"Tapi.... "Luana menatap Kyle dipenuhi dilema, dia tentu tidak keberatan menghadiahi kecupan bibir sebelum pria itu berangkat ke medan perang, tapitentunya tidak dengan disaksikan oleh banyak orang seperti ini.Namun, meminta Kyle pindah tempat adalah hal yang semakin merepotkan yang lain karena portal menuju dunia vampir sudah terbuka.Sementara itu, Kyle yang melihat kegamangan di wajah Luana, mengibaskan tangannya dengan acuh tak acuh saat melirik ke arah lima anak buahnya. "Kenapa kamu memedulikan mereka, Luana? Aku saja nggak peduli mereka mau lihat apa enggakterpenting adalah, kamu mau apa enggak menghadiahi aku bibirmu sebagai salam perpisahan dan tanda keberuntungan?"Pertanyaan tenang dari Kyle membuat wajah Luana semakin memerah karena malu, sekaligus gelisah.Kyle menyentuh dagu gadis itu dengan tatapan menggoda sekaligus memohon yang membuat Luana tidak bisa berkutik lagi. "T-tentu saja aku mau, Kyle."Luana menjawab seraya menundukkan wajahnya, tak sanggup lagi menj
Enam orang dari pihak Kyle dan lima orang dari pihak ayah Gio.Para vampir itu terlihat begitu marah ketika mengetahui bahwa Kyle telah menghancurkan setengah mansion milik pemimpin mereka.Tiga di antara mereka bahkan sudah bersiap maju ke depan untuk menyerang Kyle sebagai tindakan balasan.Sigap, Ben dan yang lain segera maju ke depan berdiri di sisi kanan dan kiri Kyle. Kyle menyeringai pelan melihat para vampir yang siap menghadapi kematian mereka tersebut dan mengeluarkan kembali pedang miliknya dari sarung pedang.Pedang itu seketika berpendar merah menyala, siap membelah siapa pun yang menghadangnya."Tunggu, tunggu."Raphael, sang peminmpin klan vampir segera maju ke depan seraya mengangkat satu tangan sebagai tanda kepada para bawahannya untuk menahan diri."Apakah ini deklarasi perang terbuka, Kyle?" tanya Raphael dengan suara tenang, di balik suara tenangnya tersebut sebenarnya memendam rasa kekhawatiran saat melihat kekuatan Kyle yang seperti berada dalam puncaknya."Kal
"Kyle, tenang. Aku tidak sedang menyindir atau pun meremehkanmu, Gerald. Aku benar-benar tidak paham apa maksud ucapanmu." Raphael mulai kehilangan ketenangannya, dia tidak mengira sikap tenangmya tersebut di salah artikan oleh Kyle. Sudut matanya melirik kekacauan yang diciptakan oleh Kyle, putra Ivander itu ternyata penuh semangat seperti ayahnya. Raphael harus mencari cara untuk mencegah pertempuran ini, sesuai janjinya kepada Ivander yang telah menyelamatkan nyawanya. "Jangan pura-pura pikun agar aku memaafkan tindakanmu," sergah Kyle dengan suara tajam, sedang Raphael menarik napas panjang. "Apa, sih, maksudmu ini, Kyle?" tanyanya dengan hati-hati. "Rion, berikan padanya barang itu," ujar Kyle dingin memberi perintah kepada Rion yang berjalan maju dan menyerahkan sebuah kotak beludru kepada Raphael. "Kamu dengan tidak tahu malunya.memberikan barang palsu seperti ini padaku saat aku sedang butuh kekuatan bahkan mengirim anakmu ke sana, benar-benar tak bisa dimaafkan, Pak
"Gio, dengarkan ayahmu ini."Raphael mendekat dan duduk berjongkok di depan Gio yang terduduk di tanah dengan rambut acak-acakan."Jangan lakukan apa pun hal yang tak bermoral seperti itu. Aku akan mengurung dirimu di bukit kematian sampai satu dekade untuk merenungkan nasibmu dan membebaskan gadis itu dari pengaruhmu, sesuai permintaan Kyle."Keputusan yang dilontarkan ayahnya tersebut membuat kedua mata Gio terbelalak lebar dengan sorot tak terima.Dia menggeleng kuat-kuat dengan kemarahan yang memenuhi dadanya."Apa?! Ayah, ini nggak adil, Ayah!" serunya dengan sedikit menggeram, kedua tangan vampir muda terkepal dan dia meninjukannya ke tanah sampai bumi bergetar.Gio menatap ayahnya dengan mata menyipit dan dada bergerak naik turun, rahangnya mengeras dengan eskpresi marah.Raphael, yang melihat putranyamenolak keras-keras keputusannyatersebut, menghela napas panjang."Tidak adil apa? Aku sudah mendengar semuanya dari Evan, kau seperti biasa awalnya iseng, bukan? Lalu ternyata,
Gio yang terus berjalan ke belakang. menatap ayahnya dengan tajam. Sorot marah, kecewa dan patah hati memenuhi matanya. "Aku benar-benar nggak menyangka ayah sekejam ini padaku," ulangnya dengan wajah yang dipenuhi rasa kekecewaan yang teramat dalam. "Aku tidak kejam, Gio. Tapi aku mengajarimu konsekuensi," jawab ayahnya dengan suara tenang. Namun, Gio menggeleng dengan mata berkaca-kaca. "Tidak. Ini bukanlah karena Ayah mengajari aku konsekuensi, tapi Ayah memang selalu kejam padaku. Ayah ... tidak pernah menganggap aku anak. Memang selalu begini, bukan?" ucapnya lirih, menatap pusaran lubang portal tersebut dengan eskpresi jijik. Mendengar ucapan Gio tersebut, syahnya menutup lubang portal dan bertanya dengan ekspresi serius. "Apa yang kau bilang ini, Gio?" Gio hanya tertawa sumbang mendengar pertanyaan ayahnya, dengan menghela napas panjang, Gio menjawab. "Aku benar, bukan? Ayah malu punya anak seperti aku. Karena apa? Aku yang tidak pernah menurut aturan? Merepotkan? Atau
Kyle menyugar rambutnya ke belakang dengan senyum sinis.Memang sedikit terasa aneh saat dia membenci orang yang wajahnya persis.seperti dirinya sendiri, seperti sedang.marah-marah sendiri di cermin.Namun, melihat kemarahan membara.di wajah Gio, Kyle merasa sedikit puas karena sakit hatinya kepada vampir itu yang telah memanipulasi Luana, sedikit terobati.Memandang pria dengan rambut perak seperti cahaya bulan di depannya, Kyle mengerutkkan sedikit hidungnya dengan ujung telunjuk mengetuk-ngetuk meja."Ah, kenapa belum dikurung di bukit.kematian? Aku tahu, ayahmu yang plinplan itu pasti nggak akan tega.melakukan hukuman itu padamu, 'kan?" sindirnya pedas.Gio seketika murka saat mendengar Kyle yang mengolok-olok ayahnya dengan ekspresi meremehkan seperti itu.Dia maju satu langkah sembari.menahan diri untuk tidak menyerang.pria arogan yang sedang duduk di.belakang meja kerjanya tersebut. Kedua tangannya terkepal erat karena menahan kekuatan miliknya."Jangan berani-berani menjelekka
"Kyle sudah pulang?"Luana, dengan sedikit memicingkan matanya, menatap penuh selidik kepada Rion."Kenapa dia tidak menemui aku setelah kembali dari dunia vampir? Apakah ada hal buruk yang menimpa dirinya? Apakah ... apakah Kyle terluka? Apakah ayah Gio menghajar dia habis-habisan?" serang Luana dengan rentetan pertanyaan yang membuat Rion kelabakan.Melihat wajah gelisah Luana, Rion semakin kesulitan menjawab."Ah, i-itu.... ""Biarkan aku masuk, dia ... dia ada di dalam, 'kan? Aku membawakan bekal sarapan untuknya, tolong biarkan aku masuk untuk melihat keadaannya," pinta Luana dengan suara memohon.Rion yang panik karena takut jika Luana melihat pertarungan di dalam dan terkena imbas dari pertarungan yang entah sudah selesai atau belum tersebut membuat dia mendorong pelan tubuh Luana untuk sedikit menjauhi ruangan Kyle, sembari harap-harap cemas semoga tuannya tidak melanjutkan pertarungan ini."S-sebentar. Begini, Luana. Tolong jangan masuk ke dalam dulu, ya?" bujuk Rion dengan s
Setelah menunggu lama dengan hati gelisah tak tentu arah bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan, Luana tidak juga mendengar kabar tentang Kyle. Rion bahkan saat ini menghilang.Dia tidak berani nekat untuk masuk ke dalam uangan tersebut tanpa seizin dari Rion, meskipun dalam hati ingin rasanya menyerbu ke dalam tanpa memikirkan apa pun.Luana benar-benar gelisah disuruh terus menunggu seperti ini.Dia juga tidak bernminat untuk sarapan sebelum melihat bagaimana kondisi Kyle baik-baik saja atau tidak.Lelah, putus asa dan gelisah membuat Luana memutuskan untuk beristirahatsejenak dengan menelungkupkan wajah di meja depan komputer.Dia hanya bisa berharap bahwa Kyle tidak apa-apa, itu saja.Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk meja di sebelahnya, spontan Luana mendongak."Lun."Bibirnya tiba-tiba cemberut dengan kening berkerut dalam ketika melihat siapa yang menyapa.Gio.Rambut peraknya acak-acakan, wajahnya juga terluka di sana sini dengan ujung bibir yang robek dan berdarah.Namu
Tubuh Jamie adalah satu-satunya tubuh pria yang pernah dia peluk dan akan selamanya menjadi satu-satunya orang yang dipeluk olehnya. Berada di pelukan pria tegap ini selalu nyaman, Lyodra juga merasa begitu tenang dengan aroma harum dari tubuh Jamie yang terus menemani dirinya sejak masa sulit sampai sekarang. Jadi, setelah berhasil memeluknya lagi, sungguh sangat disayangkan kalau langsung melepaskannya begitu saja, kan? "Terus?" Jamie bertanya lagi, kali ini sambil membenahi rambut Lyodra yang jatuh menutupi pipi gadis itu, lalu menyelipkan nya ke belakang telinga. Sikap yang sangat manis, membuat jantung Lyodra berdebar kencang. "Hati aku. Sakit banget," keluh Lyodra dengan bibir cemberut dan suara manja, masih memeluk Jamie meski sedikit melonggarkan pelukan sehingga bisa menatap wajah tampan Jamie. "Kenapa?" Jamie bertanya dengan suara lembut, yang membuat Lyodra menghela napas panjang dan mengeratkan pelukan. "Om, peluknya lamaan dikit, ya? Kan aku masih sak
"Ahhh, benarkah dia sudah punya pacar?" Lyodra llemas bukan main setelah mendengar gosip tentang Jamie yang dilontarkan Luna saat makan siang tadi. "Jamie sudah berciuman sama cewek bernama Shane itu, apa artinya mereka akan pacaran?" gumam Lyodra dengan wajah murung. Padahal dia baru saja bersuka cita karena perlakuan Jamie pagi ini, tapi sekarang... setelah diangkat tinggi-tinggi seperti itu, dia tiba-tiba seperti dihempaskan ke bumi begitu saja. Sakit. "Secantik apa sih cewek yang namanya nona Shane itu? Sampe bisa menggelayut manja di lengan Jamie?" gerutu Lyodra yang merasa cemburu hanya dengan mendengar ceritanya. Dia tak terima ada gadis yang dekat dengan Jamie, meski pada kenyataannya, dia sendiri bukan siapa-siapa Jamie. "Ahhh, aku nggak terima!" Lyodra yang diserang rasa cemburu yang menggila, mulai men stalking semua hal tentang Nathalie Shane, mulai dari tempat sekolah dan tempat kerjanya sekarang. "Haaaah?? Dia saingankuu??!" Setelah melihat semua ha
Saat Lyodra sedang sibuk memikirkan apakah dia harus menggoda Jamie dan menabrak tembok besi antara dia dan Jamie, Ervyl, si biang gosip mulai melontarkan sesuatu yang membuat semua orang yang ada di meja makan itu terkejut. "Eh, aku tiba-tiba kepikiran loh sejak kemarin, bos kita akhir-akhir ini penampilannya agak beda ya nggak sih? Apa diam-diam di kantor ini ada yang disukai sama si bos?" Suasana mendadak hening mendengar ucapan Ervyl, Andin yang sedang mengunyah makanannya bahkan menghentikan kunyahan. "Jangan bercanda." "Itu nggak mungkin, 'kan?" Andin menyahut, menatap teman-temannya meminta kepastian, sedang Lyodra yang diam-diam tertarik dengan fakta itu, menyimak obrolan dengan semangat. "Eh, serius, deh. Masa kalian nggak merhatiin sih kalo dia itu setiap hari selalu lebih cakep dari hari kemarin?" sahut Ervyl yang masih kukuh pada pendirian kalau sepertinya bos mereka berubah akhir-akhir ini. "Yaelah, Ryl. Dari dulu kali bos kita makin hari makin tampan, kay
Namun, tentu saja tak ada respon atas pertanyaan Jamie tersebut karena Lyodra benar-benar sudah tertidur lelap. "Ya ampun, Lyodra. Gimana bisa ada cewek yang begitu ceroboh kayak kamu," ucapnya. Geleng-geleng kepala. Jamie pun memelankan laju mobil, lalu dengan satu tangan, dia menutupi badan depan Lyodra dengan jas miliknya. "Dasar." Dia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat gadis itu yang kini benar-benar terlelap dalam tidurnya tersebut. Jamie yang melajukan mobilnya dan kini sudah sampai di rumahnya, dengan hati-hati mengangkat tubuh Lyodra yang sedang tertidur tersebut dan membawanya ke salah satu kamar yang ada di sana. "Lyodra?" Panggilan Jamie tak mendapat jawaban. Kini Lyodra sudah dia baringkan di ranjang kamarnya, gadis itu tidur dengan sangat nyenyak. Jamie yang berdiri di dekat ranjang menatap gadis yang sedang tertidur dengan wajah damai tersebut seraya menarik napas panjang. "Gadis bodoh," ucapnya pelan. Bisa-bisanya saat sedang bekerja dia malah t
Kini Lyodra sadar sepenuhnya kenapa para karyawan perempuan di kantor Jamie selalu diam-diam histeris tiap kali bertemu bos mereka ini. Pria ini... punya segalanya. Karisma, suara, sikap dingin tapi hangat. Dan tentu saja, pesona yang bahkan bisa membakar siapa pun hanya dengan duduk diam seperti sekarang. "Kenapa memangnya dengan leher dan tulang selangkaku?" tanya Jamie dengan santai, nadanya seperti biasa: tenang, tapi tajam. Seolah dia tahu bahwa tubuhnya adalah godaan terbesar Lyodra. Lyodra menggigit bibir bawah sebelum menjawab pertanyaan bos-nya tersebut. Matanya sempat ingin menatap, tapi cepat-cepat ia alihkan. Keduanya saling pandang beberapa detik—terlalu lama, terlalu sunyi—sebelum Lyodra pura-pura fokus ke jalan lagi. Pura-pura sibuk mengemudi, padahal mobil yang mereka tumpangi adalah mobil pintar. Mobil itu bisa mengemudi sendiri—tapi hati Lyodra? Itu rusak, sejak lama, karena Jamie. Lyodra berdeham satu kali dan menjawab dengan gagap. "Gara-gara lihat it
Jamie sendiri merasa puas dengan kepatuhan Lyodra, bagaimana pun juga dia sangat khawatir jika gadis kecil itu minum dan berakhir mabuk, karena Luke pasti akan memarahinya. Tapi yang lebih jujur, Jamie hanya tak rela ada yang melihat Lyodra kehilangan kontrol—dia ingin gadis itu selalu dalam lindungannya. Pesta berjalan dengan lancar, Jamie yang merasa kasihan jika Lyodra menemani dirinya terlalu larut malam akhirnya memutuskan untuk mengajak Lyodra untuk pulang lebih awal. "Langsung antar saja ke tempat tinggalku," perintah Jamie yang duduk di samping Lyodra yang sedang duduk di balik kemudi, seraya menarik turun dasi yang dia pakai dan membuka kancing baju yang mencekik leher. Penampilannya berubah menjadi kasual, tapi anehnya terlihat seksi. Terlalu seksi. "Baik, Tuan," jawab Lyodra lalu segera memfokuskan pandangan ke depan karena tidak mau terpergok telah terpesona beberapa detik dengan penampilan bos-nya tersebut. Dia akui, meski image-nya terkenal sebagai pria yang
Setelah seminggu bekerja, Jamie mulai menyesuaikan diri dengan ritme baru. Bekerja dengan Lyodra, meski masih dalam tahap awal, terasa lebih mudah. Keputusan-keputusan kecil yang ia buat untuk melibatkan Lyodra dalam banyak hal—meski tidak selalu diungkapkan dengan kata-kata—terasa seperti pengakuan tak langsung. Jam kerja hampir berakhir, dan Lyodra menyiapkan laporan terakhir untuk Jamie. Namun, ketika ia menyerahkan dokumen yang sudah disiapkan, Jamie berhenti sejenak menatapnya. “Lyodra,” panggilnya, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Ya, Tuan?” Jamie menatapnya, dengan sedikit keraguan di matanya. “Kerja kamu sangat baik. Terima kasih.” Lyodra terkejut, dan senyumnya merekah. “Terima kasih, Tuan Jamie. Itu berarti banyak.” Jamie menatapnya, dan untuk sesaat, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. Sebuah kehangatan yang tak biasa. “Mungkin kamu memang punya potensi lebih dari yang aku kira.” Lyodra hanya bisa tersenyum, meski hatinya berdebar. Lyodra
“Laporan meeting pagi sudah saya susun sesuai format yang biasa Anda gunakan tiga tahun lalu, dan ini data terbaru dari divisi pemasaran. Saya juga siapkan jadwal Anda hari ini, lengkap dengan catatan kecil untuk setiap klien, termasuk preferensi kopi mereka.” Lyodra menyampaikan laporan dengan fasih. Jamie hanya menatap Lyodra selama beberapa detik. Sorot matanya sulit ditebak. Diam. Dingin seperti biasa. Tapi bukan itu yang membuat Lyodra gugup—melainkan kenyataan bahwa ia akhirnya berdiri di hadapan pria itu, bukan sebagai gadis kecil yang dulu, tapi sebagai sekretaris pribadi yang ia harap bisa diandalkan. Luke bersandar ke dinding, mengangkat jempol diam-diam. “Gila. Hari kedua dan semuanya sudah sangat rapi," gumamnya pelan. Luke merasa sangat bangga karena hasil didikannya ternyata luar biasa. Jamie akhirnya bicara. “Bagus. Terus pertahankan seperti ini, Lyodra.” Satu kalimat. Pendek. Tapi cukup membuat Lyodra nyaris menangis bahagia. Ia menunduk sedikit,
Sore itu, langit Jakarta mulai berubah jingga. Di dalam taksi menuju kantor pusat JC Corporation, Lyodra tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Jari-jarinya terus bermain dengan ujung blazer putihnya, sesekali ia menatap bayangannya sendiri di jendela. “Hari ini... aku akan bertemu dia lagi,” gumam Lyodra, suaranya nyaris seperti bisikan. Ingatan itu datang seperti gelombang. Tentang seorang pria muda berjas hitam, dengan tatapan dingin namun tangan yang hangat menyelamatkannya dari mimpi buruk masa lalu. Pria yang ia sebut cinta pertamanya. Pria yang selalu hadir dalam doanya selama bertahun-tahun. Jamie. Taksi berhenti di depan gedung tinggi menjulang dengan logo 'JC Corp' yang elegan dan dingin. Lyodra menatap ke atas, meneguk napas dalam-dalam, lalu tersenyum kecil. “Aku sudah dewasa, Jamie. Aku datang bukan sebagai gadis kecil yang dulu kamu selamatkan, tapi sebagai wanita yang ingin kamu lihat. Yang ingin kamu banggakan.” Setelah menyelesaikan registrasi masuk dan men