“Mereka menembak ban mobilku!”
Shia tidak bisa melajukan mobilnya, dengan terpaksa dia menginjak rem dan memaksa mobil putih itu untuk berhenti. Gadis itu memperhatikan Dante yang keluar dari mobilnya dan menatap jalanan dibelakang.Meskipun enggan, Shia mengikuti Dante yang keluar dari mobil. Lagipula mobilnya tidak bisa lagi dikendari karena kedua ban belakangnya bocor.Dante mendekati Shia saat 2 mobil hitam yang mengikuti mereka berhenti beberapa meter di depannya.Pintu mobil itu terbuka bersamaan, dari mobil itu terdapat 6 orang berbaju hitam yang beralan kearah mereka dengan senjata api ditangannya.“Terjebak Dante” Ucap lelaki berambut pirang yang Shia tebak sebagai Boss nya.“Kau butuh lebih banyak orang jika ingin menjebakku” Jawab Dante santai. Pria pirang itu tertawa lalu menatap kearah Shia.“Wah Arshia Clarikson, senang bertemu denganmu disini. Aku sempat tertarik padamu saat kau berada dilintasan, begitu menggairahkan” Ucapnya membuat Shia memutar bola matanya malas, tidak ada raut ketakutan wajahnya meskipun dirinya satu-satunya perempuan ditempat itu.Dante menatap kearah Shia, memperhatikan wanita itu dari atas sampai bawah“Lihat apa kau?!” Ketus Shia, Dante mengangkat bahunya acuh namun smirk kecil terukir dibibirnya. Arshia Clarikson, dia akan mengingat nama itu.“Ngomong-ngomong, jika kau menyerahkan wanita itu aku akan mengampuni kesalahanmu yang sudah membunuh dua anak buahku”‘Membunuh’ Shia kaget mendengarnya, spontan dia kembali menatap Dante, netra abu-abu itu juga bertatapan dengan mata birunya.“Aku tidak keberatan, silahkan bawa dia” Jawab Dante entengShia menyipitkan matanya lalu berdecih “Persetan dengan semuanya!” dengan berani Shia berjalan menuju rombongan pria dengan pakaian hitam itu dengan tangan menyilang didada.Satu langkahDua langkahHingga pada langkah yang ketiga tubuh Shia membatu. Suara tembakan begitu memekakan telinganya. Dante menembak keenam pria itu dalam hitungan detik.Mereka dipenuhi dengan darah yang merembes dengan cepat. Semuanya terjadi begitu cepat, terlebih suara sirene mobil polisi terdengar mendekati posisi mereka.“Masih ingin bersama pria itu, Arshia Clarikson” suara pria itu berada tepat disebelah telinganya.Shia merasakan tangan besar memeluk pinggangnya dengan erat. Shia menoleh dan betapa kagetnya dia ketika bibir Dante menyentuh bibirnya. Mengecup bibirnya pelan, hanya sebuah kecupan karena setelahnya Dante bergerak mundur melepaskan pelukan eratnya.Shia tidak bisa mengucapkan apa-apa. Dia terlalu terkejut dengan berbagai rentetan peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat.“Ayo pergi” Ajak Dante seolah tidak terjadi apa-apaShia mendapatkan kesadarannya, amarahnya memuncak. Dia mengusap bibirnya dengan kasar lalu membuang ludah. Dante menatap Shia dengan sudut bibir yang terangkat.“Kau bertingkah seperti itu ciuman pertamamu” Ucap Dante, bibirnya mengulas senyum miring yang terlihat mengejek.Shia berjalan mendekat dan melayangkan tangannya, menampar pipi Dante. Shia sempat terkejut saat tangannya terasa perih, Shia yakin jika tamparan itu pasti terasa sakit sama halnya seperti apa yang tangannya rasakan sekarang.Menyadari tindakan yang sudah dilakukannya, Shia bergerak menjauh, berjaga-jaga jika Dante akan menembaknya karena menampar pria itu. dia baru ingat jika pria itu menyimpan sejata disaku jas mahalnya.“Aneh, padahal kau yang menamparku tapi kenapa justru kau yang terlihat kesakitan” respon Dante membuat Shia menghela nafas lega.“Listen Ashole! aku tidak ingin berurusan denganmu lagi, kuharap setelah ini kita tidak pernah bertemu, oh bukan tapi aku ingin kita jangan pernah bertemu!” Tekan Shia, dia berjalan melewati Dante, mengarah pada salah satu mobil hitam disana dan mengemudikan mobil itu, meninggalkan Dante yang menatap kepergian Shia dengan seringaian lebarnya.“That’s my girl”--2 Jam kemudianShia melihat keluar jendela mobil, di situ terdapat gedung begitu tinggi, sebuah hotel yang akan dia tinggali untuk malam ini. Shia berjalan keluar sambil meraih handphone pada kantong celananya.“aku ketinggalan pesawat"“Apa lagi alasanmu kali ini, Shia? sudah berapa kali kamu selalu menggunakan alasan yang sama?”“Ban mobilku bocor dan jalanannya sepi, sinyal ponselku juga hilang” Bohong Shia, tidak mungkin dia menceritakan semua kejadian gila itu, bisa-bisa pengawalan untuknya akan ditambah.Helaan nafas terdengar di sebrang sana. Robert Clarikson, ayah Shia menghela nafas lelah dengan tingkah putrinya yang selalu menguji kesabarannya.“Daddy menunggumu besok, jangan lupa jika daddy bisa membatalkan semua kesepakatan kita Shia" ancamnya“Hmmm dan daddy akan kehilangan pewaris jika melakukannya"Shia memutuskan panggilannya.“One room please” Ucap Shia pada resepsionis yang menyambutnya dengan ramah. Untuk malam ini dia akan menginap di hotel dekat bandara.Disisi lain tampak seorang pria sedang menatap keluar jendela mobilnya, mata abu-abu itu hanya menatap gedung hotel di depan dengan diam.“Boss sampai kapan kau akan menunggu disini?” Tanya salah satu anak buahnya bernama Benyamin.“Sampai aku puas” Jawab Dante singkat“Apa hubungan anda dengan wanita itu boss? Setau saya dia mantan atlet nasional, akan berbahaya bagi anda jika memiliki hubungan dengannya” Ucap Ben yang langsung membuat hawa didalam mobil mendingin“Itu bukan urusanmu, berkata sekali lagi, aku akan membunuhmu.” Ancam Dante dengan tatapan tajamnya.Ben langsung terdiam, ia tidak bisa mengucapkan apa-apa. Dia tau itu bukanlah suatu ancaman semata. Jika itu Dante, maka pria itu akan benar-benar membunuhnya."Bagaimana perintahku?" Dante bertanya"Sudah dilaksanakan, drew sudah memasang bom yang anda minta" lapor BenDante terlihat mengangguk acuh lalu memperhatikan kamar dengan lampu yang masih menyala, tak lama kamar itu terlihat gelap karena lampu yang dimatikan“Pulang” Ucap Dante tidak lama kemudianBen menyalakan mobilnya, lalu mobil hitam itu berjalan menjauhi hotel tempat Shia berada.‘kau tidak akan bisa lari dariku, Arshia’""""To Be continueeePukul 6 pagi, suasana di luar kamar hotel Shia sudah terasa segar. Tanpa ragu, Shia keluar dari kamar dan bergegas menuju lift. Tidak berselang lama, pintu lift terbuka, mengungkap pemandangan yang tak terduga. Ketika Shia memasuki lift, matanya terkejut oleh adegan yang sedang berlangsung di dalamnya. Di sudut kecil itu, sebuah pasangan tengah terlibat dalam momen intim, tanpa sepatah kata pun tentang privasi atau kesopanan. Mata biru Shia melarikan pandangannya, mencoba untuk fokus pada hal lain. Namun, tak dapat dihindari, Shia harus memutuskan apakah akan mengabaikan kejadian ini atau berhadapan dengan situasi yang cukup menjengkelkan. Dengan sikap yang tetap tenang, Shia memilih untuk tetap masuk ke dalam lift. Ia berdiri di depan pasangan tersebut, merapatkan dirinya ke sudut yang berlawanan arah. Mungkin karena kehadirannya, mungkin tidak, pasangan itu terus dengan kegiatannya seolah Shia bukanlah bagian dari dunia mereka. Meski demikian, Shia merasa terganggu oleh suara yang
“Aku ingin kau yang membersihkannya, dengan bibirmu” Ucap Dante santai, dia bahkan tidak bergeming ketika netra biru terang itu membola. Nafas Shia memburu, udara didalam lift terasa sangat panas. “Kau benar-benar baj-“ Ucapan Shia terpotong oleh ciuman Dante di bibirnya. Terkejut. Shia makin membelalakkan mata ketika tiba-tiba saja Dante mendorong tubuhnya, menyudutkannya ke dinding elevator, kemudian memagut bibirnya kasar. Shia gemetar marah, dia berusaha keras mendorong Dante, tubuh lelaki itu sekokoh karang, tidak bergeming meski Shia mendangkan kakinya pada aset pria itu. Tangan Dante menangkup wajah Shia, memiringkan kepalanya kemudian menyerang bibir Shia dengan posesif. Arshia seperti tersengat. Ini berbeda dengan ciuman biasa yang dia lakukan. Ini lebih dewasa… lebih dalam dan membakarnya. Apalagi Dante menggerakan lidahnya dengan jilatan pelan dan niat. Shia merasa nyaris tenggelam dalam ciuman itu. Tangannya mencengkeram Jas hitam Dante, mengelusnya pelan. Dante tersen
Mobil yang membawa Shia dan Dante berhenti di Parkland memorial hospital tepat di samping wanita dengan seragam dokter yang memang menunggunya. Teresa Tylor, sahabatnya yang bekerja sebagai dokter itu menampakan raut terkejut ketika melihat pakaian Shia yang berwarna merah darah.“kau terluka?” ucap Teresa panik, dia memperhatikan Shia secara seksama.“Itu darahnya.” Ucap Shia bersamaan dengan pintu mobil yang terbuka, menampakkan seorang pria yang terbalut kemeja putih yang kini berubah merah darah.“Oh Gosh. Bagaimana dia bisa begini? Apa kamu menabraknya? Sudah kubilangkan berhentilah balapan liar Shia.” Cecar Erika panik. Wanita itu mengkode kepada perawat yang bersamanya agar membawa pria itu dengan cepat.“Dia menyelamatkanku, aku berhutang budi dengannya” jawab Shia dengan atensi yang sepenuhnya tertuju pada para perawat yang memindahkan tubuh Dante ke ranjang pasien dan membawanya masuk ke d
Setelah Shia mengembalikan kunci mobil pada Teresa di ruangannya, langkahnya membawanya menuju lift yang membawa ke lantai 5. Menyusuri koridor yang tenang, ia akhirnya sampai di depan pintu ruangan lavender. Dengan langkah hati-hati, Shia membuka pintu itu. Ruangan tersebut terasa hening, terasa tenang dengan warna-warna lembut dan lampu yang redup. Namun, perhatian Shia segera tertuju pada sosok pria yang terbaring di ranjang. Dante, seorang pria yang baru dikenalnya, terlihat rapuh dalam seragam pasien. Perban di kepala dan infus yang terpasang di tangan kanannya menyiratkan bahwa Dante tengah melewati masa sulit. Shia mendekati ranjang, mengambil tempat di kursi di sampingnya. Tatapannya terkunci pada wajah Dante yang tertutup oleh matanya yang tenang. Mata biru Shia memperhatikan setiap detail, mencoba membaca ekspresi yang mungkin ada di balik ketenangan itu. lalu Shia nampak menilai perawakan Dante. Rupa pria itu sangat menawan. Rambut hitam yang terlihat lembut, Rahang kokoh
Shia menatap sosok pria yang terduduk di ranjang pasien. Mata yang tertutup itu kini terbuka. Pandangan mereka bertemu, netra abu-abu gelap dengan kesan dingin itu menyapanya. Shia cukup tertegun, sosok Dante yang sekarang berada didepannya berbeda dengan tingkah pria itu sebelumnya yang terkesan menyebalkan. “Siapa?” suara serak itu menyadarkan Shia. Dante tidak mengenalinya. “Kau baik-baik saja?” Tanya Shia balik dengan langkah mendekat. Bersamaan dengan tangannya yang menuangkan segelas air dan menyerahkan pada Dante yang masih bersandar pada kepala ranjang. Dante melirik Shia dengan kening berkerut. Maniknya bersitatap dengan manik biru gelap milik Shia. Tentu saja pria itu sadar dirinya kini pasti berada di sebuah rumah sakit dan mengenakan seragam pasien. Namun bagaimana dirinya bisa berada disini. Merasakan tenggorokan yang kering. Dante meraih gelas yang disodorkan oleh Shia dan meminumnya hingga tandas. “Kau ingat ses-“ PRANK “ARGHH” Gelas kaca yang dipegangnya jatuh d
Los Angeles, USBRAK..“ITU BUKAN MAYATNYA!!” teriak seorang pria sambil menggebrak meja kerjanya, membuat dokumen yang tersusun rapi kini berhamburan ke lantai.“Apa kalian bisa menjelaskan apa yang terjadi” Tanya pria itu dengan desisan tajam. Dua orang yang berada didepannya menunduk takut. Saling menyenggol untuk menentukan siapa yang berbicara.“Apa kalian mendadak bisu.” Ucapnya dengan dingin.“I-itu jebakan.. kami dijebak” jawab Frank selaku pemimpin kompotan dengan takut-takut. Pria itu hanya diam seolah menunggu kelanjutan cerita yang ingin didengarnya.“Benarkah? Ceritakan padaku jebakan seperti apa yang dibuat olehnya”“Bom yang kami tembakan pada mobil itu berhasil meledak, saat kami ingin mendekat, tiba-tiba kami semua pingsan dan saat bangun sudah berada didepan gerbang” Ucap Frank dengan badan bergetar.“Kami rasa ia sudah mati tuan. Mo
Setelah mengantar Dante menuju kamar, Shia kini berkutat di dapur, sebenarnya sudah cukup lama dia tidak memasak bagi orang lain, dengan sedikit kaku ia mulai mengaduk telur dengan beberapa potong wortel dan bumbu lalu mendadarnya dilanjutkan dengan cornet. Shia mengangkat dan meyusun keduanya diatas roti tawar. Menuangkan saos dan mayonnaise lalu menutup kembali dengan roti dan memotong roti tersebut menjadi dua bagian berbentuk segitiga. Senyum tipis tertera di bibirnya ketika melihat bentuk sandwice buatannya. Tidak buruk pikirnya.“Kau memasak?” Tanya DanteShia menoleh, menatap Dante yang shirtless hanya menggunakan celana selutut yang baru di belinya tadi. Rambut hitam pria itu terlihat basah begitu pula dengan aliran air yang mengalir membasahi tubuh atletisnya yang memiliki roti sobek disana.‘astaga’ Shia terdasar“Gunakan bajumu” Ucap Shia yang otomatis membalikkan tubuhnya.Dante ters
Di apartemen, Dante duduk di sofa dengan tatapan yang tertuju pada televisi yang menampilkan berita, dia tersenyum tipis begitu melihat berita salah satu keluarga ternama“Dia rajin sekali mencari sensasi” celetuknya asal. Dante mematikan televisi itu, dia berjalan kea rah kamar yang berhadapan dengan kamar miliknya.Tanpa berpikir dua kali Dante membuka pintu kamar itu. “Jadi ini kamarmu, little tigris” gumamnya saat melihat bagian dalam kamar itu.Dante melangkah masuk. Kamar ini terlihat lebih kelam dengan warna dinding abu-abu dan juga beberapa lukisan abstrak yang didominasi warna hitam yang menghiasi dindingnya. Berbeda dengan kamar miliknya yang dilapisi cat dinding putihDante melangkahkan menuju lemari kaca berisi piala yang menarik perhatiannya. Piala penghargaan atas prestasi wanita itu di bidang akademik dan 4 mendali serta belasan piala kejuaraan drift yang di dapat 2 tahun terakhir.Netra abu-abu itu tera
Namanya Zedante Algheri Kingston pria yang kini berusia 41 tahun dengan pesona yang mematikan. Namun, mari kita melangkah lebih jauh ke belakang, ke waktu di mana Dante dan Shia pertama kali bersentuhan dalam perjalanan hidup mereka.***20 tahun yang lalu…Suara pelan lonceng gereja memecah keheningan pagi. Dante turun dari mobil dan membuka pintu untuk ibunya dengan sedikit enggan.“Kau ini! Senyum sedikit, meskipun kau tampan tapi wajahmu yang datar itu menakutkan, jangan sampai teman-temanku takut denganmu” Decak Irena melihat ekspresi putranya yang nampak datar seperti para bodyguard mereka.“Mom yang memaksaku kesini” Ucap Dante dengan datar“Itu karena ayahmu diluar negeri” Ucap Irena, Dia merangkul tangan Dante lalu memasuki gerbang gereja tua yang megah.Namun belum sampai kedepan pintu, Irena melepaskan lengan Dante begitu saja dan meninggalkan Dante sendirian “Kau masuk duluan saja” Ucap Irena lalu melangkah menuju kursi taman gereja dan berbicara dengan seorang biarawati d
“Kau marah Love?” Tanya Dante.Shia melirik sekilas melalui cermin lalu memalingkan pandangannya ke arah lain.“Sekarang aku yakin kau benar-benar marah” Ucap Dante seraya menghela napas panjang. Dante mendekat kearah Shia yang duduk di meja rias sambil memoleskan makeup“Love..” Panggil Dante dengan suara yang amat merduShia tidak merespon, dia hanya fokus memoleskan lipstik di bibirnya. Gaun Navy-nya yang semula berganti menjadi dress satin berwarna hitam gelap dengan beberapa ornamen mengkilat yang menghiasi bagian pinggangnya.“Akh” Shia tersentak ketika Dante menggendongnya ala bridal lalu membawanya keluar kamar.“Masih menolak bicara, Love?” Ucap Dante dengan senyuman lebar.“Dasar pemaksa” gumam Shia tanpa melihat wajah Dante.Dante terkekeh “Kau manis sekali saat kesal seperti ini Love”Shia tetap diam, mengabaikan pandangan Dante. Dia merasa sulit untuk menyembunyikan senyuman kecil di bibirnya meskipun hatinya berbisik untuk tetap marah.“Turunkan, aku bisa jalan sendiri”
“Shh… ahh” Shia meringis antara sakit dan nikmat disatu waktu bersamaan. Shia terduduk diatas meja kerja milik Dante dengan Dante yang berdirii dan terus memompa dirinya dibawah sana.“Dante- Stoph..Eum..” Belum selesai Shia berbicara Dante sudah lebih dulu membungkam bibir SHia dengan lumatan singkat lalu ia menarik diri setelah menyematkan mengecup pipi Shia beberapa kali kemudian lanjut menghentak Shia.Shia mengigit bibirnya, menahan desahan saat milik Dante masuk terlalu dalam di inti tubuhnya. Mata biru itu mentap gaun navy yang sudah tergeletak dan robek disana.“D-dante pestanya belum selesai” Ucap Shia saat Dante memperlambat gerakannya“Hmm.. mereka tidak akan menyadari kita menghilang Love” Ucap Dante dengan suara seraknya “Lihat Love, milikmu benar-benar dirancang sempurna untuk aku masuki” Tambahnya sambil menatap kelamin keduanya yang menyatu.Blush..“Dasar mesum” Shia berucap kesal namun wajah Shia memerah total, Shia mengalihkan pandangannya ke samping. Enggan menatap
Mobil putih itu bergerak dengan memutar di sisi lintasan yang menantang. Shia, dengan mahirnya, mengendalikan setiap gerakan mobilnya dengan presisi yang luar biasa. Asap ban dan deru mesin menciptakan suara yang menggetarkan hati para penonton di arena balap. Dante, yang berada di tepi lintasan, menyaksikan Shia dengan mata abu-abu yang menatap penuh kebanggaan. Meskipun awalnya khawatir, dia tidak bisa menahan kekagumannya melihat keahlian Shia dalam melakukan teknik drifting. Setiap belokan dan putaran roda menjadi sebuah tarian yang memukau. “Bukankah istriku luar biasa Alesio” Ucap Dante dengan bangga pada sang anak yang kini berusia 5 tahun. Alesio mendengus, meskipun masih kecil namun sikap Dante benar-benar menurun persis padanya “Dia mamaku” Dalam setiap belokan tajam dan drift spektakuler, Shia terus menunjukkan keterampilannya. Saingan-saingannya sulit mengejar karena mobil putihnya meluncur dengan kecepatan yang sulit dipercaya. Suasana menjadi semakin tegang ketika bal
"Melalui proses pemungutan suara yang demokratis, para pemegang saham dengan bulat hati menyetujui penetapan Ronnie Colins sebagai Presiden Direktur, menggantikan almarhum Robert Clarikson sesuai dengan peraturan nomor 2 yang telah diusulkan.”Prok.. Prok.. Prokk..Suara tepuk tangan menggema merayakan keputusan yang baru saja diumumkan.Cahaya sorot lampu panggung memantulkan kilauan di wajah-wajah para pemegang saham yang merasa yakin bahwa pemilihan Ronnie Colins sebagai Presiden Direktur adalah langkah yang tepat.Ronnie Colins, dengan langkah mantap, berdiri di depan podium. Sorot mata yang tajam dan wibawa dalam setiap langkahnya mencerminkan kepercayaan diri yang dimilikinya.Ronnie mengarahkan pandangannya kesegala sisi hingga terhenti pada satu titik. Sudut bibirnya terangkat dengan senyum miring "Terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan. Saya sangat bersyukur dan berkomitmen untuk membawa perusahaan ini ke arah yang lebih baik, sesuai dengan visi dan misi yang tela
Waktu pemulihan yang seolah begitu cepat terasa seperti mukjizat bagi Dante. Shia dan bayi mereka, Alesio, menjadi simbol keajaiban itu. Setelah melewati masa-masa sulit di ruang perawatan intensif neonatal, Alesio kini berada dalam gendongan hangat Shia. Bayi itu tidak lagi terikat pada tabung inkubator.Dante duduk di samping Shia, matanya penuh kekaguman melihat bayi mungil mereka yang sekarang begitu sehat. Alesio dengan rakus meminum ASI dari ibunya, menunjukkan semangat hidup yang mengagumkan."Dia benar-benar rakus, ya?" Dante berkata dengan senyum di bibirnya.Shia hanya mengangguk setuju, mata biru yang terus memperhatikan putranya yang kecil. Keceriaan dan kebahagiaan menyelinap ke wajahnya meskipun kelelahan masih terlihat di matanya."Hidungnya dan bentuk wajahnya mirip sepertimu, Dante" Shia berkata sambil tersenyum lembut, jari telunjuknya menyentuh lembut permukaan wajah Alesio. "Dia pasti akan tumbuh menjadi anak yang sangat tampan, persis seperti ayahnya.Dante merasa
Setelah menyelesaikan masalah Ilyana. Hari-hari berikutnya menjadi masa-masa yang sulit bagi Dante. Dia tidak pernah meninggalkan ruangan perawatan Shia, selalu berada di sampingnya setiap saat.“Apa kau tidak lelah tidur terus, Love?” Dante mulai bermonolog“Semua orang yang mengincarmu sudah musnah, kita bisa hidup dengan dalam sekarang” Sambung DanteMeskipun ruangan itu penuh dengan suara perangkat medis dan mesin yang memantau, satu-satunya suara yang Dante dengar adalah detak jantung Shia“Aku merindukanmu Love, dan putra kita membutuhkanmu… Dia sangat kecil hingga aku rasa tubuhnya bisa hancur jika kusentuh.”Ruang perawatan intensif neonatal menjadi tempat yang akrab bagi Dante. Bayi kecil yang ia nama Alessio, terhubung dengan berbagai alat bantu pernapasan dan monitor yang memantau setiap detak jantungnya.Meskipun setelah beberapa minggu, Alessio mulai menunjukkan tanda-tanda perkembangan yang positif. Detak jantungnya menjadi lebih stabil, dan dia mulai merespons rangsanga
Dante menatap Ilya yang terikat dengan kondisi yang cukup mengenaskan. Kedua tangannya diborgol dengan rantai yang dingin dan keras. Ruangan gelap itu dipenuhi dengan ketegangan, dan senyuman sinis Ilyana menciptakan aura yang semakin mencekam.“Dante.. Dante..” Ucap Ilyana dengan seringai lebarnya. “Biar kutebak apa Shia sekarat? Atau dia sudah mati?”Plak.Suara tamparan yang keras membuat ruangan itu terdiam sejenak. Dante, tanpa ekspresi wajah, memandang Ilyana dengan tajam. “Jangan sekali-kali menyentuh nama Shia dengan cara seperti itu” ucapnya dengan suara rendah yang penuh dengan ancaman.Ilyana hanya tertawa sinis. “Kau memang selalu terlalu sentimental. Apa yang bisa kau lakukan untuk mencegahku?”Dante menghela nafas, berusaha menahan amarahnya. “Aku sudah memberikan peringatan, Ilyana. Jangan mencampuri Shia dalam permainan kotormu.”Namun, senyuman Ilyana tak kunjung hilang. "Kau tidak bisa menyelamatkannya. Dan tidak ada yang bisa menghentikan rencanaku. Aku sudah mengat
Dante duduk di samping tempat tidur Shia, wajahnya penuh keprihatinan dan kekhawatiran. Dokter keluar dari ruang perawatan dan menghampiri Dante dengan ekspresi serius."Mr. Kingston, kami menemukan sesuatu yang perlu Anda ketahui" ucap dokter nampak tergesa namun penuh kehati-hatian.Dante melirik sang dokter dengan tajam “katakan” Ucapnya"Dalam pemeriksaan lebih lanjut, kami menemukan bahwa Mrs. Kingston memiliki riwayat penyakit jantung. Tidak hanya itu, kami menemukan bahwa dia pernah melakukan operasi jantung" ungkap dokter dengan nada serius.Dante terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. "Operasi jantung?"Seolah paham kebingunan Dante, Dokter menjelaskan lebih lanjut "Beberapa orang memilih untuk menyembunyikan riwayat penyakit mereka, terutama jika itu berkaitan dengan organ vital seperti jantung. Mungkin Mrs. Kingston tidak ingin membuat banyak orang khawatir, terlebih dari data yang kami temukan, operasi itu berlangsung sekitar 7 tahun yang lalu” JelasnyaDante menata