"Lonthe siapa, Mbak?" tanya Arumi sembari menepis tangan wanita yang menarik kaosnya."Jangan pura-pura tidak tahu. Mana Cheri, di mana dia?" tanyanya dengan emosi membeludak.'Kenapa Cheri dipanggil lonthe?' pikir Arumi sembari mengerutkan dahinya."Diem lagi! Di mana dia?" desak wanita di depan Arumi sembari mengarahkan pandangannya ke sekitar ruangan itu."Cari saja kalau tidak percaya," jawab Arumi dengan tenang.Benar saja, sesaat setelah Arumi mengatakan hal itu, wanita tersebut langsung menggeledah kamar tersebut. Arumi pun langsung mengikuti wanita itu sambil berkata, "Sejak aku pulang kerja semalam, aku tidak bertemu dengannya sampai pagi ini. Memangnya ada apa?"Dan setelah mencari ke setiap ruangan, akhirnya wanita tersebut menjawab, "Teman sialanmu itu sudah merebut calon suamiku," bebernya."Merebut calon suami?" gumam Arumi yang agak aneh mendengar hal ini."Jangan pura-pura tidak tahu. Berikan aku nomer HP-nya!" pintanya dengan kasar.Arumi kemudian beralih ke kasurnya
"Oh jadi dia bekerja untuk Anda?" tanya Mbak Yuni sembari mundur selangkah dari laki-laki yang saat ini berdiri tepat di samping Arumi."Ya," jawab laki-laki tersebut singkat. 'Jadi Satria kenal dengan Mbak Yuni?' pikir Arumi sembari menatap wajah Satria yang saat ini terlihat kaku menatap Mbak Yuni.Sesaat kemudian, Satria pun sedikit menunduk menatap Arumi. "Ayo aku antar," ajaknya sembari menggenggam tangan Arumi."Tapi aku sudah memesan ojek," sahut Arumi sembari menarik tangannya dari genggaman Satria.Tepat saat itu munculah tukang ojek langganan Arumi. Seperti biasa, tukang ojek tersebut langsung mendekat dan memanggil Arumi dari motornya.Namun bukannya Arumi yang mendekati tukang ojek tersebut, justru Satrialah yang berjalan lebih dulu ke arah tukang ojek itu."Ambil ini," ucap Satria sembari menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan pada tukang ojek tersebut."Ini untuk apa?" tanya tukang ojek tersebut sembari menatap wajah Satria dengan ekspresi kebingungan yang kental.
"Ishh!" desis kuat keluar dari bibir Arumi. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menggerakkan tubuhnya yang terasa seolah remuk di setiap inchi tulangnya. Ia pun duduk perlahan sembari mengedipkan matanya beberapa kali agar pandangannya yang beberapa saat lalu kabur berubah menjadi lebih jelas.Setelah menggelengkan kepalanya beberapa kali, akhirnya ia bisa melihat apa yang ada di hadapannya. Sesaat kemudian ia pun segera mengarahkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari di mana Satria saat ini. Benar saja, tak jauh dari tempatnya saat ini terlihat tubuh Satria yang tergeletak di pinggiran jalan raya."Sat," panggilnya dengan suara lirih sembari bangun dengan seluruh tenaganya. Sejenak ia berhenti bergerak ketika melihat seorang kakek tua dan sepedanya yang mereka hindari tadi kini sedang tersenyum mengejek ke arahnya. 'Ini disengaja,' batin Arumi yang terkejut melihat hal itu.Setelah itu ia pun mempercepat gerakannya agar bisa sampai pada Satria."Sat, Satria," panggil Arumi se
Beberapa saat setelah perdebatan, akhirnya terjadilah perkelahian. Arumi memukuli tiga laki-laki tersebut dengan balok kayu yang didapatnya. Sesekali ia menendang sembarangan untuk menghindari sergapan tiga laki-laki tersebut. Ia memang kerap berkelahi ketika masih SMP, tetapi perkelahiannya saat ini jelas tak sama dengan waktu itu. 'Jelas kalau aku nggak bisa menang, kenapa kok lama banget toh Pak Taufiknya,' batin Arumi sembari terus mengayunkan balok di tangannya.Ia sadar betul kalau saat ini ia kalah jumlah, kalah tenaga dan bahkan kalah kemampuan. Hingga tiba-tiba saja …."Ah!" pekik Arumi ketika tiba-tiba saja ada yang menendang dirinya dari belakang. Langsung saja dua laki-laki yang ada di depan Arumi menangkap dirinya. Dengan cepat mereka merebut balok kayu dari tangannya."Lepaskan!" teriak Arumi sembari terus memberontak."Aku tidak tahu kalau gadis cantik seperti kamu bisa berkelahi seperti itu," ucap laki-laki yang baru menendang Arumi sembari mencubit rahang A
"Itu karena tidak ada lagi tempat untuk kamu," jawab Satria."Hah, beneran gitu?" tanya Arumi yang tentu saja meragukan jawaban tersebut. "Memang ini rumah sakit kecil?" tanyanya sembari menatap ke jendela."Tentu saja tidak. Ini rumah sakit terbesar di sini," beber Satria.Langsung saja Arumi menoleh pada Satria lagi, lalu menyipitkan matanya. "Tukang ngibul," celanya sembari mencoba untuk bangkit.Namun setelah sesaat mencoba, ia baru menyadari kalau ada yang di salah dengan tubuhnya. "Eh, ini tanganku kenapa?" tanyanya yang terkejut karena melihat tangannya dibalut gips."Tangan kamu patah," jawab Satria sembari bangun dari ranjangnya."Retak?" Arumi terkejut. "Lah, ini gimana? Kenapa bisa patah? Nanti kalau aku kerja gimana? Apa lama sembuhnya?" 'Jadi dia sangat takut tidak bisa bekerja,' batin Satria sembari duduk di pinggiran ranjang."Loh, tulang kamu nggak ada yang patah?" tanya Arumi yang berganti terkejut karena melihat Satria sepertinya bisa dengan bebas bergerak."Aku buk
Arumi pun langsung menoleh pada Satria dan kemudian menyipitkan matanya."Dia dari kecil memang suka usil, jangan dimasukkan ke dalam hati," ujar Nyonya Rianti, ibu Satria."Dia bukan suka usil, dia itu sangat usil," timpal Kania.Sontak saja Arumi tersenyum kaku ketika mendengar hal itu. 'Ah, kenapa jadi begini,' batinnya.Kemudian Arumi pun kembali menatap ke arah Rangga yang saat ini sedang memeriksa infus di dekat ranjang. "Kalau begitu kenapa tanganku diberi beginian?" tanya Arumi sembari menyentuh lengannya yang digips.Rangga pun langsung menatap malas ke arah Satria. "Tanyakan saja pada dia," jawabnya.'Satria!' teriak Arumi di dalam hati."Tapi memang benar, ada memar dan luka di bagian lengan, kaki, punggung dan juga tengkuk," terang Rangga."Terdengar seperti yang selamat cuma bagian wajah ya," komentar Arumi sembari meringis."Tidak juga. Bagian betis, perut, lengan dalam, telapak tangan, kaki dan ….""Ehem! Hentikan itu," potong Satria. "Sudah, kamu cek saja kondisinya."
"Iya. Dulu waktu masih sekolah aku pernah berkelahi sama salah satu anak buahnya ibuk, terus jariku ini dijepitin sama mereka di pintu," terang Arumi sembari menatap ke arah jari kelingking yang dimaksud Satria.'Kenapa dia mengatakannya dengan santai, apakah itu bukan kenangan buruk?' pikir Satria."Kenapa kamu berkelahi?" tanyanya."Karena …." Arumi menggantung Kalimatnya."Karena apa?" tanya Satria sembari membawa sepiring buah di tangannya."Karena waktu itu anak buah ibukku ngerebut mantanku," jawab Arumi lalu menghela napas panjang.Mendengar jawaban Arumi, Satria pun makin merasa penasaran karena ia tahu kalau anak buah yang dimaksud oleh Arumi seharusnya adalah seorang wanita malam. "Kenapa bisa?" tanyanya."Ya … karena mantanku nggak tahu kalau aku itu anaknya Mami Sus. Terus waktu itu dia nginep di salah satu kamar dan ketahuan sama aku. Habis itu aku ngamuk dong dan (bla-bla-bla) …." Arumi terus bercerita.Sedangkan saat ini Satria terus mendengarkan cerita berapi-api ter
Setelah lebih dari seperempat jam pembicaraan rumit, akhirnya Arumi pun mencoba bangun dari tempat tidurnya."Tenanglah Ar, aku yakin dia memang tidak bermaksud buruk," ujar Excel yang mencoba menenangkan emosi Arumi."Benar, aku ini tidak mengatakan sesuatu yang buruk. Aku ini benar-benar melamar kamu," beber Satria."Sudah, jangan dengarkan dia, dengarkan aku saja. Dia itu memang bodoh tentang masalah perasaan. Dia belum pernah menyatakan cinta pada perempuan, bahkan keluarganya saja sampai mengira kalau dia itu tidak menyukai perempuan," beber Excel. "Hiss," desis Arumi sembari menatap tajam pada Satria yang saat ini juga sedang menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa digambarkan."Percayalah, kamu itu satu-satunya gadis yang pernah dia bawa untuk bertemu dengan keluarganya. Jadi jangan meragukan hatinya. Ya … walaupun sikapnya seperti itu, tapi aku pastikan dia sangat tulus pada kamu," imbuh Excel."Benar, kamu harus mendengarkan dia. Aku ini benar-benar tidak bermaksud
Sesaat kemudian pintu yang baru saja diketuk oleh Arumi tersebut pun terbuka. Ia menatap seorang laki-laki yang keluar dari sana."Loh, bukannya kamu sedang keluar negeri?" tanya Arumi sambil menatap kekasihnya tersebut menggunakan kaos oblong dan celana pendek biasa."Sejak kapan kamu menjadi dekat dengan Aris?" tanya Satria yang terdengar seperti sedang mengintrogasi.Arumi langsung memutar bola matanya. Ia sudah sangat terbiasa dengan kecemburuan Satria yang agak berlebihan."Istrinya tidak senang saat mendengar kamu mengajaknya liburan, kamu mengerti?" Satria berdalih agar Arumi tak marah karena dia cemburu lagi.Mata Arumi membola. "Dia punya istri?"Sesaat kemudian terlihat Aris keluar lewat pintu lain."Ris, kamu punya istri?" tanya Arumi langsung.Aris pun tersenyum canggung. Dia tadi mendengar dengan jelas kebohongan apa yang Satria katatakan. "Iya Nyonya," jawabnya."Lah, harusnya kamu ajak juga istri kamu, jadi kita bisa liburan bersama," ucap Arumi sembari t
Tiga bulan berlalu. Perlahan perasaan Arumi mulai membaik, walaupun terkadang ia masih suka melamun dan tiba-tiba menangis sendiri ketika teringat dengan putri kecilnya."Hayo … ngelamun lagi," ucap Nita yang baru saja datang ke taman kecil samping cafe. Ia kemudian dengan santai duduk di samping Arumi yang sedari tadi terus menghadap bunga."Apa ada pesanan lagi?" tanya Arumi sembari mengusap air matanya."Tidak ada, semuanya sudah beres," jawab Nita. "Kamu ingat dengan Syahila lagi?" tanyanya.Arumi menghela napas panjang. "Ya … mau bagaimana lagi. Tadi malam aku mimpi gendong dia," jawabnya."Ar, kamu pasti tahu aku mau ngomong apa. Jadi aku nggak akan ngomong itu lagi, soalnya kata-kata mutiaraku udah habis buat menghibur kamu." Nita berseloroh.Arumi pun menoleh sembari tersenyum kecil. "Iya … aku nggak akan sedih lagi. Ini sudah tiga bulan lebih 'kan?" Ia menirukan ucapan Nita ketika terakhir kali menghiburnya."Nah, gitu baru bener," sahut Nita sembari mencubit ge
Beberapa menit berlalu, saat ini Satria, Abi dan Arumi pun sampai di lantai paling atas tempat di mana Rena berada."Syahila," panggil Arumi karena mendengar putri kecilnya itu sedang menangis kencang."Ren, berikan bayinya," ucap Abi sembari mencoba melangkah ke arah Rena, tetapi langsung berhenti ketika Rena mengangkat tangannya, memberi tanda agar dia berhenti."Aku berubah pikiran," ucap Rena."Berubah pikiran apa, kami sudah membawa Abi ke sini," sahut Satria dengan tangan yang mengepal kuat.Rena pun mengganti pandangannya pada Satria. "Sat, kamu seharusnya tidak ikut campur dalam urusan rumah tanggaku ini. Aku beri kamu kesempatan untuk pergi dari sini, aku hitung sampai tiga. Satu … dua ti—""Aku tidak akan ke mana pun. Serahkan bayinya dan kamu bisa pergi dengan Abi ke mana pun yang kamu mau," tukas Satria."Kenapa kamu selalu bertingkah dominan? Di sini aku bosnya, bukan kamu!" teriak Rena.Sesaat kemudian tangisan Syahila terdengar makin kencang."Mbak, tolong beri
Setelah beberapa menit, akhirnya Arumi pun selesai menyusui Syahila. Tangannya mengepal kuat memikirkan apa alasan yang bisa ia gunakan untuk mengulur waktu."Sudah selesai, Nyonya?" tanya baby sitter yang baru saja masuk ke dalam kamar itu.Arumi pun langsung menoleh. "Sudah," jawabnya.Kemudian baby sitter itu pun mendekat ke arah Arumi. "Saya ditugaskan oleh Tuan Abi untuk membantu Anda berkemas," ujarnya.Sesaat kemudian Arumi pun mengangguk. "Tapi aku ingin ke kamar mandi dulu, tidak apa-apa kan? Soalnya perutku seperti melilit ini," ujarnya sembari berakting meringis menahan sakit."Iya Nyonya, tidak apa-apa. Saya akan mengatakan ini pada Tuan," jawab baby sitter sembari mengambil alih Syahila.'Sayang, kita bertahan dulu ya,' batin Arumi sembari menatap ke arah bayi mungilnya yang sedang tertidur lelap.Dan kemudian ia pun segera melangkah mencari kamar mandi di kamar itu. Sepuluh menit berlalu, saat ini Arumi terus berada di dalam kamar mandi dan duduk
Kemudian Arumi beralih menatap orang tersebut. "Apa maksudnya ini? Kenapa kamu mencelakai dia?" tanyanya."Semua ini atas perintah Tuan," jawab orang tersebut dengan ekspresi dingin.Sementara itu Rasyid pun kembali terbatuk-batuk."Lalu?" Arumi bertanya kembali sembari menatap orang yang ada di depannya itu dengan tak kalah tajam.Sesaat kemudian, orang di depan Arumi yang memiliki paras cantik seperti perempuan tetapi bersuara gahar khas lelaki itu pun mengeluarkan sebuah botol dari dalam jasnya dan kemudian memberikannya pada Rasyid.Secepat kilat Rasyid menyambar botol tersebut dan langsung menenggak isinya. 'Apa-apaan ini?' batin Arumi yang makin terkejut melihat apa yang terjadi."Aku pikir kamu sudah berpindah haluan," seloroh orang tersebut sembari menengadahkan tangannya.Beberapa esaat kemudian, Rasyid yang tadi membungkukkan tubuhnya saat menahan sakit kini kembali berdiri tegap. "Belum waktunya kamu bicara seperti itu," pungkasnya sembari memberikan kembali botol obat pe
Satu jam lebih berlalu. Saat ini Arumi sedang berdiri di dekat sebuah perempatan yang ramai dengan kendaraan berlalu lalang."Di mana …," gumam Arumi sembari menatap ke arah jam tangan yang diberikan oleh Satria. Kakinya menghentak-hentak kecil karena tidak sabar menunggu."Bagaimana kalau Syahila lapar," gumam Arumi lagi yang merasakan payudaranya penuh dan itu tandanya kalau buah hatinya itu sedang lapar. Masih teringat dengan jelas bagaimana tangisan bayi kecil itu di telepon tadi.Tak lama kemudian terlihat sebuah mobil berwarna hitam mendekat ke arahnya. Dan setelah mengamati selama beberapa saat, terlihat seorang laki-laki turun dari mobil tersebut."Kenapa kamu lama sekali," gerutu Arumi karena melihat itu adalah Rasyid yang menjemputnya.Setelah itu Arumi pun segera masuk ke dalam mobil tersebut tanpa basa-basi. "Ayo cepat kita pergi," ucapnya ketika Rasyid juga sudah masuk ke dalam mobil tersebut."Apa Anda benar-benar sendirian?" tanya Rasyid sembari menekan pedal g
Satu jam berlalu. Saat ini Satria, Arumi dan Rena sudah berada di halaman rumah sakit. Terlihat para anak buah Satria sudah berjaga di berbagai sudut rumah sakit. Dan ketika baru saja turun dari mobil, Arumi pun memaksa dirinya untuk berjalan dengan cepat ke arah pintu masuk rumah sakit."Syahila, di mana kamu," ucap Arumi sembari terus melangkah. Kalau bisa, ia ingin berlari dan mengobrak-abrik seluruh gedung tersebut untuk mencari buah hatinya. Namun, ia sangat sadar dengan kemampuannya yang hanya wanita biasa dan baru melahirkan."Aris, bawa dia ke ruangan Arumi!" titah Satria sembari mendorong Rena ke arah Aris.Aris pun dengan sigap menangkap Rena dan membawanya mengikuti Satria."Lepas! Aku bisa berjalan sendiri!" sergahnya yang kemudian melangkah dengan tenang mengikuti Satria dan Arumi. Setelah sampai di lantai tempat Sahila biasanya diletakkan, Arumi pun segera masuk ke dalam ruangan tersebut. Dia mengecek sendiri tempat di mana Sahila biasanya tidur. a
Langsung saja para wartawan menyorot ke arah orang tersebut. Setelah itu ia dengan tenang membuka topi dan maskernya.Melihat hal itu mata Arumi pun membulat. "Mas, itu Rena. Bagaimana?" bisik Arumi sembari mencubit paha Satria."Kamu tenang saja. Katakan saja semua yang kamu inginkan," jawab Satria dengan suara yang tak kalah lirih.Langsung saja Arumi menoleh dan mengernyitkan dahinya. 'Apa maksudnya?' pikir Arumi sembari melihat Satria yang saat ini sedang menatap Rena dengan santai. Sesaat kemudian Satria pun ikut menoleh dan mengusap kepala Arumi dengan lembut. "Kamu tenang saja," ujarnya dengan suara normal, hingga menarik perhatian beberapa wartawan dan mereka pun langsung mengabadikan momen itu.Arumi yang menyadari hal itu pun langsung melirik ke arah para wartawan yang menyorot mereka saat ini. 'Jangan-jangan dari tadi dia sudah tahu kalau itu Rena,' batinnya."Sudah aku katakan tenang saja. Aku ada di sini, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan," ujar Satria lagi.Langsung
Dua jam kemudian di dalam ruangan Satria. Saat ini terlihat Satria yang tengah duduk di kursi kerjanya."Apa wanita itu memang sulit ditangani, Pak? atau hanya dia saja?" tanya Satria pada Pak Taufik, setelah ia selesai mematikan panggilan dari Aris yang mengatakan kalau dirinya dan Arumi sudah berada di lantai dasar perusahaan itu.Pak Taufik pun tersenyum kecil mendengar hal itu. "Nona Arumi ingin membantu Anda, Tuan. Dan saya pikir ini juga tidak ada salahnya," jawabnya dengan bijak."Aku sengaja tidak ingin melibatkan dia karena tidak mau dia mendengar pertanyaan-pertanyaan wartawan itu," ucapnya dengan nada mengeluh."Saya yakin Nona Arumi bisa menghadapinya, dia wanita yang kuat," sahut Pak Taufik masih dengan nada bicaranya tadi.Setelah itu yang terdengar hanyalah helaan napas panjang dari bibir Satria. Setelah 15 menit merapikan penampilan dan merencanakan semuanya, akhirnya Arumi dan Satria pun berjalan dengan tenang ke arah ruang konferensi pers yan