Akibat dari kecelakaan tersebut, perut Sana terbentur begitu keras. Hal tersebut membuat janin yang di dalam perut mengalami luka dan akhirnya tidak bisa bertahan. Janin yang berada di perut Sana sudah tiada saat perjalan ke rumah sakit. Tidak ada pilihan lain selain melakukan operasi dan mengeluarkan janinnya. Sana menggeleng pelan. “Tidak mungkin.” Ia menatap suaminya. “Jika dia tidak berada di perutku, berarti di sudah keluar dan melihat dunia.” Memegang lengan suaminya. “Bawa dia ke sini, aku ingin melihatnya…” lirih Sana. Rafa menunduk. “Aku mohon Sana relakan dia pergi.” “TIDAK!” teriak Sana. Sana menolak perkataan suaminya. Memegang kepalanya di kedua sisi. “Aku mohon ini Cuma mimpi. Aku mohon cepat bangun Sana.” Mencengkram kepalanya dengan erat. “BANGUN! BANGUN SANA!” Teriaknya pada diri sendiri. Rafa mendekap tubuh Sana. “Berhenti. Jangan sakiti diri kamu. Semua salahku yang tidak bisa menjaga kalian. Aku gagal menjaga kalian. Aku mohon maafkan aku.” Dunianya hancur. S
Malam harinya. Sana merapikan ranjangnya sebentar. Kemudian berdiri di depan jendela kaca. Ia membuka perutnya—terdapat jahitan yang masih belum mengering. Sana menghela nafas. “Sana malam ini Mom menemani kamu,” ucap Amel masuk ke dalam kamar. Membawa guling dan bantal untuk menemaninya malam ini. “Kalau butuh apa-apa panggil Mom.” “Mom pulang saja.” Sana menatap Amel. “Mom pasti lelah menjaga Sana seharian ini. Lagipula besok Sana boleh pulang.” “Justru karena besok boleh pulang, Mom harus menemani kamu. Mom harus memastikan kamu aman.” Amel menata bantal di sebuah sofa. “Mom tidak habis pikir lagi dengan suami kamu.” “Bisa-bisanya meninggalkan kamu dalam keadaan seperti ini. Apa pekerjaannya sepenting itu?” Amel yang mengomel. “Mom harus memarahinya nanti.” Sana tersenyum tipis. “Rafa memang seperti itu Mom. Dia memang sangat gila kerja.” Amel berkacak pinggang. “Mom tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi, Sana. Pokoknya nanti Mom akan berbicara dengan suamimu itu.” Tok
Tidak ada artinya mengharapkan polisi menangkap pelaku dengan cepat. Alhasil, Rafa menggunakan cara yang paling cepat untuk menemukan pelaku tersebut. Tanpa melibatkan polisi di dalamnya, Rafa dengan mudah menemukan orang yang dicarinya. Berdasarkan rekaman CCTV, rem mobilnya sengaja di putus oleh salah satu bodyguardnya sendiri. Setelah melakukan hal tersebut, bodyguard itu melarikan diri pergi ke kota lain. Namun berkat orang suruhan Rafa, bodyguard itu bisa dibawa kembali. Rafa berdiri. Menatap seorang pria yang terikat berada dibawah sedang berlutut. “Aku tidak akan berbasa-basi. Siapa yang menyuruhmu?” Pria itu hanya tersenyum miring. “SIAPA YANG MENYURUHMU? SIALAN!” Rafa tidak bisa menahan emosinya dan berakhir dengan memukul kepala pria itu hingga terjatuh di lantai. “Aku akan mencari identitasmu. Aku tidak akan ragu membunuh orang-orang terdekatmu.” Berjongkok dan menatap orang itu tanpa belas kasih. Ketika mendengar kata orang terdekat. Orang itu segera menunduk dan mera
Sana sudah duduk di bangku tribun. Ternyata banyak wanita yang datang menonton. Kebanyakan pakaian mereka adalah warna hitam. Kebanyakan memang pendukung Arron. Sana mengeluarkan ponselnya. Ia tidak tahu siapa pembalap warna merah. “Charles,” lirihnya. ‘Jadi namanya Charles. Kalau aku ditanya bisa jawab aku mendukung Charles,’ batin Sana dalam hati. Hampir 40 menit berlalu. Charles dan Arron selalu berada di posisi terdepan. Sana menggenggam erat tangannya. “Ayo Charles kau harus menang…” lirih Sana. Pada akhirnya didetik terakhir Sana harus mendesah kecewa lagi saat jagoannya kalah. Arron menang. Pria itu berhasil menjadi juara bertahan selama beberapa tahun. Performanya tidak bisa diragukan meskipun umurnya yang masih terbilang muda. Sana mendesah kecewa. “Aku datang ke sini agar bisa senang sedikit. Tapi malah kesal sendiri.” Kecewa sekali sungguh, Sana keluar dari arena tribun. Di sisi lain ada seorang pria yang menatapnya dibawah sana tanpa ekspresi. Sana yang tidak menyadar
“Kenapa kau telanjang keluar dari ruangan itu?” tanya seorang pria yang menunjuk Arron dengan kebingungan. “Tapi sebelum kau keluar—” pria itu terbelalak. “Aku sempat melihat wanita yang menggunakan dress putih. Apa kau bercinta di dalam ruangan ini dengannya?!” Arron menatap sang manajer. “Berhentilah berbicara omong kosong.” “Lalu apa yang terjadi? Kenapa kau telanjang?” Mark tidak bisa berpikiran buruk pada Arron. “Semua orang mencarimu.” “Aku hanya bertelanjang dada.” Menghela nafas lelah. “Aku menghindari penggemar.” Arron berjalan mendahului Mark. Dengan santai berjalan tanpa menggunakan atasan. Menatap kaos hitamnya yang berada di tangannya. Ia tidak tahu di mana letak darah yang berada di kaosnya. “Tapi kau bersama wanita tadi bukan?” tanya Mark ketika mereka masuk ke dalam ruangan istirahat. “Ya,” balas Arron singkat. Ia mengambil rokok dan menyulutnya. “Aku tidak akan menyanyakannya kali ini.” Mark mengambil kaos berwarna putih. “Kita hanya punya waktu 10 menit sebelum
“Sana bukan begitu.” Rafa mengusap rambut panjang Sana. “Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan perusahaan. Kamu tahu sendiri aku baru saja menjabat menjadi CEO, maka dari itu aku harus menunjukkan kemampuanku mengurus perusahaan.” “Aku mengerti. Aku mengerti Rafa. Maka dari itu ijinkan aku pergi lebih dulu. Jika kamu punya waktu kamu harus menyusulku. Aku juga tidak akan mempermasalahkan jika kamu memang tidak punya waktu.” Rafa menarik Sana ke dalam pelukannya. “Baiklah. Aku mengijinkan kamu ke Jepang. Tapi kamu harus selalu mengabariku saat di sana. Jangan pernah pergi sendirian, selalu ajak Mina. Nanti aku juga akan menyuruh bodyguard untuk menjaga kamu.” Sana mengangguk. “Terima kasih.” Rafa mengecup dahi Sana. “Tidak perlu berterima kasih.” Sana mendongak. “Apa kamu sudah menyelidiki Anton?” Rafa mengangguk. Ia menggenggam jemari Sana, kemudian menariknya keluar. Hingga sampai di ruangan kerja. “Tidak ada yang mencurigakan.” Rafa mengambil sebuah dokumen yang berisi khus
Cloe akhirnya mengangguk mengerti. “Laporkan padaku jika Rafa bertemu dengan Bianca.” Sana menatap Cloe dengan keseriusan. “Ada tugas tambahan jika kau sanggup. Buat Rafa dan Bianca jauh jika tidak ada urusan bisnis. Misalnya, jika Bianca datang ke kantor dengan urusan yang tidak jelas, maka kau harus membuatnya menjauh.” “Bagaimana? Aku akan mengganjimu 3 kali lipat dari gajimu.” Sana menampilkan senyumnya. Berharap Cloe akan tertarik dengan tawarannya. Cloe berpikir sebentar. “Saya bisa menjadi mata-mata Mrs. Tapi untuk menjauhkan tuan Rafa dari Bianca, saya tidak yakin.” “Baiklah tidak masalah. Jadi mata-mata dulu. Nanti saat kau tertarik dengan tugas tambahan. Kau harus memberitahuku.” Cloe mengangguk. “Siap Mrs. Tapi anda akan ke mana? Kenapa anda tiba-tiba akan pergi?” “Aku akan pergi sebentar untuk menenangkan diri,” jawab Sana. Setelah itu berjalan masuk ke dalam ruangan suaminya. Sebenarnya ruangan Rafa sang luas namun sayang interiornya terlalu membosankan. Hanya diis
“Mari nona saya antar.” Sana mengikuti seorang maid yang menyambutnya. Sampai mereka berada di sebuah ruang tamu. Sana dipersilahkan duduk sampai orang tua Anton keluar untuk menghampirinya. “Sana,” panggil seorang wanita yang seumuran dengan ibunya. Wanita itu nampak tersenyum hangat. “Aunty,” panggil Sana. Ia membalas pelukan dari ibu Anton tersebut. “Bagaimana kabar Aunty?” “Baik.” Anna begitu senang dengan kehadiran Sana di rumahnya. “Aunty sangat suka dengan lukisan kamu. Ternyata pelukis Starlight itu kamu—” Anna antusias membahas lukisan dari Sana. “Aunty sering mendengar nama kamu diperbincangkan di arisan ibu-ibu, lukisan kamu sering dibicarakan karena susah sekali mendapatkannya. Kamu pelukis hebat.” Sana tersenyum. “Terima kasih aunty. Tapi sebenarnya Sana hanya tidak menjualnya mangkanya orang-orang bayak yang tertarik.”“Tidaklah.” Anna menggeleng. “Itu karena kamu berbakat.” Menunjuk sebuah dinding. “Itu aunty langsung memajangnya. Biar semua orang yang datang ke si
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert