Hardin mengangguk. Amel berdecih pelan. Ia menyingkirkan tangan Hardin yang berada di pipinya. “Kau tidak akan bisa menyentuhku sembarangan!” mendorong dada Hardin. Amel berjalan menjauh. Ia akan mencari temannya terlebih dahulu. Hardin yang baru kali ini mendapat penolakan. Ia tersenyum miring. Jujur saja tubuh Amel sangat menggoda di matanya. Maka dari itu ia langsung saja mengatakan keinginannya dengan cepat. “Caitlin! Annie!” Amel melambaikan tangan. Kedua temannya itu sedang duduk dengan dua pria. “Aku akan pergi.” Amel berpamitan. Ia melirik meja yang berisi beberapa botol dan entah alat permainan apa. “Kenapa buru-buru?” Annie menarik Amel agar duduk di sampingnya. “Jarang-jarang kita bisa bergaul dengan The Givers. Jangan pulang dulu oke?” “Kenalkan ini temanku. Namanya Amelia, kalian bisa memanggilnya Amel,” jelas Caitlin. “Hai, aku Amel.” Amel tersenyum. “Aku Gerald. Nice to meet you, Amel,” ujar pria berambut sedikit keperakan itu. Posisinya sebagai gitaris. “Aku
Annie merangkul lengan Amel. Bahkan mengikuti ke manapun Amel pergi. Ke toilet—Annie menunggu Amel di depan bilik pintu. “Amel temani aku bertemu dengan mereka.” Annie menunduk. Menyatukan kedua tangannya. “Dengan Caitlin saja.” “Caitlin pulang kampung. Kakaknya menikah.” Amel yang berpura-pura sibuk tidak mendengar Annie. Ia membasuh wajahnya dengan air. Mengambil beberapa lembar tisu untuk mengusap wajahnya. “Amel bantu aku, kali ini saja. Aku benar-benar tidak berani.” Annie menghentakkan kakinya ke bawah. “Kemarin kau berani sekali.” Amel mencebikkan bibirnya. “Kemarina kalian terlihat sangat akrab kenapa sekarang menjadi takut. Lagipula aku tidak suka ‘mereka’.” “Kemarin karena aku mabuk. Aku lebih santai berhadapan dengan mereka. Berbeda dengan sekarang. Aku dalam keadaan sadar tidak cukup berani berhadapan dengan mereka.” ‘Mereka’ yang dimaksud oleh Annie dan Amel adalah The Givers. Kemarin dompet Annie ketinggalan dan katanya ada pada mereka. Annie yang sudah gugup den
“Di kamarmu.” Annie menunjuk kamar dengan dagunya. “Kamarku?” Amel menunjuk dirinya sendiri. “Bukan kamar kita berdua? Aku mendapat kamar sendiri?” Annie meringis pelan mendekati Amel. “Aku satu kamar dengan Joseph dan kau satu kamar dengan Hardin.” Pppffft! Amel hampir menyemburkan minuman di dalam mulutnya. “Kau bercanda?” “Tidak.” Annie menggeleng. “Bantu aku, Amel. Untuk memperlancar hubunganku dengan Joseph. Kau harus sekamar dengan Hardin. Aku yakin dia tidak akan berani macam-macam denganmu.” Amel menatap kesal Annie. “Fuck you bitch!” Annie tertawa. Mendorong Amel ke sebuah kamar yang sudah ditunjuknya tadi. “Masuk saja.” “Aku akan membunuhmu, An—” Amel tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena Annie yang sudah mendorongnya masuk ke dalam. Ia menghela nafas sambil mengacak rambutnya frustasi. Lagi-lagi ia melotot. Kekesalannya sudah bertambah. “Permisi, Sir—” Amel berbalik memunggungi Hardin yang melepas pakaian di hadapannya. “Kau harus sadar jika ada orang lain di s
Aneh sekali—Amel langsung tertidur begitu saja setelah mabuk. Namun beberapa jam kemudian, ia malah terbangun. Kepalanya sungguh berat. Selain pusing—ia juga merasa sangat mual. Alhasil ia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya di sana. Huek huek! Amel menata pantulan dirinya di depan cermin. Tidak ada yang berubah pada wajahnya. Hanya berantakan saja. Setelah berkumur dan membersihkan bibirnya. Ia keluar—namun ia tidak menjumpai keberadaan laki-laki yang ditendangnya tadi. “Apa dia marah denganku?” Amel duduk di tepi ranjang. “Seharusnya di sini. Tapi memang lebih baik dia tidak di sini. Tapi—” Amel menggigit kuku jarinya. “Bagaimana jika dia tidur di luar. Dia yang punya Villa masa tidur di luar?” Amel perlahan keluar. Tidak ada orang-orang lagi. Mungkin semuanya sudah tidur. Ada suara-suara aneh yang terdengar dari kamar depan. Kamar Nicole dan Gerald. Suara desahan khas orang bercinta. “Dunia serasa milik mereka berdua,” gumam Amel. “Ke mana aku harus mencari Har
“Kenapa?” Daniel sempat terdiam. “Aku perlu alasan yang jelas.” Amel merapikan obat-obatan yang berserakan di meja. “Jika tidak bisa menjawab aku tidak akan menurut.” “Hardin bukan pria yang baik.” “Sudah aku bilang. Katakan alasan yang jelas.” “Untuk saat ini aku tidak bisa menjelaskannnya. Tapi aku mohon menjauh darinya.” Daniel menyentuh kedua bahu Amel. “Dengarkan perkataanku.” Amel mengangguk pelan. “Jadi kemarin kamu berbohong dan pergi bersama Hardin?” tanya Daniel. “Dengan teman yang lain juga,” balas Amel cepat. Ia hanya tidak ingin dituduh tidak jelas. “Oh. Lalu kenapa kamu tidak bilang saja yang sebenarnya?” “Jika aku berkata jujur. Apa Kak Daniel mengijinkanku?” Amel berdecak pelan. “Tidak akan. Bahkan Kak Daniel bisa menyusul dan menjemputku pulang.” “Bukan seperti itu Amel—” Daniel menatap ponselnya yang berbunyi. Dari Sekretarisnya. Seharusnya ia ada rapat dengan para bawahannya. Namun dengan adanya kejadian ini, ia memundurkan agenda beberapa menit. “Tunggu
Waktu yang berputar dengan cepat. Amel berada di dalam mobil yang sama dengan Hardin. Padahal kemarin baru saja jalan-jalan dengan Daniel. Sebenarnya tidak ada yang spesial. Hanya nonton, setelah itu makan lalu pulang. Entahlah—Amel hanya merasa sedikit bosan. “Suka lagu apa?” tanya Hardin. “Taylor Swift.” Lagu Taylor Swift berjudul Cruel Summer itu berputar. Amel yang menggerakkan kepalanya menikmati alunan musik. “This is my favorite song.” “I know.” Hardin tersenyum. “Bagaimana kau tahu?” “Hanya menebak.” Hardin mengedikkan bahu. “Dasar,” cibir Amel. “Bagaimana denganmu? Lagu apa yang kau suka?” “The beathles.” Amel mengangguk paham. “Sudah jelas.” “Apanya yang jelas?” “Dari genre musik yang kau bawakan.” Amel tidak bisa berhenti tersenyum saat bersama Hardin. Entahlah—pria itu membawa suasana menjadi lebih baik. “Benarkah? Kau pandai menebak orang ternyata.” Amel memutar bola matanya malas. “Kau terlalu berlebihan.” Mengangkat tangannya dan memukul bahu Hardin pelan.
“Kami The Givers. Hari ini kami akan menampilkan 2 lagu terbaru kami.” Hardin mulai berbicara.Berdiri di atas panggung. Rambut ikal yang beberapa kali tersapu oleh hembusan angin. Juga—sorot lampu yang mulai menyala. Hardin bukan lagi terlihat sebagai laki-laki biasa.Laki-laki itu adalah seorang superstar. Sedangkan Amel berdiri di bawah bersama pengunjung lain. Berdiri di antara banyaknya wanita yang menjerit melihat ketampanan seorang Hardin.“Hardin semakin hot saja. Aku sudah memfollownya sejak dua tahun lalu.”“Mereka bertiga sangat mempesona. Tapi Hardin memang yang paling bersinar di mataku.”Amel tersenyum mendengar pujian-pujian yang dilontarkan oleh perempuan di sekitarnya. Ia merogoh ponselnya—ia akan merekam penampilan Hardin malam ini.Di awali dengan genjrengan gitar kemudian drum yang paling ditunggu adalah suara Hardin. “Waaah,” tanpa sadar Amel bergumam kagum.“Kau sangat bersemangat,” bisik Nicole.“Mereka luar biasa.” Amel mengangguk. “Mereka seperti coldplay. Col
Perasaan ini akhirnya ia rasakan. Sangat senang sampai tidak bisa tidur. Bibirnya tidak bisa berhenti melengkungkan senyum. Sedangkan dadanya terus berdebar. “Sudah sampai rumah?” Amel menuliskan pesan tersebut pada Hardin. Belum terbaca. Amel sadar pria itu pasti masih dalam perjalanan. TING! Amel bangkit. Ia keluar tanpa memeriksa lebih dulu siapa. Tidak ada orang—hanya sebuah makanan pesanan yang diletakkan di depan pintu. Siapa pengirimnya kalau bukan Daniel. “Ke mana dia? Apa belum pulang?” Amel menatap pintu Apartemen Daniel. Ia kembali ke dalam. Membuka kotak perlahan. Isinya adalah rendang, nasi dan ayam goreng. “Dari mana dia memesan makanan Indonesia?” heran Amel. “Aku masih kenyang.” Amel mengambil makanan itu satu persatu kemudian ditaruhnya ke dalam kulkas. “Besok aku akan memakannya.” Ting! Amel merogoh ponselnya. Dari Daniel. [Jangan lupa makan] [Oke] Amel melihat pesannya sudah dibaca oleh Hardin. Sudah menunggu sambil berdiri—namun Hardin tidak kunjung mem
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert