“Bisa kamu beritahu aku, kenapa kamu tadi seperti itu? Apa yang membuat kamu begitu marah?” Rafa melirik Sana sekilas. Helaan nafasnya terdengar. “Aku kalah. Aku tidak bisa menghukum orang yang membunuh Dad. Karena orang itu dilindungi seseorang.” “Siapa?” “Kakekku sendiri.” Rafa tersenyum sinis. “Menyebalkan bukan? Aku begitu marah dan tidak bisa mengontrol emosiku sendiri. Aku berusaha mati-matian membuat orang yang membunuh Dad masuk penjara justru kakek melindungi orang itu.” Sana mengambil tangan Rafa. Mengusapnya pelan. “Lalu apa yang akan kamu lakukan?” “Aku tidak akan menyerah.” Rafa menghela nafas. “Aku akan sering bolak-balik ke London untuk mengurusnya. Aku tidak bisa membawa kamu. Kamu harus janji, kamu harus baik-baik saja saat aku tinggal.” Sana mengangguk. “Kita sudah lama berhubungan jauh. Itu tidak akan sulit.” Rafa berlutut di hadapan Sana. Ia memeluk perut Sana dan menciumnya. “Baik-baik di perut Mom. Jangan nakal, Dad janji akan menyelesaikannya segera.” ~~
Melalui panggilan vidio, Rafa bisa bertatapan langsung dengan kekasih ayahnya. Jujur saja ia masih ragu dengan Camelia yang masih bisa hamil diusia yang tidak muda lagi. “Langsung saja, saya tidak terlalu percaya dengan yang anda katakan.” Rafa menatap Camelia. “Jika nanti saya meminta untuk mengajukan tes DNA apakah anda bersedia melakukannya?” “Saya bersedia. Selagi kamu menjamin keselamatan hidup anak saya, saya bersedia melakukan apapun,” balas Camelia dengan mantap. “Saya sudah menyiapkan tempat tinggal dan orang untuk menjaga anda. Anda bisa pergi ke sana. Saya menyuruh orang untuk menjemput anda. Anda bisa tinggal di sana. Anda bisa keluar setelah saya memastikan semua aman. Kalian bisa keluar dari tempat itu.” “Terima kasih banyak, nak.” Camelia menyatukan tangan. Sangat bersyukur dengan bantuan dari Rafa. Jika dilihat Camelia belum terlalu tua. Usia yang tertera di identitas yang Rafa terima adalah sekitar 40 tahun. Cukup jauh jarak usianya dengan ayahnya yang mungkin su
“Kamu ingin mengalahkan kakek kamu?” tanya Andres setelah mendengarkan cerita dari putranya. “Iya. Aku harus mengalahkannnya supaya bisa menghukum orang itu.” Rafa mengangguk. “Dad sudah melihat perkembangan perusahaan kakek kamu. Memang hampir seluruh bidang dikuasai oleh perusahaan kakek kamu. Dulu—” Andres menghela nafas. “Dad juga melawan kakek kamu untuk mendapatkan kamu. Itu semua juga sangat sulit. Tapi ada satu pengacara yang bisa membantu Dad.” “Tapi pengacara itu sudah tidak lagi di London. Perusahaannya sudah berpindah.” Andres menatap Rafa. “Dad sudah melihatnya, sekarang perusahaan kakek kamu semakin besar. Kamu akan sangat sulit melawannya.” “Dad, aku harus melakukan sesuatu.” Rafa menghela nafas frustasi. “Aku akan masuk ke dalam perusahaannya. Aku akan mewarisi perusahaan itu dan membuatnya dalam genggamanku.” Amel menggeleng. “Jangan Rafa. Berurusan dengan keluarga ayahmu itu berbahaya. Mom tidak ingin kamu kenapa-kenapa.” “Tapi Rafa harus melakukannya Mom.” Raf
“Aku bersedia memimpin StayVic.” Rafa dengan keputusan bulatnya. Ia menatap sang kakek dengan berani. “Tapi biarkan aku menghukumnya.” Jackson mengangguk dengan senang. “Tentu saja.” Hari berganti dengan sangat cepat. Rafa memasang jam di tangannya. Tatapannya lurus ke depan melihat sebuah televisi yang menampilkan sebuah berita terbaru. “Roy merupakan keponakan Jackson, bersalah atas kecelakaan yang menimpa Hardin. Roy dengan sengaja merencanakan pembunuhan pada Hardin.” “Motif Roy diduga ingin menguasai StayVic sehinigga tidak segan menghabisi Hardin.” Rafa menatap pada berita yang sedang tayang tersebut. Seluruh kota sedang dihebohkan dengan kasus tersebut. Rafa sendiri yang mengurus semua untuk menjebloskan si Roy itu ke penjara. Rafa keluar dari Apartemennya. Saat ini ia sudah resmi menjadi pemimpin di Viction. Sebelum pergi ke perusahaan, ia lebih dulu pergi ke sebuah tempat. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga. Setiap langkahnya membuat daya tarik sen
Di sebuah restoran. Seorang wanita dengan dress putih gading datang lebih dulu. Langkahnya anggun dan senyumnya memikat. Bianca, wanita yang merupakan anak dari pendiri sebuah perusahaan properti. Anak tunggal sekaligus pewaris utama perusahaan orang tuanya. Ia menyilangkan kakinya seraya menunggu seorang pria. Tak lama ketukan sepatu pantofel terdengar. Begitu menoleh—ia mendapati seorang pria yang tengah berjalan sambil tersenyum ke arahnya. “Aku kira tidak datang.” Bianca menatap Rafa yang telah duduk di hadapannya. Jujur saja ia semakin mengagumi sosok pria yang berada di hadapannya ini. “Mana mungkin aku tidak datang.” Rafa memanggil pelayan. “Kau ingin memesan apa?” “Steik dan anggur.” Rafa mendongak. “Aku sedikit terkejut kau memesan alkohol.” Bianca tertawa pelan. “Rupanya kau masih menganggapku anak SMP.” “Aku harus mengingat kau sudah dewasa.” Rafa mengembalikan buku menu setelah menyatakan pesananya. “Bagaimana denganmu? Kau dulu bercita-cita menjadi dokter tapi seka
“Rafael di sini? Apa yang dia lakukan?” tanya Nicole dengan heran. “Dia resmi menjadi CEO StayVic. Mom belum tahu beritanya? Rafael sebagai pewaris sah akan bekerja sepenuhnya di StayVic,” jelas Bianca. “Tapi bukankah dia bertahun-tahun tidak pernah muncul dan selalu menghindari keluarga ayahnya?” “Mungkin untuk menghukum orang yang menyebabkan kematian ayahnya,” sahut Gerald dari dalam. “Pelaku pembunuhan dilakukan oleh sepupunya sendiri. Roy adalah kandidat teratas setelah Hardin yang berpotensi menjadi pemimpin StayVic. Itulah kenapa Roy sampai bertindak senekat itu untuk menduduki jabatan.” “Kedatangan Rafael juga bisa jadi untuk mengambil hak-haknya sebagai putra Hardin,” lanjut Gerald. “Benar juga.” Nicole mengangguk. Dia tidak terlalu paham dengan bisnis maka dari itu, iya saja setelah mengerti alurnya. “Kamu baru saja makan malam dengan Rafael?” Langsung empat mata menatapnya. Bianca mengangguk. “Iya, kita makan makam karena sudah lama tidak bertemu. Sekalian membahas pe
Rafa menghela nafas. “Tentu saja.”“Apa kamu pernah punya hubungan dengan wanita itu?” Sana yang benar-benar berharap jawaban yang dilontarkan Rafa sesuai dengan harapannya. “Sana aku dengan dia hanya masa lalu—”Sana berdecih. “Jadi kamu memang punya hubungan dengan dia…” lirihnya. Sekali lagi, Sana lupa tentang bagaiman kehidupan Rafa setelah mereka berpisah. Bagaiamana banyak rumor Rafa yang menyebar. Tentang bagaiman pria itu yang sering menjadi hubungan dengan wanita sehingga dicap sebagai pria brengsek. “Jika itu anak kamu. Kamu harus bertanggung jawab.”“Demi apapun. Aku tidak mungkin punya anak darinya. Aku mohon beri aku waktu untuk membuktikan jika dia berbohong.” Sana menutup ponselnya tanpa mendengar penjelasan Rafa lagi. Ia mengusap wajahnya kasar. Menahan kekesalan dan amarahnya kemudian berakhir dengan menangis. “Apa ini karma? Aku menjalin hubungan dengan Rafa saat masih menjalin hubungan dengan Keita.” Sana menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Ia menoleh saa
Kemudian menarik Sana keluar dari Restoran. Bukan hanya menarik tapi juga menyeret Sana keluar dari ruangan itu. Rafa yang benar-benar tidak habis pikir dengan Sana yang datang ke sini dan membuat keributan seperti tadi. “Kenapa kamu datang ke sini tapi tidak memberitahuku?” tanya Rafa ketika mereka berada di lorong hotel. Mengusap rambutnya kasar. Terlihat sangat frustasi. “Kenapa? Kenapa kamu terlihat sangat kesal melihatku di sini? karena aku menganggu acara kamu dengan wanita tadi?” Sana bukan lagi wanita yang lemah dan menerima keadaan. Emosinya kian naik turun semenjak hamil. Bahkan cenderung meledak-ledak seakan ingin diluapkan. “Sana.” Rafa memegang bahu Sana. “Tadi itu Bianca—” “Aku tidak peduli siapa namanya!” teriak Sana benar-benar marah dengan Rafa. “Aku ke sini karena aku ingin penjelasan dari kamu. Aku bertemu dengan wanita jalang itu, dia memberitahuku kalau dia benar-benar punya anak dari kamu. Dan apa lagi yang dia bilang?” Sana menunjuk dada Rafa menggunakan ja
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert