Maya mengerutkan kening dalam ketika pagi-pagi menjumpai Biya di ruang tengah apartemen. Beberapa hari terakhir, Biya pulang larut malam. Mungkin sekitar pukul satu pagi. Maya tahu, karena dia tidak sengaja terbangun. Tapi yang lebih aneh lagi adalah Biya mengenakan kemeja berkerah yang lebih tinggi daripada biasanya.Maya mengoleskan selai cokelat pada selembar roti tawar yang baru selesai dipanggang tanpa mengalihkan pandangan dari Biya. Biya yang sibuk mengenakan anting bermotif bunga lili di sofa pun menoleh, risi, karena sorot Maya tidak pernah bisa bohong.“Kenapa?” Biya bertanya tak nyaman kala menatap Maya tepat di mata. Mengingat mereka sempat ‘berdebat’ intens. Maya menggelengkan kepala samar dan berusaha menjaga ekspresi wajah walau berakhir gagal saat dia berusaha mengorek informasi, “Lo tumben pakai anting-anting? Biasanya lo paling anti pakai aksesori di telinga karena takut nyantol di baju atau rambut.”Jantung Biya sempat berhenti berdetak, sebab tidak menyangka Maya a
“Ce, gue balik dulu, ya. Maaf sudah ganggu lo.”Gama sudah berpamitan pada semua orang di dalam dan kini Biya mengantarkan lelaki itu ke depan. Kedua alis Biya terangkat penuh keterkejutan. Tidak enak hati pada Gama, karena tadi tidak bisa mengontrol ekspresi wajah maupun nada bicara ketika badmood pada Arsen.“No, I’m so sorry … gue tadi cuma shock aja pas tahu lo datang. Kak Arsen nggak bilang lo datang.” Biya melambaikan tangan sungkan. Tapi, sedetik selanjutnya, mereka berdua sama-sama kelihatan terkejut saat Gama berkata, “Loh, tadi siang pas kita ketemu, Ko Arsen malah bilang ke gue kalau lo mau gue datang. Agak maksa juga. Ya sudah, gue datang walaupun agak sungkan juga.”“Eh?”“Eh?”Otak mereka dipaksa bekerja keras. Bibir mereka sedikit terbuka ketika berusaha berpikir. Sampai akhirnya, Biya mengerjap tidak percaya dan tampak sedikit kesal. Penuh penyesalan serta kebingungan, Biya mengucapkan, “Astaga, jadi kita berdua di-‘prank’ Kakak gue? Hah? Astaga, maaf, maaf. Gue nggak
Biya masih belum bisa memercayai kejadian semalam di mana Arsen mengkonfrontasi sampai menegur blak-blakan agar Biya tidak jatuh ke dalam penyesalan di kemudian hari. Biya tidak bisa tidur. Bantal di kamar menjadi saksi bisu ketika air matanya tidak berhenti turun membasahi pipi. Sepanjang malam Biya memandang langit-langit kamar sambil memikirkan bagaimana cara menghadapi Arsen.“Anak Ayah,” ketika jam menunjukkan pukul sembilan pagi, Ayah mengetuk pintu dan menyerukan panggilan untuk mengecek keadaan Biya. Dari luar kamar, ayah berdiri seraya menggenggam gagang pintu. “Kok tumben jam sembilan belum keluar kamar? Ayah boleh masuk?”Biya menyingkap selimut yang menutupi wajah, menoleh ke arah pintu, dan air matanya kembali jatuh saat mengingat betapa menusuknya kalimat Arsen kemarin. Setelah Biya pikirkan ulang, ucapan Arsen memang tidak
Manusia itu bisa berubah dalam hitungan hari, jam, menit maupun detik. Manusia bukanlah makhluk kaku. Manusia itu dinamis, termasuk Biya sendiri. Ketika mendapat stimulus, apapun itu, pasti akan memengaruhi perilaku maupun saat mengambil suatu keputusan. Biya menghela napas panjang ketika menghadapi hari Senin dan nanti diharuskan kembali bertatap muka dengan Dalvin.06.25[Maya: Gue nggak masuk kerja hari ini][Maya: Perut gue sakit banget. Kemarin hari pertama datang bulan. Gue udah izin ke bagian HR][Maya: Nanti pas lo pulang ke apart, boleh titip obat nyeri ga? Obat gue tinggal satu :(]
“Pagi, Fi.”Fidelia menoleh ke arah Biya yang ‘tumben’ sekali datang padanya. Fidelia duduk di balik meja, menatap Biya yang berdiri di depan kubu pembatas. Hanya mereka berdua karyawan yang baru datang pagi ini. Kedua alis Biya terangkat tinggi dan senyum kaku pun terukir di bibir. Memperlihatkan bahwa Biya super terpaksa; kaku nan canggung ketika bicara pada Fidelia pagi ini.Ya, sebenarnya mereka juga jarang bicara. Mereka bicara seperlunya sebagai seorang rekan kerja. Tidak pernah makan siang di kantin berdua atau bertukar nomor telepon.‘Anjir, canggung banget.’Biya memilih bicara pada Fidelia bukan tanpa alasan. Biya bicara pada Fidelia, karen
Gama disambut hangat oleh sosok mama—Yani—ketika melangkah masuk ke dalam rumah. Gama memeluk erat Yani kemudian melihat jam dinding di ruang tamu yang jarum pendeknya mengarah pada angka delapan. Wajah Gama terlihat penuh penyesalan saat meminta maaf, “Maaf aku pulangnya kemalaman, Ma. Tadi ada pekerjaan yang nggak bisa aku tinggal.”“Iya, nggak papa. Kamu sudah makan?” Yani melontarkan pertanyaan pada sang anak. “Belum,” Gama menjawab seraya celingukan mencari sosok sang kakak perempuan, “Ce Celine mana?”“Cece lagi keluar sama pacarnya. Biasalah. Tadi pacarnya bawain nasi goreng sama lauk lainnya. Kamu mau makan itu atau pesan di luar aja? Tadi Mama nggak masak.”“Makan makanan yang dibawain pacarnya Ce Celine aja. Aku mandi dulu ya ber
“Bi, ini surat izin cuti gue,” Maya menyerahkan amplop putih berisi selembar kertas surat izin cuti di atas meja makan selagi Biya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut. Biya menganggukkan kepala pelan. “Makasih, ya, besok tolong serahkan ke Pak Baskoro … eh, maksud gue, Pak Dalvin.” Maya mengoreksi di akhir, karena ingin melihat reaksi Biya.Sayang, Biya tetap tampak tidak bersemangat akibat terkejut seolah baru saja mendapat kejadian tidak terduga dan pandangannya masih menerawang. Manik cokelatnya tidak terarah pada Maya yang semakin kebingungan.Maya tahu dan yakin jika ada suatu hal yang baru saja terjadi antara Biya dan Dalvin, tapi enggan mencari tahu lebih jauh, karena tidak mau memicu pertengkaran di antara mereka lagi. Keyakinan Maya didasari oleh sesuatu yang kuat. Apa? Cerita Biya usai tadi sampai di apartemen.
Sesampainya di tempat kerja, aku buru-buru masuk ke dalam lift perusahaan tanpa menyapa satpam yang biasa kusapa di depan ambang pintu setiap pagi. Napasku terengah. Aku terlambat setengah jam. Di tengah lift yang masih menuju ke lantai departemenku, aku fokus menata rambut menggunakan jemari dan memanfaatkan kamera ponsel. Lift berbunyi beriringan dengan pintu yang terbuka. Aku bergegas melangkah masuk ke dalam ruang departemenku. Sialnya, aku sedikit terlalu bersemangat saat membuka pintu sehingga menimbulkan bunyi yang menarik perhatian semua orang dalam ruangan. Seluruh karyawan menatapku seakan-akan aku adalah orang asing yang salah masuk ruangan. Dalam sekejap, rona merah padam menjalari pipi bebarengan dengan sensasi panas akibat malu. Bibirku sempat terkatup rapat sebelum aku memberanikan diri berjalan menuju ke meja kerjaku dan mengucapkan, “Maaf saya terlambat.” Yang membuatku semakin malu adalah Pak Dalvin. Pak Dalvin duduk di balik meja, sama sekali tak melirik, dan ente