Amel menatap pantulan dirinya sendiri. Ia merogoh tasnya, mengambil lipstik dan menyapukan kembali ke bibirnya. Amel menatap dirinya lagi. Seperti ada yang hilang. “Antingku!” “Di mana antingku!” segera menunduk. Melihat ke lantai bawah untuk mencari tahu di mana antingnya terjatuh. “Tidak ada. Di mana antingku?!” Amel bergegas keluar. Anting itu ia beli sendiri menggunakan gajinya. Harganya dua kali lipa harga mobilnya sendiri. “Seharusnya aku tidak membeli barang mahal saja,” sungutnya. “Kau mencari ini?” sebuah tangan yang memegang anting berwarna silver. Amel mendongak. Begitu melihat siapa yang menemukan antingnya, ia mendadak diam. Seperti pertemuan yang mengerikan. Amel terdiam seperti patung, kedua bola matanya memanas. Selama ini ia sangat menghindar bertemu dengan pria ini. “Kau tidak pernah berubah.” Hardin mendekat. Ia mengamati dalam-dalam wajah Amel yang masih cantiknya seperti dulu. Namun sekarang lebih terlihat dewasa. “Anting ini milikmu.” Hardin mengulurkan ta
“Aku juga sudah memutuskan akan mengakui Rafa sebagai anakku. Kau tidak perlu kawatir. Semua orang akan percaya jika Rafa adalah darah dagingku. Orang tuaku juga tidak akan keberatan.” Andres menatap Amel. Saat ini ia hanya memikirkan Amel dan Rafa. Amel berhenti sejenak. “Kau bisa melakukannya, namun apa kau tahu resikonya? Perusahaan. Citramu akan buruk di mata publik. Aku juga tidak ingin melibatkanmu Andres. Semua karena kesalahanku, aku sungguh tidak ingin melibatkanmu.” “Aku tidak peduli.” Andres menggeleng. “Aku akan melakukan apapun untuk melindungi kalian dari dia.” “Aku tidak ingin kau melakukan hal itu.” Amel mengusap tangan Andres. “Aku hanya ingin kau terus di sampingku dalam keadaan apapun.” “Aku akan selalu ada di sampingmu.” Andres menarik Amel ke dalam pelukannya. ~~Sesampainya di rumah. Amel langsung pergi ke kamar Rafa. Ia melihat putra semata wayangnya tengah tertidur pulas. Beberapa mainan yang berserakan membuatnya tersenyum tipis. Janin kecil yang tumbuh
Satpam itu malah tersenyum. “Saya tahu pacar nona Amel. Bukan anda, pacarnya sering ke sini. Jangan membohongiku, pergilah!” Satpam itu mengibaskan tangan mengusir Hardin. “Kamu kurang pintar mencari alasan.” “Kamu pasti penggemar nona Amel kan?” Satpam itu menggeleng pelan. “Dekati dia pelan-pelan. Jangan langsung seperti ini!” Hardin mengernyit. Satpam itu mengajaknya duduk di posnya. “Wanita manapun akan luluh dengan kelembutan. Jika kamu masih ingin berjuang mendapatkan Nona Amel, dekati dia dengan cara baik-baik. Dengan cara romantis. Contohnya—” Satpam itu memberi petuah pada Hardin. Melihat wajah Hardin yang masih mudah dan bonus tampan, membuatnya kasihan. Kasihan masih muda tidak tahu cara mengejar perempuan dengan baik. “Contohnya belikan suatu kesukaannya. Bawa bunga atau sekedar makanan ringan ketika bertemu.” Satpam itu mendekat. “Tapi jangan sampai ketahuan pacarnya.” “Jadi anda mendukung saya mengejar Amel walaupun dia sudah mempunyai pacar?” Satpam itu menganggu
“Kenapa?” Hardin mengejar Rafa. “Kau sakit?” Rafa menggeleng. “Mom melarangku bergaul dengan uncle. Kata Mom, uncle bisa saja orang jahat.” Mengambil tasnya kemudian mencangklongnya. “Bisa bermain ponsel?” tanya Hardin. Ia mengeluarkan ponselnya. “Panggil polisi jika uncle berbuat jahat.” Menyodorkan ponselnya pada bocah itu. Rafa menatap ponsel itu. “911 nomor polisi. Nomor Mom ehm…” Rafa mencoba mengingat. “Aku akan menelepon Mom jika uncle berbuat jahat.” Mengambil ponsel itu. kemudian mengetik nomor ibunya sendiri di sana. “Kau bisa menyimpan ponsel itu.” Hardin memasukkan ponsel itu ke dalam tas Rafa. Ponsel miliknya yang tidak terisi apapun selain game. “Sekarang kau mau pergi ke pantai bersamaku?” Hardin menguluarkan tangan. Rafa mengangguk. “Mau.” Perjalanan ke pantai membutuhkan waktu yang cukup lama. Setidaknya sekitar 40 menit. Rafa yang berada di kursi sampingnya, sampai tertidur pulas. Sesekali Hardin mengusap puncak kepala bocah itu. Meskipun belum terbukti Rafa
Andres berdecak. “Dua hari itu waktu yang lama jika berpisah denganmu.” Amel masih berusaha menahan tawanya. “Baiklah. Dua hari memang waktu yang lama. Tapi kita bisa bertelepon atau Video call. Jangan kawatir, aku akan selalu siap siaga.” “Janji.” Andres mencubit pipi Amel. “Janji.” Amel mengusap dagu Andres. “Hati-hati.” Andres menarik pinggang Amel semakin dengannya. Hingga menarik tengkuk Amel dan menciumnya. Tubuh amel semakin membentur meja. Derit meja bergeser tidak menghentikan kegiatan mereka. Sampai bunyi alarm di ponsel Andres berbunyi. Mereka berhenti—saling berpandang satu sama lain. “Aku harus pergi.” “Hm. Pergilah dan hati-hati.” Andres mengusap bibir bawah Amel yang basah. “Langsung pulang. Jangan ke mana-mana. Tunggu aku.” “Iya,” jawab Amel. Andres melepaskan Amel. Pria itu pergi keluar dengan senyum yang tidak luntur. Amel menatap jam dinding. Sudah pukul 6 sore. Ia seharusnya menjemput Rafa dua jam yang lalu. “Semoga saja Rafa tidak marah.” Amel segera men
“Jangan bermain-main dengan anakku,” Amel menunjuk Hardin. “Aku bisa melakukan apapun untuk membalasmu.” Hardin berdecih sinis. “Aku akan menantikannya.” Kemudian beralih menatap Rafa. “Rafael, masih ingin memancing?” Rafa yang tidak jauh dari mereka mengangguk. “Ayo berangkat. Kapalnya sudah datang.” Hardin menunjuk sebuah Yact yang baru saja berlabuh di pinggir pantai. “Ayo.” Ia kemudian berjalan mendakati Rafa. Kemudian menggandeng tangan bocah itu. “Tapi Mom?” tanya Rafa dengan polosnya. “Ikut uncle dulu,” bisik Hardin. “Uncle punya rencana supaya Mom juga ikut.” Kemudian mengedipkan mata. Rafa mengangguk dengan semangat. Bocah itu menantikan apa yang akan dilakukan untuk membuat ibunya ikut.“Rafa hati-hati!” Amel menghela nafas. Ia menatap kepergian sang putra dengan rasa kawatir. ~~Dermaga kecil yang digunakan tempat berlabuhnya Yacht privat milik orang-orang kaya. Hardin mengangkat tubuh Rafa. “Uncle akan memberitahukan rencananya.” Rafa mengangguk semangat. “Pura-pu
Ada sebuah pesan yang masuk membuat Amel terhenyak dari kantuknya. [Sedang Apa?]Amel tersenyum miris. Ia tidak seharunya berbohong pada Andres. [Di kasur bersiap tidur][baiklah tidur saja. Aku akan mengabarimu saat sudah sampai]Amel mengusap wajhanya sekal lagi. udara semakin dingin. Ia melihat Rafa dari tempatnya duduk. sejak kapan bocah itu sudah memakai pakaian yang hangat. “Uncle jika nanti aku mendapatkan ikan besar, uncle harus membantuku menariknya.” Rafa duduk di hadapan pancing. Menunggu sampai umpannya di sambar ikan. Hardin tertawa kecil. “Tentu saja uncle akan membantumu.” Mengusap puncak kepala Rafa dari samping. “Kau yakin mendapatkan ikan besar?” Rafa mengangguk. Tak lama pancing bocah itu bergoyang menandakan adanya ikan yang menyambar umpan. “Uncle tarik!” teriak Rafa. Bergegas menarik kail pancing itu. Hardin merasakan berat sekali. “Sepertinya memang ikan besar.” Ia sampai kualahan menarik. Tak lama—akhirnya berhasi. Sebuah ikan yang lumayan besar. Hardin men
Ketika membuka mata. seorang wanita mengernyit keheranan. Di ruangan putih yang serba rapi. Kemudian menatap punggung tangannya yang tertancap sebuah selang infus. Di rumah sakit. Amel berusaha bangun. Ia menyibak selimutnya. “Di mana Rafa?” kakinya barus aja akan menginjak lantai. “Aku sudah mengurus Rafa.” Hardin masuk ke dalam ruangan begitu saja. “Di mana?” nada bicara Amel mulai meninggi. Ia tidak bisa sabar tentang Rafa. “Kau membawa Rafa ke mana?” “Mom!” kepala bocah laki-laki yang menyembul dari balik pintu. Rafa berjalan mendekati ibunya. “Mom sakit. Jangan banyak bicara.” “Rafa jangan membuat Mom kawatir.” Amel memeluk Rafa erat. “Jangan pergi dari Mom. Tetap di sini. Jangan ke mana-mana.” “Tadi malam, suhu badanmu terus meningkat. Akhirnya aku membawamu ke rumah sakit. Tadi malam…” Hardin terdiam sejenak. “Aku membawa Rafa ke rumahku.” Amel menatap Hardin tanpa ekspresi. Jelas wanita itu sangat marah akibat kelancangan Hardin yang membawa Rafa seenaknya. “Pergi.” “T
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert