Dante merapikan bekas sarapan mereka. Membawa piring dan gelas itu ke arah dapur dan mulai mencucinya dengan wajah bahagia. Setelahnya Dante mencari Shia di ruang tengah. Mata abu-abunya menatap Shia yang duduk di sofa dengan sebuah novel yang dibacanya. “Kau membawa itu dari mansion?” Tanya Dante “Iya” Jawab Shia “Niat sekali” “Karena aku tau jika tidak punya hiburan selain ini” jawab Shia tanpa mengalihkan pandangannya dari novel. Detik selanjutnya Dante secara tiba-tiba berbaring dengan kepala yang diletakan di paha Shia. matanya menatap cover depan novel yang dibaca Shia lalu berkata “Seleramu tetap sama Love, bukankah lebih baik mempraktekan isi buku itu daripada sekedar membacanya” Ucap Dante dengan senyum menyebalkannya Shia mendengus lalu menutup bukunya, mata coklat itu menatap Dante dengan skeptis “Pahaku bukan bantal” “Memang bukan” Jawab Dante “Kepalamu berat, Dante” Bukannya menyingkir Dante justru melingkarkan tangan kirinya pada pinggang Shia lalu menenggelamkan
“Mana suratnya?” Pinta Shia saat keduanya sedang bersantai di depan Villa, menikmati pemandangan laut yang indah di malam hari. “Akan kuberikan besok, Love,” jawab Dante acuh tak acuh, sambil menyesap wine digelasnya “Kau sudah mengatakan itu sejak kemarin, Dante!” Shia berdecak kesal. Pasalnya, sudah tiga hari mereka di pulau ini, namun Dante tetap belum memberikan surat kepemilikan saham Clarikson padanya. Shia merasa dirinya hanya terus melayani gairah besar pria itu, tanpa mendapatkan kepastian apapun dan sebagai jawaban, Dante hanya mengatakan ‘besok... besok dan besok...’ Layaknya janji palsu yang terus menggantung. “Akan kuberikan saat kita kembali ke California,” ucap Dante pada akhirnya, tanpa melihat wajah kesal Shia “Lalu kapan kita kembali?” Terdengar ombak yang menghantam karang di kejauhan, menciptakan suasana tegang di antara mereka. Shia menatap Dante dengan mata biru yang menyorot tajam. “Kau selalu punya alasan, bukan? Kapan kita akan kembali?” “Kau tak perlu t
Ilya menatap Carolina dengan penuh ketidakpercayaan. Nama Costa menggema di telinganya, memicu ingatan akan konflik lama yang melibatkan kelompok mafia itu. "Aku tidak peduli siapa atau apa yang kau wakili. Aku hanya ingin bertemu dengan SXT, dimana pria itu?” Tanya Ilya dengan lantang Carolina tetap tenang, sudut bibirnya menampakan senyuman meremehkan “menggelikan, kau bahkan tidak tau jika orang yang ingin kau temui adalah pemimpinnya. Kau menginginkan perusahaan Clarikson dan kematian Arshia bukan?" Ilya terdiam, menyadari bahwa dia berhubungan dengan orang yang sangat berbahaya, namun sayang Ilya sudah tidak memiliki jalan mundur. Dia bahkan sampai merelakan putrinya sebagai pion. "Tuanku enggan untuk muncul dan menghadapi hama seperti kalian karena dia tau jika kau akan menawarkan putrimu sebagai bayaran untuk membunuh Arshia." Sambung Carolina tepat sasaran, alasan Ilya membawa Lily, putrinya adalah sebagai jaminan keberhasilan rencana mereka Carolina tertawa lagi, kali ini
Milan, Italia Mansion Clarikson “Senang melihatmu disini Shia” Kehadiran Robert di pintu uatama Mansion yang menyambut kedatangan mereka membuat Shia mengernyit bingung. Ada ketegangan yang terasa di udara, seperti sebuah rahasia yang disembunyikan dengan rapat. “Hallo, Dante” ucap Robert dengan senyuman tipis. Matanya menatap Dante yang merangkul pinggang Shia dengan tatapan yang sulit diartikan. “Masuklah,” ajaknya, sambil membuka pintu lebar-lebar. Shia melangkah masuk, merasakan getaran ketidaknyamanan yang terus menyusup ke dalam dirinya. Ia mencoba menyembunyikan kebingungannya di balik senyum tipisnya. “Tenanglah” bisik Dante pada Shia. Namun, Shia tak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada yang tidak beres. Ia memandang sekeliling dengan curiga, mencari petunjuk yang mungkin menjelaskan perubahan Robert yang begitu mendadak. “Aku sudah meminta pelayan menyiapkan makan malam sekaligus bentuk ucapan selamat atas pengangkatan dirimu sebagai presedir” Ucap Robert sambil mena
“Dante...” Dante terkesiap ketika mendengar Shia berseru dengan suara gemetar, “Kemari, Love,” ucap Dante dengan suara lembut, penuh kehangatan. Dia merentangkan lengannya, mengundang Shia masuk dalam dekapannya. Shia tak bisa menahan lagi tangisnya. Dia berlari ke pelukan Dante, dan segera air matanya mengalir deras. Tak ada kata-kata yang diucapkan, namun dalam pelukan itu, Dante memberikan kehangatan dan ketenangan kepada Shia. Sentuhan lembutnya seolah menghapus luka-luka batin yang selama ini Shia sembunyikan. Mereka terdiam sejenak, meresapi kehadiran satu sama lain. Shia kemudian meraih pakaian Dante erat-erat, seolah tak ingin kehilangan jejak keberadaan orang yang kini menjadi pelindungnya. Dante mengangkat Shia dalam gendongannya, menaiki tangga menuju kamar Shia. Pintu kamar mereka terbuka lembut, membiarkan suasana hangat dan damai memenuhi ruangan. Dengan lembut, Dante meletakkan Shia di tempat tidur. Dia menyeka air mata yang masih basah di pipi Shia dengan lembut,
Pagi sekali Shia terbangun dari tidurnya. Dia meyentuh sisi ranjang yang kosong. “Dimana Dante?” Shia bergumam. Ranjang itu terasa dingin, menandakan jika Dante tidak tidur bersamanya Shia segera meraba meja samping tempat tidurnya, mencari ponselnya. Segera dia menggenggam ponsel, memeriksa layar untuk melihat pesan atau panggilan dari Dante. Namun, layar ponsel tetap gelap, tidak ada pesan masuk. Pikiran Shia langsung berputar cepat. "Dia biasanya tidak meninggalkanku begitu saja tanpa memberitahu," gumam Shia sambil duduk di tepi ranjang. Rasa cemas menyelimuti dirinya seperti kabut tipis, membuat hatinya berdegup lebih cepat. Shia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan keluar dari kamar. Namun baru saja pintu terbuka sosok Lily sudah berada didepannya dengan ekspresi cemas. “S-shia” Panggil Lily ragu. Sebelah alis Shia terangkat menunggu kelanjutan ucapan Lily. Namun bukannya suara Lily melainkan seorang wanitalah yang muncul dibelakang Lily, merangkul pundak Lily dengan ra
“Keputusanmu bersama Dante…” Ucap Lina dengan nada menggantung “orang yang membunuh Reliam Smith” Ucapnya dengan nada tajam Shia merasakan detak jantungnya berhenti sejenak. Matanya menatap tajam ke arah Lina, mencari tanda-tanda kebohongan di wajah wanita itu. "Omong kosong apa yang kau bicarakan, Lina?." Lina tersenyum sinis. "Oh, aku lupa. Dia tidak langsung terlibat, tapi dia tahu lebih banyak daripada yang kamu bayangkan. Keluarga Smith adalah saingan bisnisnya yang sangat berbahaya. Mereka berdua terlibat dalam persaingan sengit, dan kemudian, tiba-tiba saja, seluruh keluarga Smith tewas dalam keadaan misterius." Lina melihat Shia dengan tatapan licik, sementara Shia mencoba menyusun potongan-potongan informasi yang baru saja dia terima. Keheningan melingkupi mereka sejenak. “Bukankah kamu sudah melihatnya? Dalam ruang tersembunyi Dante” Sambung Lina Shia memejamkan matanya, mencoba mengolah informasi yang telah dia terima. Setelah sejenak, mata biru Shia terbuka, dan sebuah
Entah sudah berapa jam Shia berada di ranjang dengan rantai yang membelenggunya yang pasti Shia benar-benar bosan. Dia tidak bisa melakukan apapun, Lina juga tidak datang untuk sekedar berdebat dengannya. Beberapa saat kemudian, suasana di ruangan itu berubah drastis. Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras, membuat suara gemuruh yang menarik perhatian Shia. Mata biru Shia membola melihat Paman Ronnie, masuk dengan langkah mantap. “Menyedihkan sekali melihat keponakanku terikat begini” ucapnya namun dengan nada mengejek. Shia menampakan seringain miring. “Paman terlambat, aku muai bosan.” Celetuknya santai Paman Ronnie menggelengkan kepala dengan wajah yang serius. “Masih untung aku mau menolongmu setelah melihat pesan itu” Shia terkekeh memandang Paman Ronnie tepat dimata biru yang mirip seperti miliknya. “Bisa lepaskan ini, tangan dan kakiku sakit?” Paman Ronnie tersenyum, mendekati Shia dan memeriksa rantai yang mengikatnya. “Ckk. Kau bisa padahal aku yakin kau bisa membukanya d