Awalnya aku tersenyum-senyum sendiri saat memikirkan hal itu, tapi kenyataan langsung menamparku dengan keras. "Ugh, jatuh cinta apa. Bukankah ini taktik Richard untuk membuat hidupku menderita? Aku tidak akan menyerah begitu saja."Aku segera menyangkal perasaan yang kurasakan pada Richard. Aku tidak akan pernah mengakui bahwa jatuh cinta padanya atau jika Richard tahu hal ini, dia akan tertawa terbahak-bahak dan mulai menyiksaku untuk membuat aku merasakan apa itu patah hati. "Sudahlah, lupakan tentang cinta. Richard sendiri juga tidak mungkin mencintaiku. Bukankah dia bilang kalau dia membenciku sampai mati?"Mengingat lagi apa tujuan Richard menikahiku, perasaan yang tadi bermekaran kini langsung layu dalam sekejap. Meskipun kami sudah berkali-kali terhubung dalam malam panas yang penuh gairah... rasanya jika hubungan ini dinamakan cinta, masih terlalu dangkal. "Huu, apa Richard tidak mungkin mencintaiku lagi, ya?" batinku sambil menghela napas panjang, dilema. Mayes yang tid
"Apa aku membuntutinya sedikit lagi? Aku ingin melihat Richard lebih banyak!"Dengan penuh semangat, alih-alih langsung menyapa, aku memilih untuk diam-diam melihat Richard sambil mengagumi pesonanya yang luar biasa. "Hehe, suamiku. Dia ternyata sangat keren parah," ucapku sambil tersenyum senyum sendiri. Tak menyangka jika pria keren itu ternyata adalah suami yang selama ini bersamaku. Selama ini image Richard di mataku kalau bukan dokter psikopat yang gila, ya pria tampan yang mesum. Aku tak menyangka Richard ternyata sekeren ini. Profesi dokternya bukan main-main, dia benar-benar dokter sejati. "Hey, aku ini berpikir apa? Dia memang seorang dokter, bukan sedang cosplay jadi dokter," selorohku sambil tertawa dan mengikuti Richard diam-diam lagi dengan penuh semangat. Tiba-tiba aku merasa sangat bangga dengan Richard, dia benar-benar terlihat keren, super keren! Tatapan tajamnya yang terarah ke depan dengan fokus, lalu ekspresi dingin yang terpancar dari wajahnya, membuat Richa
"Siapa juga yang cengeng?" protesku dengan bibir cemberut. Melepaskan pelukan. Richard tertawa dan menyentuh pipiku yang basah, lalu dengan pelan mencubitnya. "Hm, lalu ini apa?" tanyanya dengan suara menggoda. "Ahh, i-ini... ini cuma kemasukan debu," jawabku, mengalihkan pandangan dengan malu sehingga Richard tertawa lagi. "Ohya? Kalau begitu, sini aku tiup matanya biar debunya hilang."Richard mendekatkan wajahnya, seperti benar-benar hendak meniup mataku. Aku segera menunduk dengan gugup. "T-tidak usah. Begini saja."Untuk mencegah Richard meniup mataku, aku segera memeluknya. Karena takut mengotori kemeja putihnya dengan air mata dan riasanku, sedikit kujauhkan wajahku dari dadanya.Sepertinya Richard menyadari keanehan tingkahku sehingga bertanya. "Kenapa memelukku seperti itu, Jeany?""Seperti apa?" balasku, pura-pura tak tahu. "Kamu menjauhkan wajahmu dari dadaku."Richard meraih daguku dan membuat diriku menatap ke arahnya sehingga dengan sangat terpaksa aku pun memberi
"Makan siangnya sangat enak. Kamu ingin oleh-oleh apa untuk nanti malam?"Saat sampai rumah, Richard dengan begitu baik hatinya menelepon serta menawarkan aku ingin oleh-oleh apa darinya. "Ha? tidak usah. Aku cukup senang karena kamu makan dengan baik, Rich. Kamu juga menghabiskan makan siang buatanku. Itu sudah membuat aku sangat senang," jawabku sambil tersenyum lebar. Rasanya jika seperti ini, aku dan dia seperti dua orang yang saling mencintai. Hal itu tentu saja membuat hatiku berbunga-bunga. "Yah, tetap saja. Kamu harus minta oleh-oleh."Richard tetap memaksa aku untuk meminta oleh-oleh, sehingga karena tak tahu harus meminta apa, kusebutkan saja apa yang aku inginkan untuk saat ini. "Mmm, apa, ya? Buah anggur?" jawabku. "Buah anggur lagi? Bukankah almari es di kamar sudah penuh dengan buah anggur? Bagaimana kalau strawberry?" Richard memberi usul agar aku memilih strawberry, tapi aku langsung menggeleng. "Strawberry? Ugh, tidak. Bukankah buah itu rasanya masam?" tolakk
"Hari ini aku membuatkan makan siang sandwich. Bukankah seorang dokter butuh makanan yang sehat dan berenergi?"Aku sangat bersemangat mengirim makan siang untuk Richard karena tak sabar dengan oleh-oleh yang akan dia bawa nanti malam. Hari ini aku sengaja memilih menu ringan saja karena tak ingin membuat Richard terbebani jika dia masih ingin makan siang tambahan di luar. Aku berangkat dengan gembira karena sudah tak sabar bertemu Richard suamiku, tapi begitu aku sampai di depan rumah sakit dan membuka pintu mobil, seseorang yang berlari ke arah ku, seketika membuat kening ku berkerut. "Damien? Kenapa kamu ada di sini?"Aku bertanya dengan ekspresi curiga, sedangkan Damien yang kini berdiri di depanku, menjawab dengan cepat. "Aku sudah membuntutimu selama beberapa hari ini, dan aku tahu setiap jam segini kamu pasti datang menemui suamimu yang bekerja di sini, Jeany."Mendengar itu, reflek aku mundur ke belakang dengan terkejut. "Apa kamu gila? Kamu tidak punya pekerjaan?!""Apak
Aku memutuskan untuk menyembunyikan peristiwa tidak menyenangkan dengan Damien dari Richard, tidak ada maksud apa-apa, hanya karena tak ingin masalah ini menjadi semakin besar dan Richard salah paham jika tahu aku bertemu dengan Damien, meski tak ada kesengajaan sama sekali. Richard juga tak bertanya kenapa aku tidak mengirimkan langsung bekal makan siang ke kantornya. Dia hanya bilang bahwa aku masih harus membawa bekal makan siang seperti biasa saat ke tempat dia bekerja. "Sepertinya aku sudah terlalu terbiasa makan masakanmu, Jeany. Jadi aku sekarang tidak bisa kalau harus makan makanan lain saat makan siang," ucapnya. Hal itu tentu saja membuat aku luluh dan menyingkirkan rasa takut jika harus bertemu Damien di rumah sakit seperti yang terjadi sebelumnya. Untungnya, besoknya saat aku mengirim bekal ke rumah sakit, dengan ditemani Mayes karena aku masih takut bertemu Damien, semuanya aman-aman saja. "Selamat siang, Nyonya. Mengantarkan makan siang untuk tuan Dante?"Security
Damien yang mendapat ancaman seperti itu dari Richard bukannya terlihat ketakutan, malah tertawa terbahak-bahak. "Apakah kamu berani melukaiku di sini? Bukankah kamu hanya akan membuat istrimu yang lembut ini ketakutan dan lari?" tantangnya, meraih tanganku dengan kasar lalu menarikku keluar dari mobil. Damien mencengkeram pipiku erat-erat dan menghadapkan wajahku ke arah Richard, seakan-akan sedang menunjukkan kepadaku bagaimana wajah asli seorang Dante Richardo. "Apa maksudmu?"Richard berjalan mendekat dengan lebih cepat, terlihat sekali bagaimana dia tampak sangat tidak nyaman dengan perlakuan Damien padaku. "Yah, apa kamu mengira aku tidak tahu kalau kamu selama ini menyembunyikan kekejamanmu di depan saudaraku yang sangat baik hati ini, tuan Dante Richardo? Bukankah kamu selalu menampakkan topeng pria baik selama di depannya?" ejeknya lagi sambil tertawa sinis, tangan yang satunya masih dia gunakan untuk mencengkeram pipiku sementara tangan yang lain menahan badanku agar tid
Dua hari ini aku berhenti mengirim bekal makan siang kepada Richard. Aku terus kepikiran dengan kata-kata Damien, sehingga menghindari Richard. Namun, setelah tiga hari berlalu, aku akhirnya luluh dengan semua sikap manis Richard dan mulai sedikit melupakan ucapan Damien. "Aku merasa bersalah sudah menghindari dia dan tidak mengirim bekal makan siang padanya. Bukankah dia bilang kalau tidak bisa makan kecuali makanan buatanku?"Berpikir seperti itu, aku pun mulai membuatkan bekal makan siang untuk Richard dan mengirim pesan padanya. [Suamiku, aku akan datang ke rumah sakit mengirim bekal makan siang. Boleh?]Begitu pesan terkirim, pada saat itu juga, Richard langsung menjawab. [Boleh, aku tunggu.]Aku segera tersenyum saat membaca jawabannya. Lega karena sepertinya Richard tidak marah padaku meski aku telah menghindari dirinya beberapa hari ini. Ketika hendak menaruh ponsel, Richard tiba-tiba menelepon. "Hah? Kenapa? Apa dia berubah pikiran?" gumamku, tiba-tiba takut. Setelah
Saat keluar dari ruangan Kyle, Luana berusaha tegar dan bersikap seakan tak ada apa-apa. Namun, begitu sampai depan kamar mandi kantor, langkahnya mulai goyah. "Ah." Luana membuka pelan pintu kamar mandi, duduk dia atas toilet dan membuang celana dalamnya yang basah ke tempat sampah dengan ekspresi lunglai. "Kenapa.... " Gadis itu mendesah, menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar suara isakannya tidak terdengar sampai luar. "Kyle, kenapa kamu begini padaku?" gumamnya nelangsa. Menangis seperti itu rasanya lebih sakit dan menyesakkan, tapi hal itu tidak sesakit yang di rasakannya sekarang. Dirinya merasa hancur saat diusir seperti wanita murahan oleh Kyle tadi, hati gadis itu kini remuk redam. "Teganya kamu, Kyle. Teganya.... " Dia menangis sampai bahunya naik-turun, menekan dadanya yang terasa sangat sesak sampai kesulitan bernapas. Dengan pandangan penuh kaca-kaca air mata yang siap tumpah,
"Luana? Bolehkah?" Pria itu meminta izin untuk menjilati leher dan dadanya yang penuh keringat. Saat Luana dengan malu-malu mengangguk, Kyle segera dengan tekun melakukan apa yang dia inginkan. Kyle baru tahu, bahwa keringat gadis ini ketika sedang terangsang ternyata bisa membantu mengembalikan kekuatan miliknya yang sempat menghilang. Magic stone bahkan tak ada apa-apanya dibandingkan ini. Saat keringat Luana habis dijilat oleh Kyle, kyle memandang Luana dengan ekspresi lapar. "Lun, cara bikin kamu berkeringat bagaimana?" bisiknya dengan suara menggoda, membuat gadis itu memandang Kyle dengan pipi merona merah, sementara Kyle menggesek penis miliknya yang sudah tegak di antara paha Luana. "Kenapa tiba-tiba ingin membuat saya berkeringat, Tuan?" Luana yang gugup, sampai tanpa sadar berbicara formal kepada Kyle. Kyle tidak menjawab, malah melesak kan mulutnya di buah dada Luana yang benar-benar menggoda, membuat gadis itu mengerang pelan dan menggeliat. "Hah
"Kamu tahu.... " Kyle berkata dengan napas tersengal-sengal. "Cuma tubuh kamu yang bisa membuat suhu tubuhku hangat kembali, Luana," lanjutnya dengan suara lemah. Mendengar itu, Luana tanpa ragu segera berdiri dan melempar jas yang ia pakai ke lantai. "Baiklah. Aku akan melakukannya, aku akan melakukan hal itu, Kyle. Aku akan melakukan apa pun! Kamu harus sembuh, kamu nggak boleh pergi!" teriak Luana dengan penuh tekad. Gadis itu segera berlari ke pintu untuk menguncinya dan menepuk tangan satu kali sebagai sensor lampu, membuat ruangan itu seketika gelap gulita. "Kyle, tunggu. Aku akan membantumu!" Luana tanpa ragu dia melepas blush hijau muda yang dia pakai dan melempar bra miliknya ke lantai, kemudian dengan tubuh atas tanpa memakai apa pun, mulai naik ke atas tubuh Kyle yang terbaring di sofa. "Kamu percaya sama aku, oke? Aku akan melakukan seperti saat membuat kamu bisa kembali normal ketika SMA, aku akan membuat kamu sembuh lagi, Kyle. Jangan pergi dulu, jang
Jam kerja selesai. Kyle semakin panik saat melihat Luana yang mulai berkemas, sementara Jasmine dan Gio belum juga meninggalkan meja kerja mereka. Kyle memutar otak untuk mencari cara supaya Luana masuk ke dalam ruangannya tanpa membuat Gio dan Jasmine tahu sehingga kedua makhluk brengsek itu tidak merecoki pertemuan mereka dengan alasan yang mengada-ada. Sementara itu, sakit kepala Kyle semakin parah dan demamnya mulai tinggi. Kyle meraih ponsel di meja, mengetik sesuatu dengan jemari yang gemetar karena demam. [Lun.] Bahkan untuk mengirimkan pesan singkat seperti itu, Kyle membutuhkan usaha yang sangat keras. Kepalanya seperti berputar-putar dan demam yang dideritanya membuat pria itu tidak fokus. Matanya sampai menyipit untuk menyelesaikan chat yang ia kirim ke Luana. [Sini, ke aku.] Tak sanggup lagi mengetik banyak, Kyle melempar ponselnya dan memijat kepala yang seperti meledak. Dia tak sanggup menahan sakit ini lagi, sepertinya magic stone yang dipinjamk
Gio lagi-lagi tersenyum dengan ekspresi licik, sebelum kemudian menjawab. "Karena aku yang menukar sendiri barang itu sebelum sampai ke Kyle, jadi tentu saja aku tahu." Ekor mata Gio melirik ke Kyle yang sedang memijat keningnya dengan ekspresi puas. "Sayangnya, karena kekuatannya melemah, Kyle bahkan nggak sadar kalau barang itu palsu dan terus bergantung pada benda itu seperti orang bodoh," lanjutnya dengan bibir mencibir. "Kamu gila!" Jasmine berseru, menggeleng tak percaya, tapi juga salut pada pria yang sepertinya lebih kuat dari Kyle ini. Sepertinya, pria yang wajahnya mirip Kyle ini sedang tidak berbohong, kini Jasmine baru menyadari bahwa aura Kyle hari ini, memang tidak sekuat dan semenusuk biasanya. "Sekarang, kamu percaya padaku, kan?" Gio bertanya dengan ekspresi penuh kemenangan. Jasmine ingin mengangguk tapi dia sadar bahwa harus berhati-hati dengan pria di sampingnya ini, jadi dia menjawab. "Aku masih harus berpikir lebih dalam lagi." Gio yang
"Kamu bicara apa? Aku nggak ngerti." Masih seperti sebelumnya, Jasmine menjawab ketus perkataan Gio. Gio hanya tertawa geli melihat reaksinya tersebut, menyandarkan punggung ke kursi dengan kedua tangan bersilang di dada. "Nggak usah pura-pura polos." Ucapan sinis Gio itu, direspons Jasmine dengan kerutan kening. "Aku nggak tahu apa maksud kamu ngomong seperti itu tadi, dan aku nggak paham, siapa yang tadi kamu panggil gadis setengah vampir," sergah Jasmine dengan nada tersinggung. Gio tidak menjawab, tapi segera menjentikkan jemarinya dengan santai. Wajah Jasmine memucat saat Gio menunjukkan bukti, bahwa dirinya juga bukan manusia biasa. Bahkan tingkat kekuatannya di atas Jasmine. "K-kamu.... " Jasmine tak bisa berkata-kata. "Santai saja," ucap Gio sambil menyugar rambut peraknya dengan santai saat melihat wajah pucat Jasmine. "Aku tahu, tujuan kita sama," lanjutnya seraya melirik ke arah Kyle, yang diikuti oleh lirikan mata Jasmine. "Kamu...." Gio menunjuk dada Jas
"Minggir." Jasmine yang sudah kini berada di depan mereka, menatap Luana dengan muka ditekuk. "Pindah posisi," lanjutnya judes, bibirnya yang bergincu merah terang maju beberapa centimeter. "Eh, kenapa?" Luana yang tak tahu maksud kedatangan Jasmine ke meja kerjanya, bertanya dengan bingung. Sementara gadis tinggi semampai yang kini memakai dress hitam selutut dan terbalut jas warna krem tersebut menatap Luana dengan gerah. "Aku sekarang kerja di sini menggantikan Katy, geser. Jauh-jauh dari aku, jangan terlalu dekat," ucapnya ketus. Luana dengan masih linglung, menatap tak percaya apa yang sedang didengarnya saat ini. "Cepetan. Dasar lelet." Keluhan yang keluar dari mulut jasmine tersebut membuat Luana segera mengangkat barang-barangnya dan bergeser, tapi kemudian kembali lagi. Dia menaruh barang-barang miliknya itu di tempat semula dan memberanikan diri menatap Jasmine yang duduk di sebelah Gio dan sibuk dengan ponselnya. "Kalau kamu menggantikan tempat Katy,
"Halo, Sayangku." Seorang pria menyapa Luana dengan begitu mesra. Luana memandang pria dengan rambut berwarna perak seperti bulan purnama dan memakai setelan jas hitam dengan kemeja putih itu dengan setengah hati. "Siapa yang kamu panggil sayang?" ketusnya dengan bibir cemberut. Gio yang kini berdiri di depan meja kerja Luana tersenyum-senyum sendiri dengan ekspresi menggoda. "Siapa lagi memangnya kalau bukan kamu? Nggak ada makhluk mungil yang terlihat sangat imut di mataku kecuali kamu, Luana sayang." Mendengar itu Ahra hanya memutar bola matanya dengan ekspresi bosan. "Nggak usah gombal, aku tahu kamu bukan Kyle," balas Luana, masih dengan muka ditekuk. Dia masih kesal dengan vampir ini karena wajahnya mirip Kyle, sehingga dirinya pernah mengalami insiden salah mengenali orang beberapa kali. Terlepas dari pria inilah yang telahmenyelamatkan dirinya dengan dari teror vampir baru di pulau itu, Luana nmasih tidak bisa melupakan rasa kesalnya. Gio tertawa geli d
"Aku tidak perlu bertemu orang itu untuk menilai bagaimana dia, Kyle," jawab tuan Ivander dengan tegas. Kyle tertawa sumbang mendengar ucapan ayahnya tersebut. "Ayah selalu mengajariku bahwa kita harus bertatap mata dengan seseorang agar tahu bagaimana dia sebenarnya.Ucapan ayah sekarang penuh kontradiksi, Yah," sindir Kyle dengan tajam, sedang sang ayah hanya mengendikkan bahu. "Aku nggak peduli," jawab tuan Ivander, acuh tak acuh. Kyle hanya menyugar rambutnya ke belakang. kehabisan kata-kata. "Jasmine dan kamu punya kesamaan, kalian pasti akan bahagia jika menikah, Nak. Nasibmu tidak akan seperti ayah kalau kamu menikah dengan Jasmine." Tuan Ivander mengatakan hal itu dengan sungguh-sungguh. Ada luka yang dalam di sorot matanya saat menyebut tentang nasibnya sendiri. Melihat Kyle yang terdiam, ayahnya melanjutkan. "Kalian sama-sama anak yang lahir dari pasangan manusia dan vampir, jadi, jika kalian menikah, tidak akan ada yang berkorban atau ditinggalkan. Kamu akan