“Hardin..” Amel yang semakin pusing. Gelanyar aneh namun nikmat ini. Ia memengang lengan Hardin. “Aku akan memuaskanmu.” Hardin menaikkan dress yang digunakan Amel. Kembali memasukkan jemarinya di sana. Tubuh Amel yang sedikit terserentak ke belakang. Hardin semakin mempercapat gerakan tangannya. Semakin basah hingga tubuh Amel kembali bergetar. “Kau suka?” Amel mengangguk pelan. ~~ Sebelum masuk ke dalam gedung Apartemennya, Amel berjongkok. Ia menatap tumbuhan di depannya. Menyentuhnya—bergerak maju untuk menghirupnya. “Itu bukan bunga,” ujar Hardin yang ikut berjongkok. Amel menutup mata. “Aku mual.” “Muntahkan saja.” Hardin mengusap tengkuk Amel. HUEK! Hardin harus merelakan jaketnya terkena muntahan Amel. “Muntah di sini.” Ia mengarahkan Amel pada tanah samping tanaman. Ia melepaskan jaketnya, melemparnya ke dalam mobil. Setelah itu meraih tisu. “Aku sangat sedih….” Amel mendongak. “Kenapa?” Hardin mengusap bibir Amel pelan. Amel sudah berkaca-kaca, tak lama menangi
“Amel makan dulu. Jangan main hp terus.” Jenifer memperingati putrinya. Ia menambah nasi ke atas piring Amel. “Makan yang banyak. Jangan sampai kurus.” Amel menatap makanannya dengan tidak nafsu. Namun demi menghargai orang tuanya, ia menghabiskan makanan yang sudah dibuat susah payah oleh ibunya. “Amel harus ke kampus.” Setelah makan, Amel buru-buru pergi. Ia harus pergi mencari Hardin. Ke manapun. Ia harus bertemu dengan pria itu. Amel tidak tahu bagaimana keadaan Hardin. Ia takut jika hardin melakukan hal buruk. Ini menjadi keempat kalinya Amel datang ke rumah. Ia berharap ada satu saja teman Hardin yang ada di sini. Setidaknya ia bisa bertanya. Menghadapi kenyataan pahit sudah hampir satu jam ia duduk di depan. Namun tidak ada orang yang datang. Amel mencangklong tasnya kembali. Ia hendak kembali. Brum brum. Ia berheti saat motor memasuki halaman. Itu adalah Gerald. Pria itu baru saja membuka helm. Keningnya mengerut—pertanda sedikit terkejut dengan kehadiran Amel di sini.
Amel menangis sambil tertawa. “Amin paling serius.” Jenifer memeluk Amel. Kemudian Steven juga ikut memeluk kedua perempuan itu. “Amel ingin pulang.” “Biar Dad yang mengantar kamu.” Amel menggeleng. “Amel ingin mencari udara segar sendiri. Jadi Amel ingin menyetir sendiri.” “Baiklah.” Steven merogoh kunci mobilnya. “Hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung hubungi, Dad.” Amel pergi. Steven dan Jenifer masih duduk di tepi ranjang. Jenifer menghela nafas lelah. “Aku hanya merasa sedih karena tidak bisa memisahkan antara urusan bisnis dengan urusan keluarga. Apakah mereka akan terus memaksa anak dan cucu mereka menikah dengan orang yang tidak dicintai? Apakah perjodohan ini akan terus berlanjut sampai nanti?” keluh kesah Jenifer terluap. “Kita tidak bisa mengubah kebiasaan orang tuaku. Yang terpenting anak-anak kita tidak merasakannya. Olivia sudah menikah dengan pria pilihannya sendiri. Sekarang tinggal Amel.” Jenifer memejamkan mata. “Hatinya pasti sakit sekali. Hardin adalah pri
2 tahun berlalu. Seorang perempuan memasuki sebuah perusahaan. Sebuah perusahaan yang menangani perencanaan dan pembangunan sebuah bangunan. Di sanalah para arsitek berkumpul. Amel sudah memasuki semester akhir. Waktunya untuk magang. Alasan ia memilih perusahaan ini adalah tidak ada hubungannya dengan perusahaan keluarganya. Kebanyakan perusahaan yang ada adalah anak perusahaan Delux ataupun DN. Ya begitulah Amel menghindar dari apapun yang bersangkutan keluarganya. “Anak magang?” tanya seorang perempuan yang menyambut Amel. Amel mengangguk. “Saya Amel.” “Jangan terlalu kaku. Panggil aku Ela.” “Oke.” Amel tersenyum. “Ikut denganku.” Ela berjalan. Di sekeliling ada banyak meja kerja yang berisi pegawai. Sepertinya petugas administrasi. Lalu ada sebuah meja yang kosong. “Di sini tempatmu bekerja. Dan kau akan membantu seseorang.” Sampai di sebuah ruangan. Di sana adalah ruangan seorang Arsitek. Ruangan yang sangat rapi dengan desain yang unik. Bagaimana tidak, arsitek memang m
“Lepaskan aku.” Amel mengibaskan tangannya yang dipegang Hardin. “Bukan urusanmu.” Sebelum Amel mencapai pintu. Hardin lebih dulu menutup pintu dan menghadangnya. “Kau masih marah denganku?” “Sudah kubilang aku tidak ada urusan denganmu.” Amel yang kesal setengah mati karena Hardin yang menghalangi jalannya. “Pergi.” Hardin berdecih. “Kau lupa aku pimpinan di sini.” Ia melangkah mendekati Amel. Hanya beberapa langkah saja, ia sudah bisa memojokkan tubuh Amel ke dinding. Salah satu tangannya berpegang pada dinding. “Sudah cukup menghindar. Aku tidak ingin kau kabur dariku.” Amel mendongak. “Siapa yang bilang aku menghindar? Aku kabur darimu?” Amel tersenyum remeh. “Aku sangat sibuk, untuk apa aku menghindar. Sekarang biarkan aku pergi.” Hardin dengan lancang meraih dagu Amel hingga mendongak menatapnya. Terpaksa Amel mendongak—ia juga tidak bisa menampar pria ini. Kedua tangannya membawa berkas yang cukup banyak. “Apa yang kau inginkan?” “Kau.” Hardin mendekat—mengikis jarak di
“Kamu bisa belajar.” Amel bertopang dagu. “Lalu kenapa kak Daniel tidak masuk ke DN? Uncle Saka pasti akan senang. Lagipula Kak Daniel bisa beradaptasi dengan mudah di sana. Kak Daniel pintar, berbakat dan juga—” Amel menatap Daniel. “Pokoknya baguslah.” “Sekarang kamu pintar memutar balikkan omongan orang.” Percakapan mereka terputus akibat pelayan yang datang membawakan pesanan mereka. Ada lima macam makanan jepang yang dipesan oleh mereka. Semuanya kesukaan Amel. Daniel yang hanya menurut saja, yang terpenting Amel senang. Amel diam-diam merogoh tasnya. Ada sesuatu di dalam sana. Sebuah kotak yang berisikan hadiah untuk kakak tercintanya. “Selamat ulang tahun kak Daniel.” Daniel berhenti. Amel bertepuk tangan sekali untuk memanggil para pelayan. Hanya dengan kode tersebut—para pelayan keluar. Membawa sebuah kue tart yang sudah tertancap lilin hidup. “Happy birthday!” Amel bertepuk tangan. “Waaah…” Daniel tidak bisa berkata-kata lagi. Kue itu sudah berada di tengah meja merek
Tubuh Amel kaku. Mendengar kalimat dan suara Hardin, tubuhnya melemah. Kedua tangannya mengepal di bawah sana. Pelukan hangat dari cinta pertamanya ini membuatnya lemah. Apalagi aroma parfum dari pria yang pernah ia rindukan setiap malam ini menguar begitu saja. “I really miss you.” Hardin melepaskan pelukannya. Ia tersenyum—mengusap kedua pipi Amel pelan. Ia mendekat—memiringkan kepalanya. Mengikis jarak di antara mereka berdua. Kedua bibir mereka hampir bersentuhan. Namun—kreet! “Oh!” kaget seorang perempuan. Di tangannya terdapat sebuah kardus. Hampir saja kardus yang dibawahnya jatuh saat melihat bos dan temannya hampir berciuman. Seketika Amel mendorong Hardin. “Puas membuatku kacau?” Amel menatap Ela yang sangat terkejut. Bibir Ela terbuka lebar. Jika Amel tidak cepat-cepat menangkap kardus yang dibawa oleh Ela, pasti sudah terjatuh. “Hati-hati.” Amel menaruh kardus itu ke samping. Kemudian menyeret Ela keluar dari ruangan. “Amel!” pekik Ela saat mereka sudah berada di ru
“Jangan terlalu mabuk.” Caitlin menunjuk panggung di depan. “Dj tamu baru saja datang. Lalu salah satu dari kita harus tetap terjaga. Kita tidak akan pulang dengan selamat jika semuanya mabuk.” “Kau!” tunjuk mereka bertiga pada Caitlin. “Sudah kuduga.” Memutar bola matanya malas. Saat Dj sudah mulai memainkan alat musik yang seperti piring itu. Mereka berempat mendekati lantai dance floor. Di sana alunan musik mulai terdengar dengan keras. Amel memejamkan mata. Tubuhnya bergerak dengan irama musik. Kedua tangannya terangkat ke atas. Sambil bersenandung tidak jelas, kepalanya bergerak ke kanan ke kiri. Ia tidak akan pernah sadar jika dari atas ada satu orang pria yang mengawasinya dengan raut menajam. Pria yang memakai setelah kemeja tanpa jas. Pria yang menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku. “Ada yang menarik?” Hardin menoleh. Sahabatnya, Gerald. Sekarang Gerald bekerja di perusahaan orang tuanya. Begitulah kira-kira garis nasib yang sudah ditentukan untuk anak yang
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert