Markus mengajak Sophia masuk ke sebuah restoran cepat saji yang ada di dalam mal itu. Mereka memilih duduk di sudut paling belakang, jauh dari pandangan umum. Markus sengaja memilih tempat itu. Dia tahu Alex juga sedang ada di pusat perbelanjaan yang sama, dan sekecil apapun risiko ketahuan harus dihindari.Suasana di sekitar mereka ramai, anak-anak tertawa, suara pesanan bersahutan, tapi di meja itu, ketegangan terasa jelas.Markus menatap wanita di depannya. “Kamu pikir mudah melawan seorang Alexander? Dia itu bukan orang bodoh, Sophia,” ucapnya, suaranya ditekan rendah agar tidak menarik perhatian, tapi tajam menusuk. “Dia nggak akan bisa jadi pemimpin perusahaan besar kalau dia sebodoh yang kamu kira. Perusahaannya itu, Sophia… dia bangun sendiri. Tanpa sepeser pun uang keluarganya. Dari situ saja kita tahu, dia bukan orang biasa.”Tapi Sophia tidak sedikitpun menunjukkan ragu. Tatapannya tetap tajam, rahangnya mengeras. “Kamu diam saja. Cukup lakukan yang aku minta. Aku butuh kam
Angelica memandangi tumpukan lingerie yang baru saja ditunjukkan oleh pegawai butik. Warna-warni mencolok, modelnya pun macam-macam, dari yang biasa saja sampai yang membuat pipinya terasa panas hanya dengan sekilas pandang."Aku nggak mau ya pakai sebanyak ini," gumam Angelica, berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah. Suaranya lirih, tapi cukup jelas terdengar oleh Alex yang duduk di sampingnya.Alex tersenyum kecil. Tangannya terulur, membelai pelan rambut panjang Angelica yang terurai rapi. "Tapi setiap malam itu kamu harus pakai gonta-ganti, sayang," jawabnya tenang, seolah kalimat itu hal biasa baginya.Angelica menunduk, malu. Ia tahu pegawai butik itu sedang menahan senyum penuh arti. Wanita muda itu pasti sudah sering menghadapi pemandangan seperti ini, tapi tetap saja Angelica merasa canggung."Kamu ini malu-maluin," bisiknya pelan, masih tak berani menatap Alex.Alex mengabaikan raut protes di wajah Angelica. Ia menoleh ke arah pegawai butik. "Udah, bungkus aja i
Alex memarkir mobilnya di pinggir jalan yang menghadap langsung ke pantai. Dari balik kaca depan, lampu-lampu villa dan coffee shop yang berderet di sekitar situ tampak berkelap-kelip, tapi dia tak tertarik pada semua itu. Pandangannya justru lebih tenang saat tertuju pada air laut di depannya yang tampak diam tanpa gelombang."Sayang, aku mau bicara," ucap Alex pelan, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya.Angelica yang duduk di sampingnya langsung menoleh. "Ada apa, sayang? Kok jadi bikin aku gugup," jawabnya, berusaha tersenyum walau ada rasa was-was yang muncul di dadanya.Alex menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Aku mau cerita soal pertemuan William dengan Sophia."Mata Angelica langsung menatapnya lebih dalam. Ia mengangguk pelan, mencoba menyiapkan hatinya untuk mendengar apapun yang akan keluar dari mulut Alex. "Jadi… apa pilihan Sophia, sayang?" tanyanya pelan. Hatinya tak tenang, tapi ia berusaha tetap tenang di hadapan pria itu.Jujur saja, Angelica be
"Kenapa Olivia, sayang?" tanya Alex, menoleh ke Angelica."Aku nggak tahu, sayang. Ayo sekarang kita pulang, dia nangis," jawab Angelica panik sambil buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam tas.Alex langsung menyalakan mesin mobil dan melajukannya menuju rumah. Hanya butuh sekitar 25 menit, mobil mewah mereka sudah masuk ke halaman rumah.Begitu mobil berhenti, Angelica cepat-cepat turun tanpa menunggu Alex. Ia hampir setengah berlari masuk ke dalam rumah, hatinya cemas membayangkan sesuatu terjadi pada Olivia."Di mana Olivia?" tanya Angelica dengan napas sedikit memburu saat melihat William yang sedang duduk di ruang tamu."Itu, Nyonya, lagi nonton di ruang keluarga," jawab William sambil menunjuk ke arah dalam. Dari sana, terdengar tawa renyah Olivia.Angelica mengerutkan kening, heran. "Tapi tadi kenapa dia nangis?" tanyanya lagi, masih penasaran.William tersenyum kecil. "Dia kalah main sama saya, Nyonya, jadi langsung nelpon mamanya buat ngadu. Tapi Nyonya tadi malah mematikan
“Aku menginginkanmu, Angel.” Tubuh Angelica yang berdiri membelakangi pria itu sontak meremang saat sepasang lengan kekar melingkari pinggangnya, menariknya dengan perlahan ke pelukan yang erat. Terlebih suara berat Alex yang penuh godaan berbisik di telinganya. Belum sempat memproses segalanya, tangan kekasihnya itu mulai bergerak penuh gairah di atas tubuh Angelica.Angelica terkesiap.Seharusnya, dia menolak dan coba menghentikannya. Ada yang harus dia bicarakan terkait pertemuannya dengan ibu Alex.Namun, pria itu tahu benar titik-titik kelemahan Angelica, hingga dia pun tak kuasa menahan diri. “Tunggu saja, akan kujadikan Kau Nyonya Alexander, Sayang,” bisik Alex penuh penekanan. Pria itu pun mendorong tubuh wanita itu pelan ke dalam ruang pribadi di dalam ruang kerjanya dan melakukannya seolah tak ada hari esok..... “Bu, Angel?!”Deg!Panggilan sang dokter membuat Angelica tersentak dan kembali dari lamunannya. Bisa-bisanya dia teringat akan masa lalunya di saat
Alex memberi kode pada asistennya untuk segera keluar dari ruangan, membiarkan dia dan Angelica berdua di dalam. William, sang asisten, tampak ragu sejenak, seolah ingin memastikan bahwa atasannya benar-benar ingin menghadapi wanita ini sendirian. Namun, tatapan tajam Alex membuatnya mengangguk cepat. "Baik, Tuan. Saya permisi," ucapnya pelan, sebelum menutup pintu ruang kerja sang CEO dengan hati-hati. Suara pintu yang tertutup terdengar begitu nyaring di telinga Angelica, seakan menjadi tanda bahwa kini ia terperangkap dalam situasi yang tak bisa ia hindari. Ia berdiri di hadapan pria yang dulu pernah mencintainya dengan begitu dalam. Pria yang selama tujuh tahun selalu menatapnya dengan penuh kasih sayang, tapi kini menatapnya dengan dingin, penuh kebencian. Berani-beraninya perempuan ini kembali datang dalam kehidupan Alex, setelah dia hampir membuat Alex mengakhiri hidupnya. Alex tidak akan pernah melupakan kejadian itu. Dia hampir gila karena tak berhasil menemukan Ange
Ruang kerja Alex terasa lebih dingin dari biasanya. Atau mungkin hanya Angelica yang merasakannya. Tatapan Alex yang menusuk seakan membekukan udara di sekitarnya. Angelica mengumpulkan keberaniannya, meski ia tahu jawaban yang akan ia dapatkan mungkin tak akan menyenangkan. "Syarat apa yang kau maksud, Alex?" tanyanya pelan, suaranya sedikit bergetar. Alex menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, jemarinya kembali mengetuk-ngetuk meja dengan ritme teratur. "Syaratnya sederhana, Angel. Kau harus patuh pada setiap perintahku. Tidak ada protes, tidak ada keluhan. Dan yang paling penting..." Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Angelica tajam. "Kau harus menandatangani kontrak kerja sama denganku minimal 10 tahun." Angelica mengerutkan kening. "Se--sepuluh tahun?" Alex mengangguk. "Jika sebelum kontrak itu berakhir kau memutuskan untuk pergi, maka aku akan melaporkanmu ke kantor polisi." Darah di wajah Angelica seakan menghilang. "A--Apa maksudmu?" Alex menyeringa
Begitu Angelica keluar dari ruangan Alex, ia meninggalkan nomor ponselnya di meja William. Angelica segera pergi dari sana, namun tatapan penuh sindiran langsung menyambutnya. Beberapa karyawan yang mengenalnya dulu menoleh dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sebagian hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan pekerjaan mereka, tapi tak sedikit yang sengaja memperlambat langkah, seolah ingin memastikan bahwa itu benar-benar Angelica, wanita yang dulu begitu beruntung, dan kini kembali dalam keadaan berbeda. "Dia balik lagi ke sini?" bisik salah satu dari mereka dengan nada geli. "Berani juga dia datang setelah apa yang terjadi dulu," sahut yang lain. "Jangan-jangan dia mau kerja di sini lagi?" "Mana mungkin. Tuan Alex nggak sebodoh itu untuk nerima dia lagi." Ema sangat yakin kalau atasannya tidak mungkin menerima Angelica kembali. Dia salah satu saksi hidup bagaimana Alex hancur dan kini membenci Angelica. Ema, adalah rekan kerja Angelica dulu di bagian marketing
"Kenapa Olivia, sayang?" tanya Alex, menoleh ke Angelica."Aku nggak tahu, sayang. Ayo sekarang kita pulang, dia nangis," jawab Angelica panik sambil buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam tas.Alex langsung menyalakan mesin mobil dan melajukannya menuju rumah. Hanya butuh sekitar 25 menit, mobil mewah mereka sudah masuk ke halaman rumah.Begitu mobil berhenti, Angelica cepat-cepat turun tanpa menunggu Alex. Ia hampir setengah berlari masuk ke dalam rumah, hatinya cemas membayangkan sesuatu terjadi pada Olivia."Di mana Olivia?" tanya Angelica dengan napas sedikit memburu saat melihat William yang sedang duduk di ruang tamu."Itu, Nyonya, lagi nonton di ruang keluarga," jawab William sambil menunjuk ke arah dalam. Dari sana, terdengar tawa renyah Olivia.Angelica mengerutkan kening, heran. "Tapi tadi kenapa dia nangis?" tanyanya lagi, masih penasaran.William tersenyum kecil. "Dia kalah main sama saya, Nyonya, jadi langsung nelpon mamanya buat ngadu. Tapi Nyonya tadi malah mematikan
Alex memarkir mobilnya di pinggir jalan yang menghadap langsung ke pantai. Dari balik kaca depan, lampu-lampu villa dan coffee shop yang berderet di sekitar situ tampak berkelap-kelip, tapi dia tak tertarik pada semua itu. Pandangannya justru lebih tenang saat tertuju pada air laut di depannya yang tampak diam tanpa gelombang."Sayang, aku mau bicara," ucap Alex pelan, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya.Angelica yang duduk di sampingnya langsung menoleh. "Ada apa, sayang? Kok jadi bikin aku gugup," jawabnya, berusaha tersenyum walau ada rasa was-was yang muncul di dadanya.Alex menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Aku mau cerita soal pertemuan William dengan Sophia."Mata Angelica langsung menatapnya lebih dalam. Ia mengangguk pelan, mencoba menyiapkan hatinya untuk mendengar apapun yang akan keluar dari mulut Alex. "Jadi… apa pilihan Sophia, sayang?" tanyanya pelan. Hatinya tak tenang, tapi ia berusaha tetap tenang di hadapan pria itu.Jujur saja, Angelica be
Angelica memandangi tumpukan lingerie yang baru saja ditunjukkan oleh pegawai butik. Warna-warni mencolok, modelnya pun macam-macam, dari yang biasa saja sampai yang membuat pipinya terasa panas hanya dengan sekilas pandang."Aku nggak mau ya pakai sebanyak ini," gumam Angelica, berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah. Suaranya lirih, tapi cukup jelas terdengar oleh Alex yang duduk di sampingnya.Alex tersenyum kecil. Tangannya terulur, membelai pelan rambut panjang Angelica yang terurai rapi. "Tapi setiap malam itu kamu harus pakai gonta-ganti, sayang," jawabnya tenang, seolah kalimat itu hal biasa baginya.Angelica menunduk, malu. Ia tahu pegawai butik itu sedang menahan senyum penuh arti. Wanita muda itu pasti sudah sering menghadapi pemandangan seperti ini, tapi tetap saja Angelica merasa canggung."Kamu ini malu-maluin," bisiknya pelan, masih tak berani menatap Alex.Alex mengabaikan raut protes di wajah Angelica. Ia menoleh ke arah pegawai butik. "Udah, bungkus aja i
Markus mengajak Sophia masuk ke sebuah restoran cepat saji yang ada di dalam mal itu. Mereka memilih duduk di sudut paling belakang, jauh dari pandangan umum. Markus sengaja memilih tempat itu. Dia tahu Alex juga sedang ada di pusat perbelanjaan yang sama, dan sekecil apapun risiko ketahuan harus dihindari.Suasana di sekitar mereka ramai, anak-anak tertawa, suara pesanan bersahutan, tapi di meja itu, ketegangan terasa jelas.Markus menatap wanita di depannya. “Kamu pikir mudah melawan seorang Alexander? Dia itu bukan orang bodoh, Sophia,” ucapnya, suaranya ditekan rendah agar tidak menarik perhatian, tapi tajam menusuk. “Dia nggak akan bisa jadi pemimpin perusahaan besar kalau dia sebodoh yang kamu kira. Perusahaannya itu, Sophia… dia bangun sendiri. Tanpa sepeser pun uang keluarganya. Dari situ saja kita tahu, dia bukan orang biasa.”Tapi Sophia tidak sedikitpun menunjukkan ragu. Tatapannya tetap tajam, rahangnya mengeras. “Kamu diam saja. Cukup lakukan yang aku minta. Aku butuh kam
Suster Lila buru-buru melangkah masuk ke rumah majikannya. Ia sempat menyapa dengan sopan ketiga orang yang berdiri di depan pintu gerbang sebelum cepat-cepat menunduk dan menghindari tatapan.Sementara itu, William mendekat ke arah Alex dan Angelica. Wajahnya berusaha tenang, tapi ia tak bisa menutupi rasa gugupnya. Baru tadi sore dia berkelit, menyangkal kalau punya hubungan dekat dengan Suster Lila. Tapi sekarang, jelas-jelas mereka turun dari mobil yang sama.“Tuan nungguin saya ya?” tanyanya basa-basi sambil senyum-senyum, berdiri di sisi Alex.Olivia langsung memeluk leher sang papa dengan manja. Angelica menggandeng lengan Alex dari samping. Postur tubuh Angelica yang kecil membuat pemandangan itu seolah seperti dua anak yang berebut perhatian ayahnya.“Enak aja. Nungguin kamu? Emang kamu siapa?” sahut Alex santai. “Ini Olivia lagi nungguin bibi beli kembang api, tuh.” Tangannya menunjuk ke arah minimarket kecil di ujung jalan.William tertawa kecil, sok santai. “Kirain nunggui
Markus akhirnya bergerak. Ia melangkah cepat ke arah meja, menahan diri untuk tidak membanting apapun. Ia butuh berpikir, butuh menahan amarahnya supaya tidak semakin memperkeruh situasi.Sementara itu, Sophia hanya berdiri santai, menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan ekspresi puas. Seolah dia tahu, Markus sekarang benar-benar di genggamannya."Jangan main-main dengan omongan kayak gitu, Sophia," desis Markus, suaranya pelan tapi jelas penuh ancaman.Sophia tertawa kecil. Bukan tawa ceria. Bukan tawa bahagia. Tapi tawa dingin penuh penghinaan."Kamu pikir aku main-main? Kalau aku kepepet, aku nggak akan pikir dua kali buat buka semuanya," ucapnya santai. "Kamu dan aku pada akhirnya sama aja. Sama-sama jatuh."Markus membalikkan badan, menatap Sophia dengan mata merah menahan amarah."Apa maumu sebenarnya?" tanyanya geram.Sophia menurunkan suaranya. "Aku mau mereka hancur. Alex. Pelakor itu dan anaknya. Semuanya. Aku mau mereka ngerasain apa itu kehilangan," jawabnya, suaranya berg
Saat sudah tiba di apartemennya, ponsel William berdering. Sang atasan yang menghubunginya. William buru-buru mengangkat panggilan telepon itu, sambil mendaratkan bokongnya di atas sofa ruang keluarga di dalam apartemennya. Sementara sang kekasih justru dengan sengaja membuka seluruh pakaiannya di hadapan William, membuat pria itu tak fokus menjawab telepon Alex.Wanita itu naik ke atas pangkuan William, tubuhnya benar-benar sudah polos tanpa sehelai benang pun sebagai penutup. Dia mulai mencium leher William, dan memberi gigitan kecil di sana, menjilat penuh hasrat, namun tidak sampai meninggalkan bekas, sebab ia tahu kalau sang kekasih sama sibuknya seperti Alex, dan setiap harinya selalu bertemu dengan banyak klien. Suster Lila tidak mau membuat William malu.Tangannya terulur membuka kancing kemeja William, lalu membuangnya ke sembarang arah. Wanita itu kembali berdiri dan menarik tangan kekasihnya untuk ikut berdiri. William tak bisa berbuat apa-apa, wanita ini memang memiliki
Sophia menatap dokumen yang terbentang di depannya. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Semua syarat yang diajukan Alex terhampar jelas, menusuk hatinya, tapi dia sudah kebal. Tak ada lagi rasa malu atau sakit. Yang ada hanya tekad untuk mempertahankan apa yang tersisa dari hidupnya bersama Alex.Tanpa banyak pikir, Sophia mengambil pulpen yang sudah disiapkan William. Namun sebelum ia sempat membubuhkan tanda tangan, William bergerak cepat."Tunggu dulu, Nyonya," kata William, menghentikan gerakan tangannya.Sophia meliriknya dengan tatapan malas. "Apa lagi?" tanyanya dingin."Perlu saksi. Ini soal legalitas," jawab William cepat. Tanpa menunggu persetujuan Sophia, ia segera berjalan menuju ke depan cafe.Sophia tidak menanggapi. Baginya, siapa pun saksinya tidak penting. Yang penting surat ini segera selesai.Beberapa menit kemudian, William kembali membawa seorang pria berpakaian seragam kafe, lengkap dengan papan nama kecil di dadanya."Ini pak Andre, manajer kafe. Dia akan jadi saksi
"Maksud Anda mau apa, Nyonya?" tanya William datar."Ya, mau menyetujui persyaratan yang diajukan oleh Alex," jawab Sophia tanpa ragu.Dahi William mengernyit. Matanya menyipit, menatap Sophia lama seolah memastikan dia tidak salah dengar. Ada nada tidak percaya dalam sikapnya."Anda yakin mau menyetujui persyaratan yang sangat berat ini, Nyonya? Anda boleh membacanya lagi kalau perlu, supaya tidak menyesal di kemudian hari," kata William. Suaranya terdengar hati-hati. "Menurut saya, Nyonya, ini terlalu memberatkan. Kalau Anda mau dengar saran saya, lebih baik Anda lakukan tes DNA saja."Sophia terdiam. Tubuhnya terasa kaku. Lidahnya kelu. Ia tak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, William benar. Di sisi lain, dia tak mungkin menjalani tes itu karena tahu hasilnya tidak akan memihak padanya.William, melihat Sophia membeku, melanjutkan bicaranya. "Kalau memang Anda yakin anak itu benar-benar darah daging Tuan Muda, Anda tidak perlu takut. Tes DNA akan membuktikan. Kalau hasilnya po