Hujan yang semakin lebat. Karina menunduk. Ia hanya berharap ada satu bus saja yang bisa membawanya pulang. TIN TIN Karina mendongak. Sebuah mobil hitam sport berhenti di depannya. Karina tahu pemiliknya. Ia memilih enggan untuk mendekat. Ia hanya ingin menyendiri. Karina tidak ingin bertemu dengan Saka atau yang lain. “KARINA COME HERE!” teriak Saka membuka jendela kaca mobilnya. Karina menggeleng. Ia berdiri. “Tinggalkan saya sendiri, Sir. Saya ingin sendiri.” Saka menyugar rambutnya gusar. “COME HERE, KARINA. JANGAN MEMBUATKU MARAH!” Karina bersingkut maju. Ia menghela nafas berkali-kali sebelum masuk ke dalam mobil Saka. Tubuhnya yang basah mengenai kursi bahkan bagian bawah mobil Saka. Baiklah setelah ini Karina harus mendengar omelan Saka juga. “Maaf,” lirih pelan Karina. Saka sudah menjalankan mobilnya. “Untuk?” “Baju saya basah. Mobil anda ikut basah.” Saka menatap Karina. Benar—wanita itu membuat mobilnya basah. Tapi bukan itu yang terpenting. Ia lega melihat Karina
Saka menarik pinggang polos Karina. Mengecup leher Karina sampai ke bawah. Kedua milik Karina sangat pas di genggamannya. Saka tersenyum miring menatap wajah Karina yang penuh gairah. Ia memainkannya dengan sesuka hati. “Apa yang kau inginkan?” tanya Saka. Karina menutup mata. Ia menyentuh tangan Saka yang bermain nakal di kedua miliknya. Karina suka—Karina tidak bisa berhenti. “Kau.” “Apa kau bilang?” tanya Saka sekal lagi. “Sentuh aku, Sir.” Saka tersenyum miring. Ia menurunkan resleting celananya. Menyatukan miliknya dengan milik Karina di bawah sana. “Bergerak.” Karina bergerak. Ia bergerak pelan sambil terus mendesah kenikmatan. “Ahh…,” Karina memejamkan mata. Kedua tangan Saka mencengkram pinggang Karina. Membantu Karina bergerak sesuai dengan ritme yang ia inginkan. Dari bawah—ia melihat wajah Karina yang begitu menggoda. Bagaimana wania itu memejamkan mata. Bagaimana wanita itu membuka bibirnya—mengeluarkan suara yangb baginya merdu. “Kau suka?” lirih Saka. Saka merem
Karina melebarkan mata mendengar teriakan itu. Ia mendorong Saka yang masih saja menciumi lehernya. "Itu Aruna.” “Biarkan saja.” Saka semakin memeluk Karina. Ia enggan bertemu dengan Aruna. Lebih baik memeluk Karina. Tubuh Karina yang seperti candu. Wanginya seperti vanila bercampur strowberry membuatnya candu. “SAKA AKU INGIN BERBICARA. KAU DI MANA?” teriak Aruna semakin kencang. Ia kesal sendiri karena tidak menemukan Saka. “Lepaskan dulu.” Karina mendorong tubuh Saka menjauh darinya. “Temui Aruna. Aku akan di sini.” Saka berdecak malas. Ia kemudian bangkit. Karina melengos—Saka yang tidak tahu malu. Saka yang tidak mengenakan apapun berjalan ke arah lemari. Mengambil kaos dan celana, kemudian memakainya dengan cepat. “Kau bahkan sudah melihat semuanya,” ujar Saka menatap Karina yang masih saja malu. Ia tersenyum tipis. Ia berjalan ke arah Karina. Mengecup perlahan dahi Karina kemudian pergi. Karina memegang dadanya. Apa? Kenapa dia begitu berdebar hanya karena Saka mencium ke
“Bagaimana jika ada orang yang tahu jika kita tinggal satu rumah. Bagaimana jika tiba-tiba Aruna datang ke sini, atau keluarga anda yang datang ke sini. Kemudian tahu saya ada di sini.” Karina menghela nafas. “Tolong pikirkan lagi.” Saka menatap Karina. Ia sungguh kesal pada Karina yang tidak mau menurut saja. Karina tidak ingin membuat Saka marah, sungguh. Untuk itu ia berjinjit mengecup pipi pria itu. Kemudian tersenyum. “Pikirkan lagi, saya mohon.” Saka yang awalnya ingin marah mendadak ingin tersenyum. Kemarahannya menghilang mendadak. Saka menjadi gemas sendiri pada Karina yang memohon padanya. Tidak bisa dibiarkan. Bisa runtuh pertahanan dirinya. “Terserah.” Saka menjauh. Ia berjalan keluar meninggalkan Karina sendirian. “Semoga dia bisa mempertimbangkan keinginannya.” Karina menatap punggung Saka yang sudah menghilang. Ia mendongak—menatap satu persatu lemari kaca yang berisi pakaian yang katanya menjadi miliknya. Ternyata bukan hanya pakaian tapi juga aksesoris. Ada tas
Leona memukul pelan bahu Saka. “Ada-ada saja kamu.” “Di mana istri kamu?” tanya Hendrick. “Dia ada kerjaan. Aku sudah memberitahunya. Dia akan menyusul ke Mansions,” balas Saka. Padahal Saka sendiri belum menghubungi Aruna. Ia terlalu sibuk bersama Karina hingga melupakan Aruna. “Bagaimana Delux di sini, Son?” tanya Hendrick. Saka menganggukkan kepala. “Baik. Hanya saja—” Saka menoleh. “Aku baru saja memecat 5 orang bawahanku, Dad. Aku tidak tahu jika selama ini banyak tikus di Delux. Mereka merugikan perusahaan.” “Bagus kau tahu lebih cepat.” Hendrick mengusap bahu Saka pelan. “Ke depannya kau harus memastikan tidak ada yang salah di perusahaan. Aku mempercayaimu, Son.” Orang tua Saka mempunyai Mansions sendiri. Mansion yang dua kali lipat lebih besar dari rumah Saka. Di dunia bisnis nama Hendrick Willson tidak asing lagi. Menjadi salah satu orang terkaya menurut majalah. Hendrick adalah pria keturunan Amerika yang menikah dengan wanita indonesia. Hendrick merupakan pendiri sek
Setelah itu bergegas pergi ke kamar mandi untuk siap-siap. Karina mengganti pakaiannya dengan sebuah dress hitam selutut. Ia menatap cermin—menaburkan bedak tipis di wajahnya. Tidak lupa menambahkan sebuah liptint. “Jam berapa dia akan ke sini?” Karina mengambil ponselnya. Lagi-lagi mati—Karina harus segera menggantinya. Lagipula uang pemberian Saka sangatlah banyak. Ia bisa membeli satu ponsel yang bagus untuk bekerja. Karina yang tidak bisa menghidupkan ponselnya, terpaksa hanya bisa menunggu Saka. Ia duduk di sofa depan TV. Menonton Tv sambil menunggu Saka datang. Namun sudah beberapa jam Saka tidak kunjung datang. “Apa dia lupa?” gumam Karina. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ia juga mulai menguap lebar. Karina menatap makanan yang telah dibuatnya. “Pasti sudah dingin. Aku akan menyimpannya di kulkas.” Karina merasakan kekecewaan. Atau dirinya lupa jika hanya sekedar penghibur. Karina menggeleng. Ia berusaha keras untuk tidak mengharapkan apapun da
Lift terbuka. Karina menunggu Saka berjalan lebih dulu. Tapi pria itu kembali menekan tombol, hingga lift kembali tertutup. Karina mendongak. “Sir—” “Jelaskan padaku apa yang terjadi?” Karina baru tahu masih ada lantai atas. Pasti ke rooftop. Lift terbuka. Mereka langsung berada di ruangan paling atas. Saka berjalan keluar lebih dulu. Karina mengikutinya dengan ragu. Di Rooftop tidak ada apapun yang spesial. Hanya ada satu sofa buluk yang masih berada di sana. “Jelaskan, Karina,” desak Saka. Karina menatap langit cerah. “Hanya gosip.” Saka memegang kedua bahu Karina. “Gosip seperti apa?” “Ada yang merekam kejadian di Reuni. Mereka semua mengira aku menggoda suami temanku. Ya begitulah.” Karina tersenyum. Saka mengernyit. Ia menaruh salah satu tangannya ke dalam saku. Bukan Karina yang marah—tetapi malah dirinya. Saka tidak terima ada orang lain yang menyakiti Karina. Karena hanya dirinya saja yang boleh menyakiti wanita itu. “Apa kau tahu siapa penyebarnya?” tanya Saka. Karin
“Apa saya menganggu?” tanya seorang pria. Ronald datang membawa beberapa berkas. Ruangan Ronald memang terpisah, pria itu masih menjadi Asistennya. Sesekali masih berkomunikasi langsung dengan Saka. Tapi kebanyakan memang sering berdiskusi online dengan Karina. Saka melengos. Ia berjalan masuk ke dalam ruangannya. Diikuti oleh Ronald. “Ini adalah peraturan baru yang sudah dibuat oleh bagian personalia.” Ronald memberikan sebuah dokumen. “Saya sudah memeriksanya—ada beberapa point yang menurut saya kurang. Anda bisa melihatnya sendiri.” “Hm. Pergilah.” Saka mengambil dokumen itu dengan malas. “Baik, Sir.” Ronald membalikkan badan. “Sir jangan galak-galak pada Karina. Dia terlihat sangat ketakutan.” Saka mendongak. Hendak membalas perkataan Asistennya itu namun Ronald sudah keburu pergi. ~~ Sampai istirahat siang. Saka sama sekali tidak memanggil Karina. Ia masih kesal dan jengkel setengah mati. Pokoknya ia tidak akan berbicara dengan wanita itu. Sedangkan Karina hanya bisa pasra
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert