“Lepaskan aku.” Amel mengibaskan tangannya yang dipegang Hardin. “Bukan urusanmu.” Sebelum Amel mencapai pintu. Hardin lebih dulu menutup pintu dan menghadangnya. “Kau masih marah denganku?” “Sudah kubilang aku tidak ada urusan denganmu.” Amel yang kesal setengah mati karena Hardin yang menghalangi jalannya. “Pergi.” Hardin berdecih. “Kau lupa aku pimpinan di sini.” Ia melangkah mendekati Amel. Hanya beberapa langkah saja, ia sudah bisa memojokkan tubuh Amel ke dinding. Salah satu tangannya berpegang pada dinding. “Sudah cukup menghindar. Aku tidak ingin kau kabur dariku.” Amel mendongak. “Siapa yang bilang aku menghindar? Aku kabur darimu?” Amel tersenyum remeh. “Aku sangat sibuk, untuk apa aku menghindar. Sekarang biarkan aku pergi.” Hardin dengan lancang meraih dagu Amel hingga mendongak menatapnya. Terpaksa Amel mendongak—ia juga tidak bisa menampar pria ini. Kedua tangannya membawa berkas yang cukup banyak. “Apa yang kau inginkan?” “Kau.” Hardin mendekat—mengikis jarak di
“Kamu bisa belajar.” Amel bertopang dagu. “Lalu kenapa kak Daniel tidak masuk ke DN? Uncle Saka pasti akan senang. Lagipula Kak Daniel bisa beradaptasi dengan mudah di sana. Kak Daniel pintar, berbakat dan juga—” Amel menatap Daniel. “Pokoknya baguslah.” “Sekarang kamu pintar memutar balikkan omongan orang.” Percakapan mereka terputus akibat pelayan yang datang membawakan pesanan mereka. Ada lima macam makanan jepang yang dipesan oleh mereka. Semuanya kesukaan Amel. Daniel yang hanya menurut saja, yang terpenting Amel senang. Amel diam-diam merogoh tasnya. Ada sesuatu di dalam sana. Sebuah kotak yang berisikan hadiah untuk kakak tercintanya. “Selamat ulang tahun kak Daniel.” Daniel berhenti. Amel bertepuk tangan sekali untuk memanggil para pelayan. Hanya dengan kode tersebut—para pelayan keluar. Membawa sebuah kue tart yang sudah tertancap lilin hidup. “Happy birthday!” Amel bertepuk tangan. “Waaah…” Daniel tidak bisa berkata-kata lagi. Kue itu sudah berada di tengah meja merek
Tubuh Amel kaku. Mendengar kalimat dan suara Hardin, tubuhnya melemah. Kedua tangannya mengepal di bawah sana. Pelukan hangat dari cinta pertamanya ini membuatnya lemah. Apalagi aroma parfum dari pria yang pernah ia rindukan setiap malam ini menguar begitu saja. “I really miss you.” Hardin melepaskan pelukannya. Ia tersenyum—mengusap kedua pipi Amel pelan. Ia mendekat—memiringkan kepalanya. Mengikis jarak di antara mereka berdua. Kedua bibir mereka hampir bersentuhan. Namun—kreet! “Oh!” kaget seorang perempuan. Di tangannya terdapat sebuah kardus. Hampir saja kardus yang dibawahnya jatuh saat melihat bos dan temannya hampir berciuman. Seketika Amel mendorong Hardin. “Puas membuatku kacau?” Amel menatap Ela yang sangat terkejut. Bibir Ela terbuka lebar. Jika Amel tidak cepat-cepat menangkap kardus yang dibawa oleh Ela, pasti sudah terjatuh. “Hati-hati.” Amel menaruh kardus itu ke samping. Kemudian menyeret Ela keluar dari ruangan. “Amel!” pekik Ela saat mereka sudah berada di ru
“Jangan terlalu mabuk.” Caitlin menunjuk panggung di depan. “Dj tamu baru saja datang. Lalu salah satu dari kita harus tetap terjaga. Kita tidak akan pulang dengan selamat jika semuanya mabuk.” “Kau!” tunjuk mereka bertiga pada Caitlin. “Sudah kuduga.” Memutar bola matanya malas. Saat Dj sudah mulai memainkan alat musik yang seperti piring itu. Mereka berempat mendekati lantai dance floor. Di sana alunan musik mulai terdengar dengan keras. Amel memejamkan mata. Tubuhnya bergerak dengan irama musik. Kedua tangannya terangkat ke atas. Sambil bersenandung tidak jelas, kepalanya bergerak ke kanan ke kiri. Ia tidak akan pernah sadar jika dari atas ada satu orang pria yang mengawasinya dengan raut menajam. Pria yang memakai setelah kemeja tanpa jas. Pria yang menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku. “Ada yang menarik?” Hardin menoleh. Sahabatnya, Gerald. Sekarang Gerald bekerja di perusahaan orang tuanya. Begitulah kira-kira garis nasib yang sudah ditentukan untuk anak yang
“Apa yang kau lakukan?” heran Caitlin. “Kau sudah sadar tapi mau mabuk lagi?” “Lagi pula ada kau yang menjagaku.” Amel kembali meneguk minuman berakhohol itu kembali. “Hentikan,” ujar Caitlin. “Kau bisa memberitahuku apa yang terjadi. Jangan memendamnya sendiri.” Amel mengepalkan kedua tangannya. Ketika ia mendongak—kedua matanya bertatapan dengan pria itu. Hardin! Ya pria itu berada di atas. Dengan santainya berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku. Pria itu tidak berhenti memperhatikannya. “Ada siapa?” ketika Caitlin mengikuti arah pandang Amel. Ia tidak dapat menemukan sesuatu, karena Hardin yang sudah melangkah pergi. “Kau ini kenapa?” Caitlin yang semakin keheranan. Alhasil ia lebih mendekat. Mengecek suhu tubuh Amel yang terbilang normal. “Nanti saat aku waras akan kuceritakan.” Amel kembali minum! Beberapa jam kemudian….. Caitlin menghela nafas. Tiga wanita yang sedang terbaring di sofa dengan posisi tidak menentu. Amel berbaring memunggunginya, posisinya se
CHAPTER 181 Entah bagaimana yang dirasakan Amel. Tapi ia senang namun ada perasaan janggal yang tidak bisa ia jelaskan. “Aku ingin kamu menjadi calon istriku.” Tidak ada kebohongan dari sorot mata Daniel. Diusianya yang sekarang, bukan lagi tentang berkencan dan bersenang-senang. Ia ingin menikah dengan perempuan baik. Lalu membina rumah tangga dengan benar. “Tapi aku—” Amel mecengkram erat tepi tanktopnya hingga kusut. “Tapi kita saudara. Apa kata orang-orang?” “Kamu tahu sendiri orang tua kita bukan saudara kandung. Tidak ada ikatan darah. Tidak ada yang menghalangi hubungan ini jika kita sama-sama ingin.” Amel dilanda kebimbangan. Di sisi lain—ia memang menyukai kakak sepupunya. Namun, ia merasa masih belum melepaskan masa lalunya sepenuhnya. Lalu bagaimana jika nanti ia menyakiti Daniel? “Kak, aku tidak yakin.” Amel mengungkapkan kejujuran. “Aku takut menyakitimu. Aku tidak mengerti perasaanku sendiri. Tapi aku juga menyukaimu. Tapi aku juga takut nanti menyakitimu.” “Tidak
[Kak aku gak bisa makan siang bersama. Sorry] Amel yang baru saja mengirimkan pesan teks itu pada kekasihnya. Pukul 11 siang ia sudah bersiap akan ikut ke kantor StayVic untuk membahas lebih lanjut rancangan desain dari setiap ruangan. Memang benar ada beberapa ruangan yang ia desain dengan unik. Tugasnya sekarang adalah menjelaskan desain itu nanti kepada para penanggung jawab tim pembangunan. “Aku sudah lumayan bukan?” tanya Amel pada Ela. Di dalam toilet. Ia hanya menyapukan bedak dan lipstik. Make upnya masih bagus—ia hanya perlu menambah bedak dan lipstik saja. “Sudah.” Ela memandang Amel. “Kau sebenarnya cantik.” Amel menyipitkan mata. Menunggu kalimat yang akan dikatakan Ela selanjutnya. “Tapi kau—” Ela tertawa. “Tapi kau memang cantik.” “Dasar.” Amel mencebikkan bibirnya kesal. “Aku berangkat sekarang.” “Baiklah. Hati-hati.” Amel keluar dari toilet. Di depan ada Sarah yang menunggunya. Ada wakil direktur juga, Anton. Rasanya malas saja berhadapan dengan pria tua itu. P
“Aku ingin kau.” Hardin menatap bola Amel dengan kerinduan. Ia sangat merindukan perempuan ini. Juga kebersamaan mereka. “Stop Hardin—” Kalimat Amel terpotong saat Hardin lebih dulu menempelkan bibirnya. Bibir Hardin yang bergerak lembut melumat bibir Amel. Tidak sampai di sana—ia juga mengusap tengkuk Amel untuk memperdalam ciuman mereka. Untung saja kaca mobil Hardin hitam pekat—apapun yang dilakukan mereka tidak akan sampai terlihat dari luar. “I miss you so much.” Hardin menarik tengkuk Amel. Amel yang diam saja. Membiarkan Hardin melumat bibirnya. Namun ia tidak bisa menolak setiap lumatan yang ia terima. Terlalu nikmat untuk dihentikan. Pada akhirnya ia kalah. Bibirnya bergerak membalas setiap lumatan Hardin. Tanpa sadar—kedua tangannya mengalun di leher pria itu. Sabuk pengaman yang menghalang tubuhnya sudah entah ke mana. Mendapat persetujuan dari wanita Amel—jemari Hardin perlahan melepas kancing kemeja yang digunakna Amel. Tidak butuh waktu lama—tiga kancing teratas Am
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert