Sana yang tidak mengerti apa yang terjadi—tiba-tiba sudah berada di dalam ruangan yang berisi beberapa orang. Ia mengenryit—ia menatap seorang pria yang tadi menariknya. Pria itu justru duduk santai sambil menopang kaki. “Kau penggemar Arron?” tanya seornag pria. Sana menggeleng. “Aku—kenapa aku di bawa ke sini?” tanyanya dengan bingung. “Gawat wartawan pasti akan membuat berita yang tidak-tidak.” Seorang wanita yang baru saja muncul. “Mereka mengambil gambarmu dengan penggemarmu ini.” “Tutup mulut mereka.” “Tidak usah.” Satu pria yang menggunakan setelan kemeja itu menggeleng. “Biar saja. Itu bisa menutup skandalmu dengan Clarie.” Pria itu mendekati Sana. “Biar saja berita itu menyebutmu berkencan dengan wanita ini.” Sana melotot. “Kau tidak bisa melakukan itu.” “Bukankah kau senang bisa diberitakan dengan idolamu?” “Idola siapa?” Sana kebingungan. “Idola pria itu!” tunjuknya pada pria yang tadi kejar oleh wartawan. “Aku bukan penggemarnya. Aku bukan pendukungnya. Aku tadi me
Anton menggeleng. “Tentu saja tidak. Untuk apa aku menyukai wanita sepertimu.” “Sepertiku itu seperti apa?” Sana berdeccak pelan. “Tapi baguslah tidak suka denganku. Aku senang bisa berteman denganmu.” Anton menatap Sana lebih lama. “Kau dari mana? Penampilanmu sangat berantakan.” “Aku baru saja menonton balapan. Aku sangat kesal.” Sana memukul meja dengan keras hingga menimbulkan bunyi. “Dia pria gila! Semua orang yang ada di ruangan itu sungguh gila. Bagaimana bisa mereka berniat menjadikanku sebagai kekasih pura-pura dari seorang pembalap? Mereka akan menggunakanku untuk menutup skandal yang lain.” “Bukankah itu gila? Mereka juga menuduhku sebagai penggemar pembalap itu hanya karena sebuah topi!” Sana berdecih pelan. “Mereka sangat gila. Aku sangat kesal. Aku langsung pergi.” Anton mengernyit. “Tunggu, Bukankah kau tadi bersama suamimu? Kenapa kau pergi menonton balapan sendirian?” “Aku bertengkar dengannya gara-gara Bianca. Bianca mengirimku pesan katanya dokumen Rafa terti
“Sana aku tidak ingin membahas hal ini.” Rafa menggeram tidak suka. Ia langsung menggendong tubuh istrinya itu untuk dibawanya kembali ke dalam. “Jangan membahas orang lain saat kita sedang berdua.” “Kenapa? Kamu mau menghindar lagi?” tanya Sana. “Apa kamu tadi bersama perempuan itu?” Rafa terdiam dan tidak mampu menjawab pertanyaan istrinya. “Kamu bersamanya kan?” Sana berdecih pelan. “Apa saja yang kalian lakukan?” tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya selain marah dengan kecewa. Sana berjalan keluar dari kamarnya dengan kekecewaan yang teramat dalam. Memilih mengurung diri di dalam ruang lukisnya.Sedangkan Rafa masih berada di kamarnya. Ia tidak menyusul Sana. Melainkan membuka ponselnya yang berdering sebentar. Sebuah pesan muncul. [Jika istrimu marah. Dia tidak seharusnya marah. Yang seharusnya dia lakukan adalah memberin pengertian. Pekerjaan seorang CEO mengharuskan menjalin hubungan yang baik dengan banyak orang. Jika istrimu terlalu cemburu, berilah dia pengertia
Rafa tersenyum lega. “Aku sangat senang. Kamu benar-benar membuatku bangga. Aku yakin kamu bisa menerimanya sebagai adik. Bagaimanapun dia banyak membantuku. Dia juga bilang agar memberi kamu waktu berpikir. Aku bukannya mengabaikan kamu tadi malam. Aku hanya membiarkan kamu sendiri agar bisa berpikir dengan jernih.” Rafa mengusap puncak kepala Sana. “Sarannya bisa membuat kita berbaikan.” Sana mengangguk. Mengangguk mengerti kenapa Rafa tidak langsung menyusulnya. Padahal biasanya suaminya itu tidak akan melepaskannya begitu saja. Rafa akan langsung mengejarnya saat mereka masih dalam keadaan bertengkar. Ternyata karena ucapan manipulatif dari perempuan itu. Jika Sana hanya berpikiran pendek, Ia akan lebih marah pada Rafa dan hubungan mereka semakin buruk. “Bagaimana?” tanya Sana. “Apa tidak terlalu asin atau hambar?” Rafa menggeleng. “Enak.”Masih makan dengan lahap. Namun ketika Sana mencoba mencicipi masakannya. Ada satu masakannya yang terasa hambar. “Kenapa tidak bilang sed
“Aku tidak masalah. Aku akan berbicara dengan keduanya.” Bianca mengedikkan bahu. Sedangkan Cloe sudah tahu apa yang terjadi di dalam. Bosnya bersama istri di dalam ruangan. Apalagi mereka menghabiskan waktu yang cukup lama. Cloe sudah tahu kegiatan apa yang sedang dijalani oleh bosnya. Maka ia tidak akan berani menganggu. “Tunggu Miss. Anda bisa menunggu sampai Tuan Rafa membalas pesan saya di telepon.” Cloe masih menghadang Bianca. “Anda bisa menunggu di ruang sebelah. Nanti saya akan memanggil anda.” “Aku bukannya ingin menganggu. Yang aku sampaikan sangat penting untuk Rafa. Lagipula aku juga sangat sibuk. Maka dari itu aku harus segera menyampaikannya.” “Minggir.” Bianca mendorong Cloe sehingga bisa menerobos. Namun ketika pintu terbuka, tidak mendapati Rafa ataupun Sana. Justru terdengar suara-suara yang membuat Bianca mengepalkan tangan. “Pelan-pelan Rafa!”“Aku tidak akan membiarkanmu lolos!”“Aaaaa turunkan aku!”“Aku akan memakanmu seharian penuh!”Setelah itu terdengar
Menginjakkan kaki di depan sebuah gedung bertingkat yang sudah terisi oleh banyak orang. Ada beberapa wartawan yang datang untuk meliput acara ulang tahun pendirian dari sebuah perusahaan. Sana memeluk lengan suaminya dengan mesra. Dress panjang yang sampai semata kaki itu sangat pas ditubuhnya. Lekuk tubuhnya sengaja terlihat. Dress berwarna hitam itu sangat cantik ditubuhnya apalagi di tambah sebuah jaket crop yang tersampir dibahunya. Sana kira, wartawan akan mewawancarai dan meliput para artis atau selebriti saja. namun nyatanya mereka juga mengarahkan kemera dan mic ke arahnya dan Rafa. “Aku tidak mau,” bisik Sana. Ia tidak nyaman dengan kamera flash yang mengenai wajahnya itu. Sana takut saat ada orang yang berkurumun di hadapannya. Apalagi terpaan flash diiringi dengan kalimat-kalimat pertanyaan. “Aku akan menjawab mereka sebentar.” Rafa mengambil mic tersebut. “Bagaimana kabar anda setelah menjawab sebagai CEO dari StayVIc?” “Saya baik.” Rafa memeluk pinggang Sana dari s
“Mom dan Dad memanggilmu kak,” ucap seorang pria yang datang. Sana menatap pria itu lebih lekat. Ia tidak salah lagi. Pria ini adalah pria pembalap yang membuat kekacauan. Sana menunjuk wajah pria itu dengan telunjuknya. “Kau!” Pria itu menoleh. Ia sama terkejutnya dengan Sana. Pria itu mengernyit dan menatap Sana dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Kau—” Sana menunjuk Anton. “Kalian saudara?” “Kau mengenal adikku?” tanya Anton yang bingung. “Ini adikku, Arron.” Tiba-tiba mengenalkan adiknya pada Sana. “Pembalap yang aku maksud itu adalah dia!” tunjuk Sana pada adik Anton yang bernama Arron itu. “Pembalap yang tiba-tiba menyeretku ke dalam berita itu ternyata adikmu.” Sana memijit keningnya lelah. “Kenapa dunia sesempit ini.” “Jadi wanita hamil yang dikabarkan jadi kekasihmu itu adalah Sana?” tanya Anton pada adiknya. Ia kira ada wanita lain yang tengah hamil yaitu kekasih Arron sendiri. “Kau gila,” cacinya pada sang adik. “Sana sudah menikah tapi kau menyeretnya ke dalam be
Mengendari mobil dengan kecepatan rata-rata. Rafa menoleh ke samping sebentar. Melihat istrinya yang tengah menguap lebar karena mengantuk. “Apa kita langsung pulang saja?” tanyanya. Sana langsung menggeleng. “Tidak-tidak. Aku tidak mengantuk. Ayo pergi ke tempat yang sudah kamu siapkan.” “Tidur saja. Aku akan membangunkanmu saat sudah sampai.” Rafa merasa ganjal. Mobil yang berisi bodyguardnya tidak kunjung menyusulnya. Padahal sudah lewat beberapa menit. Rafa menurunkan gas dan menginjak rem. Namun ternyata rem tidak berfungsi. Rafa mencoba menekan rem sekali lagi. Namun masih sama. Tidak membuat mobil berhenti. “Sana bangun,” Rafa menoleh ke samping. “Kencangkan sabuk pengaman kamu.”Sana yang tidak tahu apa yang terjadi langsung menuruti perintah suaminya. Ia langsung mengencangkan sabuk pengaman itu di tubuhnya. Mobil yang mereka tumpangi masih berjalan dengan kecepatan paling lambat. “Rafa pelan-pelan. Jangan panik.” Sana memegang punggung tangan suaminya. “Matikan mesin s
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert