“Kami The Givers. Hari ini kami akan menampilkan 2 lagu terbaru kami.” Hardin mulai berbicara.Berdiri di atas panggung. Rambut ikal yang beberapa kali tersapu oleh hembusan angin. Juga—sorot lampu yang mulai menyala. Hardin bukan lagi terlihat sebagai laki-laki biasa.Laki-laki itu adalah seorang superstar. Sedangkan Amel berdiri di bawah bersama pengunjung lain. Berdiri di antara banyaknya wanita yang menjerit melihat ketampanan seorang Hardin.“Hardin semakin hot saja. Aku sudah memfollownya sejak dua tahun lalu.”“Mereka bertiga sangat mempesona. Tapi Hardin memang yang paling bersinar di mataku.”Amel tersenyum mendengar pujian-pujian yang dilontarkan oleh perempuan di sekitarnya. Ia merogoh ponselnya—ia akan merekam penampilan Hardin malam ini.Di awali dengan genjrengan gitar kemudian drum yang paling ditunggu adalah suara Hardin. “Waaah,” tanpa sadar Amel bergumam kagum.“Kau sangat bersemangat,” bisik Nicole.“Mereka luar biasa.” Amel mengangguk. “Mereka seperti coldplay. Col
Perasaan ini akhirnya ia rasakan. Sangat senang sampai tidak bisa tidur. Bibirnya tidak bisa berhenti melengkungkan senyum. Sedangkan dadanya terus berdebar. “Sudah sampai rumah?” Amel menuliskan pesan tersebut pada Hardin. Belum terbaca. Amel sadar pria itu pasti masih dalam perjalanan. TING! Amel bangkit. Ia keluar tanpa memeriksa lebih dulu siapa. Tidak ada orang—hanya sebuah makanan pesanan yang diletakkan di depan pintu. Siapa pengirimnya kalau bukan Daniel. “Ke mana dia? Apa belum pulang?” Amel menatap pintu Apartemen Daniel. Ia kembali ke dalam. Membuka kotak perlahan. Isinya adalah rendang, nasi dan ayam goreng. “Dari mana dia memesan makanan Indonesia?” heran Amel. “Aku masih kenyang.” Amel mengambil makanan itu satu persatu kemudian ditaruhnya ke dalam kulkas. “Besok aku akan memakannya.” Ting! Amel merogoh ponselnya. Dari Daniel. [Jangan lupa makan] [Oke] Amel melihat pesannya sudah dibaca oleh Hardin. Sudah menunggu sambil berdiri—namun Hardin tidak kunjung mem
“Tidak.” Hardin mendekat. “Kau sangat cantik.” “Thank you, sir.” Amel mendongak. “Bisa berangkat sekarang?” “Yes.” Hardin membukakan pintu. Amel yang sudah duduk. Hardin terlihat sangat baik menggunakan pakaian formal. Apalagi rambut pria itu di sisir dengan rapi. Lebih tampan, mungkin. “Akan ada sedikit wartawan, apa kau baik-baik saja?” “Ya, aku tidak keberatan. Asal jangan ada wawancara saja.” Amel tertawa pelan. Karena setiap kali Delux atau DN ulang tahun, ia sangat menghindari kamera. Bahkan para jurnalis tidak mendapatkan gambarnya sama sekali. Sampai sekarang, tidak ada berita yang berhasil memunculkan anak kedua Steven. “Sejujurnya aku juga tidak suka.” Hardin menoleh. “Jadi ayo hindari wartawan bersama-sama.” “Tentu.” Amel mengangguk. Setelah menempuh perjalanan hampir 30 menit. Akhirnya mereka sampai juga. Di depan gedung nampak sangat-sangat ramai. Ada begitu banyak wartawan. Mungkin sekitar 20 atau 30 an. Ada semacam red karpet dan ruang untuk wawancara. “Apa ba
“Kita berteman Dad!” sahut Amel. “Kita berteman kan Hardin?” ia mendongak. menunjukkan raut melasnya. “Ya kita berteman,” ucap Hardin sangat pelan. Jenifer bersindekap. “Mom tidak percaya.” “Mom.” Amel menunjuk dirinya sendiri. “Mom memang tidak pernah percaya pada putri Mom ini. Dari dulu Mom hanya percaya pada kak Olivia.” “Karena kakakmu lebih meyakinkan dari pada kamu.” Jenifer menatap Amel dari atas hingga bawah. “Kakakmu saja tidak pernah memakai pakaian seperti ini.” Melihat pakaian Amel ini saja sudah ngamuk-ngamuk. Bagaimana jika melihat pakaian Amel terakhir kali datang ke pesta bersama teman-temannya? Bisa dikeluarkan dari kk dan dicoret dari daftar warisan. Hardin melihat bagaimana akrab dan hangatnya keluarga Amel. Ia sedikit iri. Keluarga Amel yang lengkap dan terlihat bahagia. Ia tersenyum melihat Amel bersama keluarganya. “Kami akan di sini selama 1 bulan.” ‘Lama banget mau ngapain aja?’ batin Amel berteriak kencang. “Dad ada urusan selama di sini. Dalam 1 bul
“Jika dia memperlakukanmu berbeda. Dia tidak akan menyentuhmu, Amel.” “Cukup kak!” Amel setengah teriak. “Sudah cukup sampai di sini. Aku tidak ingin berdebat dan bertengkar denganmu. Jadi aku mohon sampai di sini.” Amel melangkah menuju pintu keluar. “Aku akan memesankan makanan. Jangan lupa minum obat setelah makan,” ujarnya sebelum membuka pintu dan keluar. ~~ Keesokan harinya. Amel terbangun dari tidurnya. Ia menatap cermin. Wajahnya sangat kusut. Terdapat kantung hitam di bawah mata. Semalaman menangis setelah bertengkar dengan Daniel. Daniel ia anggap sebagai kakaknya. Ia memang sempat mempunyai rasa suka pada laki-laki itu, namun rasa suka itu menghilang begitu saja. Berganti dengan perasaan biasa saja. Ia menyayangi Daniel layaknya kakaknya sendiri. “Aku menangis semalaman.” Amel mengusap wajahnya. Ting ting! Amel berjalan ke pintu. Membukanya perlahan. “Surprise!” Jenifer dengan ceria. Ia membawa kue kesukaan putrinya. Namun ia menjadi terdiam saat melihat Amel yang
“Sorry kalau orang tuaku terlalu berlebihan. Padahal hubungan kita—” “Hubungan kita apa? Kau kira aku tidak serius selama ini?” Hardin menangkup wajah Amel. “Jika aku tidak serius aku tidak akan datang ke sini, Amel. Aku bahkan sudah berjanji pada orang tuamu akan berusaha menjagamu.” “Apa kau masih tidak yakin denganku?” Amel mengangguk. “Kau populer. Banyak perempuan yang mengejarmu. Kau bisa saja memilih mereka tanpa melewati banyak rintangan. Keluargaku memiliki banyak aturan tentang hubungan.” “Aku tidak masalah. Yang terpenting aku menyukaimu. Aku ingin bersamamu.” Hardin mengambil tangan Amel. Digenggamnya dengan nyaman. “Itu artinya?” Hardin mengernyit. “Artinya aku menyukaimu.” “Artinya—” Amel mengerucutkan bibirnya. “Do you wanna be my boyfriend Hardin?” bukankah seharusnya Hardin yang mengatakannya, bukan Amel? Tapi Hardin yang sangat lama membuat Amel tidak sabar. “Of course.” Tuh kan! Masih tidak mengerti juga. “Seharusnya kau yang mengajakku berkencan Hardin.”
“WHOOAAAH!” seru semuanya saat Nicole sudah memotong kue. Dilanjut dengan saling mengangkat minuman. Kemudian bersulang ria. “Are you ready for tonight?” seru MC. “Please welcome Dj Rich Richiy!” Pertunjukkan mulai. Dj di depan mulai menekan sebuah alat hingga bunyi musik terdengar. Musik yang mengalun dengan keras. Semua orang berbondong mendekati arena panggung. Mengangkat kedua tangan dan menggerakkan badan mengikuti alunan musik. Sedang kedua temannya yang sudah pergi berjoged ria. Amel malah terdampar duduk di depan bar. Dengan minuman yang masih setengah. “Hai pretty.” Amel merasakan deru nafas seseorang mengenai tengkuk lehernya. Kemudian suara berat itu—ia mengenalnya. Di susul dengan aroma parfum seseorang yang sangat ia kenal. “Kenapa di sini?” Hardin mengambil duduk di samping Amel. “Kau tidak memberitahuku jika datang hm?” Hardin mengusap helaian rambut Amel. Amel mengangkat kepalanya. “Hardin? Kau di sini?” “Hm.” Hardin mendekat. Mendaratkan tangannya di pinggang
“Hardin..” Amel yang semakin pusing. Gelanyar aneh namun nikmat ini. Ia memengang lengan Hardin. “Aku akan memuaskanmu.” Hardin menaikkan dress yang digunakan Amel. Kembali memasukkan jemarinya di sana. Tubuh Amel yang sedikit terserentak ke belakang. Hardin semakin mempercapat gerakan tangannya. Semakin basah hingga tubuh Amel kembali bergetar. “Kau suka?” Amel mengangguk pelan. ~~ Sebelum masuk ke dalam gedung Apartemennya, Amel berjongkok. Ia menatap tumbuhan di depannya. Menyentuhnya—bergerak maju untuk menghirupnya. “Itu bukan bunga,” ujar Hardin yang ikut berjongkok. Amel menutup mata. “Aku mual.” “Muntahkan saja.” Hardin mengusap tengkuk Amel. HUEK! Hardin harus merelakan jaketnya terkena muntahan Amel. “Muntah di sini.” Ia mengarahkan Amel pada tanah samping tanaman. Ia melepaskan jaketnya, melemparnya ke dalam mobil. Setelah itu meraih tisu. “Aku sangat sedih….” Amel mendongak. “Kenapa?” Hardin mengusap bibir Amel pelan. Amel sudah berkaca-kaca, tak lama menangi
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert