Biya berharap dirinya tak sejahat ini. Biya tak ingin mengecewakan orang lain, tapi tidak bisa melepas salah satu akibat mengutamakan kenikmatan duniawi. Perempuan itu bolak-balik berjalan layaknya setrika di dalam kamar saat berulang kali mengecek layar ponsel. Sudah berjanji pada Gama untuk dikenalkan pada Ibu.‘Apa gue tolak aja ya? Sekarang masih ada waktu.’Biya pernah merasakan patah hati, begitu juga dengan ayah dan kakak usai dia gagal menikah. Selama ini, Biya selalu berusaha memenuhi ekspektasi orang lain. Selalu berusaha menjadi perempuan baik-baik, karena dia bingung harus bersandar pada siapa. Dia memang bukan anak pertama, tapi beban yang dipikul terasa begitu berat usai Mama meninggal dunia.Biya membantu mengurus segala keperluan di rumah. Dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya dan tidak memiliki cukup waktu untuk bermain demi membantu ayah dan kakak. Biya ingin punya kebebasan yang tidak dia dapatkan dan sekarang keinginan itu sudah tidak bisa lagi tertampung dengan
20.35“Lancar sama Gama?”Maya memberikan sekaleng minuman soda dingin pada Biya sebelum duduk di sofa—tepat di samping perempuan itu. Dia membuka sebungkus keripik kentang yang dibeli di minimarket depan apartemen sebelum masuk ke kamar tadi. Mereka berdua menonton televisi yang menampilkan iklan-iklan produk pewangi ruangan.“Hmm, sudah baikan sih,” Biya menjawab pelan. Membuka kaleng soda itu lalu meminumnya. Canggung. Dia takut Maya tahu hal lain lagi. “Mau bicarain apa? Kok tumben serius banget?”Maya melipat kedua kaki di atas sofa, memakan keripik kentangnya, kemudian menoleh agar bisa menatap Biya yang tampak sedih. Maya sudah bertahun-tahun mengenal Biya, jadi bisa langsung tahu apabila temannya itu tak baik-baik saja.“Soal Gama aja sih,” Maya berceletuk ringan. Maya mengganti saluran televisi. Dia tak lagi menatap Biya ketika melanjutkan, “Gue tahu Gama mau ngenalin lo ke nyokapnya. Dia sempat bicara sama gue tadi sore sesudah lo pulang duluan.”Kedua alis Biya terangkat pe
3 Maret 2019Hari ini hari Minggu.Dalvin berniat mengambil barang-barang miliknya yang ada di rumah orang tuanya—Adam dan Raras. Dalvin menatap rumah itu penuh kebencian; merasa sudah lama sekali tidak menginjakkan kakinya di sini dan dia enggan harus bertemu dua orang yang membesarkannya tanpa kasih sayang.Dalvin tak berencana kembali lagi ke rumah ini usai mengambil semua barangnya. Dalvin tak mau menemui orang tuanya lagi. Dalvin membuang napas kesal ketika melangkah turun dari mobil, membawa box plastik berukuran besar lalu langsung masuk ke dalam karena pagar tak dikunci.Di ruang tamu, dia langsung menemukan Raras yang tengah menata buku-buku lawas ke dalam box karton berukuran besar—hendak meletakkannya di gudang bagian belakang agar tak memenuhi rumah.“Sudah lama nggak pulang kok tiba-tiba pulang?” Raras bertanya setengah menyindir. Raras bahkan sampai lupa jika dia masih punya anak setelah beberapa bulan Dalvin pergi tanpa diizinkan. Sebelum pergi pun, mereka bertengkar he
Sebenarnya, pola asuh buruk yang diberikan oleh orang tua sangat berbahaya untuk anak. Pola asuh otoriter, yaitu saat orang tua memberikan tuntutan berlebih yang tidak masuk akal di saat mereka pun memberikan dukungan atau pujian yang sangat minim. Pola asuh otoriter ditandai dengan orang tua yang enggan mendengarkan pendapat anak, bertindak semaunya, mengekang dan memberi hukuman berlebihan. Pola asuh buruk itu sendiri dilakukan oleh orang tua agar anak tunduk pada mereka—tunduk oleh rasa takut sampai lupa bahwa cinta dan kasih sayang itu ada.Mereka tidak peduli sebagaimana sulitnya hal yang dilalui anak. Mereka hanya peduli pada tujuan dan pencapaian pribadi. Anak? Jelas belakangan dan berakhir tersiksa selama bertumbuh di rumah. Sebagian anak jadi meragukan bahwa ada orang baik di dunia, karena selama bertumbuh mereka melihat wujud nyata dari interaksi orang tuanya yang menyeramkan.Seperti Dalvin.Dalvin selalu meragukan bahwa dunia itu baik. 'Bagaimana bisa baik kalau orang tuak
Biya tidak tahu apa yang sudah Dalvin alami, tapi lelaki itu terlihat tak bersemangat ketika mereka berdua berada dalam satu ruangan. Mereka berada di bawah guyuran air dingin shower. Air panas sedang tidak berfungsi. Biya mengamati tiap bulir air yang menetes dari tiap sudut tubuh Dalvin, terutama wajah dan rambut hitamnya. Dia tampak begitu fana; terlalu tampan. Biya heran, kenapa dia bisa terjebak dengan atasannya yang merupakan incaran semua perempuan di perusahaan?Selain tampan, tubuhnya juga bagus. Bahunya lebar, memiliki postur tubuh tegap, tak ada bekas luka, dan tubuhnya pun cukup berotot. Benar-benar fisik rupawan yang diidamkan semua perempuan."Pak Dalvin beneran nggak ada masalah?" Biya bertanya pelan. Menyentuh bahu Dalvin supaya lelaki itu mau menatapnya sebentar. Dalvin menoleh. Lalu entah kenapa ... Biya bisa merasakan kesepian dan kesedihan yang begitu kentara dari sorot matanya. Ada juga amarah yang berusaha disembunyikan kuat-kuat. Dalvin tak terlihat baik-baik s
Maya mengerutkan kening dalam ketika pagi-pagi menjumpai Biya di ruang tengah apartemen. Beberapa hari terakhir, Biya pulang larut malam. Mungkin sekitar pukul satu pagi. Maya tahu, karena dia tidak sengaja terbangun. Tapi yang lebih aneh lagi adalah Biya mengenakan kemeja berkerah yang lebih tinggi daripada biasanya.Maya mengoleskan selai cokelat pada selembar roti tawar yang baru selesai dipanggang tanpa mengalihkan pandangan dari Biya. Biya yang sibuk mengenakan anting bermotif bunga lili di sofa pun menoleh, risi, karena sorot Maya tidak pernah bisa bohong.“Kenapa?” Biya bertanya tak nyaman kala menatap Maya tepat di mata. Mengingat mereka sempat ‘berdebat’ intens. Maya menggelengkan kepala samar dan berusaha menjaga ekspresi wajah walau berakhir gagal saat dia berusaha mengorek informasi, “Lo tumben pakai anting-anting? Biasanya lo paling anti pakai aksesori di telinga karena takut nyantol di baju atau rambut.”Jantung Biya sempat berhenti berdetak, sebab tidak menyangka Maya a
“Ce, gue balik dulu, ya. Maaf sudah ganggu lo.”Gama sudah berpamitan pada semua orang di dalam dan kini Biya mengantarkan lelaki itu ke depan. Kedua alis Biya terangkat penuh keterkejutan. Tidak enak hati pada Gama, karena tadi tidak bisa mengontrol ekspresi wajah maupun nada bicara ketika badmood pada Arsen.“No, I’m so sorry … gue tadi cuma shock aja pas tahu lo datang. Kak Arsen nggak bilang lo datang.” Biya melambaikan tangan sungkan. Tapi, sedetik selanjutnya, mereka berdua sama-sama kelihatan terkejut saat Gama berkata, “Loh, tadi siang pas kita ketemu, Ko Arsen malah bilang ke gue kalau lo mau gue datang. Agak maksa juga. Ya sudah, gue datang walaupun agak sungkan juga.”“Eh?”“Eh?”Otak mereka dipaksa bekerja keras. Bibir mereka sedikit terbuka ketika berusaha berpikir. Sampai akhirnya, Biya mengerjap tidak percaya dan tampak sedikit kesal. Penuh penyesalan serta kebingungan, Biya mengucapkan, “Astaga, jadi kita berdua di-‘prank’ Kakak gue? Hah? Astaga, maaf, maaf. Gue nggak
Biya masih belum bisa memercayai kejadian semalam di mana Arsen mengkonfrontasi sampai menegur blak-blakan agar Biya tidak jatuh ke dalam penyesalan di kemudian hari. Biya tidak bisa tidur. Bantal di kamar menjadi saksi bisu ketika air matanya tidak berhenti turun membasahi pipi. Sepanjang malam Biya memandang langit-langit kamar sambil memikirkan bagaimana cara menghadapi Arsen.“Anak Ayah,” ketika jam menunjukkan pukul sembilan pagi, Ayah mengetuk pintu dan menyerukan panggilan untuk mengecek keadaan Biya. Dari luar kamar, ayah berdiri seraya menggenggam gagang pintu. “Kok tumben jam sembilan belum keluar kamar? Ayah boleh masuk?”Biya menyingkap selimut yang menutupi wajah, menoleh ke arah pintu, dan air matanya kembali jatuh saat mengingat betapa menusuknya kalimat Arsen kemarin. Setelah Biya pikirkan ulang, ucapan Arsen memang tidak