Sana tersenyum puas. “Bagus. Aku akan memberimu tips tambahan.” Setelah itu pergi ke rak. Mencari buku yang bisa ia baca. Sebagai orang yang berkutat di bidang Seni, Sana jarang sekali membaca buku bisnis seperti milik Rafa. Ia lebih sering membaca sastra klasik. Ataupun sejarah yang menurutnya bisa membuatnya seperti menjelajah waktu. Ia sampai di rak buku sejarah. Ia ingin mengambil satu buku yang berada di atas. Sana yang berusaha berjinjit mengambil namun tetap tidak bisa. Akhirnya ia menyerah—namun di saat ia menyerah dari belakang seseorang datang. Mengambilkan buku yang diinginkan Sana. “Terima kasih—” Sana terkejut melihat pria yang membantunya. Ia kira bodyguardnya. Tapi ternyata salah. “Kau di sini sendirian?” tanya Anton. Pria itu mengernyit melihat Sana. Menatap sekitar dan tidak menemukan suami wanita ini. “Hm. Seperti yang kau lihat.” Sana mengedikkan bahu. “Lalu kau sendirian juga?” “Hm seperti yang kau lihat.” Anton yang sengaja menirukan gaya bicara Sana. “Men
Rafa meremas ponselnya Ketika mendapat pesan dari Sana. Istrinya itu tidak tahu seberapa murkanya ia sekarang. Yang pasti Rafa ingin menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya untuk melampiaskan kemarahannya. Rafa memejamkan mata dan mengusap rambutnya. Jadwalnya benar-benar padat hingga tidak memungkinkan untuk pulang. Saat ini saja ia sedang makan malam dengan klien penting. “Aku tidak bisa membiarkan hal ini terjadi.” Rafa menatap dirinya di depan wastafel. Ia menegakkan kembali badannya. Memasang wajah seperti biasa seakan tidak terjadi apapun. Kemudian keluar dari toilet. Kembali bangku yang sudah terisi dengan beberapa orang. “Kau baik-baik saja?” tanya Bianca yang berada di samping Rafa. Rafa mengangguk. Bianca ditunjuk langsung oleh Jackson untuk menemani Rafa ke Paris untuk melebarkan sayap StayVic. Rafa tidak menolaknya, ia mendengar Bianca memang handal dalam urusan negosiasi dan mengambil hati klien. Meskipun ia sendiri juga mahir melakukannya, tapi ia tidak bisa m
Tanpa banyak kata. Rafa keluar dari mobil. Ia mendekati Sana yang tengah berdiri mematung sambil menatapnya. Kemarahannya yang ia ingin luapkan pada Sana mengabur begitu saja. Ketika melihat wajah istrinya—segala perasaan jengkel dan kesal menghilang begitu saja. digantikan perasaan rindu yang tidak bisa dijelaskan. Rafa memeluk tubuh istrinya itu. “Aku sangat merindukanmu.” Rafa mengecup pipi Sana dari samping. “Maaf, aku melewatkan berbagai moment yang berharga.” Sana terdiam. Namun kedua matanya mulai meneteskan air mata. ia menatap lurus ke depan tanpa membalas pelukan suaminya. Rafa melepaskan pelukannya saat merasakan bahunya mulai basah. Ia menatap wajah istrinya. Pipi Sana telah basah oleh air mata. Rafa mengusapnya perlahan. “Maafkan aku. Aku mohon maafkan aku.” Rafa menangkup wajah Sana. Karena tidak membawa sapu tangan. Alhasil Rafa menggunakan lengan kemejanya untuk menghapus air mata istrinya. Sana semakin sesak saja. Ia semakin menangis. “Jangan menangis.” Rafa me
“Kita pernah menjalani hubungan jarak jauh. Dan kita baik-baik saja. Apa sulitnya sekarang? kamu tahu sendiri sedari dulu aku selalu komitmen pada kamu.” Sana tertawa pelan. “Dulu dengan sekarang berbeda Rafa.” Sana menatap suaminya. “Aku tidak tahu apa yang terjadi saat aku tidak ada di de kat kamu. Bagaimana jika ada wanita lain yang mencoba dekat dengan kamu. Bagaimana jika kamu—” Sana menghela nafas. “Terserah.” Sana membalikkan badan. “Aku akan ke Paris sekarang sesuai keinginan kamu.” “Sana—” Rafa berlari mengejar Sana. “Jangan pergi.” Sana menghela nafas frustasi. “LALU KAMU INGIN AKU APA? AKU LELAH! KALAU TAHU BEGINI LEBIH KITA TIDAK MENIKAH SAJA!” “SANA JAGA UCAPAN KAMU!” Bentak Rafa yang benar-benar terdengar ke seluruh penjuru penthouse. Sana menggeleng. Selama seumur hidupnya baru kali ini ia dibentak seseorang. Mirisnya lagi yang membentaknya ada suaminya sendiri. Sana mengusap air matanya dan berjalan masuk ke dalam kamar. “Sana berhenti.” Rafa berusaha menghentik
