“Selamat ulang tahun, Love” ucap Dante yang mampu membuat netra biru Shia berkaca-kaca “Kau ingat ulang tahunku?” Ucap Shia lirih, dia bahkan lupa tanggal ulang tahunnya sendiri. Dante memeluk Shia dari belakang, meletakan kepalanya di pundah Shia. Tangan kekarnya melingkari pinggang Shia dengan erat “Bagaimana bisa aku tidak tau tanggal lahir wanita yang kucintai?” Dante bertanya balik. Shia tersenyum tipis lalu menoleh ke samping, kewajah Dante yang berada disebelahnya kemudian memberikan kecupan singkat dipipi pria itu “Terima kasih” Dante tersenyum, matanya bersinar penuh arti ketika melihat Shia. "Sekarang kau genap dua puluh tahun," ucapnya dengan nada yang penuh misteri. Shia, yang selalu cerdas dalam membaca ekspresi orang, merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh senyum Dante Shia mendengus "Memangnya kenapa?" tanyanya dengan nada skeptis. Shia yakin Dante ini pasti ada maunya Dante bertanya dengan santai, seolah-olah hamil adalah hal yang mudah dan wajar. Shia menden
Shia hanya bisa memejamkan mata dengan mengigit bibir bawahnya saat tangan besar Dante menjamah setiap jengkal kulit telanjangnya. Dimulai dari pipi, lalu turun menuju tulang selangka hingga menyentuh dadanya, mencengkram salah satu payudaranya. Sensasi sentuhan Dante membuatnya merinding, dan denyutan getarannya merambat ke seluruh tubuhnya. Jari-jari pria itu kembali bergerak menuju bagian bawah perutnya. Menyelinapkan salah satu jarinya untuk masuk ke dalam diri Shia. "Hugh..." Shia tersentak, terperangkap dalam rangsangan yang membuatnya merasa hidup dan mati di saat yang bersamaan. Dante menyeringai, "I want you so bad, little tigriss." Panggilan itu membuat Shia melihat Dante dengan mata berapi-api, keinginan dan gairah bersinar di dalamnya. Mata biru Shia terbuka menatap Dante yang berbisik di telinganya. Suara berat dan parau menggelitik telinganya, menciptakan gelombang sensasi yang membuatnya semakin terhanyut. "I'll make you mine, completely" lanjut Dante dengan nada pen
Dante merapikan bekas sarapan mereka. Membawa piring dan gelas itu ke arah dapur dan mulai mencucinya dengan wajah bahagia. Setelahnya Dante mencari Shia di ruang tengah. Mata abu-abunya menatap Shia yang duduk di sofa dengan sebuah novel yang dibacanya. “Kau membawa itu dari mansion?” Tanya Dante “Iya” Jawab Shia “Niat sekali” “Karena aku tau jika tidak punya hiburan selain ini” jawab Shia tanpa mengalihkan pandangannya dari novel. Detik selanjutnya Dante secara tiba-tiba berbaring dengan kepala yang diletakan di paha Shia. matanya menatap cover depan novel yang dibaca Shia lalu berkata “Seleramu tetap sama Love, bukankah lebih baik mempraktekan isi buku itu daripada sekedar membacanya” Ucap Dante dengan senyum menyebalkannya Shia mendengus lalu menutup bukunya, mata coklat itu menatap Dante dengan skeptis “Pahaku bukan bantal” “Memang bukan” Jawab Dante “Kepalamu berat, Dante” Bukannya menyingkir Dante justru melingkarkan tangan kirinya pada pinggang Shia lalu menenggelamkan
“Mana suratnya?” Pinta Shia saat keduanya sedang bersantai di depan Villa, menikmati pemandangan laut yang indah di malam hari. “Akan kuberikan besok, Love,” jawab Dante acuh tak acuh, sambil menyesap wine digelasnya “Kau sudah mengatakan itu sejak kemarin, Dante!” Shia berdecak kesal. Pasalnya, sudah tiga hari mereka di pulau ini, namun Dante tetap belum memberikan surat kepemilikan saham Clarikson padanya. Shia merasa dirinya hanya terus melayani gairah besar pria itu, tanpa mendapatkan kepastian apapun dan sebagai jawaban, Dante hanya mengatakan ‘besok... besok dan besok...’ Layaknya janji palsu yang terus menggantung. “Akan kuberikan saat kita kembali ke California,” ucap Dante pada akhirnya, tanpa melihat wajah kesal Shia “Lalu kapan kita kembali?” Terdengar ombak yang menghantam karang di kejauhan, menciptakan suasana tegang di antara mereka. Shia menatap Dante dengan mata biru yang menyorot tajam. “Kau selalu punya alasan, bukan? Kapan kita akan kembali?” “Kau tak perlu t
Ilya menatap Carolina dengan penuh ketidakpercayaan. Nama Costa menggema di telinganya, memicu ingatan akan konflik lama yang melibatkan kelompok mafia itu. "Aku tidak peduli siapa atau apa yang kau wakili. Aku hanya ingin bertemu dengan SXT, dimana pria itu?” Tanya Ilya dengan lantang Carolina tetap tenang, sudut bibirnya menampakan senyuman meremehkan “menggelikan, kau bahkan tidak tau jika orang yang ingin kau temui adalah pemimpinnya. Kau menginginkan perusahaan Clarikson dan kematian Arshia bukan?" Ilya terdiam, menyadari bahwa dia berhubungan dengan orang yang sangat berbahaya, namun sayang Ilya sudah tidak memiliki jalan mundur. Dia bahkan sampai merelakan putrinya sebagai pion. "Tuanku enggan untuk muncul dan menghadapi hama seperti kalian karena dia tau jika kau akan menawarkan putrimu sebagai bayaran untuk membunuh Arshia." Sambung Carolina tepat sasaran, alasan Ilya membawa Lily, putrinya adalah sebagai jaminan keberhasilan rencana mereka Carolina tertawa lagi, kali ini
Milan, Italia Mansion Clarikson “Senang melihatmu disini Shia” Kehadiran Robert di pintu uatama Mansion yang menyambut kedatangan mereka membuat Shia mengernyit bingung. Ada ketegangan yang terasa di udara, seperti sebuah rahasia yang disembunyikan dengan rapat. “Hallo, Dante” ucap Robert dengan senyuman tipis. Matanya menatap Dante yang merangkul pinggang Shia dengan tatapan yang sulit diartikan. “Masuklah,” ajaknya, sambil membuka pintu lebar-lebar. Shia melangkah masuk, merasakan getaran ketidaknyamanan yang terus menyusup ke dalam dirinya. Ia mencoba menyembunyikan kebingungannya di balik senyum tipisnya. “Tenanglah” bisik Dante pada Shia. Namun, Shia tak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada yang tidak beres. Ia memandang sekeliling dengan curiga, mencari petunjuk yang mungkin menjelaskan perubahan Robert yang begitu mendadak. “Aku sudah meminta pelayan menyiapkan makan malam sekaligus bentuk ucapan selamat atas pengangkatan dirimu sebagai presedir” Ucap Robert sambil mena
“Dante...” Dante terkesiap ketika mendengar Shia berseru dengan suara gemetar, “Kemari, Love,” ucap Dante dengan suara lembut, penuh kehangatan. Dia merentangkan lengannya, mengundang Shia masuk dalam dekapannya. Shia tak bisa menahan lagi tangisnya. Dia berlari ke pelukan Dante, dan segera air matanya mengalir deras. Tak ada kata-kata yang diucapkan, namun dalam pelukan itu, Dante memberikan kehangatan dan ketenangan kepada Shia. Sentuhan lembutnya seolah menghapus luka-luka batin yang selama ini Shia sembunyikan. Mereka terdiam sejenak, meresapi kehadiran satu sama lain. Shia kemudian meraih pakaian Dante erat-erat, seolah tak ingin kehilangan jejak keberadaan orang yang kini menjadi pelindungnya. Dante mengangkat Shia dalam gendongannya, menaiki tangga menuju kamar Shia. Pintu kamar mereka terbuka lembut, membiarkan suasana hangat dan damai memenuhi ruangan. Dengan lembut, Dante meletakkan Shia di tempat tidur. Dia menyeka air mata yang masih basah di pipi Shia dengan lembut,
Pagi sekali Shia terbangun dari tidurnya. Dia meyentuh sisi ranjang yang kosong. “Dimana Dante?” Shia bergumam. Ranjang itu terasa dingin, menandakan jika Dante tidak tidur bersamanya Shia segera meraba meja samping tempat tidurnya, mencari ponselnya. Segera dia menggenggam ponsel, memeriksa layar untuk melihat pesan atau panggilan dari Dante. Namun, layar ponsel tetap gelap, tidak ada pesan masuk. Pikiran Shia langsung berputar cepat. "Dia biasanya tidak meninggalkanku begitu saja tanpa memberitahu," gumam Shia sambil duduk di tepi ranjang. Rasa cemas menyelimuti dirinya seperti kabut tipis, membuat hatinya berdegup lebih cepat. Shia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan keluar dari kamar. Namun baru saja pintu terbuka sosok Lily sudah berada didepannya dengan ekspresi cemas. “S-shia” Panggil Lily ragu. Sebelah alis Shia terangkat menunggu kelanjutan ucapan Lily. Namun bukannya suara Lily melainkan seorang wanitalah yang muncul dibelakang Lily, merangkul pundak Lily dengan ra