Ada sebuah pesan yang masuk membuat Amel terhenyak dari kantuknya. [Sedang Apa?]Amel tersenyum miris. Ia tidak seharunya berbohong pada Andres. [Di kasur bersiap tidur][baiklah tidur saja. Aku akan mengabarimu saat sudah sampai]Amel mengusap wajhanya sekal lagi. udara semakin dingin. Ia melihat Rafa dari tempatnya duduk. sejak kapan bocah itu sudah memakai pakaian yang hangat. “Uncle jika nanti aku mendapatkan ikan besar, uncle harus membantuku menariknya.” Rafa duduk di hadapan pancing. Menunggu sampai umpannya di sambar ikan. Hardin tertawa kecil. “Tentu saja uncle akan membantumu.” Mengusap puncak kepala Rafa dari samping. “Kau yakin mendapatkan ikan besar?” Rafa mengangguk. Tak lama pancing bocah itu bergoyang menandakan adanya ikan yang menyambar umpan. “Uncle tarik!” teriak Rafa. Bergegas menarik kail pancing itu. Hardin merasakan berat sekali. “Sepertinya memang ikan besar.” Ia sampai kualahan menarik. Tak lama—akhirnya berhasi. Sebuah ikan yang lumayan besar. Hardin men
Ketika membuka mata. seorang wanita mengernyit keheranan. Di ruangan putih yang serba rapi. Kemudian menatap punggung tangannya yang tertancap sebuah selang infus. Di rumah sakit. Amel berusaha bangun. Ia menyibak selimutnya. “Di mana Rafa?” kakinya barus aja akan menginjak lantai. “Aku sudah mengurus Rafa.” Hardin masuk ke dalam ruangan begitu saja. “Di mana?” nada bicara Amel mulai meninggi. Ia tidak bisa sabar tentang Rafa. “Kau membawa Rafa ke mana?” “Mom!” kepala bocah laki-laki yang menyembul dari balik pintu. Rafa berjalan mendekati ibunya. “Mom sakit. Jangan banyak bicara.” “Rafa jangan membuat Mom kawatir.” Amel memeluk Rafa erat. “Jangan pergi dari Mom. Tetap di sini. Jangan ke mana-mana.” “Tadi malam, suhu badanmu terus meningkat. Akhirnya aku membawamu ke rumah sakit. Tadi malam…” Hardin terdiam sejenak. “Aku membawa Rafa ke rumahku.” Amel menatap Hardin tanpa ekspresi. Jelas wanita itu sangat marah akibat kelancangan Hardin yang membawa Rafa seenaknya. “Pergi.” “T
Sebuah usapan lembut membuat Amel terbangun. Ia mengerjap beberapa kali. Memastikan apakah pria yang sedang memegang tangannya ini benar-benar asli. Lalu ia masih kebingungan dengan keadaan. “Mom! Dad membelikanku mainan banyak!” seru Rafa dari tempatnya duduk. bocah itu terlihat bahagia dengan tumpukan mainan. “Mom sadarlah! Itu Dad. Mom tidak bermimpi!” Amel mengerjap lagi. “Kau sungguh di sini?” Andres mengangguk. Ia tersenyum. tangannya beralih mengusap pipi Amel pelan. “Gimana keadaanmu?” “Aku baik. Aku akan pulang secepatnya,” balas Amel. “Memangnya kau yang memutuskan sendiri kapan akan pulang?” tanya kembali Andres. “Kau harus menunggu kata dokter.” Amel berdecak pelan. “Siapa yang memberitahumu aku di sini?” Amel menyipitkan mata. kemudian matanya tertuju pada satu anak. “Seharusnya aku tidak memberinya ponsel.” “Kenapa? Aku harus tahu keadaanmu.” Andres memeluk Amel. “Aku sangat kawatir dengan keadaanmu. Aku langsung—” “Langsung apa?” tanya Amel. “Langsung ke sini da
Duduk sembari menatap sebuah kertas yang dikeluarkan oleh rumah sakit. Tulisan yang mengatakan Rafel Shalom memiliki kecocokan DNA dengan Hardin Berneth sebesar 97 %. Yang artinya Rafael memang anak kandung Hardin. “Ternyata memang benar anakku.” Hardin menyimpan kertas tersebut ke dalam laci mejanya. Diam-diam ia mengirim seseorang untuk membawa rambut Rafel ke rumah sakit agar bisa dilakukan pemeriksaan. “Aku tidak bisa melepaskan kalian.” Hardin mengepalkan tangannya. “Aku tidak akan membiarkan kalian bersama pria itu.” mengingat bagaimana Amel dan Andres dekat. Hardin tidak ingin ada orang lain yang menggantikan posisinya sebagai ayah.Tok tok “Masuk.” Sekretaris yang berpenampilan seksi itu lantas masuk ke dalam ruangan Hardin. “Hari ini jadwal anda kembali.” Hardin melonggarkan dasi yang terasa mencekik kemejanya. “Kemarilah.” Wanita yang berstatus sebagai sekretaris sekaligus penghibur dikala Hardin sedang suntuk. Wanita itu mendongak—menatap Hardin. “Anda ingin aku mengh
Isabel menggeleng pelan. “Apa ini Andres putraku? Sejak kapan dia menjadi dewasa seperti ini?” Andres berdecak pelan. “Terus saja anggap aku anak kecil.” “Mom! Dad!” teriak bocah dari dalam. Rafa berlari dan menyusul orang tuanya. ia langsung memeluk Amel. “Mom sudah sembuh?” “Hm. Mom sudah sembuh.” “Cucu nenek pintar sekali.” Isabel mengusap puncak kepala Rafa. “Rafa ingin sesuatu?” tanyanya. “Mom—” Amel mencegah Isabel yang pasti ingin membelikan sesautu untuk Rafa. “Jangan Mom.” “Tidak usah dengarkan Mommymu.” Isabel tersenyum. “Ada yang ingin Rafa beli?” Rafa berpikir. Ia kebingungan saat ditanya ingin apa. Karena semua mainan sudah ia miliki. Berbagai jenis mainan menumpuk di kamarnya. Dari yang murah sampai yang paling mahal. Semua itu pemberian Andres dan orang tua Andres. “Rafa ingin mobil-mobilan baru?” tanya Emmanuel. Ayah Andres itu tidak tanggung-tanggung membeli mainan untuk Rafa. Pasti yang paling terbaru, tercanggih dan paling mahal. Rafa menggeleng. “Dad baru
Amel dan Rafa berpose di depan dekorasi tersebut. “Satu dua tiga…” cekrek. “Dad ayo foto!” teriak Rafa. Begitu selesai memasang ponsel di tripod, Andres berlari. menyusul mereka berdua untuk berfoto. Di setiap jepretan, mereka mengganti pose. Saat ini, Andres sedang memeluk pinggang Amel. Menatap wanita itu sambil tersenyum. Lalu saat flash ponsel menyala—ia mengecup pipi Amel. “I love you,” ucap Andres. Amel tertawa. “Begitu tiba-tiba?” “Kau terkejut?” Amel mengangguk. “Aku memang suka kejutan. Aku juga suka membuat jantungmu berdebar. Seperti saat ini.” Andres mengatakannya dengan percaya diri. “Apakah iya?” Amel menyipitkan mata. “Mau aku periksa?” Pertanyaan Andres diiringi dengan alis yang naik turun. Entah apa maksud pria itu. Namun hal terasebut berhasil membuat Amel bergidik ngeri. “IH TAKUT BANGET!” teriaknya. Ia hendak menjauhi Andres, namun justru hampir terpeleset.Untungnya Andres menarik tangannya. Alhasil sekarang, Amel malah jatuh ke dalam pelukan Andres. “K
Andres dan Amel saling memandang. “Buku seperti itu terlalu berat untuk kamu baca. Nanti Dad akan membelikan buku yang bisa kamu baca. Mungkin buku tentang alam dan sekitarnya. Kemudian—” Andres berhenti. Ia melihat Rafa yang tidak berkutik lagi. bocah itu sudah tidur. “Kita keluar.” Setelah memastikan Rafa aman. Mereka keluar dari ruangan. Andres menarik Amel ke dalam kamarnya. Menyergap wanita itu ke tembok. “Aku merindukanmu.” “Sedikit atau banyak?” “Banyak sekali.” Amel mengalunkan tangannya di leher Andres. “Lets me kiss you.” Memiringkan kepala kemudian mencium Andres lebih dulu. Kali ini Amel yang mengawali. Mereka berciuman cukup lama sampai akhirnya Andres yang melepaskan. “Aku harus ke kamar mandi.” Andres sudah pergi ke kamar mandi. “Ada apa dengannya.” Amel keheranan sendiri. ia mengusap bibirnya sendiri dengan senyum. Ia senang sekaligus sedikit canggung. Bagaimanapun mereka berawal dari teman yang suka sekali bertengkar. “Andres aku akan pergi ke kamarku!” “Tung
21 ++“Aku—” Amel mendongak. Jantungnya berdegup dengan kencang. Udara di sekitar mereka semakin dingin namun entah mengapa suhu tubuhnya terasa panas. Sudah terlalu lama ia tidak melakukan kontak fisik dengan lawan jenis. Andres kembali mencium Amel. Menggiring tubuh mereka berdua ke dalam kamarnya. Hanya dengan tendangan kecil kakinya, pintu tertutup. Ia mengangkat tubuh Amel ke atas meja. Ciuman mereka semakin intens. Andres tidak memberikan jeda pada Amel untuk sekedar mengambil nafas. Sampai Amel menepuk pelan dada Andres. “Aku memang harus berhenti.” Andres melepaskan rangkulannya pada pinggang Amel. Pria itu menurunkan tubuh Amel dari meja. Ia mengusap kening Amel yang sedikit berkeringat. Juga menyelipkan helaian rambut Amel yang berantkan. Ia tersenyum. “Tidurlah. Have a nice dream.” Mengecup beberapa detik dahi Amel. Andres membalikkan badan. Ia akan ke kamar mandi untuk menenangkan diri. Namun—langkahnya terhenti saat hinggap sebuah pelukan dari belakang. “Aku tidak m
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert