23 Februari 2019 Semua hal menjadi rumit dalam hitungan hari usai datang ke pernikahan Hana. Circle Evan yang hobi menyebarkan gosip dari bibir ke bibir beraksi tanpa henti—bicara ketika jam kerja, istirahat, atau ketika liburan berlangsung. Mereka asik sekali membicarakan orang lain sampai lupa bahwa perasaan orang yang dibicarakan tak kalah penting. Biya berusaha mengangkat kepalanya tinggi-tinggi saat melangkah masuk ke gedung tempat kerja; menunjukkan bahwa dia masih percaya diri dan tak terpengaruh rumor itu walau dalam hati rasanya mau kabur. Ada juga beberapa rumor aneh mengenai Dalvin dan Gama. Rumor itu dibuat langsung oleh para perempuan fujoshi, yang artinya perempuan penggemar hubungan antara lelaki dengan lelaki. Mereka menikmati momen yang tercipta antara Dalvin dan Gama. Ada yang bilang, “Ihh! Pak Dalvin sama Pak Gama tuh cocok banget gila! Lo lihat nggak sih kemarin pas di pernikahannya Hana? Buset, mereka berdua sama-sama ganteng!” Sejujurnya, Biya super terkejut k
«warning»***“Saya kangen kamu.” Biya meremas bahu lebar Dalvin saat hisapan lembut pada bibirnya sukses meluluh-lantakkan tubuh. Sudah beberapa hari Biya tidak merasakan ciuman ini. Dalvin sangat lihai melumat bibir atas dan bawahnya bergantian dibarengi lidah yang ikut menyelip masuk ke dalam mulut. Menimbulkan bunyi kecipak yang memenuhi tiap sudut mobil. Biya membalas ciuman itu. Ikut menghisap bibir Dalvin sampai sang empunya melenguh tertahan dan menekan tengkuk Biya. Memperdalam ciuman liar mereka. Ciuman itu berlangsung selama beberapa menit sebelum akhirnya Biya mendorong dada Dalvin. Menciptakan jarak kala mereka berdua mengais rakus oksigen. Biya menggelengkan kepala pelan, “Pak, ini di tempat kerja. Bahaya kalau ketahuan.” Dalvin jelas langsung memasang wajah super memelas pada Biya. Dia kembali mengikis jarak. Tangan kanannya menggenggam paha Biya yang terbalut oleh celana panjang jeans berwarna hitam. “Nggak bakal,” Dalvin jelas berusaha meyakinkan. Dalvin menyala
19.00Biya mengenakan pakaian casual—baju hitam polos yang dirangkap outer berwarna krem serta celana jeans panjang berwarna biru cerah. Dia membiarkan rambutnya terurai. Kelihatan sungguh cantik di mata Gama yang baru saja datang beberapa menit lalu.Mereka bertemu di lobby bioskop di dalam mall. Kelihatan ramai. Banyak orang datang berpasangan, entah itu dengan kekasih atau circle sahabat masing-masing. Biya melambaikan tangan pada Gama; Gama menyunggingkan senyum kecil dan menganggukkan kepala samar."Sudah nunggu dari tadi?" Biya bertanya ramah. Berusaha keras menyembunyikan fakta bahwa dia masih merasa bersalah. Sudah berulang kali dia mengkhianati Gama yang kelewat baik."Oh, enggak," Gama menyahut lembut. Dia sudah memberikan Biya kesempatan kedua. Dia percaya jika Biya tidak akan melakukan hal keji di belakangnya lagi. Gama tahu itu merupakan sebuah hal naif yang patut dibilang 'bodoh'. Tapi, Gama juga terlanjur jatuh cinta. Gama juga percaya bahwa loyalitasnya akan menyakiti
28 Februari 2019Hari ini merupakan hari terima gaji, tapi tak ada sumringah penuh suka cita dari Biya yang biasanya selalu heboh untuk membeli sesuatu secara online. Biya masih menggigit kuku jari kanan, menatap layar ponsel, dan berulang kali mengetik lalu menghapus—kelewat ragu serta malu ketika ingin mengirimkan pesan pada Gama yang sampai hari ini tidak memberi kabar.'Jangan-jangan dia tahu soal insiden di mobil?' Biya tidak bisa berhenti overthinking. Kedua kakinya bergerak resah dibarengi ekspresi cemas luar biasa. Kedua mata Biya berkaca-kaca, karena terus memikirkan hal yang sama. 'Tapi kalaupun tahu, tahunya juga dari siapa? Di tempat kerja nggak ada yang tahu. Aduh, pusing!'Biya menyesal. 'Apa sebenarnya dia masih marah dan malah jijik sama gue karena gue ketahuan main di belakang dia? Aduh, sudah pasti iya, lah!'Biya mengacak rambutnya sendiri sebelum menumpu kepala menggunakan satu tangan. Memejamkan mata frustrasi, berusaha mencari jalam keluar. Sudah lima hari Biya ti
Biya pikir, Gama akan mengajaknya bicara di luar lobby dan tidak sampai keluar ke tempat seperti ini. Biya mengedarkan pandang ke segala sudut ruang dalam kedai es krim itu. Setiap sudut dihiasi warna krem serta cokelat kayu yang menghibur mata. Ada beberapa quotes-quotes berukuran besar di tembok dan aroma manis khas es krim menguar memenuhi indra penciuman."Ce, maaf ya tiba-tiba gue ngajak keluar."Kedai es krim itu sepi. Tak banyak pengunjung yang terlihat. Hanya ada beberapa anak SMA yang nongkrong bersama circle mereka dan dua orang lain yang pergi berkencan."Nggak papa."Biya menautkan jemari kikuk di bawah meja kayu selagi menunggu es krim datang. Dia tidak kuasa mempertahankan kontak mata dengan Gama yang menatapnya kikuk. 'Aduh,' Biya menggigit bibir bawah bagian dalam saat tak berhenti merutuk dalam hati.Mereka lagi-lagi bungkam selama beberapa menit sebelum es krim datang. Biya yang awalnya lemas, kini menjadi cukup bersemangat setelah melihat betapa menggiurkannya es kr
Biya berharap dirinya tak sejahat ini. Biya tak ingin mengecewakan orang lain, tapi tidak bisa melepas salah satu akibat mengutamakan kenikmatan duniawi. Perempuan itu bolak-balik berjalan layaknya setrika di dalam kamar saat berulang kali mengecek layar ponsel. Sudah berjanji pada Gama untuk dikenalkan pada Ibu.‘Apa gue tolak aja ya? Sekarang masih ada waktu.’Biya pernah merasakan patah hati, begitu juga dengan ayah dan kakak usai dia gagal menikah. Selama ini, Biya selalu berusaha memenuhi ekspektasi orang lain. Selalu berusaha menjadi perempuan baik-baik, karena dia bingung harus bersandar pada siapa. Dia memang bukan anak pertama, tapi beban yang dipikul terasa begitu berat usai Mama meninggal dunia.Biya membantu mengurus segala keperluan di rumah. Dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya dan tidak memiliki cukup waktu untuk bermain demi membantu ayah dan kakak. Biya ingin punya kebebasan yang tidak dia dapatkan dan sekarang keinginan itu sudah tidak bisa lagi tertampung dengan
20.35“Lancar sama Gama?”Maya memberikan sekaleng minuman soda dingin pada Biya sebelum duduk di sofa—tepat di samping perempuan itu. Dia membuka sebungkus keripik kentang yang dibeli di minimarket depan apartemen sebelum masuk ke kamar tadi. Mereka berdua menonton televisi yang menampilkan iklan-iklan produk pewangi ruangan.“Hmm, sudah baikan sih,” Biya menjawab pelan. Membuka kaleng soda itu lalu meminumnya. Canggung. Dia takut Maya tahu hal lain lagi. “Mau bicarain apa? Kok tumben serius banget?”Maya melipat kedua kaki di atas sofa, memakan keripik kentangnya, kemudian menoleh agar bisa menatap Biya yang tampak sedih. Maya sudah bertahun-tahun mengenal Biya, jadi bisa langsung tahu apabila temannya itu tak baik-baik saja.“Soal Gama aja sih,” Maya berceletuk ringan. Maya mengganti saluran televisi. Dia tak lagi menatap Biya ketika melanjutkan, “Gue tahu Gama mau ngenalin lo ke nyokapnya. Dia sempat bicara sama gue tadi sore sesudah lo pulang duluan.”Kedua alis Biya terangkat pe
3 Maret 2019Hari ini hari Minggu.Dalvin berniat mengambil barang-barang miliknya yang ada di rumah orang tuanya—Adam dan Raras. Dalvin menatap rumah itu penuh kebencian; merasa sudah lama sekali tidak menginjakkan kakinya di sini dan dia enggan harus bertemu dua orang yang membesarkannya tanpa kasih sayang.Dalvin tak berencana kembali lagi ke rumah ini usai mengambil semua barangnya. Dalvin tak mau menemui orang tuanya lagi. Dalvin membuang napas kesal ketika melangkah turun dari mobil, membawa box plastik berukuran besar lalu langsung masuk ke dalam karena pagar tak dikunci.Di ruang tamu, dia langsung menemukan Raras yang tengah menata buku-buku lawas ke dalam box karton berukuran besar—hendak meletakkannya di gudang bagian belakang agar tak memenuhi rumah.“Sudah lama nggak pulang kok tiba-tiba pulang?” Raras bertanya setengah menyindir. Raras bahkan sampai lupa jika dia masih punya anak setelah beberapa bulan Dalvin pergi tanpa diizinkan. Sebelum pergi pun, mereka bertengkar he
Lima tahun kemudian.Biya beberapa kali melakukan switch career, dari staff purchasing, copywriter, hingga akhirnya memilih menjadi virtual assistant yang bisa bekerja secara remote di mana saja. Biya masih berusaha menjadi orang yang lebih baik setelah insiden beberapa tahun lalu. Sempat dekat dengan beberapa lelaki, namun tidak ada yang cocok secara emosional. Semakin hari, Biya sendiri semakin menghindari lawan jenis karena merasa semuanya berujung sia-sia—tidak ada yang jadi, katanya.Biya sudah putus hubungan dengan Maya. Beberapa kali Biya melihat sosial media sang mantan sahabat melalui akun lain. Maya tampak bahagia dan baik-baik saja. Sudah menikah; pindah ke luar negeri mengikuti suami yang merupakan orang Australia. Biya ingin mengirimkan pesan, tapi takut Maya mengabaikan atau mungkin malah belum memaafkan.“Ce, kabarnya gimana?” Biya mendongakkan kepala ketika melihat Odilia, salah satu teman yang diperoleh melalui komunitas virtual assistant di media sosial. Mereka serin
“Mbak Biya, sudah lama nggak ketemu. Mau ambil barang-barang di lantai atas, ya?”Sesuai ucapannya kemarin, Biya pergi ke perusahaan untuk mengambil barang-barang di mejanya pada sore hari. Biya terkejut, karena security yang dikenalnya tahu bahwa dia resign. Biya menganggukkan kepala, mengucapkan salam, sebelum beranjak ke tempat kerjanya yang ada di lantai lima.Perusahaan sudah sepi, hanya ada beberapa office boy dan office girl yang masih bekerja. Biya bersyukur, karena dia tidak perlu menemui rekan rekan kerja yang pasti akan kepo luar biasa mengenai setelah ini akan bekerja di mana, kabar setelah sembuh dari tipes, dan lain lain. Biya menarik napas dalam ketika sampai di lantai lima dan masuk ke ruang departemennya.Biya tak menemukan siapa pun selain Dalvin yang masih duduk di kursinya—memeriksa kembali laporan keuangan pada layar komputer. Dalvin menoleh ke arah Biya, tak terlihat kaget, dan kembali fokus pada layar komputer.“Ambil barang?” Dalvin bertanya tanpa melihat Biya
[“Besok lo mau ambil barang-barang dari tempat kerja lo?”]Malam ini Biya dihubungi oleh Arsen yang tadi sempat menceritakan perjalanan selama berbulan madu di Bali. Tadi, Biya juga sempat berbincang sebentar dengan Airin melalui sambungan telepon. Biya senang, karena mereka bisa menikmati liburan selama seminggu dalam memulai perjalanan pernikahan yang akan dibina selama beberapa tahun ke depan.“Iya, besok mau gue ambil sendirian. Sebenarnya Ayah nawarin buat bantu, tapi gue tolak soalnya nggak mau ngerepotin,” Biya menjelaskan sambil mengambil tas kain yang biasanya digunakan untuk belanja, kunci sepeda motor serta mengenakan jaketnya yang berwarna hijau sage. Hendak pergi ke supermarket sebentar untuk membeli perlengkapan mandi yang sudah habis di rumah. “Gue besok rencana mau datang sore aja setelah semua orang pulang, biar nggak usah drama di tempat kerja orang gue juga cuma mau ambil barang.”[“Ohh, haha,”] Arsen sempat mengudarakan tawa pelan, karena pikirannya langsung tertuj
Butuh waktu hampir dua minggu bagi Biya untuk pulih dari tipes dan benar-benar diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Proses pemulihannya lama, sebab Biya tak kooperatif—enggan makan dan minum obat—baru dikonsumsi apabila dipaksa oleh ayah atau Arsen yang bergantian berjaga. Keluar dari rumah sakit pun, kondisi fisiknya masih lemah.Biya sudah dinyatakan resign oleh HRD perusahaan dan diminta segera mengambil barang-barangnya. Biya menghela napas pelan, tidak menyangka jika dia jatuh sakit sampai melewati tanggal resign. Perempuan itu menatap langit-langit kamar ketika merebahkan diri; memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah ini, karena belum menemukan tempat kerja yang pas di hati. Biya pun memikirkan semua orang yang selama ini berputar di sekitarnya—terutama Gama dan Maya, yang mendadak keluar dari kehidupannya.[“Gue sudah dengar semuanya dari kakak lo. Gue nggak akan balik dulu, jadi gue belum bisa jengukin lo. Gue bakal stay di sini sampai mama gue sembuh. Goodluck and get
[+62 523 xxx xxxx: Pak, posisi di mana?][+62 523 xxx xxxx: Sebentar lagi saya ke sana.]Dalvin berada di lobby rumah sakit; duduk di depan instalasi farmasi, tempat biasanya orang mengambil obat yang sudah diresepkan oleh dokter. Beberapa kali perawat perempuan yang berjaga di balik meja instalasi farmasi tersebut mencuri pandang ke arah Dalvin yang berdiam diri sendirian di saat tak ada orang. Dalvin sengaja duduk di sana, bak pasien yang menunggu obat selesai dibuat, karena dia menghindari Arsen yang masih ada di dekat bagian administrasi.Dalvin tak mau apabila mencari keributan. Apalagi, Arsen telah memperingati agar tak perlu berlama-lama di rumah sakit dan segera pergi jika bisa. Dalvin berulang kali melirik ke arah ponsel, memperhatikan pesan terakhir yang dia kirim balik pada Gama. Memberitahukan posisinya pada sang lawan bicara.‘Lama banget,’ Dalvin menggerutu dalam hati. ‘Katanya nggak sampai sepuluh menit. Lah ini sudah mau dua puluh menit, tapi nggak muncul-muncul juga.
Gama menarik lalu menghembuskan napas berulang kali ketika sampai di depan kamar rawat nomor 407. Kamar rawat Biya. Ada beberapa perawat berlalu-lalang, sesekali menanyakan apakah Gama membutuhkan bantuan. Gama jelas menggelengkan kepala dan menjawab, “Saya mau nengokin teman saya di kamar ini aja.” dia hanya belum siap melangkahkan kaki masuk untuk menemui Biya dan juga Dalvin.Namun, pada akhirnya dia memberanikan diri mengetuk pintu kamar rawat rumah sakit tersebut kemudian menggesernya ke samping. Gama tertegun—canggung setengah mati ketika pandang semua orang tertuju padanya. Jantung Gama pun sempat mencelus, karena melihat keadaan Biya yang sungguh mengkhawatirkan.“Emm..” Gama bergumam kikuk sembari menggaruk tengkuk kaku. Gama tahu ada banyak orang setelah tadi Arsen menginformasikan bahwa Dalvin tak datang sendirian. Gama meringis kecut, hendak melangkah keluar, namun para rekan kerja perempuan Biya buru-buru berdiri dari tempat duduk mereka masing-masing.“Pak Gama, Pak Gama
“People will miss you the moment you stop caring. The moment you’ve moved on. Because that’s how it works, most people only want you the moment they realize you no longer belong to them at all.” -r. m. drake“Even the strongest feelings expire when ignored and taken for granted.” -poestcafe.“Absence will tell you the importance of presence.” -unknown.***[“What the fuck are you doing? Gue sudah bilang, jauhin Dalvin! Gue nggak enak ke Gama dan keluarganya!”][“Lo jahat banget ke Gama, tahu, nggak?!”][“Nak, ayah nggak nyangka kamu begitu … kasihan Gama. Biya, sudah minta maaf ke Gama dan keluarganya, kan? Kalau belum, segeralah minta maaf..”]Dua minggu lagi, Biya resign dari tempat kerja dan sekarang sibuk mencari lowongan di tempat kerja lain. Biya seharusnya bisa bertahan. Sayang, Biya jatuh sakit—stress; nge-down berat akibat menerima banyak serangan dari pihak terdekat karena sudah menyakiti Gama. Alhasil, Biya dirawat di rumah sakit karena tipes. Kemarin suhu tubuhnya mencapai
“Lo mau bicarain apa sampai rela datang jauh-jauh ke sini?”Biya sudah tidak bisa mendapatkan kesempatan lagi untuk kali ke tiga, karena dia selalu membuang kesempatan yang lalu akibat nafsu semata. Biya sudah tidak punya ruang lagi di hati Gama, yang berulang kali memberi toleransi tanpa syarat dan sengaja menutup mata. Ketika kesempatan sudah habis, baru di sana manusia benar-benar mempertanyakan mengapa mereka tidak menggunakan kesempatan tersebut dengan baik.Tak jauh dari ambang pintu rumah Gama, Biya masih menangis sesenggukkan tanpa suara. Tidak mampu bicara. Air matanya tidak mau berhenti jatuh, karena nada bicara Gama sudah tak sehangat biasanya—seperti bicara pada orang asing. Hubungan memang mudah sekali untuk dihancurkan oleh nafsu sendiri, bukan? Biya menyesali semua itu.“Waktunya nggak banyak,” Gama membuka mulut lagi. Gama melipat kedua tangan di depan dada, menahan napas, dan menengadahkan kepala menatap langit yang tampak muram malam ini. Gama tidak tega melihat Biya
[Gama: Ce Biya. Sorry. I don’t want to meet you anymore.Gama: Plan selama bulan ini di cancel aja.]Gama sudah enggan berekspektasi lebih jauh—semuanya sudah hilang ditebas realita tanpa ampun dan membuktikan bahwa firasat Celine benar adanya. Meski hatinya tidak baik-baik saja, tapi dunia tetap menuntut agar dia bekerja semaksimal mungkin. Gama tidak absen; memilih menghabiskan waktu bersama beberapa kolega sehabis kerja guna mengalihkan pikiran dari Biya yang sudah mematahkan hatinya.Gama hanya datang ke perusahaan saat ada proses rekrutmen, namun dia sangat menghindari Biya yang menuntut penjelasan. Meminta jawaban mengenai kenapa mereka tidak bisa bertemu lagi. Gama juga meminta maaf pada Arsen, karena tidak akan main ke rumah untuk sekadar mengobrol atau menjalin hubungan intens seperti layaknya sahabat. Gama ingin menghindari semua hal tentang Biya setelah melihat mama dan kakaknya yang ikut menangis.Gama berusaha berdamai dengan diri sendiri sesudah meminta maaf pada mama ket