Sementara itu, di waktu yang sama
Four Season Hotels and ResortPenthouse Suites"Silakan, Nyonya Hills."
"Terima kasih, Annie."
Annie tersenyum lalu duduk di seberang meja Aria Hills, sementara desainer cantik itu menikmati teh hangat yang baru disuguhkannya.
"Benar-benar ruangan yang mewah," ujarnya, mengagumi kamar tempat Aria Hills menginap selama beberapa hari ini. "Saya penasaran, sekaya apa keluarga Ardhana itu sampai bersedia memberikan akomodasi semewah ini. Saya dengar, mereka bahkan menyediakan satu pesawat untuk mengangkut para pegawai dan gaun-gaun, juga semua peralatan. Lalu, satu jet khusus untuk Anda dan ketiga staf Anda."
Meletakkan cangkir tehnya dengan anggun, Aria Hills mengedikkan bahunya.
"Bukan sesuatu yang terlalu luar biasa bagiku," jawabnya. "Dibanding segala hal remeh seperti ini," Aria melambaikan sebelah tangan dengan sembarangan dan nada tidak acuh. "Aku lebih suka kalau aku bisa mendapatkan Artemis."<
Ada senyuman yang terus diulas Aila. Gadis cantik bermata abu itu, untuk pertama kali setelah sekian lama, sekarang terlihat begitu senang."Bagaimana kalau yang ini? Menurut Ibu, warnanya sangat cocok kalau kamu pakai."Ivona menyodorkan satu baju bergaya empire line berwarna mint ke depan Aila. Meski nyatanya, di tangan gadis itu sudah ada setumpuk baju yang tadi Ivona pilihkan dan minta agar Aila coba satu persatu."Ah, lalu jangan lupa yang ini juga," imbuh Ivona, kali ini menyodorkan atasan bergaya ruffled top berwarna peach. "Oh, blouse ini juga sangat cantik. Jangan lupa untuk mencobanya juga, ya."Kewalahan membawa banyaknya baju yang terus Ivona sodorkan padanya, Aila akhirnya bersuara. "Sepertinya ini sudah terlalu banyak, Nyo—" Ivona memberinya pandangan memperingatkan. "Ehm, mak—maksud saya, Bu.""Sayang, kamu harus memanggilku apa?" Menyilangkan tangan, Ivona bertanya dengan nada menuntut. "Panggil aku apa, Sayang?"
Ivona memasukkan kembali handphone miliknya. Tadi dia memang beralasan untuk pergi ke toilet, tapi sebenarnya perempuan paruh baya itu menggunakan waktu yang ada untuk menelepon Killian.Setelah setengah jam lebih berbicara panjang kali lebar dan bahkan diselipi omelan juga desisan penuh ancaman, Ivona akhirnya mengakhiri sambungan teleponnya. Hati perempuan itu terasa sedikit ringan karena bisa mengomeli Killian, meskipun belum puas betul.Dia baru saja sampai di pintu toilet sewaktu terdengar suara bentakan dan tamparan.'Apa ada orang yang bertengkar?' pikir Ivona, tidak habis pikir.Restoran yang mereka pilih sebagai tempat makan ini termasuk restoran kelas atas, di mana tentunya tidak sembarang orang yang bisa masuk. Lalu, apa penyebab keramaian itu?"DASAR GADIS MURAHAN!""I—bu.""Ya Tuhan."Ivona bahkan nyaris tidak berpikir. Perempuan yang tetap terlihat cantik di usia 50 tahun itu langsung berlari ke arah A
Seumur hidup, Killian belum pernah serisau ini. Lelaki itu sudah merasa gelisah sejak Ivona secara tiba-tiba datang siang tadi. Ditambah lagi ibunya yang mendadak mengajak Ansia pergi dengan dalih ingin berbelanja bersama. Killian tahu bagaimana penilaian ibunya terhadap Ansia. Meski tidak terlalu seperti Claude, ayahnya, tapi Ivona juga tidak bisa dikata menyukai calon istrinya itu. "Bagaimana kalau nanti Ibu bicara macam-macam?" gumamnya, gusar sendiri. "Lalu bagaimana kalau nanti Ansia tersinggung dan marah?" Memikirkan perasaan orang lain seperti ini sebenarnya merupakan hal yang baru bagi Killian. Bisa dikata dia sangat jarang, bahkan nyaris tidak pernah memperhatikan hal remeh semacam itu. Bagi Killian, perasaan orang lain tidak pernah menjadi hal yang penting. Bukankah dengan uang semua bisa terselesaikan? Bahkan orang yang awalnya membenci atau menentangnya sekali pun, mendadak bisa menurut kalau disodori segepok uang. Jadi, un
Jantung Ivona nyaris melompat ke tenggorokan. Rasanya, ada jeda satu detakan di mana jantungnya berhenti berdenyut.Dengan gemetaran di sekujur tubuh, dia mempererat pelukan tangan yang melingkar di perut Aila, sementara satu tangannya memegang kuat bingkai pintu mobil."Tenanglah, Sayang. Jangan bergerak dan meronta, atau kita berdua akan jatuh bersama. Mengerti?" bisik Ivona, sementara laju mobil perlahan diperlambat oleh sang supir.Tadi itu nyaris saja.Aila sudah membuka pintu mobil dan melompat keluar tanpa keraguan. Syukurlah Ivona masih sempat menangkapnya sebelum gadis itu benar-benar terjatuh."Sekarang aku akan menarik kita masuk," ujar Ivona, masih berbalas sikap diam Aila.Menarik napas, Ivona menghela ke belakang dan membuat mereka berdua jatuh ke atas kursi mobil. Posisi Aila sedikit menindih dan meski napas mereka sama terengah, Ivona masih belum melepas pelukannya. Setidaknya sampai mobil berhenti sempurna dan sang supir lan
"Apa ada hal lain yang Anda butuhkan, Nona?""Ada.""Ya? Kalau begitu, silakan katakan saja, Nona.""Apakah ada sesuatu yang bisa membuatku menghilang dari sini?"Tiga orang pelayan perempuan yang tadi membantu Aila membersihkan diri sekaligus merawat luka dan memar gadis itu, tersenyum dan menahan tawa.Aila jelas terkena serangan panik. Wajah gadis itu sejak tadi memerah dan sikapnya juga gelisah. Bayangan kalau dia harus tidur di kamar Killian membuat gadis bersurai coklat itu benar-benar tegang."Tenanglah, Nona. Nona akan baik-baik saja," ujar salah satu pelayan, memberi Aila senyuman menenangkan."Benarkah?" cicit Aila dengan napas tercekat. "Apa kalian yakin?"Saling bertukar senyuman, ketiga pelayan itu memberi anggukan meyakinkan."Iya," sahut salah seorang pelayan perempuan yang lain. "Siapa lagi yang bisa menaklukkan Tuan Muda kalau bukan Nona?"Ketiga pelayan perempuan itu lalu tertawa bersama. Rupanya
Ada rasa kantuk yang sangat yang dirasakan Aila. Kedua mata gadis itu terasa sangat berat untuk dibuka, pun kenyamanan tempatnya tidur semakin membuat gadis bersurai coklat itu enggan untuk bangun dari tidur.Namun toh, ada sesuatu yang membuat tidurnya tidak nyenyak. Tubuh gadis itu perlahan menggeliat, sedangkan bibir mungil berwarna peach yang menggoda itu mulai terbuka dan mengeluarkan suara desahan."Akh! Akh! Nghhnn ...." Meremas sprei, Aila merasakan geli yang nikmat di bagian intimnya, membuat gadis itu berusaha merapatkan kedua kaki. Namun ternyata ada yang menahan, membuat sepasang kaki jenjang itu tetap terbuka lebar. "Ngh! Ngh! Akh!"Ada yang menusuk-nusuk dan mengoyak kewanitaannya. Sesuatu yang lembek dan hangat tapi dengan permukaan kasar, seolah sedang menari-nari, keluar, masuk, dan entahlah apa lagi, yang jelas Aila merasakan nikmat.Gadis itu juga merasa sepasang aset kembarnya diremas-remas. Kedua ujungnya dipelintir, dijepit dan ditar
Killian baru menyelesaikan pekerjaannya setelah lewat tengah malam. Meski kondisinya buta seperti ini pun, dia tidak betah kalau terus diam tanpa melakukan apa pun. Memang, segala urusan mengenai bisnis keluarga Ardhana dan keluarga Reinhardt yang semula ditangani oleh Killian, sudah dialihkan ke beberapa orang yang lelaki buta itu percayai dan tunjuk sebagai wakil secara langsung. Selain itu, ayahnya, Claude Agentine, juga ikut memantau dan mengawasi segalanya. Lelaki Rusia itu memutuskan tinggal di Indonesia untuk sementara waktu agar bisa membantu putra semata wayangnya. "Padahal Ayah nggak perlu repot seperti itu," gumamnya, menyugar rambut dan menghela napas panjang. "Kenapa capek sekali, ya, rasanya? Padahal biasanya, bekerja sampai pagi pun nggak masalah." Menelungkupkan kepala di atas meja, Killian menyatukan kedua tangan di tengkuk. Beberapa kali lelaki buta itu menghela napas panjang. Segera setelah dia mengalami kebutaan, Killian la
Four Season Hotels and ResortPenthouse Suites Di kamar kerja Aria Hills. Hari ini Ivona memang mengajak Aila ke tempat di mana desainer cantik itu menginap untuk mencoba kembali gaun-gaun yang akan gadis itu kenakan saat pernikahan nanti. Sebenarnya, Aria Hills berjanji untuk datang ke kediaman Ardhana 2 hari lagi, tapi rupanya perempuan paruh baya itu sudah tidak sabar menunggu. "Cantiknyaa ...," desah Ivona, jelas terlihat begitu terpesona. "Oh, ya Tuhan. Menantuku memang sangat cantik dan anggun." "Dia calon menantumu, Nyonya Agentine. Bukan menantu." Aria Hills menyahuti ucapan Ivona dengan senyuman di wajah. "Oh, memang apa bedanya? Toh, tanggal pernikahannya bahkan kurang dari satu minggu lagi." "Bedanya adalah, Artemisku, ah, maksud saya ... gadis itu bahkan belum sah menjadi istri putra Anda." "Segera. Tidak lama lagi." "Tetap saja. Artinya 'kan masih belum." Tidak hanya Aila yang kebingungan dengan
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida