Tidak pria yang membuat Mina sangat frustasi seperti ini. Ren yang memaksa ingin mengantarnya pulang. Mina bersindekap sambil menatap ke depan. Ia memikirkan bagaimana caranya memberitahukan tentang Keita yang sebenarnya pada Sana. Namun jika dipikir lagi, untuk apa ia melakukannya. Menikah dengan Keita adalah pilhan Sana sendiri. Tidak ada gunanya ia memberitahu Sana. CiiiitMobil yang berhenti dengan begitu mendadak. “Kenapa? Ada kucing?” Mina mengusap dadanya pelan. “Kau pasti menabrak sesuatu?” Mina hendak keluar untuk melihat apa yang ditabrak oleh pria itu. “Yang aku tabrak adalah pintu hatimu.” Ren menoleh sambil tersenyum. “Tidak lucu!” sewot Mina. “Lalu kenapa kau tiba-tiba menginjak rem mendadak?” tanyanya. “Aku hanya ingin membuatmu sadar.” Ren mengusap belakang kepala Mina. “Jangan memikirkan banyak hal. Beritahu saja orang tuamu tentang apa yang aku beritahukan. Biar mereka yang mencari tahu sendiri bagaimana Keita.” Mina tersenyum miris. “Mereka tidak akan percaya.
Berada di dalam mobil bersama orang tuanya. Tidak lama lagi akan sampai di sebuah rumah sakit. Pernikahannya tinggal 1 minggu lagi. Ia tidak berharap apa-apa lagi selain semoga semuanya lancar. Sana turun bersama ibunya. Memasuki rumah sakit kemudian sampai di sebuah ruangan yang tertutup. Di sanalah ia menjalani rangkaian pemeriksaan. Lengannya disuntik obat bius hingga sepenuhnya tidak sadar. Sedangkan Mayumi menatap tubuh putrinya yang sudah tidak sadarkan diri. “Lakukan sekarang aborsinya.” Itu perintahnya pada seorang dokter. Dokter itu mengangguk. “Kita akan mengaborsinya saat selesai melakukan pemeriksaan. Jika tubuh nona Sana kuat, kita bisa langsung melakukannya.” “Namun jika tubuh nona rentan. Kita harus merawatnya lebih dahulu. Tindakan aborsi sangatlah penting. Jika tidak memperhatikan kesehatan tubuh, maka akan menimbulkan efek jangka panjang.” Itu penjelasan dokter. Mayumi menunggu di luar. Setelah pemeriksaan ia dipanggil oleh dokter untuk ke ruangan. Sedangkan San
Mina menutup mulutnya rapat-rapat. Ia berharap ayahnya tidak membuka lemari yang ia gunakan untuk bersembunyi. Dengan jantung yang berdegup dengan kencang seakan lari maraton, Mina berusaha tetap tenang dengan menyandarkan tubuhnya pada dinding lemari. Sampai pintu kembali tertutup. Mina menghela nafas lega. Ia keluar dengan perlahan dari kamar orang tuanya. “Mereka benar-benar monster.” Mina menggeleng pelan. “Apa yang harus kulakukan? Aku harus menemui Sana di rumah sakit.” Baru saja ingin melangkah ia sudah mendapatkan pesan dari ibunya. “Sana di rawat di rumah sakit. Kamu tetap di rumah. Jangan ke mana-mana dan handle jika ada masalah.” ~~Malam harinya. Mina menatap penampilan dirinya di depan sebuah cermin. Dress merah maroon yang sangat pas di tubuhnya. Mina menggunakan heels sebagai akhir dari riasannya. Kemudian keluar. Menggunakan taksi untuk sampai di sebuah restoran yang ditentukan oleh Ren. Ini pertama kalinya Mina menginjakkan kaki di sebuah Restoran yang benar-bena
“Apa?” Mina yang terbelalak. Kecelakaan yang menewaskan nenek dan kakeknya terjadi sekitar 20 tahun yang lalu. Sampai hari ini yang diketahui Mina adalah mereka mobil yang mereka tumpangi oleng sehingga menabrak pembatas. “Jangan main-main dengan ucapanmu.” Mina mendekat. “Katakan padaku lebih jelas.” Ren berjalan menuju sebuah ruang, tentu saja Mina mengikutinya dari belakang. Masuk ke dalam kamar, kemudian membuka pintu yang menghubungkan dengan wardrobe dan kamar mandi. “Cepat katakan padaku.” Ren membuka kemejanya. “Kau akan tetap berada di sini?” Ia mengedikkan masalah. “Aku sih tidak masalah.” Mina mengepalkan tangannya kesal. “Kau selalu mengulur waktu.” Kemudian mendekat. Awalnya Ren sudah menduga Mina akan memakinya kemudian keluar dari ruangan. Namun dugaannya salah besar. Mina mendekat—membantu Ren membuka kancing kemeja. “Cepat katakan padaku. Jangan menunda-nunda waktu. Aku sudah tidak punya banyak waktu. Jangan membuatku semakin pusing.” Jemari Mina dengan cepat
“Apa?” Ren mengernyit. “Kau tidak bisa memisahkan mereka jika dia hamil. Kasihan anaknya nanti dan—” “Orang tuaku berniat mengaborsi janin itu. Sudah dipastikan janin itu bukan hasil dengan Keita.” Mina mengingat sesuatu. “Pasti dengan…” “Rafael Shalom.” “Lantas bagaimana hubungan Sana dengan pria itu?” Mina berpikir sebentar. “Mereka sama-sama saling mencintai. Namun Mina memlih pergi dan melakukan keinginan orang tua kita untuk menikah dengan Keita.” “Maka beritahu saja dia. Tapi suruh dia jangan bertindak gegabah. Kau berkomunikasi dengan pria itu?” tanya Ren. Mina mengangguk. Ia turun dari pangkuan Ren dan mengambil ponselnya. Mengotak-atik ponselnya untuk mencari tahu nama seseorang. Rafael! Ia menekan tombol panggil. Mina menoleh—kedua tangan Ren melingkar di perutnya. Di susul dengan hembusan nafas pria itu yang mengenai leherku. “Lepaskan aku dulu,” ucap Mina dengan menjauhkan ponselnya. Ren justru mendekapnya lebih erat. “Tidak. Berbicaralah, aku akan diam.” “Halo, k
“Persiapan pernikahan Sana dengan Keita sudah 100 persen selesai. Namun saat ini sedang dirawat di sebuah rumah sakit. Tidak tahu pasti penyakit apa yang diderita oleh Sana. Dokter dan perawat yang merawatnya sengaja di pilih khusus.” Rafa mengernyit. “Apa ada huubngannya dengan janin di kandungannya?” “Tidak tahu pasti, Sir. Tapi dari informasi yang saya dapat, Sana telah menjalani rangkaian pemeriksaan intensif yang hanya dilakukan oleh dokter pilihan itu.” Orang berbicara dengan Rafa saat ini adalah seorang agen swasta yang menyelidiki Sana di Jepang. “Kalau begitu, terus awasi. Jika ada hal yang mencurigakan segera beritahu aku.” Kemudian menutup ponselnya. Menekan tombol panggil pada nama Mina. “Dia pasti tahu Sana berada di rumah sakit.” “Apa yang terjadi dengan Sana? Kenapa dia di rumah sakit?” tanya Rafa langsung to the poit. “Kau lebih cepat dari dugaanku.” Mina menghela nafas. “Aku tidak bisa memberitahukanmu hanya lewat telepon. Aku berjanji akan mengatasinya.” “Baga
“Terima kasih kau sudah membantuku.” Mina menoleh ke samping. “Apa yang harus aku lakukan untuk membalasmu?” Ren mengetukkan jemarinya di stir. “Lets date. Dating with me.” Ia menoleh. “Apa kau mau?” Mina berpikir sebentar. “Aku—” kalimatnya terputus saat Ren menarik tengkuknya dan menciumnya. Mina memejamkan mata dengan jemari yang meremas keja pria itu. Membiarkan Ren menjelajahi bibirnya. “Aku tidak menerima penolakan.” Ren melepaskan tautan diantara mereka. Ia tersenyum sambil mengusa puncak kepala Mina. Mina mengerutkan alisnya. “Jika kau mempermainkanku, aku akan membunuhmu.” Setelah itu segera keluar dari mobil. Sampai di gerbang depan rumah—ia berhenti dan membalikkan badan. Sulit baginya membuka hati untuk pria. Apalagi Ren adalah pria asing yang baru ditemuinya beberapa hari. Mina takut—jika dia benar-benar jatuh cinta dengan pria itu tak lama Ren akan pergi meninggalkannya. Hal yang paling ia takuti adalah memberikan seluruh hatinya pada orang lain.“Hati-hati,” ucap
“Tunggu, bicaralah pelan-pelan.” Ren yang masih menyetir bahkan harus menepikan mobilnya dahulu.“Aku mohon pergilah ke rumah sakit dan bawa Sana pergi.” “Tunggu.” Ren mengernyit. “Bagaimana denganmu, kau di mana?” “Aku di rumah. Aku baik-baik saja, hanya dikurung di dalam kamarku. Sekarang kau pergilah ke rumah sakit dan bawa Sana pergi dari sana.” Ren mengangguk. “Jangan tutup teleponnya. Aku ingin memastikan kau tetap baik-baik saja di sana.” Selama perjalanan menuju rumah sakit hanya diiringi kesunyian meskipun sambungan telepon masih terhubung.Hingga—suara lain terdengar. “BRAK!” pintu dibuka dengan paksa. “Mina,” panggil Ren pelan. “Kau menghubungi pria itu?” tanya seorang. “Sudah Dad bilang jangan ikut campur apapun tentang Sana. Kau menghubungi pria itu untuk membawa Sana pergi dari rumah sakit bukan?” Di sisi lain, Mina menatap penuh kebencian pada sang ayah. Bagaimana bisa orang tua bisa melakukan hal seperti ini. Ia menyembunyikan telepon itu di belakang tubuhnya.“B
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert