“Mereka di bawah.” Adel memegang bahu Karina. “Setelah ini—jangan sembunyikan apapun dariku. Jika Saka menyakitimu. Cepat beritahu aku. Aku yang akan memberinya pelajaran.” Karina tertawa pelan. “Dia sudah berubah, Adel. Jangan kawatir.” “Tetap saja.” Adel mendengus. “Bilang padaku jika dia menyakitimu lagi!” “Baiklah-baiklah.” Karina mengangguk. Adel lebih mendekat. Ia ingin memberitahu Karina sesuatu yang menurutnya sangat penting. “Nanti kan ada acara melempar bunga. Katanya, yang dapat bunga akan cepat nyusul—” “Oh kau ingin aku melemparkannya padamu? Atau kau ingin aku memberikannya langsung padamu?” potong Karina. Adel menggeleng. “Bukan seperti itu Karina! pokoknya jangan lempar ke arahku. Kalau bisa lempar jauh-jauh dariku. Aku tidak ingin menikah dulu pokoknya!” menunjuk Karina dengan jari telunjuknya. “Ingat pokoknya!” Karina diam-diam tersenyum. “Oke.” Tiba waktunya acara janji suci. Karina ditemani oleh Adel turun ke bawah. Karina sudah menurunkan sebuah tudung hin
Pantas saja—mic itu tepat di bibir MC. “Acara selanjutnya adalah dansa. Untuk pasangan baru kita, dipersilahkan untuk dansa lebih dulu.” Karina yang terlanjur kesal dan badmood, ia sama sekali tidak bersemangat melakukannya dengan Saka. Sedangkan Saka yang melihat Karina tengah kesal dengannya merasa bersalah. “Maaf,” Saka menarik pinggang Karina. Mengalunkan kedua tangannya di pinggang ramping Karina. “Maaf, Karina sayangku. Aku membuat kamu kesal.” Karina mengalunkan kedua tangannya di leher Saka. Ia mendongak. Kemarahannya harus awet—tidak boleh cepat luntur. Ia harus mempertahankan ekspresi marahnya. “Karina my babe, maafkan aku.” Saka mengusap helaian rambut Karina ke belakang. “Aku memang bersalah…” Saka menghela nafas. Karina melakukan gerakan berputar. Setelah berputar—Saka menarik pinggangnya hingga tidak ada jarak di antara mereka. “Jangan lama-lama marahnya. Kamu semakin lucu,” bisik Saka. Karina akhirnya tidak bisa menahan senyumnya. Selain tersenyum rupanya—ada ha
“Wow.” Saka tidak bisa melepaskan pandangan pada Karina. “You look so hot,” bisiknya. “Aku sedikit malu?” Karina mendongak. Saka menarik pinggang Karina dengan mudah. “Tidak perlu malu babe. Youre so pretty.” Mendaratkan ciuman di bibir Karina. Bergerak lembut saling memangut. Karina memejamkan mata—kedua tangannya terulur mengalun di leher Saka. Meremas rambut Saka yang masih basah. Entah ke mana perginya pakaian mereka. Saat ini tubuh mereka sama-sama polos. Karina menatap Saka yang berada di atasnya. Saka tidak sepenuhnya menindih—ia masih waras untuk tidak membahayakan anaknya sendiri. “Aku tidak yakin,” ucap Karina begitu tiba-tiba. Saka yang tadinya ingin kembali mencium Karina mendadak berhenti. “Why? Kamu meragukan keahlianku?” “Bukan seperti itu.” Karina menggeleng. “Bagaimana kita melakukannya jika di dalam perutku ada nyawa.” Saka menyatukan dahi mereka. “Aku sudah berkonsultasi dengan dokter. Bisa melakukannya asal dengan posisi yang tepat. Aku juga sudah menonton
“Apa yang kau inginkan dariku?” Akhirnya Karina mengaku juga. 7 tahun yang lalu ia tidak sengaja bermalam dengan laki-laki asing. Sialnya ia juga melepas harta yang paling ia jaga pada pria asing yang tak lain adalah Steven. Saat itu ia menghadiri pesta ulang tahun Susan. Di mana saat itu ia berusia 24 tahun. Pertama kalinya Karina menginjakkan kaki di klub. Pertama kalinya juga Karina meminum alkohol. Entah bagaimana yang terjadi—Susan yang terus mengisi gelasnya dengan alkohon sehingga ia mabuk berat. Paginya ia tersadar saat sudah terbaring di atas ranjang sebuah kamar mewah. Dengan di sampingnya seorang pria bule, yang masih tidur. Tentu saja Karina langsung kabur. Ia tidak lupa meminta pada petugas CCTV di klub menghapus seluruh jejaknya. “10 juta untuk menghapus seluruh rekaman CCTV mu di klub ini,” kata petugas CCTV saat itu. Karina harus merelakan gajinya selama 3 bulan untuk membayar petugas tersebut. Waktu itu—ia merasa sedang diikuti orang asing. Tapi Karina selalu ber
“Tidak ada negara kecil, Steven. Semua negara punya potensi masing-masing. Kamu masih mempunyai darah Indonesia tapi kamu mengatai negara asal kamu kecil.” Leona mengusap lengan Hendrick agar lebih sabar. “Delux tidak akan berkembang jika Indonesia adalah negara kecil.” “Oke fine.” Steven beranjak dari duduknya. “Jika itu keinginan Dad. Aku akan menurutinya. Aku akan pergi ke Indonesia. Mengelola Delux yang ada di sana dan belajar mencintai bangsaku sendiri.” “Steven!” Hendrick berdiri. “Jika sikap kamu terus kurang ajar seperti ini. Dad tidak akan ragu mencoret nama kamu dari daftar pewaris.” Steven menghela nafas. “Maafkan dia Dad. Dia sedang kesal saja,” ujar Xavier membela adiknya. “Dia akan belajar mengelola bisnis lebih baik. Tolong maafkan dia sekali ini saja.” Xavier menyenggol lengan Steven. Akhirnya Steven menunduk. Mengambil tangan Hendrick—mencium punggung tangan ayahnya itu. “Maafkan aku, Dad. Aku hanya kesal saja karena tiba-tiba Daddy memindahkanku.” Hendrick mena
“Tentu saja aku tidak menolak.” Jenifer menatap Steven. “Aku sebagai istrimu. Aku akan ikut ke manapun kamu pergi. Aku juga tidak masalah tinggal di Indonesia. Sebentar ataupun lama yang terpenting kita bertiga bisa tetap bersama.” Jawaban Jenifer membuat Steven terdiam. “Jangan menarik ucapanmu. Aku tidak ingin mendengar keluhanmu.” Jenifer tersenyum. “Tidak akan. Ketika di sana aku akan belajar kebudayaan. Aku ingin lebih dekat dengan negara asalmu.” Ada rasa senang. Tapi Steven segera menepisnya. “Baiklah. Kau bisa tidur sekarang.” Hubungan mereka memang sedikit rumit. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal kenapa Steven tidak bisa mencintai Jenifer. Padahal hubungan mereka terbilang cukup baik—meskipun Steven cenderung cuek seperti ini. ~~ Dua tahun terlewati. Hidup Karina sangat bahagia bersama Saka. Juga dengan anak mereka. Daniel Aaron Ravindra. Laki-laki lucu yang kini tengah bermain di belakang rumah. Anak laki-laki yang suka sekali dengan permainan bola. “Daniel apa
Pria itu masih saja berharap bisa bersama Karina. Namun Karina berkali-kali menolak. Sampai saat ini juga—Saka tidak tahu. Karina juga tidak ingin memberitahukan pada Saka. “Halo semuanya!” teriakan yang menggema. Kelly, kakak ipar pertama istri dari Xavier. Selalu bergaya modis di manapun berada. Tas yang selalu terupdate seharga rumah di indonesia. “Aku membawa beberapa camilan untuk kalian.” Meletakkan paper bag besar di atas meja. “Bagus. Kebetulan aku lapar.” Jenifer menepuk pelan bahu Kelly. “Terima kasih kakak ipar. Love you.” “Apa yang kau bicarakan? Jangan menggunakan bahasa indonesia saat bersamaku.” Kelly kesal sekali saat Jenifer berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti. “Jenifer bilang dia lapar. Dia juga mengucapkan terima kasih.” Karina berusaha menjelaskan. Namun usahanya tidak dibalas baik oleh Kelly. Wanita itu hanya menatap Karina sekilas. Kelly yang mendadak tuli ketika Karina mulai berbicara. “Oh ya di mana anak-anak?” tanya Jennifer. “Mereka selalu b
Karina mengusap pipinya. Begitu menoleh—ia merasa sudut bibirnya berdarah. Yang menamparnya tidak lain adalah Leona. Wanita yang selama ini seperti mempunyai dendam kusumat pada Karina. “Beraninya kamu mendorong Jenifer? Dasar wanita jalang! Kau tidak akan pernah berubah. Jalang ya tetap jalang!” teriak Leona tidak terkendali. Tangannya terangkat ingin menampar Karina lagi. Di saat Karina memejamkan mata bersiap menerima tamparan. Justru tidak merasakan apapun. Hingga ia membuka mata—ada sosok pria yang melindunginya. Siapa lagi kalau bukan Saka. “Mom tidak perlu melakukan hal itu.” “Istrimu mendorong Jenifer! Kamu ingin Mom diam saja di saat dia menyakiti menantu Mom yang lain? Dia tidak boleh menyakiti menantu Mom!” “Saka tahu. Maka dari itu—Saka yang akan menghukum Karina sendiri jika dia terbukti memang dengan sengaja mendorong Jenifer.” “Saka kamu terlalu memanjakan istrimu! Dia tidak mempunyai sopan santun dan seenaknya pada Mom. Dia bahkan sekarang mendorong kakak iparnya
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert