Pagi itu, Arka bangun lebih pagi dari biasanya. Suasana rumah yang tenang terasa berbeda, ada rasa tanggung jawab dan perhatian yang menggerakkan setiap langkahnya. Pikirannya terfokus pada dua hal penting: memastikan Raka siap untuk sekolah dan memberi perhatian penuh pada Alea, yang masih lemah setelah peristiwa beberapa hari lalu. Dengan langkah cepat, Arka menuju dapur. Meskipun lelah dan kekurangan waktu, ia merasa puas bisa meluangkan waktu untuk menyiapkan sarapan sederhana. Ia memutuskan untuk membuatkan bubur ayam hangat. Sambil memasak, Arka sesekali memeriksa Raka yang sedang bersiap di ruang tengah, memastikan tas sekolah dan perlengkapan lainnya sudah siap. Ia ingin memastikan hari ini berjalan dengan lancar, meskipun hatinya terasa penuh dengan kekhawatiran terhadap Alea. Alea masih terbaring di tempat tidur, wajahnya tampak lebih cerah meskipun lelah. Arka tak bisa menahan senyum kecil saat melihat istrinya yang terlihat semakin membaik. โAlea, kamu sudah bangun?โ
Setelah rapat selesai dan semua peserta mulai membubarkan diri, Randy merasa tubuhnya sedikit lelah. Namun, yang lebih terasa adalah kegelisahan yang menggerogoti pikirannya. Sesampainya di ruang kerja, Randy duduk di kursi kulit hitam yang biasa ia gunakan, meletakkan jasnya di sandaran kursi, dan menatap kosong keluar jendela. Langit kota yang mendung, penuh awan gelap, tampak serupa dengan pikirannya yang kini berantakan. "Alea," gumamnya pelan, menyebut nama wanita yang masih menghantui pikiran dan perasaannya, meskipun mereka tidak lagi saling berhubungan erat. Randy merasa ada ketegangan yang masih tersisa di dalam dirinya, seperti ada pertanyaan yang belum terjawab dan tidak bisa ia hilangkan begitu saja. Pikirannya kembali melayang ke makan malam itu, ketika mereka bertiga. Randy, Alea, dan Arka makan bersama. Saat itu, Randy hanya menganggap Arka sebagai pasangan Alea yang tenang, tidak banyak bicara, dan tidak terlalu mencuri perhatian. Namun, pertemuan hari ini telah
Matahari telah terbenam ketika Arka tiba di rumah. Langit yang menggelap memberi kesan bahwa hari itu telah berakhir, namun ketegangan dalam hatinya terasa masih mengendap. Rumah itu terasa tenang, seperti biasa, dengan hanya terdengar suara lembut alunan musik klasik dari ruang tamu. Suasana yang menenangkan, namun bagi Arka, ada sesuatu yang membekas dalam pikiran, sesuatu yang membuat perasaan itu tak bisa begitu saja diabaikan. Dengan langkah yang sedikit lelah namun hati-hati, Arka menggantung jas kerjanya di dekat pintu. Ia melepas sepatu dan melangkah masuk menuju ruang tengah. Di sana, Alea sedang duduk di depan kanvas besar. Sinar lampu hangat memantulkan bayangan lembut pada wajahnya yang tampak serius. Alea menggerakkan kuas dengan hati-hati, menciptakan pola-pola abstrak yang memancarkan emosi. Ada ketenangan dalam gerakan tangannya, namun Arka bisa melihat sesuatu yang berbeda di balik itu. Sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, yang mungkin hanya bisa dipahami o
Pagi itu, mentari baru saja muncul di ufuk timur, memancarkan sinar lembut ke dalam rumah Arka dan Alea. Arka duduk di meja makan, menyelesaikan sarapan sederhana yang disiapkan Alea. Ia mengenakan kemeja kerja yang rapi, bersiap untuk hari yang penuh rapat dan tanggung jawab di kantor. Alea, dengan rambut yang disanggul seadanya, sedang membereskan dapur sambil sesekali mencuri pandang ke arah suaminya. Ada sesuatu di wajah Arka yang membuatnya sedikit gelisah, seperti ada beban yang tak ia ungkapkan. "Mas, kamu yakin nggak mau bawa bekal? Aku bisa bungkusin," tawar Alea sambil menyeka tangannya dengan kain lap. Arka tersenyum tipis, menggeleng. "Nggak usah, Sayang. Aku mungkin nggak sempat makan di kantor, banyak agenda hari ini." Belum sempat Alea membalas, ponsel Arka yang tergeletak di meja tiba-tiba berdering. Nama Nyonya Mirna tertera di layar. Arka meliriknya sebentar sebelum mengangkat panggilan itu. "Ibu?" Suara di seberang terdengar tergesa-gesa dan penuh kepanika
Dina berdiri di kejauhan, mengenakan pakaian hitam sederhana. Wajahnya tampak sendu, tetapi kehadirannya di sana seperti petir di siang bolong bagi Alea."Dina?" bisik Alea, hampir tak percaya.Dina berjalan mendekat, dengan langkah pelan namun penuh percaya diri. Ia menundukkan kepala sedikit saat melewati beberapa pelayat, kemudian berhenti tepat di depan Arka dan Alea."Alea, Arka ... aku turut berduka," ucap Dina dengan nada pelan, namun setiap kata terasa menusuk.Alea memandang Dina dengan sorot mata yang campur aduk antara kaget dan tak percaya. "Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya, suaranya lebih tajam dari yang ia inginkan.Dina tersenyum kecil, senyum yang sulit diartikan. "Ayah Arka adalah sosok yang aku hormati. Aku merasa perlu datang."Arka yang sejak tadi hanya diam kini menatap Dina dengan ekspresi sulit ditebak. Ia tidak menyangka Dina akan muncul di saat seperti ini. Keberadaan Dina menambah kerumitan yang selama ini ia coba hindari.Alea merasakan dadanya sesak. Di t
Rumah orangtua Arka tampak begitu sepi, seakan-akan seluruh kehidupan yang pernah mengisi rumah itu menghilang bersama prosesi pemakaman yang baru saja selesai. Suara angin yang berdesir di luar jendela hanya menambah kesunyian yang mencekam.Tidak ada lagi tawa riang, tidak ada obrolan hangat di ruang tamu yang dulunya selalu penuh dengan cerita. Semua pelayat telah pulang, membawa serta sebagian dari rasa haru yang menggelayuti keluarga Arka.Di tengah keheningan itu, Arka duduk di kursi ruang tamu yang dingin, menatap kosong ke depan. Wajahnya tampak letih, pucat, dan tak terurus. Tubuhnya kaku, seakan-akan dia telah kehilangan semua kekuatan untuk bergerak.Matanya yang biasanya tajam, kini tampak kosong, tidak mampu menatap dunia di sekitarnya. Pikirannya hanyut dalam kenangan yang datang bertubi-tubi, membawa serta penyesalan yang tak bisa dihindari. Ia merasa terjebak dalam ruang waktu yang memisahkannya dari ayahnya, yang kini sudah tak lagi ada.Alea berdiri di ambang pintu,
Keheningan yang menyelimuti rumah orangtua Arka begitu pekat, seperti udara yang semakin berat untuk dihirup. Setelah pemakaman, rumah itu tampak sepi, seakan tak ada lagi yang bisa dipertahankan.Semua pelayat sudah pulang, dan yang tersisa hanyalah keluarga yang kini terperangkap dalam kesedihan mereka sendiri. Arka, yang biasanya tampak kuat, kini hanya duduk terdiam di kursi ruang tamu, matanya kosong menatap jauh ke depan. Alea bisa merasakan betapa dalam perasaan yang sedang melanda suaminya, meskipun Arka berusaha keras untuk menahannya.Alea duduk di samping Arka, menggenggam tangannya dengan lembut, berusaha memberikan ketenangan yang sangat dibutuhkannya. Namun, keheningan itu tetap menguasai, dan setiap kali Alea berusaha berbicara, seolah kata-katanya tidak cukup untuk meruntuhkan tembok kesedihan yang dibangun Arka.โMas,โ Alea mencoba memulai, suaranya lembut, penuh pengertian, โaku di sini, jangan terlalu sedih ya.โArka hanya menggelengkan kepala pelan, matanya tak ber
Pagi itu, suasana di kantor terasa berbeda. Di ruang rapat yang biasanya dipenuhi dengan diskusi produktif dan perencanaan strategis, kini ada keheningan yang meliputi. Para karyawan duduk dengan rapi di meja besar, namun energi yang biasanya mengalir melalui ruangan itu tampak hilang.Arka, sang ketua tim, tidak hadir, dan suasana itu tidak bisa disembunyikan. Meskipun Dina, yang kini memimpin rapat sementara, berusaha menjaga agar segala sesuatunya tetap berjalan lancar, atmosfernya tetap terasa hampa.Dina berdiri di depan layar besar, mempresentasikan data dan grafik yang diperlukan untuk rapat, namun tidak ada semangat atau kegembiraan dalam suaranya. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk fokus pada presentasi, namun pikirannya terus melayang kepada situasi yang sedang dialami oleh Arka. Kehilangan orang tua adalah hal yang sangat berat, dan Dina tahu bahwa meskipun Arka tidak menunjukkannya, hatinya pasti tengah hancur.โBaiklah, mari kita lanjutkan dengan pembahasan angg
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.โIni yang terbaik,โ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.โRandy!โ panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.โMa, Pa?โAlea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. โPerusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,โ jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.โDan kamu? Apa alasanmu ada di sini?โRandy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. โAku datang untuk mendukung Alea,โ jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.โMendukung Alea?โ tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. โKamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.โRandy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. โIya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.โArka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.โRaka?โ ulangnya, nada suaranya semakin rendah. โJadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?โRandy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. โJangan lebay.โโTapi itu kenyataannya,โ Randy bersikeras dengan senyum lebar. โAku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.โโDan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.โAlea tertawa kecil. โAku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.โโFair enough,โ Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. โAku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.โAlea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. โMakasih, Randy. Akuโฆ aku senang kamu mau datang.โโSelalu, Alea,โ jawab Randy lembut. โAku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.โMalam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t
Nama itu menghantam Arka seperti petir di siang bolong.โRandy?โ ulang Arka dengan suara lebih pelan, hampir berbisik. โDia juga ada di Singapura?โโIya,โ jawab Risa di seberang telepon, nada suaranya hati-hati. โDia sopan, dan aku bisa lihat dia sangat perhatian ke Alea dan Raka. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ... aku pikir kamu berhak tahu.โArka terdiam, mencoba mencerna kabar itu. Tangannya mengepal di sisi meja, napasnya tertahan, sementara matanya terpaku pada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang kerjanya. Foto itu, yang menunjukkan dirinya, Alea, dan Raka dengan senyum lebar, kini terasa seperti kenangan dari dunia lain.โTerima kasih, Kak,โ katanya akhirnya, suaranya kaku, hampir tanpa emosi.Risa menarik napas panjang di seberang. Ia tahu kabar ini akan mengguncang Arka, tetapi ia merasa tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. โArka, aku nggak bilang ini untuk bikin kamu merasa buruk. Aku cuma ingin kamu tahu kenyataannya, apa pun itu. Alea juga
Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya menunggu, menatap Alea dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.โTapi โฆโ lanjut Alea, menarik napas dalam-dalam. โAku lelah terus berlari, Randy. Aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kita kesempatan. Meski aku nggak tahu apa aku bisa berjalan secepat kamu.โWajah Randy berubah cerah. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. โAlea, kamu nggak tahu betapa aku bersyukur dengar itu.โNamun, sebelum Randy bisa melanjutkan, Alea menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. โTapi aku juga harus jujur, Randy. Perjalanan ini nggak akan mudah. Aku masih membawa luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan aku nggak mau kamu terluka karenanya.โRandy menggenggam tangan Alea, jemarinya hangat dan penuh ketulusan. โAlea, aku nggak peduli seberapa sulitnya. Aku di sini bukan untuk mencari kesempurnaan. Aku di sini untuk berjalan bersama kamu, setapak demi setapak, sesakit apa pun itu.โAir mata akhirnya jatuh di pipi Alea. Kata-kata Randy begitu sederhana, tetap
Randy tersenyum, lalu menjawab dengan nada lembut. โAku ingin memastikan kamu benar-benar tahu kalau aku serius dengan perasaanku. Dan aku di sini bukan untuk terburu-buru. Aku di sini untuk jalanin ini sama-sama, dengan sabar, sampai kamu benar-benar yakin.โKata-kata Randy membuat hati Alea bergetar. Ia tahu Randy tulus, dan itu membuat segalanya terasa lebih rumit. Alea duduk di sofa, memandangi Randy yang masih tersenyum hangat.โRandy โฆ aku nggak tahu apa aku bisa kasih yang kamu butuhkan,โ kata Alea pelan, nadanya dipenuhi keraguan.โKamu nggak perlu kasih apa-apa, Alea,โ jawab Randy cepat. โCukup kasih aku kesempatan. Itu aja.โ***Malam itu, setelah Randy pergi, Alea duduk di sofa kecilnya dengan perasaan campur aduk. Suasana apartemennya yang biasanya hangat kini terasa hening, seolah-olah menyerap semua kebingungan yang melingkupi pikirannya. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tetapi ia masih menggenggamnya erat, seolah mencari kehangatan yang tidak bisa ia temukan dalam