Keesokan harinya, di kediaman utama keluarga Ardhana.
Ivona berang bukan main dan sudah langsung ribut bahkan sebelum Erick selesai menyampaikan laporannya kepada Claude.
"Minggir, Claude! Jangan halangi aku, biarkan aku menemui Ayahmu itu!"
"Oh, Iv. Aku tidak memiliki niat sedikit pun untuk menghalangimu, tapi setidaknya tenangkan dirimu dulu."
"Tenang?!" bentak Ivona. "Bagaimana aku bisa tenang kalau lelaki tua itu tiba-tiba saja datang, lalu dengan seenaknya saja menyuruh Ian agar menikah lagi!"
"Iv—"
"Dan, yang lebih parahnya adalah si tua bangka itu berani-beraninya mengatakan hal yang sangat tidak masuk akal semacam itu di depan menantuku! Menantuku, Claude! Menantu perempuan kesayanganku satu-satunya!"
Dada Ivona naik turun dengan cepat, pertanda bahwa saat ini perempuan separuh baya itu benar-benar dilanda amarah.
"Menantuku itu belum lama ini mengalami hal yang berat, tapi apa? Sewaktu dia baru saja pulang,
"Kills?" panggil Aila, yang sudah merasa sungkan terhadap Ivona karena Killian tidak juga kunjung menurunkannya. "Killian?"Tersenyum sendiri, dalam benaknya Killian memutuskan bahwa sepertinya menggunakan lift jauh lebih baik. Toh, setelah dipikir-pikir, sepertinya dia dan Aila belum pernah mencoba sensasi bercinta di dalam lift.Ah, damn! Sekedar membayangkan saja sudah membuat tubuhnya mulai merasa gerah sendiri."Ian!" panggil Ivona lagi dengan suara yang lebih keras. Kali ini perempuan separuh baya itu bahkan tega memukul lengan putranya dengan kuat."Apa kamu tidak mendengarkan perkataan Ibu sama sekali? Malah melamun sendiri. Dasar!"Meski merasa sebal karena ulah Ivona yang sudah merusak fantasi bercintanya, Killian tetap berusaha menjaga ekspresi wajahnya.Yah, tidak mungkin juga 'kan, kalau dia marah-marah?Yang ada, nanti malah ketahuan soal apa yang sebenarnya ada di dalam benaknya."Iya, Bu. Bersabarlah sedik
"Perpustakaan." "Apa?" "Segera, setelah makan siang." Aila bisa merasakan wajahnya memanas. Dia bukannya sama sekali tidak paham dengan maksud bisikan Killian. "Um ... itu, aku ...." "Jangan lupa, Queen, atau kalau tidak, lihat saja malam nanti." Killian meraih tangan kanan Aila, sengaja menelusurkan satu jari dari bagian dalam lengan istrinya, meluncur turun hingga telapak tangan, berhasil mengirimkan sengatan listrik ke sekujur tubuh perempuan bermata abu itu. Sebagai tambahan, dia juga membawa telapak tangan Aila ke depan bibirnya. Bukan untuk mencium, melainkan menjilat sekilas lantas menggigitnya kecil dan membuat Aila terkesiap. Ya Tuhan .... Benarkah kalau lelaki itu suaminya? Rasanya sampai sekarang Aila masih belum percaya dengan besarnya perubahan sikap dan sifat Killian. Namun masalahnya yang berubah bukan hanya Killian, tapi juga dia. "Aku ini ... sebenarnya kenapa?" keluh Aila. Mendengarkan
"Jadi—nghn! Apakah Agentine akan membantu?""Entahlah, Queen. Tapi yang pasti Ayah akan mencoba mengusahakannya.""La—lu, akh! Bagaimana kalau—""Queen, kamu mau di atas?"Sebelum Aila sempat menjawab, Killian sudah memeluk pinggangnya dan memutar posisi mereka. Merasa kaget dan tidak siap, perempuan bermata abu itu pun terjatuh dan akhirnya berbaring pasrah di atas dada Killian."Kills, apa yang—akh!" Gagal untuk melakukan protes, Aila justru kembali mendesah ketika sekarang Killian mempermainkan kedua puncak dadanya.Saat ini mereka sedang berada di dalam ruang perpustakaan. Lelaki berambut hitam itu rupanya benar-benar serius dengan ucapannya mengajak Aila ke ruang perpustakaan seusai makan siang.Tentunya, mereka tidak sekedar menghabiskan waktu berdua dengan membaca buku atau yang semacamnya. Nyatanya, pakaian
"Apa yang sedang kamu lakukan sekarang?" tanya Hugo, sembari melirik adik perempuan satu-satunya yang duduk di sebelah.Saat ini mereka tengah berada dalam penerbangan menuju ke Indonesia, yang tentu saja menggunakan pesawat terbang pribadi keluarga Harron."Menurut Kakak, apa? 'Kan, bisa Kakak lihat sendiri kalau aku sedang bermain handphone," jawab Charlotte bahkan tanpa mengalihkan perhatian dari benda pintar berbentuk pipih di tangannya."Maksudku bukan itu," ujar Hugo lagi. "Maksudku adalah apa sebenarnya yang kamu lakukan, sampai-sampai ikut campur tangan dengan urusan kasino?"Terdiam, Charlotte tidak lantas sanggup memberikan jawaban. Namun yang jelas, sikap tenangnya sejak tadi mulai berkurang dengan drastis."Apa kamu kira kalau aku tidak akan bisa mengetahui soal itu?" tanya Hugo lagi dengan nada suara yang mulai terdengar dingin. "Apa sebenarnya rencanamu, Lottie?"
"Kuliah?"Killian nyaris saja tidak sanggup mengontrol ekspresi wajahnya ketika Aila mengatakan hal yang sama sekali di luar dugaan.Beruntung, lelaki berambut hitam itu masih sempat memasang sikap tenang dan berusaha terlihat biasa-biasa saja."Queen, apa yang— Maksudku, kamu ingin meneruskan kuliah?" tanyanya lagi dengan susah payah."Masa kuliahku 'kan memang belum selesai, Kills," sahut Aila sedikit cemberut. "Terakhir kali, memang sedang memasuki masa libur kuliah. Itu sewaktu aku harus pulang ke Indonesia karena Ansia kecelakaan, lalu—Oh!"Mengerjap, Aila tidak lagi meneruskan ucapannya.Kelanjutan dari cerita tersebut cukup buruk pada awalnya. Meski kini mereka telah bersama, tetap saja ingatan soal pertemuan pertama mereka dulu bukanlah sebuah kenangan yang menyenangkan."Queen ...." Killian meraih Aila ke dalam pelukan dan memangku istrinya itu. Menundukkan kepala, dia mencium bahu telanjang Aila dan menikma
"Selamat datang, Tuan dan Non—""Minggir!"Kepala staf di kediaman keluarga Harron pun terpaksa menepi ketika Charlotte sudah berjalan masuk dengan langkah mengentak-entak.Ada pertanyaan yang jelas seketika menghinggapi pikiran, tapi dengan tangkas kepala staf tersebut tetap memasang sikap biasa."Selamat datang, Tuan Muda Hugo," sapanya, mengulangi salam yang tadi sempat terpotong.Tidak ada sahutan atau bahkan sekedar anggukan kepala sebagai jawaban atas salam yang dia sampaikan, tapi itu sudah merupakan hal yang biasa.Hugo Alexias Harron memang bukanlah orang yang terbiasa dengan basa-basi."Jerome," panggilnya, sambil tetap berjalan cepat."Ya, Tuan Muda. Silakan," jawab Jerome, bergegas merendengi langkah lebar Hugo."Panggil Estian. Dia juga pasti sedang dalam perjalanan ke sini 'kan
Rasanya Estian ingin mati saja."Jadi, memang Charlotte yang memberikanmu perintah 'kan?"Estian menelan ludah. Hugo memang bicara dengan nada tenang dan tidak membentaknya, tapi bukan berarti dia bisa bernapas dengan lega.Bagaimana tidak, saat ini pandangan lelaki itu seolah hendak menguburnya hidup-hidup."Estian, aku menunjukmu langsung untuk menjadi asisten pribadi adikku karena percaya dengan kemampuanmu," ujar Hugo, membuat Estian bisa merasakan kobaran api tak kasat mata yang bisa diasumsikan sebagai kemarahan yang masih coba dipendam. "Selama ini kamu sangat kompeten, lalu bagaimana bisa kamu tiba-tiba menjadi sebodoh ini?"Menundukkan kepala dan diam-diam menghela napas, saat ini tidak ada yang sanggup Estian ucapkan untuk menyanggah."Perintah Charlotte memang salah," lanjut Hugo, yang meski sedang memberi teguran terhadap Estian, tapi dia juga tet
Brak!Terdengar suara barang yang dilempar dengan kuat, menyusul suara pecahan sesuatu yang lain yang saling bertingkah.Pundak Charlotte naik turun dengan cepat, sementara napasnya pun terengah. Kamar tidur mewah yang seluas 15 m² itu pun kini sudah kembali berantakan, padahal masih belum lama berselang sejak terakhir kali dirapikan.Sprei berwarna merah muda yang semula rapi terpasang, sekarang teronggok tidak karuan, beserta bantal dan gulingnya yang tergeletak di lantai yang beralaskan karpet bulu dengan warna senada.Kursi yang biasa diduduki saat berias pun terguling, dan seluruh isi mejanya berserak. Botol parfum pecah, serbuk bedak betaburan, dan beraneka macam alat make up mahal dan bermerk lain yang jelas sudah tidak dapat digunakan lagi."Memangnya, kenapa?" teriak Charlotte, menatap kesal tumpukan barang rusak yang berserak akibat ulahnya sendiri. "Memangnya kena