Sinar matahari yang masuk membuat sepasang mata mulai mengernyit. Perlahan Sana membuka mata, melihat sekitarnya. Menyadari jika waktu telah berganti siang. Ia merasakan pinggangnya yang begitu berat. Dari belakang, nafas seseorang yang mengenai tengkuknya. Sana membalikan posisi berbaringnya. Hingga menghadap suaminya yang masih tidur dengan nyenyak. “Rafa,” panggilnya. Dengan jemari yang mengusap pipi Rafa pelan. “Bangun. Ini sudah jam berapa? Kamu tidak ke kantor?” Rafa tidak kunjung bangun. Justru malah mengeratkan pelukannya. Rafa menghela nafas dan hanya menekan hidungnya di ceruk leher istrinya. “Ayo bangun. Tidak ada jadwal penting hari ini?” tanya Sana. Ia tahu sekali pasti tidak ada jadwal longgar untuk seorang CEO Rafael. Untuk itu sebagai istri yang baik—ia berusaha mengingatkan suaminya. “Aku mengambil cuti.” Setelah itu hening. Jawaban Rafa terdengar sangat mustahil. Sana hanya berdecak pelan. “Jangan bercanda. Ayo bangun. Kasihan Sekretaris kamu nanti.” “Kenapa y
Seketika tawa Rafa pecah. “Baru kali ini ada yang terang-terangan mengolokku dan Sana langsung di depan mata seperti ini.” “Dia tidak hanya mengolok-ngolok. Tapi dia juga membuat masalah denganku.” Sana menunjukkan kepalan tangannya. “Ingin kuhajar kau?” “Aku hanya bercanda.” Menunjukkan jari piece-nya. “Ternyata kau menyenangkan.” Rafa mengangguk pelan. Beralih menatap Bianca yang sedari tadi hanya diam. Rafa mengambil ponselnya—mengotak-atiknya sebentar. Kemudian mendongak dan menatap Anton dan Bianca bergantian. “Ada hal yang begitu mendesak. Aku dan Sana akan pergi dulu.” Rafa menggenggam pergelangan tangan Sana. “Ayo sayang. Rachel minta dijemput.” Sana mengernyit. Tapi ia mengikuti langkah suaminya. “Rachel? Rachel kenapa?” tanya Bianca. Rafa dan Sana sudah berjalan menjauh. Bianca menatap keduanya. Pandangannya berhenti pada tangan Rafa yang setia berada di pinggang Sana. Mereka nampak saling memandang dan melempar senyum. Bianca menghela nafas lelah kemudian mengambil
Sana mengusap air matanya yang mengalir begitu deras. Rasanya begitu sesak—ia menunduk. “I-ni ti-tisu Mrs.” Seorang supir taksi sedikit ragu menyodorkan tisu pada Sana. Sana mengambilnya dengan sesenggukan. “Terima kasih.” Menoleh ke belakang dan melihat mobil Rafa yang masih mengikutinya. Sana mengambil ponselnya. [JANGAN MENGIKUTIKU!!!!] “Lagi marahan sama suaminya?” tanyanya. “Iya.” Sana mengangguk. “Dia pergi dinas ke luar kota ada teman perempuannya tapi tidak bilang padaku. Aku sangat kesal. Apalagi si wanita ini terlihat suka dengan suamiku. Apa aku salah pak? Aku sungguh kesal.” “Tidak.” Sopir taksi itu menggeleng. “Tidak salah. Tapi harus lihat-lihat dulu dan mencari tahu. Apa benar si perempuan ini menggoda atau menyukai suami kamu. Nanti kalau mereka memang benar tidak ada apa-apa bagaimana? kan kasihan suami kamu. Cuma mau kerja tapi kamu terus berpikiran buruk.” Sana menghela nafas. “Saya punya firasat temannya ini emang suka sama suami saya pak. Saya lagi hamil di
Sana yang tidak mengerti apa yang terjadi—tiba-tiba sudah berada di dalam ruangan yang berisi beberapa orang. Ia mengenryit—ia menatap seorang pria yang tadi menariknya. Pria itu justru duduk santai sambil menopang kaki. “Kau penggemar Arron?” tanya seornag pria. Sana menggeleng. “Aku—kenapa aku di bawa ke sini?” tanyanya dengan bingung. “Gawat wartawan pasti akan membuat berita yang tidak-tidak.” Seorang wanita yang baru saja muncul. “Mereka mengambil gambarmu dengan penggemarmu ini.” “Tutup mulut mereka.” “Tidak usah.” Satu pria yang menggunakan setelan kemeja itu menggeleng. “Biar saja. Itu bisa menutup skandalmu dengan Clarie.” Pria itu mendekati Sana. “Biar saja berita itu menyebutmu berkencan dengan wanita ini.” Sana melotot. “Kau tidak bisa melakukan itu.” “Bukankah kau senang bisa diberitakan dengan idolamu?” “Idola siapa?” Sana kebingungan. “Idola pria itu!” tunjuknya pada pria yang tadi kejar oleh wartawan. “Aku bukan penggemarnya. Aku bukan pendukungnya. Aku tadi me
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert