“Saya tidak mau ikut ke mana pun, Tuan. Tidak ada dalam perjanjian yang sudah kita sepakati kalau saya harus menemani Anda ke luar negeri.”Angelica berbicara dengan tegas dan jelas. Tidak ada ketakutan dalam suaranya. Wajahnya lurus menatap sang majikan, tak sedikit pun menunjukkan rasa gugup atau gentar. Ia tahu siapa pria yang berdiri di hadapannya. Ia tahu bagaimana sifat dan karakternya. Tapi untuk yang satu ini, Angelica sudah menetapkan hati. Tidak peduli bagaimana cara Alex memaksanya, dia tidak akan goyah.Angelica tidak mungkin menyerahkan dirinya begitu saja untuk sebuah permintaan yang tidak pernah dia sepakati sejak awal. Permintaan itu terlalu berat untuk dikabulkan. Terlalu melewati batas. Tidak ada orang waras yang bisa meninggalkan anaknya hanya untuk menuruti keinginan orang lain, apalagi seorang pria yang sejak awal hanya memperlakukannya seperti wanita penghibur. Ia tidak bisa, dan tidak akan pernah bisa.Alex yang sejak tadi berdiri mematung, tiba-tiba melangkah
Alex menarik sebuah kursi yang ada sandarannya. Dia duduk di sana lalu meminta Angelica untuk naik ke atas pangkuannya. “Duduklah, aku ingin kau ambil kendali permainan ini, tapi aku juga ingin melahap gunung kembarmu yang selalu melambai untuk disentuh,” ucap Alex.“Baik, Tuan.”Angelica lalu naik ke atas pangkuan Alex dan duduk berhadap-hadapan dengan pria itu, dia mengangkat sedikit bokongnya dan melakukan penyatuan dengan Alex kedua kaki Angelica berpijak pada ujung kanan dan kiri kursi itu tangannya melingkar di leher.Saat milik mereka menyatu, Alex memejamkan matanya seakan menikmati sentuhan hangat milik Angelica di bagian intinya. “Bergeraklah yang liar, Angel,” bisik Alex.Pria itu melahap puncak dada Angelica, sekali memberikan gigitan kecil di sana. Tangannya juga meremas dada itu seolah tak ada yang boleh terlewatkan untuk tidak disentuh olehnya. Sementara Angelica terus bergerak naik turun di atas pangkuan pria itu. Semakin lama miliknya semakin sering menjepit milik A
Angelica dengan susah payah mengangkat koper besar milik Alex dan dimasukkan ke bagasi mobil. Tubuh mungilnya tampak kesulitan, tapi ia tetap berusaha tanpa minta bantuan Alex. William yang berdiri di dekat mobil sempat hendak maju membantu, namun Alex menggeleng pelan memberi kode agar dia tidak membantu Angel. William terpaksa mengurungkan niat, walau hatinya cukup miris melihat Angelica harus menangani beban sebesar itu sendirian.“Sudah, Tuan,” ucap Angelica setelah koper masuk dan bagasi tertutup.Alex berdiri sambil merapikan kerah jasnya. “Hmm. Titip rumahku. Bekerjalah seperti biasa dan—”“Bawel,” potong Angelica cepat lalu berbalik meninggalkannya.Angelica sudah bosan mendengar ceramah Alex sejak tadi. Dan jangan sampai dia kembali mendengar pesan yang sama, demi apapun terkadang Alex sangat menyebalkan dan bawel.“Ck.” Alex mendecak kesal. Ucapannya seperti angin lalu bagi wanita itu. Alex tidak suka diperlakukan seperti itu oleh Angelica. Siapapun yang bicara dengannya har
Angelica mengernyit heran saat raut wajah sang anak berubah sedih saat melihat sepatu roda idaman Olivia ada di depan matanya.“Via gak suka, ya?” tanya Angel.Olivia mengangguk, “suka Mama. Tapi Via gak bisa memakainya. Via kan sakit,” jawabnya lesu.Angelica merangkak naik ke atas ranjang pasien. Lalu merengkuh tubuh sang anak membawanya dalam dekapan.“Justru mama sengaja belikan agar memotivasi Via untuk segera sembuh. Mama sudah membayar biaya operasinya, sekarang hanya tinggal menunggu kondisi Via membaik agar operasi bisa segera dilakukan. Via sayang sama Mama, kan?” tanya Angel. Lagi dan lagi gadis kecil itu mengangguk.“Maka berjanjilah pada Mama, Via akan pulih agar kita bisa segera pulang dari rumah sakit. Mama akan lakukan apapun untuk kesembuhan Via. Janji ya sayang, Via akan berjuang agar kondisi Via cepat stabil?” bujuk Angel. “Apa operasi itu sakit, Mama? Via takut,” ucapnya.Meski tidak pernah mengetahui operasi itu seperti apa, tapi entah kenapa semakin ke sini Oli
Setelah menyelesaikan tugasnya hari ini—termasuk memenuhi permintaan Alex lewat video call yang membuatnya benar-benar lelah lahir batin—Angelica akhirnya bisa menarik napas lega. Ia duduk sebentar di tepi ranjang, masih di dalam kamar tempatnya biasa beristirahat selama bekerja di rumah itu. Handuk kecil yang tadi ia siapkan sudah tergantung di gantungan dekat kamar mandi. Ia bergegas berdiri, hendak membersihkan diri agar bisa segera bersiap pulang lebih awal. Hari ini cukup melelahkan, dan tubuhnya sudah terasa lengket serta pegal karena terlalu lama duduk di depan kamera.Baru beberapa langkah menuju kamar mandi, ponselnya tiba-tiba berdering. Getaran ponsel di atas meja membuat Angelica sontak menoleh. Ia segera berbalik dan mengambilnya. Tanpa perlu dilihat dua kali, ia tahu siapa yang menelepon. Hanya satu orang yang sering menghubunginya tanpa mengenal waktu: Alex.“Halo, Tuan,” jawab Angelica sambil sedikit membenarkan posisi duduknya di atas ranjang.“Besok Sophia akan mula
"Saya memanggil Anda ke sini untuk menyampaikan kabar baik," ujarnya tenang.“Be–benarkah, dok?” Angelica sampai terbatas saking hampir tak percaya dengan ucapan dokter Aurora. Biasanya selalu kabar buruk yang ia terima setiap kali dipanggil ke ruangan dokter tersebut. Tapi kali ini sejak Angelica memasuki ruangannya, senyum dokter Aurora tak pernah surut dari bibirnya. "Benar Bu. Kondisi Olivia sudah semakin membaik. Hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, terutama dari sisi kekuatan paru-parunya dan stabilitas detak jantungnya."Dokter Angelica menunjuk data-data dalam lembar kertas yang tadi diberikan oleh nya kepada Angelica. Meski Angelica tidak sepenuhnya mengerti bahasa dokter yang tertulis dalam selembar kertas tersebut, sebisa mungkin dokter Aurora menjelaskan secara detail kepada keluarga pasien. Bagi dokter Aurora Angelica adalah wanita yang hebat. Berjuang seorang diri demi buah hatinya yang mengidap penyakit mematikan seperti ini. Dokter
Angelica membeku mendengar pertanyaan sang anak. Demi apapun dia nyesel beberapa hari ini mengajak sang anak pergi ke taman, sejak saat itulah Olivia jadi sering menginginkan untuk bertemu Papanya."Mama..." panggil Olivia lagi, setelah pertanyaannya tidak dijawab oleh sang mama. Mamanya justru sibuk melamun.Angelica menoleh, tersenyum, dan mengusap pipi anaknya lembut. "Iya, sayang. Kenapa?"Angelica berusaha untuk terlihat seperti tidak mendengar permintaan sang anak barusan, berharap agar Olivia melupakan permintaan yang tidak mungkin Angelica kabulkan.Olivia diam sejenak. Tatapan matanya tertuju ke jendela, memperhatikan langit sore yang mulai redup. Di luar, suara langkah kaki keluarga pasien lain terdengar samar-samar. Suasana rumah sakit memang tak pernah benar-benar sepi."Nanti waktu Via dioperasi... boleh nggak Papa nemenin?" tanya Olivia, suaranya penuh harap. Dia benar-benar ingin seperti anak-anak pada umumnya. Bahkan sejak bertemu dengan Alex, Olivia jadi sering tering
Siang harinya suster kembali menjemput Olivia untuk dibawa ke ruang pemeriksaan berikutnya. Mereka harus benar-benar memastikan kalau fisik Olivia benar-benar siap untuk dilakukan operasi besar.Setelah Olivia diangkat dari ranjang dan dipindahkan ke kursi roda, Angelica mendampingi putrinya dengan hati-hati menuju ruang pemeriksaan. Suster Emily berjalan di depan mereka, sementara beberapa perawat yang melihat memberikan senyum kecil, mengetahui betapa pentingnya pemeriksaan ini untuk Olivia.Olivia sedikit bingung, tubuhnya yang kecil terlihat lebih lemah dari biasanya, tapi dia tidak mengeluh. Angelica bisa merasakan berat hati di dadanya. Setiap langkah terasa lebih lambat, setiap detik yang berlalu terasa begitu berarti. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.Mereka sampai di ruang pemeriksaan, dan Olivia diangkat dengan hati-hati ke atas ranjang pemeriksaan yang sudah dipersiapkan. Peralatan di sekeliling ruangan itu cukup canggih, membuat Angelica sedikit ragu, tapi dia
Napasnya tersengal karena hasrat tak terbendung juga gerakan dengan tempo cepat di atas tubuh wanita itu.Wanita berambut pirang itu hanya tersenyum. Matanya merem melek menikmati sentuhan Markus. Lalu tatapan tajam Markus tertuju pada wanita berambut pendek.“Sini mendekat,” kata Markus pada wanita berambut pendek itu. Wanita itu segera mendekat ke arah Markus. Pria itu langsung dengan rakus melahap bibir merah dan tipis sang wanita. Menghisap begitu dalam lidah wanita itu, juga sesekali menggigit bibir bawahnya yang sangat seksi.Suara desahan mereka menggema di ruangan itu. Pria itu mencabut miliknya dari milik wanita berambut pirang itu. Lalu meminta perempuan yang satunya berlutut membelakanginya. Markus mulai melakukan penyatuan dari arah belakang. Jeritan kesakitan terdengar jelas dari wanita itu, saat Markus beberapa kali mencoba menusuk bagian belakang sang wanita. Tentu saja sangat sakit, bahkan bisa dipastikan akan meninggalkan luka di area belakang miliknya. Namun demi
“Apa anda tidak ingin menjadikan kami sebagai langganan anda, tuan?” tanya Wanita berambut pirang itu. Sementara wanita yang berambut pendek itu masih memanjakan Markus dengan mengulum milik pria tersebut. “Lokasi kita terlalu jauh. Andai saja kalian tinggal dekat denganku, mungkin aku akan lebih sering memanggil kalian. Tapi jujur aku suka bosan, aku lebih suka main gonta-ganti dengan wanita yang berbeda. Biar tahu rasanya,” ucap Markus.Wanita berambut pirang itu sedang duduk di samping Markus dengan bersandar manja di bahu pria tersebut. Sementara tangannya bergerilya di atas dada pria itu. “Tapi berjanjilah kalau anda datang ke kota ini, kami dapat bagian memuaskan anda, Tuan,” pintanya penuh godaan.“Tentu saja. Aku akan meminta pihak hotel untuk menghubungi kalian, bila aku datang lagi ke kota ini dan menginginkan kalian,” jawabnya. Markus mencium bibir wanita berambut pirang itu. Melahapnya dengan rakus dan penuh nafsu. Dia sudah terbiasa dimanjakan 2 perempuan penghibur se
Alex dan Angelica segera memakai pakaian lengkap lalu keluar dari kamar. Suara pecahan kaca yang mereka dengar barusan terlalu keras untuk diabaikan. Alex sempat berhenti sejenak di depan pintu, memastikan suara itu tidak berlanjut. Setelah yakin tidak ada teriakan atau suara lain yang mencurigakan, mereka bergegas menuruni tangga.Di lantai satu, suasananya cukup gaduh, tapi jelas terlihat ada pecahan kaca berserakan di lantai dekat dapur bersih. Meja kecil di sudut dapur itu sudah tidak utuh lagi. Permukaannya pecah, menyisakan kerangka logam yang masih berdiri tapi tidak lagi kokoh.“Apa itu, Pak?” tanya Alex pada salah satu penjaga rumah yang berdiri di dekat dapur dengan wajah cemas.Penjaga itu, yang juga merangkap sebagai pengawal pribadi Alex, langsung menunjuk ke atas meja. “Ini, Tuan. peralatan dapur yang ada di atas rak jatuh. Mungkin Bibi naruhnya kurang pas, jadi kena meja kaca ini. Pecah, Tuan.”Napas Alex sedikit tertahan. Wajahnya masih terlihat waspada. Ia sempat ber
“Kamu tenang saja, sayang. Pokoknya aku akan mencari tahu ke mana dia pergi. Aku yakin dia tidak akan meninggalkan rumahnya yang besar itu. Dia mungkin hanya pergi untuk sesaat,” ucap Markus dari seberang telepon. Suaranya terdengar pelan namun penuh keyakinan, seolah semuanya sudah dalam kendalinya.Sophia tidak bisa menyembunyikan ekspresi gelisahnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk gagang telepon, sementara matanya menatap kosong ke arah depan. Meski Markus tidak bisa melihatnya, kegelisahan itu terasa dalam getaran napasnya yang teratur tapi berat.“Aku hanya ingin tahu saja ke mana perginya dia. Bahkan tadi dia bilang kalau aku yakin itu anaknya, maka aku harus ikut dia ke luar negeri untuk melakukan tes DNA kedua,” ucap Sophia lirih, tapi cukup jelas terdengar.Kalimatnya sengaja dipoles. Ia tahu betul cara memanipulasi emosi pria di seberang telepon itu. Dengan suara lembut, seolah dirinya adalah wanita yang paling tersakiti, ia memainkan perannya dengan sempurna. Di balik kalimatnya
Tiba-tiba Alex berlutut di hadapan Angelica yang masih duduk di kursi panjang. Tubuh keduanya masih bergetar hebat. Isak tangis belum juga reda, seolah dada mereka terlalu penuh dengan luka yang selama ini tertahan.Alex menunduk dalam-dalam, tangannya menggenggam kaki Angelica seperti seseorang yang takut kehilangan satu-satunya pegangan hidup. Tatapannya nanar, rahangnya mengeras karena menahan luapan emosi. Sekuat tenaga, ia mencoba untuk bicara, namun suaranya justru tercekat di tenggorokan. Air mata kembali menetes deras, jatuh ke lantai balkon yang dingin.Malam itu tak ada suara selain gemerisik angin dan deru napas mereka yang berat. Bahkan nyanyian jangkrik pun seakan bungkam, memberi ruang bagi luka mereka untuk bicara.Alex bisa merasakan… bisa membayangkan betapa beratnya menjadi Angelica saat itu. Ia berusaha keras membayangkan bagaimana perempuan yang ia cintai begitu dalam, harus menanggung semuanya sendiri. Diusir. Diculik. Dibuang ke tempat asing. Dipaksa bertahan han
Malam harinya, setelah Olivia tertidur lelap di kamarnya, Alex dan Angelica berjalan pelan ke balkon kamar mereka. Angin malam dari kota New Capitol bertiup sejuk, menyapu lembut wajah keduanya. Di balkon, mereka duduk di kursi panjang—yang akan menjadi kursi favorit Alex—dengan punggung bersandar santai dan kaki terangkat di atas meja kayu kecil di hadapan mereka. Red wine di gelas kaca di tangan Alex berkilau tertimpa lampu. Suasana tenang, namun hati mereka tak tenang."Ceritakan sekarang, sayang," ujar Alex lirih. Tatapannya menerawang ke arah langit gelap di kejauhan, tapi sesekali ia melirik Angelica. "Kenapa kamu tiba-tiba menghilang waktu itu? Kenapa kamu nggak pernah berniat kembali untuk menenangkan aku?"Angelica menarik napas panjang. Ia memandangi tangan sendiri yang gemetar halus, lalu menatap mata Alex yang kini penuh kesedihan dan penyesalan. "Sebelum aku cerita, kamu harus janji. Apapun yang kamu dengar nanti... kamu nggak boleh ceritakan ke siapa pun, kamu juga gak
Braaaak!Karena tubuhnya yang pendek dan harus jinjit saat membuka pintu kamar kedua orang tuanya, sehingga saat pintu terbuka suaranya seperti pintu sedang dibanting dan dibuka paksa. Olivia plonga plongo karena kamar itu kosong.“Loh kok hilang Mama dan Papa? Mamaaaaaaa, Papaaaaaa! Huaaaaaa huaaaaaaa!”Jeritan Olivia langsung menggema di seluruh kamar, tangisnya pecah seketika. Napas kecilnya tersengal-sengal di sela tangisan yang mengguncang dadanya.Suster Lila yang mendengar tangisan itu langsung panik, buru-buru memeluk dan mengajak Olivia keluar kamar. Tapi sebelum sempat keluar dari pintu sepenuhnya, kepala Alex menyembul dari balik sandaran sofa.“Kok nangis sih? Papa dan Mama hanya bercanda,” ucap Alex cepat, mencoba menenangkan sambil menahan napas—bohong yang harus ia ucapkan demi menyelamatkan situasi.Angelica, yang masih terduduk di bawah sofa, buru-buru mengenakan kembali pakaian dalamnya dengan jari gemetar. Pipinya merah padam. Bukan hanya karena malu, tapi juga kare
"Kenapa diam?" suara Alex terdengar dingin dan penuh tekanan. Ia berdiri tegak, menatap Sophia dengan sorot mata tajam. "Aku bertanya loh, seperti apa hebatnya aku malam itu? Kamu nggak lupa kan?"Sophia masih membisu. Wajahnya kaku, tapi matanya berkedip cepat. Seolah-olah sedang menahan sesuatu—marah, kecewa, atau mungkin takut. Tapi ia memilih tidak menjawab.Alex mendekat satu langkah, suaranya menurun tapi nadanya tetap menusuk. "Kau mau aku baik padamu? Menyentuhmu setiap hari? Memberikan kepuasan lahir dan batin sebagai suamimu?"Mendengar itu, mata Sophia langsung berbinar. Kilatan harapan muncul sejenak di sana. "Tentu saja aku mau," ucapnya cepat, nyaris terburu-buru.Namun, Alex justru tersenyum—senyum yang tidak membawa kehangatan. Senyum dingin yang mengisyaratkan bahwa ia sedang mengatur permainan. "Kalau begitu, ikut aku ke luar negeri. Kita lakukan tes DNA untuk anak yang kau lahirkan dan kau akui sebagai anakku."Wajah Sophia langsung berubah. Kilat amarah muncul begi
Sophia berusaha menahan gejolak emosinya yang nyaris tak bisa dibendung. Matanya tajam menatap punggung Alex yang mulai menjauh, melangkah menuju ruang ganti dengan diam, tanpa sepatah kata pun. Dalam sekejap, ia mengejar pria itu, langkahnya cepat dan mantap. Begitu berada di ambang pintu, ia menarik napas panjang, lalu langsung memeluk tubuh suaminya dari belakang. Tangannya melingkar kuat di pinggang pria itu, wajahnya menempel pelan di punggung sang suami. Dadanya yang besar sengaja digesek-gesek kan berharap agar Alex tergoda.Alex tidak menolak. Ia tak menggeliat, tak menyentak, tak juga bicara. Tubuhnya mematung, berdiri tegap seolah menahan sesuatu dalam diam. Tapi bagi Sophia, ketidakmenolakan itu sudah lebih dari cukup. Ia mengartikan sikap itu sebagai isyarat—ia tahu, masih ada celah untuk masuk, masih ada bagian dalam diri Alex yang bisa disentuh dan dibangkitkan.“Aku merindukan sentuhanmu, Alex…” bisik Sophia pelan, nyaris seperti gumaman. Suaranya lembut, tetapi berisi