Arka tiba di rumah menjelang sore. Udara dingin mulai menyelimuti jalanan saat ia memasukkan mobil ke garasi. Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya lebih lelah lagi. Pikiran tentang Alea yang terbaring di rumah sakit membuatnya tidak ingin membuang waktu lama di rumah. Ia harus segera menyiapkan perlengkapan yang akan ia bawa untuk menemani istrinya. Begitu masuk ke dalam rumah, Arka langsung menuju kamar. Ia membuka lemari dan mulai memilih pakaian yang nyaman untuk Alea. Ia juga memastikan membawa kebutuhan kecil lain seperti selimut tambahan, buku bacaan, dan beberapa camilan yang mungkin bisa membuat Alea merasa lebih baik. Ketika semuanya sudah terkemas rapi dalam tas, Arka berhenti sejenak, berdiri di tengah kamar dengan pandangan kosong. Perasaannya berat. Ia tahu, apa yang terjadi pada Alea adalah tanggung jawabnya juga. Ia tidak bisa lagi membiarkan pekerjaannya atau hal lain mengganggu apa yang seharusnya menjadi prioritas utamanya. Dengan tas di tangan, Arka bergega
Dina duduk termenung di sofa apartemennya, matanya kosong menatap layar ponsel yang sudah dimatikan sejak beberapa menit lalu. Panggilan terakhir dari Arka masih terngiang di telinganya, seperti dentuman keras yang menggetarkan hatinya. "Aku sudah memilih Alea, dan aku akan terus memilih dia." Kata-kata itu menyayat, seolah-olah Arka sedang menutup pintu di hadapannya untuk selamanya. Dina merasakan hatinya hancur perlahan, namun dia tidak bisa menangis. Tidak lagi. Ia sudah terlalu sering menangis karena Arka, terlalu lama berjuang untuk sesuatu yang pada akhirnya tidak pernah menjadi miliknya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, merasakan air mata yang ingin jatuh, tapi dia menahannya. Menangis akan membuatnya merasa lebih lemah, dan Dina tidak bisa lagi memberi Arka alasan untuk merasa kasihan padanya. Sudah terlalu lama ia bertahan dalam bayang-bayang hubungan yang tidak pernah jelas ini. Sekarang, setelah semua yang terjadi, ia merasa ditinggalkan. Seperti sebuah kenyataan p
Hari itu terasa seperti angin segar yang membawa harapan baru bagi Alea. Setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang. Meskipun tubuhnya masih terasa lelah dan ada sedikit rasa khawatir, rasa bahagia yang menyelimuti dirinya tak bisa disembunyikan. Rumah yang lama ia rindukan akhirnya menyambutnya kembali. Arka yang sejak pagi sibuk menyiapkan segala keperluan untuk pulang, kini berdiri di sampingnya, siap membantu saat Alea keluar dari ruang rumah sakit. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh perhatian saat menatap istrinya yang akhirnya bisa pulang. "Siap, sayang?" tanya Arka lembut, memastikan kalau Alea merasa cukup kuat untuk perjalanan pulang. Alea mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Ayo, aku sudah sangat rindu rumah," jawabnya dengan suara pelan, namun ada kebahagiaan yang tak terbantahkan dalam nada itu. Mereka berjalan keluar bersama, dan Arka dengan penuh perhatian mengantarkan Alea ke mobil. Perjalanan menuju ru
Pagi itu, Arka bangun lebih pagi dari biasanya. Suasana rumah yang tenang terasa berbeda, ada rasa tanggung jawab dan perhatian yang menggerakkan setiap langkahnya. Pikirannya terfokus pada dua hal penting: memastikan Raka siap untuk sekolah dan memberi perhatian penuh pada Alea, yang masih lemah setelah peristiwa beberapa hari lalu. Dengan langkah cepat, Arka menuju dapur. Meskipun lelah dan kekurangan waktu, ia merasa puas bisa meluangkan waktu untuk menyiapkan sarapan sederhana. Ia memutuskan untuk membuatkan bubur ayam hangat. Sambil memasak, Arka sesekali memeriksa Raka yang sedang bersiap di ruang tengah, memastikan tas sekolah dan perlengkapan lainnya sudah siap. Ia ingin memastikan hari ini berjalan dengan lancar, meskipun hatinya terasa penuh dengan kekhawatiran terhadap Alea. Alea masih terbaring di tempat tidur, wajahnya tampak lebih cerah meskipun lelah. Arka tak bisa menahan senyum kecil saat melihat istrinya yang terlihat semakin membaik. “Alea, kamu sudah bangun?”
Setelah rapat selesai dan semua peserta mulai membubarkan diri, Randy merasa tubuhnya sedikit lelah. Namun, yang lebih terasa adalah kegelisahan yang menggerogoti pikirannya. Sesampainya di ruang kerja, Randy duduk di kursi kulit hitam yang biasa ia gunakan, meletakkan jasnya di sandaran kursi, dan menatap kosong keluar jendela. Langit kota yang mendung, penuh awan gelap, tampak serupa dengan pikirannya yang kini berantakan. "Alea," gumamnya pelan, menyebut nama wanita yang masih menghantui pikiran dan perasaannya, meskipun mereka tidak lagi saling berhubungan erat. Randy merasa ada ketegangan yang masih tersisa di dalam dirinya, seperti ada pertanyaan yang belum terjawab dan tidak bisa ia hilangkan begitu saja. Pikirannya kembali melayang ke makan malam itu, ketika mereka bertiga. Randy, Alea, dan Arka makan bersama. Saat itu, Randy hanya menganggap Arka sebagai pasangan Alea yang tenang, tidak banyak bicara, dan tidak terlalu mencuri perhatian. Namun, pertemuan hari ini telah
Matahari telah terbenam ketika Arka tiba di rumah. Langit yang menggelap memberi kesan bahwa hari itu telah berakhir, namun ketegangan dalam hatinya terasa masih mengendap. Rumah itu terasa tenang, seperti biasa, dengan hanya terdengar suara lembut alunan musik klasik dari ruang tamu. Suasana yang menenangkan, namun bagi Arka, ada sesuatu yang membekas dalam pikiran, sesuatu yang membuat perasaan itu tak bisa begitu saja diabaikan. Dengan langkah yang sedikit lelah namun hati-hati, Arka menggantung jas kerjanya di dekat pintu. Ia melepas sepatu dan melangkah masuk menuju ruang tengah. Di sana, Alea sedang duduk di depan kanvas besar. Sinar lampu hangat memantulkan bayangan lembut pada wajahnya yang tampak serius. Alea menggerakkan kuas dengan hati-hati, menciptakan pola-pola abstrak yang memancarkan emosi. Ada ketenangan dalam gerakan tangannya, namun Arka bisa melihat sesuatu yang berbeda di balik itu. Sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, yang mungkin hanya bisa dipahami o
Alea mengingat kembali hari-hari awal pernikahan mereka, saat Arka adalah segalanya baginya. Dulu, setiap sudut rumah mereka terasa hangat. Bahkan saat pulang larut, Arka selalu memastikan untuk mengirim pesan atau menelepon, sekadar memberitahu bahwa ia akan terlambat. Tapi sekarang, tidak ada lagi kehangatan itu. Hubungan mereka seperti kapal yang perlahan hanyut tanpa arah. Sambil menatap cangkir teh yang semakin dingin, Alea bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat semuanya berubah. Terkadang, ia merasakan kebahagiaan itu bagai mimpi yang semakin pudar sulit diingat, namun terasa begitu nyata saat masih ada. Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terbungkus rapi dalam diam. Dia teringat betapa bahagianya ketika tahu dirinya hamil. Arka saat itu tampak bahagia, mencium perutnya, dan berkata, “Aku akan jadi ayah yang baik untuk anak kita.” Namun, setelah kelahiran Raka, semua perlahan berubah. Perhatian Arka seakan lenyap, digantikan dengan sikap dingin dan jara
Ketika Arka pulang malam itu, Alea menyambutnya dengan senyuman samar, meski terasa berat. Ia ingin mencoba menghidupkan kembali percakapan yang sudah lama mati di antara mereka. Namun, seperti biasa, Arka hanya membalas dengan anggukan singkat, tanpa sepatah kata. Setelah menaruh tas kerjanya di meja, Arka berjalan menuju kamar mandi tanpa melirik Alea sedikit pun. Alea hanya bisa memandangi punggung suaminya yang semakin terasa asing. Hatinya mencelos, dan rasa sepi kembali menyergap. Dulu, setiap kali mereka bertemu setelah hari yang panjang, Arka selalu punya senyum hangat dan pelukan untuk Alea. Tapi sekarang, senyum itu lenyap, menyisakan hanya keheningan yang membuat setiap sudut rumah mereka terasa dingin. Air dari kamar mandi berhenti mengalir, membuyarkan lamunannya. Beberapa saat kemudian, Arka keluar, mengenakan piyama lusuhnya, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung menuju kamar dan merebahkan diri di kasur. Alea menatapnya dari kejauhan, merasa dirinya seperti or
Matahari telah terbenam ketika Arka tiba di rumah. Langit yang menggelap memberi kesan bahwa hari itu telah berakhir, namun ketegangan dalam hatinya terasa masih mengendap. Rumah itu terasa tenang, seperti biasa, dengan hanya terdengar suara lembut alunan musik klasik dari ruang tamu. Suasana yang menenangkan, namun bagi Arka, ada sesuatu yang membekas dalam pikiran, sesuatu yang membuat perasaan itu tak bisa begitu saja diabaikan. Dengan langkah yang sedikit lelah namun hati-hati, Arka menggantung jas kerjanya di dekat pintu. Ia melepas sepatu dan melangkah masuk menuju ruang tengah. Di sana, Alea sedang duduk di depan kanvas besar. Sinar lampu hangat memantulkan bayangan lembut pada wajahnya yang tampak serius. Alea menggerakkan kuas dengan hati-hati, menciptakan pola-pola abstrak yang memancarkan emosi. Ada ketenangan dalam gerakan tangannya, namun Arka bisa melihat sesuatu yang berbeda di balik itu. Sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, yang mungkin hanya bisa dipahami o
Setelah rapat selesai dan semua peserta mulai membubarkan diri, Randy merasa tubuhnya sedikit lelah. Namun, yang lebih terasa adalah kegelisahan yang menggerogoti pikirannya. Sesampainya di ruang kerja, Randy duduk di kursi kulit hitam yang biasa ia gunakan, meletakkan jasnya di sandaran kursi, dan menatap kosong keluar jendela. Langit kota yang mendung, penuh awan gelap, tampak serupa dengan pikirannya yang kini berantakan. "Alea," gumamnya pelan, menyebut nama wanita yang masih menghantui pikiran dan perasaannya, meskipun mereka tidak lagi saling berhubungan erat. Randy merasa ada ketegangan yang masih tersisa di dalam dirinya, seperti ada pertanyaan yang belum terjawab dan tidak bisa ia hilangkan begitu saja. Pikirannya kembali melayang ke makan malam itu, ketika mereka bertiga. Randy, Alea, dan Arka makan bersama. Saat itu, Randy hanya menganggap Arka sebagai pasangan Alea yang tenang, tidak banyak bicara, dan tidak terlalu mencuri perhatian. Namun, pertemuan hari ini telah
Pagi itu, Arka bangun lebih pagi dari biasanya. Suasana rumah yang tenang terasa berbeda, ada rasa tanggung jawab dan perhatian yang menggerakkan setiap langkahnya. Pikirannya terfokus pada dua hal penting: memastikan Raka siap untuk sekolah dan memberi perhatian penuh pada Alea, yang masih lemah setelah peristiwa beberapa hari lalu. Dengan langkah cepat, Arka menuju dapur. Meskipun lelah dan kekurangan waktu, ia merasa puas bisa meluangkan waktu untuk menyiapkan sarapan sederhana. Ia memutuskan untuk membuatkan bubur ayam hangat. Sambil memasak, Arka sesekali memeriksa Raka yang sedang bersiap di ruang tengah, memastikan tas sekolah dan perlengkapan lainnya sudah siap. Ia ingin memastikan hari ini berjalan dengan lancar, meskipun hatinya terasa penuh dengan kekhawatiran terhadap Alea. Alea masih terbaring di tempat tidur, wajahnya tampak lebih cerah meskipun lelah. Arka tak bisa menahan senyum kecil saat melihat istrinya yang terlihat semakin membaik. “Alea, kamu sudah bangun?”
Hari itu terasa seperti angin segar yang membawa harapan baru bagi Alea. Setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang. Meskipun tubuhnya masih terasa lelah dan ada sedikit rasa khawatir, rasa bahagia yang menyelimuti dirinya tak bisa disembunyikan. Rumah yang lama ia rindukan akhirnya menyambutnya kembali. Arka yang sejak pagi sibuk menyiapkan segala keperluan untuk pulang, kini berdiri di sampingnya, siap membantu saat Alea keluar dari ruang rumah sakit. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh perhatian saat menatap istrinya yang akhirnya bisa pulang. "Siap, sayang?" tanya Arka lembut, memastikan kalau Alea merasa cukup kuat untuk perjalanan pulang. Alea mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Ayo, aku sudah sangat rindu rumah," jawabnya dengan suara pelan, namun ada kebahagiaan yang tak terbantahkan dalam nada itu. Mereka berjalan keluar bersama, dan Arka dengan penuh perhatian mengantarkan Alea ke mobil. Perjalanan menuju ru
Dina duduk termenung di sofa apartemennya, matanya kosong menatap layar ponsel yang sudah dimatikan sejak beberapa menit lalu. Panggilan terakhir dari Arka masih terngiang di telinganya, seperti dentuman keras yang menggetarkan hatinya. "Aku sudah memilih Alea, dan aku akan terus memilih dia." Kata-kata itu menyayat, seolah-olah Arka sedang menutup pintu di hadapannya untuk selamanya. Dina merasakan hatinya hancur perlahan, namun dia tidak bisa menangis. Tidak lagi. Ia sudah terlalu sering menangis karena Arka, terlalu lama berjuang untuk sesuatu yang pada akhirnya tidak pernah menjadi miliknya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, merasakan air mata yang ingin jatuh, tapi dia menahannya. Menangis akan membuatnya merasa lebih lemah, dan Dina tidak bisa lagi memberi Arka alasan untuk merasa kasihan padanya. Sudah terlalu lama ia bertahan dalam bayang-bayang hubungan yang tidak pernah jelas ini. Sekarang, setelah semua yang terjadi, ia merasa ditinggalkan. Seperti sebuah kenyataan p
Arka tiba di rumah menjelang sore. Udara dingin mulai menyelimuti jalanan saat ia memasukkan mobil ke garasi. Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya lebih lelah lagi. Pikiran tentang Alea yang terbaring di rumah sakit membuatnya tidak ingin membuang waktu lama di rumah. Ia harus segera menyiapkan perlengkapan yang akan ia bawa untuk menemani istrinya. Begitu masuk ke dalam rumah, Arka langsung menuju kamar. Ia membuka lemari dan mulai memilih pakaian yang nyaman untuk Alea. Ia juga memastikan membawa kebutuhan kecil lain seperti selimut tambahan, buku bacaan, dan beberapa camilan yang mungkin bisa membuat Alea merasa lebih baik. Ketika semuanya sudah terkemas rapi dalam tas, Arka berhenti sejenak, berdiri di tengah kamar dengan pandangan kosong. Perasaannya berat. Ia tahu, apa yang terjadi pada Alea adalah tanggung jawabnya juga. Ia tidak bisa lagi membiarkan pekerjaannya atau hal lain mengganggu apa yang seharusnya menjadi prioritas utamanya. Dengan tas di tangan, Arka bergega
Beberapa saat kemudian, Nyonya Mirna ibunya Arka tiba. Nyonya Mirna datang dengan wajah ramah, membawa makanan ringan dan beberapa barang kebutuhan Alea. Segera, ia duduk di samping tempat tidur Alea dan menyentuh tangan putrinya dengan lembut. “Alea, nak, kamu sudah lebih baik? Bagaimana perasaanmu?” Alea tersenyum lemah. "Lebih baik, Bu. Hanya butuh waktu untuk pulih." Ia mengangkat pandangannya ke arah ibu Arka. "Arka pasti cemas, ya?" Nyonya Mirna mengangguk dengan penuh perhatian. "Dia pasti sangat khawatir. Tapi kamu nggak perlu khawatir, Alea. Arka sudah menghubungi ibu untuk menjaga kamu hari ini. Dia akan kembali lebih cepat setelah pekerjaan selesai. Maaf kalau ibu jarang datang berkunjung, ya." Alea mengangguk pelan, merasa sedikit lebih lega dengan kehadiran ibu Arka. "Nggak apa-apa, Bu. Aku ngerti kok, rumah ibu kan jauh. Terima kasih ya, Bu, sudah menyempatkan datang dan menjaga aku di sini. Kadang aku khawatir, Bu. Tapi aku tahu aku harus kuat, untuk keluarga k
Arka merasa hatinya terombang-ambing ketika ia meninggalkan rumah sakit pagi itu. Setelah memastikan Alea tertidur dan dalam keadaan stabil, ia harus kembali bekerja. Meskipun perasaannya enggan, Arka tahu, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaan dalam waktu yang lama. Namun, ia berjanji akan segera kembali, tepat waktu. Ia mengirim pesan singkat kepada ibunya untuk memberitahukan bahwa ia akan menggantikan posisinya menjaga Alea di rumah sakit sore nanti. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Arka juga memberi tahu ibunya bahwa ia perlu datang untuk menemani Alea, karena kondisi Alea yang masih lemah dan membutuhkan perhatian penuh. Ibu Arka segera menyanggupi untuk datang ke rumah sakit dan menjaganya. Walaupun jarak rumah dan rumah sakit lumayan jauh. Dengan perasaan sedikit lebih tenang, Arka akhirnya melangkah keluar menuju mobilnya. --- Di ruang perawatan rumah sakit, Alea terbangun perlahan. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lelah setelah istirahat semalaman. Ruangan rumah
Arka mondar-mandir di kamar, ponselnya terus digenggam erat di tangan. Ia sudah mencoba menghubungi dokter berkali-kali, namun tak ada yang mengangkat. Suara detak jantungnya terasa menggema di telinga. Peluh dingin mengalir di pelipisnya, sementara Alea masih terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Arka merasa seolah ada lubang hitam yang menghisap seluruh keberaniannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, hanya bisa menunggu, meskipun waktu terasa sangat berat. "Kenapa nggak ada yang angkat sih?" gumamnya frustrasi, sambil melirik ke arah Alea yang tetap terbaring dengan tak bergerak. Rasa cemas terus menghantuinya, dan ia mulai meragukan dirinya sendiri. Mungkin ia terlalu terburu-buru membawa Alea pulang, mungkin seharusnya ia menunggu lebih lama di rumah ibu Alea. Tetapi, satu hal yang ia tahu dengan pasti adalah bahwa ia tidak bisa membiarkan Alea dalam keadaan seperti ini lebih lama lagi. Di ruang sebelah, Raka duduk di lantai