Gadis itu duduk di depan meja rias, ia hanya pasrah saat tangan-tangan profesional memoles wajah manisnya. Ia menatap dirinya di dalam cermin.
"Sedih sekali nasib mu Camellia ..." gumanya lirih pada dirinya yang berada di cermin.
"Hey cyin ... Kenapa cemberut aje," ucap si mbak perias.
"Sedih aku tuh mbak ..."
"Lah kenapa? Jodohnya ganteng lho ... Kok sedih?" tanya si mbak perias kepo
Camellia menghela nafas berat, ia bahkan tak mampu menjawab pertangaan si mbak periasnya.
Tiba-tiba seorang wanita paruh baya yang masih cantik masuk ke kamarnya, ia berjalan mendekati Camellia.
"Cantik! Good job mbak.." pujinya pada si mbak perias, yang di puji jadi salah tingkah.
"Makasih buk." jawab si mbak perias sumringah, setelah itu ia melangkah keluar meninggalkan ibu dan anak yang tengah ngobrol.
"Senyum dong mel.." ia memegang pundak sang putri. Menatap wajahnya dari pantulan cermin.
Cemellia tersenyum getir. Ingin sekali ia berteriak di depan semua orang, dan memberi tahu siapa Jerry sebenarnya.
"Claudia mana mah?"
"Ada tuh, di depan lagi nyambut tamu. Kenapa?"
Gadis itu menggeleng pelan, ia menopang dagunya, masih memikirkan hal yang sama.
"Oh ya. Kamu udah tau belum?" sang ibu menatapnya sumringah.
"Apa?" ia melihat expresi ibunya dengan malas.
"Habis nikah nanti ... Jerry mau bawa kamu pindah ke bali ..!" wanita itu terlihat bersemangat.
Dimana biasanya orang tua, terlebih seorang ibu pasti akan merasa sangat kehilangan jika anak perempuannya ikut dengan sang suami. Namun berbanding kebalik dengan wanita yang bernama ajeng ini.
"Mamah nggak sedih??" ia menatap sang ibu tak percaya.
"Ya sedih sih ... Tapi mau bagaimana lagi, kalau itu yang terbaik buat kamu kan ..."
"Mamah di kasih apa sama si Jerry itu! Sampek segininya sama anak sendiri! Aku tuh sedih tau mah ..." bulir bening meluncur bebas melewati pipi yang sudah terpoles itu.
"Sshhtt ... Mama juga sedih sayang ... " sang ibu menghapus buliran bening dari wajah anaknya. "Amel ... Dengerin mama, mama itu sayang ... Banget sama kamu, mama juga sedih kamu bakal ikut dengan suamimu, Tapi ... Hati kecil mama mengatakan kalau Jerry adalah orang yang baik, dan mama percaya itu. Kamu tau mel firasat seorang ibu pada anaknya itu selalu bener." jelas ajeng dengan lemah lembut.
Camellia bergeming, ia tak percaya, mana mungkin orang baik akan membunuh orang kan? Tapi ia juga berharap semoga firasat sang ibu benar.
"Dan Jerry ... Dia akan membiayai kuliah adikmu sampai tamat mel, mengirimi segala kebutuhan Claudia di jakarta."
"Jadi karena itu mamah begini ke aku?" ucapnya dengan terisak.
"Enggak! Bukan karena itu! Kamu tau kalau Jerry itu duda?"
Camellia menatap ajeng bingung, jelas dia tahu walaupun terlambat, tapi ajeng? Wanita itu tau dari siapa? Apa Laura yang cerita?
"Mamah tau dari mana? Apa Laura yang bilang?"
Ajeng menggeleng.
"Mamanya Jerry yang bilang, 2 hari sebelum pernikahan ini. Beliau datang kerumah dan menceritakan semua masa lalu Jerry, dan kamu tau apa yang buat mama percaya sama pria itu?"
Camellia menggeleng pelan.
"Tamara! Kamu tau siapa dia? Dia istri dokter Jerry yang meninggal di bunuh! Sebelum meninggal, tamara ingin organ yang masih berguna di tubuhnya di berikan pada orang yang mebutuhkan, dan saat itu .. kamu lagi butuh donor transpalasi jantung mel ..." ajeng menangis terisak-isak.
Camellia memandang ibunya tak percaya, ia benar-benar shock mendengar cerita lain dari Jerry.
"Dan jantung aku ini ... Punya tamara mah??"
Ajeng mengangguk lemah.
"Dokter Jerry sendiri yang mengoperasi kamu saat itu, dia minta ke mama supaya menjaga jantung yang ada di tubuhmu ini dengan baik mel.. Jadi saat dia datang melamar, mama dan papa langsung setuju, karena mama yakin dia orang yang baik dan bertanggung jawab!"
Sedikit demi sedikit rahasia Jerry terkuak, rahasia kenapa selama dua tahun menjadi asistennya, Jerry begitu cuek namun terkadang begitu khawatir saat Camellia sakit atau kecelakaan ringan. Dan ini lah sebabnya, karena jantung istrinya ada di dalam tubuh gadis itu.
Camellia kembali menangis, ia tak menyangka hidupnya akan serumit ini.
Ibu dan anak itu saling berpelukan sebelum akhirnya keluar menuju ruang yang akan di jadikan tempat berlangsungnya akad.š»
Senja menyapa kota, langit yang awalnya terang akan berganti gelap. Bulan pun menggantikan matahari untuk bertugas. Di bawah langit ada seseorang yang hati dan fikirannya tengah bimbang, sedih, takut, semuanya teraduk jadi satu.
Setelah akad tadi siang yang berbarengan dengan resepsi, malam harinya mereka akan segera berangkat ke bali.
Dan di sinilah moment-moment yang tak Camellia sukai terjadi. Sejujurnya ia benci perpisahan.
"Huuu ... Aku sedih banget kamu tinggal nikah mel ..," Laura memeluk erat tubuh sahabatnya itu.
"Iya aku juga sedih ra, do'ain aku di sana nggak kenapa-kenapa ya.." Camellia ikut menangis.
"Iya. Aku pasti do'ain kamu. Tapin.. Ntar kalau aku nikah dateng ya. Awas kalau enggak!" ancamnya, seraya melepas pelukan.
"Iya kalau aku masih hidup ya." ia tertawa getir sambil melirik Jerry yang terlihat tenang. Pria itu tersenyum sinis.
"Kak ... Hati-hati ya ... Jangan lupain adekmu ini, ntar kalau aku udah libur semester aku nyusul boleh ya," Claudia memeluk sang kakak lalu menciumi pipinya.
"Iya sayang, datang aja. Tapi jangan sendiri ya. Bawa temen minimal 10 orang,"
"10 orang???" semua orang terperanga mendengar ucapan Camellia.
"Ya ... Untuk jaga-jaga aja kan ... Kita kan nggak pernah tau, kalau ada psikopat gimana?" lagi-lagi gadis itu melirik Jerry dengan tatapan tajam.
Jerry menghela nafas kasar, ia memutar bola matanya malas.
"Iya iya deh." sambung Claudia.
Setelah puas berpelukan dan melepas kesedihan karena akan berpisah kepada ke dua orang tuanya, adik, dan juga sahabatnya, ia pun melangkah masuk ke mobil.
Sebelum masuk, Jerry juga menyalami mertuanya, dan hanya tersenyum kecil pada adik iparnya dan juga Laura, lalu setelah itu mereka pun pergi meninggalkan halaman rumah itu, menuju bandara.
"Beruntung banget kak Amel, dapet suami ganteng, dokter lagi!" ucap Claudia sembari berangan-angan.
"Makanya belajar yang rajin .. Supaya dapat suami yang mapan!" celutuk Laura.
"Emang apa hubunganya rajin sama suami yang mapan?" Claudia menatap sahabat kakaknya ini bingung.
"Ah susah ngomong sama anak kecil! Ya udah deh, kakak mau balik, om ... Tante ... laura pamit pulang ya ..." Laura menyalami Ajeng dan juga suaminya, lalu mengacak-ngacak rambut Claudia sebelum akhirnya pergi dari sana.
"Ih .. Kak Laura!" ucapnya kesal. Lalu melangkah masuk setelah Laura sudah hilang dari pandangan mereka. Dan di susul oleh ke dua orang tuannya.
š»
Tak ada pembicaraan di dalam mobil. Ke duanya saling diam, sibuk dengan fikiran masing-masing, belum lagi Camellia yang bertingkah aneh saat Jerry bergerak mencari sesuatu.
"Mau ngapain!?" tanya Camellia penuh selidik.
"Kenapa?" Jerry balik bertanya. Ia menatap Camellia penuh arti.
"jangan bun ..."
Cup
Jerry membukam mulut gadis itu dengan bibirnya. Seketika membuat mata gadis itu langsung membulat penuh.
"Jangan mikir aneh-aneh, saya cuma mau ambil permen." ucap Jerry kemudian.
Ia membuka bungkus permen, lalu memakan isinya, dan kembali bersikap seperti biasa. Seperti habis tidak melakukan apa-apa.
Camellia bergeming, ia masih tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Ia merabah bibirnya, jantungnya tiba-tiba saja berdegup kencang tak karuan.
Ia menarik nafas lalu membuangnya perlahan, usahanya untuk menenangkan degupan yang meronta-ronta.
Tiba-tiba, sebuah mobil sedan menghadang mobil yang mereka tumpangi, sontak membuat Jerry berhenti mendadak, hingga membuat Camellia terjedut.
"Aw!" rintihnya.
"Kamu nggak papa? Maaf ... " Jerry tampak khawatir, ia meniup kening putih yang terlihat memar karena terbentur itu.
Camellia memperhatikan wajah Jerry dari jarak yang sangat dekat. Dan irama jantungnya kembali tidak stabil.
"Sakit?" ia menatap Camellia yang termangu.
"Ng-nggak papa dok ... Aman." ia tertawa kecil.
Gugup? Sudah pasti. Wajah yang selalu memasang tampang cuek berubah jadi sangat perhatian, ya walaupun sesekali Jerry pernah begini, tapi bagi Camellia kali ini berbeda.
"Keluar woi!!" sergah seorang pria berbadan besar dengan tonjolan otot di lengan kanan-kirinya.
Pria berotot itu memukul-mukul kaca mobil. Dan di depan mereka berdiri lima orang pria, empat diantarnya memiliki badan besar dan berotot, dan satu orang lagi terlihat lebih tua, mungkin umurnya 50 an tahun. Ia mengenakan jas abu tua, yang sepertinya dia adalah bos dari kelima preman ini.
"Ssiapa dok?"
"Kamu tenang saja, tutup matamu ..." titahnya.
"Huh?"
"Tutup matamu Camellia ... Saya mohon!"
"O-oke."
"Jangan di buka sebelum saya bilang buka! Kamu paham?" Jerry memperingatinya sekali lagi.
Camellia mengangguk lalu memejamkan matanya. Ia mendengar Jerry keluar dari mobil dan berbicara dengan orang-orang itu, hingga akhirnya ia mendengar suara perkelahian.
Apa yang terjadi?
Apa yang sebenarnya orang-orang itu lakukan pada Jerry? Dan kenapa orang-orang itu mencari Jerry?Pria misterius."Tutup matamu Camellia ... Saya mohon!""O-oke.""Jangan di buka sebelum saya bilang buka! Kamu paham?" Jerry memperingatinya sekali lagi. Jerry beranjak keluar dari mobilnya. Ia berjalan dengan tenang menghampiri pria paruh baya tersebut. Kini keduanya saling berhadapan. Saling memancarkan raut wajah yang angkuh.Pria paruh baya itu menghembuskan asap cerutunya tepat di wajah Jerry. Kemudian ia tertawa. Tawa yang terdengar tak bersahabat. Namun Jerry tetap tenang."Mau kabur?"Pria paruh baya itu menatapnya sinis sambil menyeringai."Bukan urusan anda! Jangan ganggu kehidupan saya lagi! Kalau anda tidak ingin hal yang lebih buruk terjadi!""Waw!" pria itu bertepuk tangan, entah untuk apa.Ia memangkas jarak di antara mereka, dan berdiri sangat dekat dengan Jerry. Menatap wajah yang masih tenang itu dengan lekat."Urusan kita belum selesai!" ucap pria itu lirih
Malam pertama.Buk!"Makasi ya Dev ..." ucap Jerry pada lelaki yang menjemput mereka tadi."Oke, kalau ada perlu apa-apa kabarin aja ya mas." pria yang bernama Deva ini tersenyum ramah."Sip! Mungkin mobil Mas besok datang.""Emm." Deva mangut-mangut. Kemudian ia melirik Camellia yang terlihat terpesona dengan keadaan sekitar."Dia ... Mirip Mbak Tamara ya Mas." ucapnya lagi lirih.Jerry melirik Camellie sekilas, lalu kembali menatap deva."Mungkin.""Kamu benar mencintainya?""Entahlah ..., aku hanya ingin menjaga apa yang ada di dalam tubuh gadis itu.""Aku paham. Tapi jangan sakiti dia, sepertinya dia masih naif.""Aku mengerti.""Baiklah. Aku pergi.""Ya. Hati-hati."Deva melangkah ke mobilnya seraya pamit pada Camellia. Perlahan mobil sedan merah itu menghilang dari hadapan mereka. Camellia terlihat gugup saat Jerry menatapnya."Ayo masuk
Mentari bersinar terang menyinari pagi yang indah bagi sepasang pengantin baru. Mobil Jerry tiba menjelang fajar. Saat ini mereka tengah bersiap-siap untuk memutari alun-alun kota. Menikmati pantai hingga senja."Sudah?" tanya Jerry saat Camellia sudah duduk di sampingnya."Sudah Mas." jawab gadis itu sambil tersenyum manis. Membuat sesuatu di balik dada Jerry bergejolak.Pria tampan itu mengembalikan fokusnya. Ia menatap lurus ke depan, sebelum akhirnya mobil melaju meninggalkan halaman rumah."Jangan gunakan pakaian minim lagi Camellia! Saya tidak suka." tegur Jerry dengan mata yang masih menatap lurus kedepan.Camellia jadi memperhatikan penampilannya. Ia hanya mengenakan dres selutut tak berlengan dan sebuah topi yang menghiasi kepalanya. Apa yang salah? Baginya ini normal. Dan tidak terlihat sexy."Apa yang salah Mas? Aku cuma pakai dres biasa kok." kilahnya."Saya tetap tidak suka! Kalau bis
Perubahan Camellia.Camellia berjalan dengan tersipu menghadap suaminya. Ia sedikit canggung mengenakan pakaian yang tak pernah ia coba sekali pun seumur hidup. Ia mengenakan gamis sircle warna otak udang. Terlihat serasi menyatu dengan kulitnya yang putih.Pashmina dengan warna senada juga terbalut indah di kepalanya. Membuat wajahnya semakin enak untuk dipandang. Terbukti dengan Jerry yang biasanya cuek, mendadak terperanga untuk beberapa detik sebelum akhirnya sadar."Gimana Mas?" tanya Camellia gugup."Cantik. Kamu cantik Camellia." Jerry tersenyum kecil."Kan bener saya bilang mbak. Suaminya aja sampek melongo gitu loh tadi. Hihi" goda si mbak perias plus yang punya butik juga."Beneran bagus mas? Saya jadi gugup." ucapnya canggung. Terlebih saat Jerry memujinya. Ada sesuatu yang berdebar dibalik dadanya.Jerry mengangguk dengan senyum yang terlihat tulus. Lalu berjalan menuju meja kasir. Setelah membayar semua belanjaan. M
"Pakai ini." Jerry menyodorkan kemeja putih dan celana training yang diambilnya dari dalam tas di bagasi mobil.Camellia terlihat ragu-ragu menerimanya. Ia menatap Jerry nanar."Ini bersih kok. Belum Mas pakai.""Bukan, bukan itu. Tapi ... ""Kamu tinggal pilih, pakai ini atau telanjang." Jerry menaruh pakaian itu ke tangan Camellia. " Jangan lama." ucapnya lagi, dan berlalu dari sana.Camellia menghela nafas berat. Kenapa tidak terfikir olehnya bawa baju ganti? Ah sudahlah. Lagi pula jika membawa baju ganti pun, Camellia juga tak bisa memakai pakaian lamanya. Karena sekarang ia harus selalu memakai gamis dan kerudung saat di luar.Beberapa saat kemudian, Camellia kembali menghampiri Jerry dengan penampilan yang sudah berbeda. Kemeja kebesaran dan celana training yang kepanjangan membuat Jerry terkekeh. Tentu saja hal itu membuat Camellia keki."Kamu lebih bagus seperti ini Camellia." godanya lalu kembali ter
"Jangan salahkan saya jika besok salah satu di antara kalian mati!" ancamnya lalu melangkah menjauh dari ruangan para staf perawat dan juga dokter. Lalu di ikuti oleh 10 orang ajudannya yang berbadan kekar dan berwajah galak. Laura tak berkutik dari tempatnya, ia masih shock dengan perlakuan pria aneh tadi. Hampir saja pipi mulusnya ternodai, untungnya Nattan cepat bertindak. "Kamu nggak papa Laura?" tanya Nattan khawatir. "Huh? Em ... saya nggak papa dok, saya cuma shock karena bapak tadi mau nampar saya." jawabnya seraya terkekeh getir. Ia pun terduduk lemas di atas kursi. "Siapa sih? Udah tua juga bukannya baik-baik. Eh malah demen cari ribut." celutuk salah satu perawat bernama Ranti. "Entahlah ... sebenernya ada apa sih nyari-nyari dokter Jerry? Kalau emang pasiennya kok nggak ada ramah-ramahnya gitu! Padahal dokter Jerry juga nggak pernah tuh cuek sama pasiennya." sambung perawat yang lain. Mereka semua pun d
Camellia memandangi suaminya yang tengah duduk menatap lurus kedepan. Mereka masih duduk di balkon setelah Jerry tenang dalam tangisnya tadi. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, namun raut wajahnya terlihat ragu untuk mengatakan. "Ada apa Mas?" tanya Camellia dengan raut wajah cemas. Jerry terlihat menghela nafas berat. Ia menatap Camellia seraya menggenggam tangannya. "Saya punya rahasia kelam, Camellia ..." jawabnya dengan berat hati. "Aku tahu kok Mas ..." "Kamu tau dari mana?" Jerry menatapnya lekat dengan wajah serius. Membuat Camellia jadi gugup. "K-kan aku yang rekam dan liat langsung," ia terkekeh kecil. Jerry kembali nenghela nafas berat. Pandangannya kembali menatap lurus ke depan. "Bukan rahasia itu, tapi yang lain ... " "Ada lagi? Mas bunuh orang lagi sebelum pria itu??" Camellia menatapnya lekat dengan fikiran yang cemas. "Iya." jawabnya singkat lalu
27 tahun yang lalu ...Siang itu hujan turun dengan derasnya mengguyur bumi, semua orang sibuk menyelamatkan diri. Tapi tidak untuk seorang bocah berusia 7 tahun itu. Ia menikmati setiap tetes air hujan yang membelai tubuh mungilnya. Ia tengah berada di taman dekat dengan komplek perumahannya.Si bocah tampak sedih, air hujan menyamarkan tangisnya. Ada apa? Apa seseorang telah membuatnya terluka?“Jack!” panggil seorang wanita muda yang tengah menggendong seorang balita berusia 3 tahun seraya Menghampirinya dengan membawa payung yang melindunginya dari guyuran hujan.Sepertinya wanita itu ibu bocah yang dipanggil jack. Bocah laki-laki itu menoleh dengan raut wajah datar.“Ayo kita pulang nak ...” ajaknya saat sudah berdiri disisi jack kecil.“Kenapa ibu menyusulku? Bukankah anakmu Cuma Jerry!?” jack menatap ibunya dengan tatapan sinis.“Hey ... kenapa bicara seperti itu! Jack
Ponsel Camellia terus berdering dengan keras. Hingga membuatnya terbangun dan meraih benda pipih itu. Siapa yang menelepon dijam tiga pagi seperti ini."Halo?" suaranya terdenger serak karena bangun tidur.Camellia memindahkan tangan Jerry yang melingkar di pinggangnya. Lalu duduk dan bersadar pada tempat tidur."Oh! Akhirnya kau mengangkatnya!" suara di seberang telepon terdengar asing. Suara seorang pria yang terdengar sinis."Siapa ini?""Di mana Jerry?" si pria balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Camellia."Ada perlu apa mencarinya!?""Huh! Sombong sekali! Aku hanya ingin mengatakan bahwa ... teman kalian sebentar lagi akan jadi mayat yang mengenaskan! Hahaha"Camellia terkesiap mendengar ucapan pria itu. Tiba-tiba saja dadanya berdegup hingga menghasilkan keringat sebesar biji jagung dikeningnya.'Mungkinkah pria ini Jakcson?' pikirnya dalam hati."Maaf sepertinya anda salah sam
“Ayo!” ajaknya ketus pada Jack.Dan mulai melangkah masuk ke pelataran rumah, di ikuti oleh Jack yang masih sibuk memutar pandangannya kesegala arah. Ia bergidik dan rasanya tidak ingin berlama-lama di tempat ini.David menekan bel yang terletak disamping pintu. Tak perlu menunggu lama, seorang pria tua sudah berdiri di hadapan mereka dengan bibir mengulas senyum tipis.“Anda sudah sampai pak, ayo silakan masuk.” Ucapnya mencoba ramah.“Ayo Jack!” ajaknya pada bocah yang terlihat ketakutan saat melihat pria tua itu tadi.“Ayah ... kita pulang aja yuk. Aku takut.” Rengeknya seraya memegang ujung baju pria itu.Namun bukannya bersikap ramah, david malah melepas baju yang di tarik Jack dengan kasar. Ia menatap anak tirinya tajam.“Masuklah! Jangan menganggap bahwa aku peduli padamu!” Hardiknya lalu mendorong tubuh kurus itu untuk masuk ke sana.Setelah itu David
27 tahun yang lalu ...Siang itu hujan turun dengan derasnya mengguyur bumi, semua orang sibuk menyelamatkan diri. Tapi tidak untuk seorang bocah berusia 7 tahun itu. Ia menikmati setiap tetes air hujan yang membelai tubuh mungilnya. Ia tengah berada di taman dekat dengan komplek perumahannya.Si bocah tampak sedih, air hujan menyamarkan tangisnya. Ada apa? Apa seseorang telah membuatnya terluka?“Jack!” panggil seorang wanita muda yang tengah menggendong seorang balita berusia 3 tahun seraya Menghampirinya dengan membawa payung yang melindunginya dari guyuran hujan.Sepertinya wanita itu ibu bocah yang dipanggil jack. Bocah laki-laki itu menoleh dengan raut wajah datar.“Ayo kita pulang nak ...” ajaknya saat sudah berdiri disisi jack kecil.“Kenapa ibu menyusulku? Bukankah anakmu Cuma Jerry!?” jack menatap ibunya dengan tatapan sinis.“Hey ... kenapa bicara seperti itu! Jack
Camellia memandangi suaminya yang tengah duduk menatap lurus kedepan. Mereka masih duduk di balkon setelah Jerry tenang dalam tangisnya tadi. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, namun raut wajahnya terlihat ragu untuk mengatakan. "Ada apa Mas?" tanya Camellia dengan raut wajah cemas. Jerry terlihat menghela nafas berat. Ia menatap Camellia seraya menggenggam tangannya. "Saya punya rahasia kelam, Camellia ..." jawabnya dengan berat hati. "Aku tahu kok Mas ..." "Kamu tau dari mana?" Jerry menatapnya lekat dengan wajah serius. Membuat Camellia jadi gugup. "K-kan aku yang rekam dan liat langsung," ia terkekeh kecil. Jerry kembali nenghela nafas berat. Pandangannya kembali menatap lurus ke depan. "Bukan rahasia itu, tapi yang lain ... " "Ada lagi? Mas bunuh orang lagi sebelum pria itu??" Camellia menatapnya lekat dengan fikiran yang cemas. "Iya." jawabnya singkat lalu
"Jangan salahkan saya jika besok salah satu di antara kalian mati!" ancamnya lalu melangkah menjauh dari ruangan para staf perawat dan juga dokter. Lalu di ikuti oleh 10 orang ajudannya yang berbadan kekar dan berwajah galak. Laura tak berkutik dari tempatnya, ia masih shock dengan perlakuan pria aneh tadi. Hampir saja pipi mulusnya ternodai, untungnya Nattan cepat bertindak. "Kamu nggak papa Laura?" tanya Nattan khawatir. "Huh? Em ... saya nggak papa dok, saya cuma shock karena bapak tadi mau nampar saya." jawabnya seraya terkekeh getir. Ia pun terduduk lemas di atas kursi. "Siapa sih? Udah tua juga bukannya baik-baik. Eh malah demen cari ribut." celutuk salah satu perawat bernama Ranti. "Entahlah ... sebenernya ada apa sih nyari-nyari dokter Jerry? Kalau emang pasiennya kok nggak ada ramah-ramahnya gitu! Padahal dokter Jerry juga nggak pernah tuh cuek sama pasiennya." sambung perawat yang lain. Mereka semua pun d
"Pakai ini." Jerry menyodorkan kemeja putih dan celana training yang diambilnya dari dalam tas di bagasi mobil.Camellia terlihat ragu-ragu menerimanya. Ia menatap Jerry nanar."Ini bersih kok. Belum Mas pakai.""Bukan, bukan itu. Tapi ... ""Kamu tinggal pilih, pakai ini atau telanjang." Jerry menaruh pakaian itu ke tangan Camellia. " Jangan lama." ucapnya lagi, dan berlalu dari sana.Camellia menghela nafas berat. Kenapa tidak terfikir olehnya bawa baju ganti? Ah sudahlah. Lagi pula jika membawa baju ganti pun, Camellia juga tak bisa memakai pakaian lamanya. Karena sekarang ia harus selalu memakai gamis dan kerudung saat di luar.Beberapa saat kemudian, Camellia kembali menghampiri Jerry dengan penampilan yang sudah berbeda. Kemeja kebesaran dan celana training yang kepanjangan membuat Jerry terkekeh. Tentu saja hal itu membuat Camellia keki."Kamu lebih bagus seperti ini Camellia." godanya lalu kembali ter
Perubahan Camellia.Camellia berjalan dengan tersipu menghadap suaminya. Ia sedikit canggung mengenakan pakaian yang tak pernah ia coba sekali pun seumur hidup. Ia mengenakan gamis sircle warna otak udang. Terlihat serasi menyatu dengan kulitnya yang putih.Pashmina dengan warna senada juga terbalut indah di kepalanya. Membuat wajahnya semakin enak untuk dipandang. Terbukti dengan Jerry yang biasanya cuek, mendadak terperanga untuk beberapa detik sebelum akhirnya sadar."Gimana Mas?" tanya Camellia gugup."Cantik. Kamu cantik Camellia." Jerry tersenyum kecil."Kan bener saya bilang mbak. Suaminya aja sampek melongo gitu loh tadi. Hihi" goda si mbak perias plus yang punya butik juga."Beneran bagus mas? Saya jadi gugup." ucapnya canggung. Terlebih saat Jerry memujinya. Ada sesuatu yang berdebar dibalik dadanya.Jerry mengangguk dengan senyum yang terlihat tulus. Lalu berjalan menuju meja kasir. Setelah membayar semua belanjaan. M
Mentari bersinar terang menyinari pagi yang indah bagi sepasang pengantin baru. Mobil Jerry tiba menjelang fajar. Saat ini mereka tengah bersiap-siap untuk memutari alun-alun kota. Menikmati pantai hingga senja."Sudah?" tanya Jerry saat Camellia sudah duduk di sampingnya."Sudah Mas." jawab gadis itu sambil tersenyum manis. Membuat sesuatu di balik dada Jerry bergejolak.Pria tampan itu mengembalikan fokusnya. Ia menatap lurus ke depan, sebelum akhirnya mobil melaju meninggalkan halaman rumah."Jangan gunakan pakaian minim lagi Camellia! Saya tidak suka." tegur Jerry dengan mata yang masih menatap lurus kedepan.Camellia jadi memperhatikan penampilannya. Ia hanya mengenakan dres selutut tak berlengan dan sebuah topi yang menghiasi kepalanya. Apa yang salah? Baginya ini normal. Dan tidak terlihat sexy."Apa yang salah Mas? Aku cuma pakai dres biasa kok." kilahnya."Saya tetap tidak suka! Kalau bis
Malam pertama.Buk!"Makasi ya Dev ..." ucap Jerry pada lelaki yang menjemput mereka tadi."Oke, kalau ada perlu apa-apa kabarin aja ya mas." pria yang bernama Deva ini tersenyum ramah."Sip! Mungkin mobil Mas besok datang.""Emm." Deva mangut-mangut. Kemudian ia melirik Camellia yang terlihat terpesona dengan keadaan sekitar."Dia ... Mirip Mbak Tamara ya Mas." ucapnya lagi lirih.Jerry melirik Camellie sekilas, lalu kembali menatap deva."Mungkin.""Kamu benar mencintainya?""Entahlah ..., aku hanya ingin menjaga apa yang ada di dalam tubuh gadis itu.""Aku paham. Tapi jangan sakiti dia, sepertinya dia masih naif.""Aku mengerti.""Baiklah. Aku pergi.""Ya. Hati-hati."Deva melangkah ke mobilnya seraya pamit pada Camellia. Perlahan mobil sedan merah itu menghilang dari hadapan mereka. Camellia terlihat gugup saat Jerry menatapnya."Ayo masuk