“Tunggu, bicaralah pelan-pelan.” Ren yang masih menyetir bahkan harus menepikan mobilnya dahulu.“Aku mohon pergilah ke rumah sakit dan bawa Sana pergi.” “Tunggu.” Ren mengernyit. “Bagaimana denganmu, kau di mana?” “Aku di rumah. Aku baik-baik saja, hanya dikurung di dalam kamarku. Sekarang kau pergilah ke rumah sakit dan bawa Sana pergi dari sana.” Ren mengangguk. “Jangan tutup teleponnya. Aku ingin memastikan kau tetap baik-baik saja di sana.” Selama perjalanan menuju rumah sakit hanya diiringi kesunyian meskipun sambungan telepon masih terhubung.Hingga—suara lain terdengar. “BRAK!” pintu dibuka dengan paksa. “Mina,” panggil Ren pelan. “Kau menghubungi pria itu?” tanya seorang. “Sudah Dad bilang jangan ikut campur apapun tentang Sana. Kau menghubungi pria itu untuk membawa Sana pergi dari rumah sakit bukan?” Di sisi lain, Mina menatap penuh kebencian pada sang ayah. Bagaimana bisa orang tua bisa melakukan hal seperti ini. Ia menyembunyikan telepon itu di belakang tubuhnya.“B
Di sebuah rumah sakit. Mayumi datang dengan tergesa. Yang pertama ia datangi adalah kamar putrinya. Ia tidak masuk—hanya mengintip dari celah kecil yang terdapat di pintu.“Untunglah dia sedang tidur.” Mayumi merogoh ponselnya. Menghubungi seorang dokter yang menangani Mina. Memasuki sebuah ruang khusus yang tidak sembarang orang bisa masuk. “Saya ingin operasi dilakukan sekarang.” Mayumi menggebrak meja dokter tersebut. “Jika anda tidak bisa melakukannya, saya bisa menyuruh dokter lain untuk mengoprasi anak saya. Saya sudah tidak punya waktu untuk menunggu.” “Tenanglah bu,” dokter itu menghela nafas. Membenarkan letak kacamatanya sebentar. “Bukannya saya tidak mau segera melakukan operasi pada nona Sana. Tapi saya juga harus memperhatikan prosedur kesehatan pasien.” “Saya tidak peduli lagi.” Mayumi menunjuk dokter itu. “Lakukan sekarang atau saya akan membawa Sana ke rumah sakit lain.” Dokter tersebut menghela nafas sebentar. “Membutuhkan waktu 1 jam sampai semua benar-benar siap
Mina tidak berhenti meremas jemarinya sendiri. Ia sungguh mengkawatirkan keadaan Sana sekarang. Bagaimana jika Sana sudah melakukan operasi dan janin itu benar-benar diaborsi. Mina bersama Ren mencari tahu di mana keberadaan Sana sekarang. Tentu saja tidak mudah. Mereka harus berpencar dan mencari tahu di mana letak kamar Sana. “Ruang operasi yang aku datangi semuanya kosong.” Ren mengatur nafasnya lebih dahulu. “Kemungkinan menggunakan ruangan lain.” Mereka berjalan bersama-sama mencari ruangan yang kemungkinan digunakan untuk operasi. Sampai di mana perawat mendorong pasien yang berada di ranjang. Seorang wanita. Mina menutup mulutnya. “Aku gagal,” lirihnya. “Aku gagal menyelematkannya.” Ren menarik Mina ke dalam pelukannya. “Kau sudah berusaha.” ~~Beberapa jam yang lalu. Dokter beserta perawat keluar dari sebuah ruangan. Disanalah mereka akan melakukan operasi.“Semua persiapan sudah selesai. Kami akan melakukan operasi sekarang,” ucap dokter itu pada Mayumi dan Akiho. Ia m
Ponselnya berbunyi. Rafa menghentikan percakapan mereka. Ia menerima sebuah panggilan dari orang kepercayaannya. “Sir, orang tua nona Sana berkunjung sekarang. Ibunya sedang menuju ruangan nona Sana dirawat. Kemungkinan kunjungannya kali ini untuk mempercepat operasi. Wajahnya terlihat begitu gelisah.” Rafa mengangguk. “Terus awasi dan berikan aku informasi.” Kemudian menoleh pada Sana. “Sana aku mohon kau percaya padaku. Orang tuamu akan ke sini. Aku akan pergi sebentar dan pura-puralah tidur.” Sana tidak tahu yang akan terjadi. Namun ia mempercayakan semuanya pada Rafa. Ia mengangguk—ia menutup mata ketika pria itu mencium dahinya beberapa detik. “Aku akan kembali secepatnya.” Rafa melangkah keluar dan menutup pintu. Ia pergi untuk menemui orang yang membantunya sejauh ini. seorang yang menjaba sebagai direktur utama dari rumah sakit. “Terima kasih anda membantu saya memberikan informasi tentang Sana. Saya ingin meminta bantuan anda sedikit lagi,” ucap Rafa pada Akhirnya dok
“Sebaiknya kalian berhenti.” Mina masuk ke dalam ruangan. “Hentikan semuanya.” “Kamu!” Akiho menunjuk Mina. Melangkah mendekat namun dengan cepat Ren menghandang lebih dulu. “Sana mohon untuk kalian pergi sekarang juga.” Sana memejamkan mata sembari menyatukan kedua tangan. “Kami tidak akan melupakan hal ini.” Mayumi menarik suaminya pergi dari ruangan itu. Mina langsung mendekati Sana. “Kau baik-baik saja? Kau sungguh tidak dioperasi?” tanyanya. Sana menggeleng. “Rafa datang sebelum aku dioperasi.” “Benarkah?” Mina menunduk. Menyingkap perut Sana sedikit—ingin memastikan bahwa perut wanita itu sungguh baik-baik saja. “Benar ternyata kau baik-baik saja. Syukurlah.” “Kau begitu tidak percaya aku menyelematkan Sana?” tanya Rafa menggeleng pelan. “Waah… kau keterlaluan.” Tunjuknya pada Mina. “Hanya memastikan.” Mina berdecak pelan. Rafa memeluk Sana dari samping. “Kau tahu?” menatap Sana. “Dia tadi menangis. Dia mengira kau benar-benar sudah di operasi. Kenapa aku ingin tertawa
Atas permintaan sendiri. Sana dan Mina berangkat hanya berdua ke rumah pamannya. Meskipun para kekasihnya siap menemani dan mengantar mereka. Juga siap menjadi bodyguard dadakan mereka. Namun, Sana dan Mina kompak menolaknya. Untuk urusan ini, mereka yakin bisa mengatasinya. Mina menepikan mobilnya di seubah perumahan sederhana yang berada di pinggiran kota. Tidak ada yang menarik—yang ada hanyalah gedung tua yang terlihat sedikit tidak layak tinggal. “Mereka tinggal di sini?” “Paman Ryoma tinggal di sini.” Mina keluar dari mobil. “Dulu aku sempat bertemu dan berbincang sebentar dengannya. Aku tidak sengaja bertemu dengannya saat membeli jajanan di pasar. Paman Ryoma bekerja sebagai pedagang di pasar.” Ada begitu banyak hal yang dilewatkan oleh Sana. Ia tidak tahu bagaimana nasib para saudara ayahnya semenjak kasus tersebut. Ia selalu disibukkan dengan belajar dan belajar. Melangkah mendekat ke sebuah pos penjaga. “Pak, saya ingin bertemu dengan Pak Ryoma.” “Dengan siapa?” “Miy
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama. Entah kenapa tiba-tiba mobil yang ditumpangi mereka terasa begitu berat dan aneh. Mina akhirnya menepikan mobilnya. Ia keluar dari mobil dan mengecek kondisi ban mobil. “Bannya kempes.” Mina hendak kembali dan memberitahu Sana yang tengah tertidur. Namun, baru saja ia melangkah mendekat. Justru ada mobil lain yang menepi di pinggirnya.Ia mengernyit dan beberapa orang keluar dengann pakaian serba hitam. Mina mengeluarkan alat semprotannya dari dalam saku. “Siapa kalian?” ‘SANA CEPAT BANGUN!” teriaknya begitu lantang untuk membangunkan Sana. Ketika mereka maju selangkah—Mina langsung menyemprotkan cairan itu. Ia segera lari dan menyeret Sana keluar. “Siapa mereka?” Sana yang ikut berlari dengan Mina. Namun sayangnya, Sana tidak mempunyai fisik sekuat Mina. Hanya sampai beberapa meter saja, tubuhnya lelah dan tersandung. “Akh!” Sana terjatuh di tanah. Mereka datang menangkap Sana. Begitupun dengan Mina yang terlanjur berhenti. Mereka ti
CHAPTER 442Sana memejamkan mata—kedua bola matanya telah mengeluarkan air. Dagunya terasa begitu ngilu akibat cengkraman pria itu. Sana tidak bisa memberontak saat Keita mencium bibirnya. Menggigit bibir bawahnya agar dirinya membuka mulut. Keita tetap menciumnya meskipun ia tidak membalas. Pria itu memaksanya—memangut bibirnya. Namun akhirnya pria itu berhenti. Keita tersenyum sembari mengusap puncak kepala Sana pelan. “Kau manis sekali. Aku memaafkanmu meskipun kau sudah berselingkuh. Kita akan menikah besok.” Sana berdecih pelan dengan air mata yang berlinang. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang telah kau lakukan di belakangku? Kau bersikap seperti pria baik-baik yang menungguku padahal kau bermain dengan banyak wanita di belakangku.” Sana sudah mengetahui semua dari Mina. Tentang Keita yang tidak sebaik yang ia kira. Tentang pria itu yang sering bermain dengan wanita lain di klub. Berbagai kejahatan lain dilakukan oleh pria itu sebagai menteri. “Kenapa jika aku melakukannya?
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert