa lega sekali mendengar hal itu. Rasanya ketakutan yang dirasakannya menguap.Tok ... tok ....Suara ketukan pintu terdengar. Luel, Levon, dan Dona mengalihkan pandangan merek. Dilihatnya Isha yang mengetuk pintu.“Minumannya aku taruh di meja. Silakan diminum.” Isha melebarkan pintu untuk memberitahu di mana ditaruh minumannya.“Terima kasih, Aunty.” Levon mengangguk.“Mama akan ke sana.” Dona menepuk bahu Levon. Kemudian mengayunkan langkahnya keluar.Levon memilih untuk tetap tinggal di kamar Luel. Menemani Luel.Dona segera keluar untuk menikmati teh yang dibuat oleh Isha. Menghargai Isha yang membuatkan minuman.Melihat Dona yang keluar dan Levon yang tetap tinggal di kamar, membuat Isha memutuskan untuk menemani Don
“Makanlah dulu.” Isha memberikan semangkuk bubur pada Luel.“Terima kasih, Aunty.” Luel segera menerima mangkuk yang diberikan. Dengan perlahan dia memakan bubur yang dibuatkan oleh aunty-nya.Isha tidak tega melihat Luel yang sakit. Padahal kemarin dia sudah mengingatkan Luel untuk makan.“Apa tidak apa-apa jika tidak mengabari mami dan papimu?” Isha memastikan pada Luel.“Iya, Aunty. Tidak perlu. Lagi pula aku sudah lebih baik.” Luel menolak tawaran sang aunty. Takut justru membuat orang tuanya khawatir atau bahkan menyalahkan paman dan bibinya.“Baiklah kalau begitu.” Isha tidak mau memaksa jika Luel tidak mau. “Kalau begitu kamu habiskan buburnya. Setelah itu kamu minum obat.”Luel segera memakan bubur yang diberikan oleh Isha. Tak lupa memakan obat dari dokter.“Istirahatlah lagi kalau begitu.” Isha segera meraih kembali mangkuk bubur yang kini sudah kosong.Isha meninggalkan Luel di kamarnya. Memberikan waktu untuk Luel beristirahat. Dia segera turun ke lantai bawah. Menyusul sa
“Uncle, tadi Luel pingsan dan sekarang di rumah sakit. Kata dokter dia terkena asam lambung.”Mendengar hal itu Danish seketika terkejut. Tadi keponakannya itu berangkat baik-baik saja. Tapi, kenapa tiba-tiba sakit.“Kirimkan alamat rumah sakitnya, aku akan ke sana.”“Baik, Uncle.” Levon mengangguk.Akhirnya Danish mematikan sambungan teleponnya.“Siapa yang di rumah sakit?” Isha tampak penasaran sekali. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Luel.”“Luel?” Isha membulatkan matanya ketika mendengar jika Luel di rumah sakit. “Kenapa dia?” tanyanya ingin tahu.“Katanya dia asam lambung.” Danish menjawab seraya mengambil jaket di dalam lemari.“Pasti karena seharian dia tidak makan.” Sejenak Isha teringat dengan hal itu.Mendengar ucapan Danish, dia teringat ucapan Isha. Jika Luel tidak makan sejak pagi.“Bisa jadi.” Danish membenarkan.Danish segera bersiap untuk ke rumah sakit. Dia harus mengecek keadaan keponakannya itu.“Aku pergi dulu. Kamu baik-baik di rumah.” Danish mendarat
Dona tampak terkejut melihat anaknya dengan seorang gadis. Yang menjadi perhatiannya jika ternyata gadis itu adalah gadis yang ditemuinya tadi di toilet. Dona memerhatikan gadis yang berada di sampingnya itu sedang melingkarkan tangan di lengan sang anak. Jika hanya teman, rasanya Dona yakin bukan. Karena teman tidak mungkin sedekat itu. “Ma.” Levon menyapa sang mama.Dona tidak langsung menjawab sapaan itu. Dia memilih memerhatikan gadis di samping sang anak.Levon menyadari hal itu. Mamanya sedang memerhatikan Luel. “Ma, kenalkan ini Luel, pacarku.” Dia pun segera memperkenalkan Luel.Pacar? Pikiran Dona melayang memikirkan pacar anaknya. Seingatnya sang anak sedang menjalin hubungan dengan keponakan Danish.‘Apa dia keponakan Danish?’ Dona bertanya dalam hatinya.“Luel?” Sejenak Dona mengingat sesuatu. Beberapa bulan lalu saat anaknya sakit, seorang gadis datang ke rumah sakit. Dona ingat nama gadis itu.“Kamu gadis yang ada di rumah sakit waktu itu?” tanya Dona memastikan.“Iya,
Luel memilih gaun cukup lama. Hingga membuat Levon menunggu. Karena orang tua Luel sedang pergi, jadi Levon menunggu sendiri. “Kak Luel mau pilih yang mana sebenarnya?” Ve merasa jika sedari tadi kakaknya terus memilih gaun tanpa tahu mana yang mau dipakai. “Iya, aku bingung. Kasihan Kak Levon sedari tadi menunggu. “Iya, sebentar lagi.” Luel mencari gaun. Hingga akhirnya dia mendapatkan gaun tersebut. Tak butuh waktu lama, dia pun mendapatkan gaun yang dicarinya. Gaun hitam dengan payet warna gold. Perpaduan pas untuk pesta malam ini. Tadi juga Luel sudah bertanya pada Levon. Baju warna apa saja yang dimiliki Levon. Hitam dan gold tadi disebut oleh Levon. Jadi tentu saja nanti mereka akan serasi. Saat mendapatkan gaun, segera dia berdandan untuk acara pesta. Dia tak punya banyak waktu. Jadi harus segera bersiap.Tepat jam lima sore akhirnya Luel siap. Segera mereka berangkat. Sebelum ke tempat pesta, Levon mengajak Luel untuk ke kost tempatnya lebih dulu karena dia gantian akan