Seorang wanita yang hanya terbalut dengan selimut putih perlahan membuka mata. Ia mengernyit melihat sekitarnya. Gelap—hanya ada satu lampu tidur yang menyala. Amel menoleh ke belakang. Tidak ada siapapun di ranjang. “Ke mana dia?” Ketika menatap jam dinding, waktu menunjukkan pukul 1 malam. Tubuhnya terasa begitu remuk. Entah berapa kali Andres menjamah tubuhnya. Tenaga pria itu seperti tidak kunjung habis. Hanya terbalut dengan selimut—Amel berjalan pelan. Ia tidak mungkin keliaran dengan selimut saja. Oleh karena itu ia memungut kemeja Andres semalam kemudian menggunakannya. “Di mana dia?” Amel keluar dari kamar. Berjalan di lorong. Sampai ia melihat lampu yang masih menyala. Amel masuk. Ia menemukan pria itu sedang duduk di balkon ruang kerjanya. Entah apa yang dilakukannya. Namun Amel segera menyusul. “Kenapa di sini?” tanya Amel. Andres tidak memandangnya. Pria itu sibuk menatap lurus sambil terus merokok. “Andres kau tidak menjawabku?” Amel mendekat. Ia menunduk. menjaj
Tubuh Amel yang menggoda hanya tertutupi oleh kemeja putih yang sedikit nerawang. Andres tidak langsung menerkam Amel karena dibutakan oleh kemarahannya. “I want you.” Amel mengangguk. “Touch me. Fu*k me harder.” Dengan cepat Andres melepaskan kemeja itu dari tubuh Amel. Mereka tidak peduli betapa dinginnya malam ini. Panas tubuh mereka hanya akan menghilang saat mereka saling menyentuh. Andres menyentuh lebih dalam wanita yang ia cintai. Andres menggerakan pinggang Amel. Kursi yang mereka duduki berderit tidak karuan. Biar saja—sebagai pertanda betapa menggairahkannya percintaan mereka. ~~“Rasanya sungguh lelah. Aku tidak bisa ke mana-mana. Aku harus tetap di sana sampai pembangunan selesai. Tapi untungnya aku bisa melarikan diri sebentar.” Seorang yang tidak berhenti mengeluh. Setidaknya sudah menghabiskan 2 kaleng bir. “Kau tidak akan dimarahi bosmu?” tanya Amel. Jika mendengar nama bos, Caitlin akan langsung kesal. Ia melempar bekas kaleng birnya. “Aku sangat membenci dia
Caitlin berdecak. “Kenapa kau selalu muncul saat aku sedang bersama Amel. Kalian berkencan?” tanyanya dengan malas. Memang setiap kali Catilin dan Amel bertemu, nanti pasti ada Andres yang menyusul mereka. “Memang iya, kenapa?” Andres memeluk Amel dari samping. Caitlin melebarkan mata. Tidak terasa mulutnya juga ikut terbuka. “Kau sungguh berkencan dengan pria ini?!” tanyanya pada Amel. “BAGAIMANA BISA?!” teriaknya heboh. Andres mendesis sebal. “Kita cocok. Kita saling suka, bagaimana tidak bisa?” “Waaah.” Caitlin menggeleng pelan. “Aku pikir kalian berdua memang benar hanya berteman. Dan paling anehnya lagi—” menatap sang sahabat. “Kau mau bersama pria ini?” “Lama-lama kau semakin menyebalkan,” ujar Andres semakin kesal dengan Caitlin. Amel tertawa. “Tidak ada y ang tidak mungkin. Persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu memang susah.” Caitlin sekarang tersenyum. Ia menatap Andres dengan senyuman yang paling manis. “Aturan kita ketika ada yang berkencan adalah mentrakti
Annie membasuh wajahnya. mengambil tisu dan diusapnya perlahan ke wajah. Hari-harinya semakin sulit saja. Ia harus membangun relasi sebanyak-banyaknya dengan orang-orang kaya. Ia menoleh saat pintu toilet terbuka. Ahsley, wanita itu juga bercermin tepat di sebelahnya. Annie tersenyum ramah. “Aku tahu tentangmu,” ujar Ashley. “Apa?” Asley tersenyum. “Aku tahu tentangmu. Kau Annie, salah satu teman Amel, sepupuku. Aku dengar dia di sini selama bertahun-tahun. Kau tahu apa masalahnya?” Ashley menatap Annie. “Suamiku begitu lama di sini, aku berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Bagaimana ini? Yang aku tahu dia menghadiri pernikahan Samuel, tapi dia lama tidak kembali.” Bagaimana Ashley tahu Annie adalah teman Amel? Dari postingan di Intagram. Sebagai sahabat sejak lama. Annie memposting di story aku intagramnya foto mereka bertiga, Amel dan Caitlin. Ashley sengaja mencari tahu siapa saja anggota komunitas yang terdiri dari keluarga konglomerat.Annie terdiam saja. Ia bingung merespo
“Dad kapan kita piknik?” tanya Rafa. Andres baru teringat menjanjikan piknik pada bocah itu. Namun mulai hari ke depan, ia akan sangat sibuk. Andres berdehem pelan. “Sebenarnya—” “Dad sibuk,” potong Rafa dengan cepat. “Dad tidak punya waktu untuk piknik, begitupun dengan Mom. Kalian memang sama-sama sibuk.” bersindekap dengan raut wajah yang kecewa. “Tunggu.” Andres mengotak-atik ponselnya sebentar. “Sewa Wahana bermain untuk malam ini.” “Tunggu, Sir. Itu membutuhkan pengeluaran yang banyak.” “Tidak masalah. Anggarannya akan masuk ke rekeningku sendiri. Lakukan saja sesuai permintaanku, aku ingin taman bermain nanti malah kosong.” “Baik sir.” Andres menoleh ke samping. “Rafa mau bermain? Di wahana bermain mau?” “Dad menyewa penuh taman bermain?” Andres mengangguk. “Nanti kita bertiga bisa main sepuasnya di wahana bermain.” Rafa bersorak senang. “Mau! Yey!” bocah itu segera memeluk Andres. “DAD YANG TERBAIK!” “Kalau begitu…” Andres menunjuk pipi kirinya. Cup! Rafa mencium
Namun bukan itu fokusnya sekarang. Amel justru menatap lukisan singa besar yang begitu menakjubkan. Singa itu terasa sangat hidup dan sedang melihat mereka. ternyata bukan hanya lukisan Singa, saja. Namun ada banyak, hanya tertutup oleh kain. Amel terkejut saat Andres sudah mengecup bibirnya. “Apa yang kau pikirkan?” jemari Andres mengusap helaian rambut Amel. “Kau memikirkan orang lain?” Amel mendongak. “Kau harus lebih percaya padaku. Aku hanya melihat lukisan. Begitu banyak lukisan, apa kau sendiri yang melukis?” “Dulu. Aku suka melukis dan berhenti. Aku selalu membawa lukisanku ke manapun aku berada. Setidaknya satu harus bersamaku.” Andres kembali mencium Amel. Membelai bibir bawah Amel yang terasa candu. Mengangkat tubuh Amel ke atas sebuah meja. Amel melepaskan ciuman mereka. Kedua tangannya melingkar di leher Andres. “Bagaimana jika aku memintamu melukisku?” Andres tersenyum miring. “Berani bayar berapa?” “Kau sangat perhitungan ternyata.” Amel menganguk-anggukan kepala.
“Semua masih sama.” Jenifer memandang seluruh ruang Apartemen anaknya. Kira-kira hampir satu tahun mereka tidak berkunjung. “Kamu tidak ingin pindah ke Indonesia?” “Mom menanyakan itu lagi,” balas Amel yang mengeluarkan buah-buahan dari dalam kulkasnya untuk disajikan kepada orang tuanya. “Amel lebih suka hidup di sini.” “Baiklah-baiklah.” Jenifer mendekat. “Bagaimana keadaan Andres? Dia sehat bukan?” Amel berhenti. “Kenapa Mom tiba-tiba menanyakannya?” “Dia kandidat menantu nomor satu Mom. Jelas Mom harus tahu keadaannya. selain kaya dan tampan, kamu harus memastikan apakah dia sehat atau tidak.” Jenifer yang berbicara panjang lebar. Sedangkan Steven sedang mengajari Rafa bagaimana bermain catur. Di usianya sekarang, ia tidak cukup bahagia. Kekawatirannya tentang masa depan putri bungsunya. Apalagi cucunya yang besar tanpa sosok ayah. “Dia sehat.” Amel mengangguk. “Dia akan ke sini.” TING TING! Amel berjalan ke pintu. Itu pasti Andres. Padahal biasanya pria itu suka sekali ny
“Dad sudah mendengar semuanya dari Andres. Kamu siap menghadapi semuanya?” Amel berhenti bernafas beberapa detik. Sesungguhnya ia tidak ingin orang tuanya mengetahui tentang Hardin. Ia ingin menghadapi semuanya tanpa membawa keluarganya, apalagi orang tuanya. “Amel tidak peduli apa kata orang lain, tapi—” Amel menatap orang tuanya. “Dad, Amel hanya takut jika mereka semua tahu tentang Rafa, mereka akan menyakiti Rafa. Amel takut, kehadiran Rafa dianggap aib dan mereka menyakiti Rafa.” “Bagi Dad ada satu cara, yaitu menunjukkan Rafa pada dunia.” “Maksud Dad?” “Tunjukkan Rafa ke dunia. Tunjukkan Rafa adalah anak kamu. Hak asuh Rafa akan jatuh pada ibu kandungnya yang sudah merawat selama bertahun-tahun. Dan saat itulah kamu bisa benar-benar melindungi Rafa dari apapun.” Steven meraih tangan Amel. Menggenggam tangan sang putri dengan hangat. “Dad dan Mom akan selalu ada di sisi kamu.” Amel yang tersentuh dengan ucapan Steven tidak bisa mencegah air matanya keluar. Ia juga beringsut
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert