“Jadi ini adalah Apartemen kamu.” Daniel menunjuk Apartemennya yang hanya berjarak beberapa pintu. “Itu Apartemenku.” Amel memutar bola matanya malas. “Iya kemarin kak Daniel sudah mengatakannya.” Daniel sedikit menurunkan badannya. “Agar mudah mengawasimu.” Tak! Menyentil pelan dahi Amel. “Belajar yang benar, bocah!” Amel mencebikkan bibirnya. “Aku bukan bocah.” “Oke kamu memang sudah besar.” Daniel memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. “Tunggu aku pulang, aku akan mengantarmu berkeliling ke Universitas.” “Tidak perlu,” sargah Amel dengan cepat. “Aku akan ke sana sendiri. Aku ingin belajar mandiri mulai sekarang.” Daniel berpikir sebentar. “Oke. Kalau ada apa-apa hubungi aku.” Amel mengangguk. “Sudah sana. Pergilah bekerja.” “Kamu mengusirku?” Daniel menggeleng pelan. “Teganya setelah diantar malah mengusir.” Daniel membalikkan badan. Lalu berjalan ke arah lift berada. “Apa dia marah?” lirih Amel. “Aku hanya bercanda!” teriak Amel saat Daniel sudah melangkah masuk ke dal
Siapa yang tidak suka dengan bos seperti Daniel. Selain tampan dan seksi. Daniel juga kaya, dari keluarga yang bukan main-main dan yang terpenting pria baik-baik. Namun seharusnya Lara tahu bahwa menarik pria baik-baik bukan dengan menggodanya dengan tubuh. “Iya, Sir. Saya akan membeli baju yang lebih hangat.” Lara mengambil tumpukan dokumen itu. 3 kancing teratas kemeja yang digunakannya sengaja dibiarkan terbuka. Menampilkan sebagian dadanya yang menggoda. “Apa anda ingin makan siang di luar?” tanya Lara. “Aku akan makan di kantor saja. Kamu bisa keluar.” Daniel menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia memejamkan mata. Merasa lebih pusing akhir-akhir ini. Entahlah mungkin karena pekerjaan yang sangat banyak. Benar kata Mama, mungkin ia akan mulai mencari istri saja. ~~ Tidak membutuhkan waktu lama untuk Amel menemukan teman baru. Dengan kepribadiannya yang ceria, ia sudah mempunyai dua teman yang sama satu jurusan. Setelah bertemu di kampus. Mereka memutuskan untuk makan ramen di s
1 bulan terlewati. Amel menjalin kehidupan kampusnya dengan lancar. Ia jarang sekali bertemu dengan Daniel. Katanya, pria itu sedang sibuk riwa-riwi bepergian bertemu dengan klien. Namun perhatian Daniel tidak putus. Tunggu! Apa bisa disebut perhatian? Daniel yang selalu menanyakan kegiatan Amel. Memastikan Amel makan tepat waktu. Daniel yang sering memesankan makanan untuk Amel. Seperti saat ini. [Kamu sedang apa?]-dari Daniel [Aku hanya mengerjakan tugas.] [Selesai jam berapa?] [Jam 2 mungkin. Tugasku sangat banyak. Bagaimana denganmu kak?] [Aku sekarang di London. Ingin kubawakan sesuatu?] “Sebenarnya aku ingin cokelat di dekat Supermarket samping Mansions kakek.” Tapi Amel buru-buru menghapusnya. Ia tidak mau merepotkan Daniel untuk menuruti keinginannya. [Tidak. Pulanglah dengan selamat] TING TING “Aku tidak memesan apapun,” lirih Amel. Pesan dari Daniel lagi-lagi masuk. [Aku sudah memesan makan malam untukmu. Kamu bisa kelaparan mengejarkan tugas sampai malam.] Amel
Daniel memandang Amel yang tengah memunggunginya. Dress yang seperti kekecilan. Punggung Amel terbuka, hanya ada sebuah tali tipis yang kini tertutupi oleh rambut perempuan itu. Ketika Amel berbalik menghadapnya. Ia bisa menatap penampilan Amel lebih jelas. Dress yang hanya sebatas setengah paha. Dengan potongan rendah, hampir menunjukkan belahan dada Amel. “Mau ke mana dengan pakaian seperti itu?” Daniel menghela nafas. Ia keluar untuk membawakan Amel makan malam. Nasi goreng yang ia buat sendiri. “Ak-aku akan menghadiri acara penyambutan mahasiswa baru.” Amel merasa tidak nyaman dengan tatapan tajam Daniel. “Aku akan pulang sebelum jam 12.” “Dengan siapa?” “Dengan teman-temanku.” Daniel mendekat. “Sekarang di mana mereka?” “Mereka sudah di sana.” Amel sedikit meringis saat tali kecil di bahunya terjatuh. Ia menggigit bibirnya saat Daniel tidak sengaja melihat itu. Saat Daniel mengalihkan pandangan, ia segera membetulkan tali di bahunya. “Ganti pakaianmu dulu.” Daniel menata
Hardin mengangguk. Amel berdecih pelan. Ia menyingkirkan tangan Hardin yang berada di pipinya. “Kau tidak akan bisa menyentuhku sembarangan!” mendorong dada Hardin. Amel berjalan menjauh. Ia akan mencari temannya terlebih dahulu. Hardin yang baru kali ini mendapat penolakan. Ia tersenyum miring. Jujur saja tubuh Amel sangat menggoda di matanya. Maka dari itu ia langsung saja mengatakan keinginannya dengan cepat. “Caitlin! Annie!” Amel melambaikan tangan. Kedua temannya itu sedang duduk dengan dua pria. “Aku akan pergi.” Amel berpamitan. Ia melirik meja yang berisi beberapa botol dan entah alat permainan apa. “Kenapa buru-buru?” Annie menarik Amel agar duduk di sampingnya. “Jarang-jarang kita bisa bergaul dengan The Givers. Jangan pulang dulu oke?” “Kenalkan ini temanku. Namanya Amelia, kalian bisa memanggilnya Amel,” jelas Caitlin. “Hai, aku Amel.” Amel tersenyum. “Aku Gerald. Nice to meet you, Amel,” ujar pria berambut sedikit keperakan itu. Posisinya sebagai gitaris. “Aku
Annie merangkul lengan Amel. Bahkan mengikuti ke manapun Amel pergi. Ke toilet—Annie menunggu Amel di depan bilik pintu. “Amel temani aku bertemu dengan mereka.” Annie menunduk. Menyatukan kedua tangannya. “Dengan Caitlin saja.” “Caitlin pulang kampung. Kakaknya menikah.” Amel yang berpura-pura sibuk tidak mendengar Annie. Ia membasuh wajahnya dengan air. Mengambil beberapa lembar tisu untuk mengusap wajahnya. “Amel bantu aku, kali ini saja. Aku benar-benar tidak berani.” Annie menghentakkan kakinya ke bawah. “Kemarin kau berani sekali.” Amel mencebikkan bibirnya. “Kemarina kalian terlihat sangat akrab kenapa sekarang menjadi takut. Lagipula aku tidak suka ‘mereka’.” “Kemarin karena aku mabuk. Aku lebih santai berhadapan dengan mereka. Berbeda dengan sekarang. Aku dalam keadaan sadar tidak cukup berani berhadapan dengan mereka.” ‘Mereka’ yang dimaksud oleh Annie dan Amel adalah The Givers. Kemarin dompet Annie ketinggalan dan katanya ada pada mereka. Annie yang sudah gugup den
“Di kamarmu.” Annie menunjuk kamar dengan dagunya. “Kamarku?” Amel menunjuk dirinya sendiri. “Bukan kamar kita berdua? Aku mendapat kamar sendiri?” Annie meringis pelan mendekati Amel. “Aku satu kamar dengan Joseph dan kau satu kamar dengan Hardin.” Pppffft! Amel hampir menyemburkan minuman di dalam mulutnya. “Kau bercanda?” “Tidak.” Annie menggeleng. “Bantu aku, Amel. Untuk memperlancar hubunganku dengan Joseph. Kau harus sekamar dengan Hardin. Aku yakin dia tidak akan berani macam-macam denganmu.” Amel menatap kesal Annie. “Fuck you bitch!” Annie tertawa. Mendorong Amel ke sebuah kamar yang sudah ditunjuknya tadi. “Masuk saja.” “Aku akan membunuhmu, An—” Amel tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena Annie yang sudah mendorongnya masuk ke dalam. Ia menghela nafas sambil mengacak rambutnya frustasi. Lagi-lagi ia melotot. Kekesalannya sudah bertambah. “Permisi, Sir—” Amel berbalik memunggungi Hardin yang melepas pakaian di hadapannya. “Kau harus sadar jika ada orang lain di s
Aneh sekali—Amel langsung tertidur begitu saja setelah mabuk. Namun beberapa jam kemudian, ia malah terbangun. Kepalanya sungguh berat. Selain pusing—ia juga merasa sangat mual. Alhasil ia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya di sana. Huek huek! Amel menata pantulan dirinya di depan cermin. Tidak ada yang berubah pada wajahnya. Hanya berantakan saja. Setelah berkumur dan membersihkan bibirnya. Ia keluar—namun ia tidak menjumpai keberadaan laki-laki yang ditendangnya tadi. “Apa dia marah denganku?” Amel duduk di tepi ranjang. “Seharusnya di sini. Tapi memang lebih baik dia tidak di sini. Tapi—” Amel menggigit kuku jarinya. “Bagaimana jika dia tidur di luar. Dia yang punya Villa masa tidur di luar?” Amel perlahan keluar. Tidak ada orang-orang lagi. Mungkin semuanya sudah tidur. Ada suara-suara aneh yang terdengar dari kamar depan. Kamar Nicole dan Gerald. Suara desahan khas orang bercinta. “Dunia serasa milik mereka berdua,” gumam Amel. “Ke mana aku harus mencari Har
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert