Jujur, bab ini yang paling sedih yang aku buat. Akhirnya Arka-Alea berpisah. Apakah ini menjadi kesempatan Randy untuk menjadi pasangan Alea? Penasaran? Langsung aja baca bab selanjutnya ya :)
Sebuah kafe kecil di sudut kota itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Alea duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap keluar ke jalanan yang sibuk. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, rasa sakit masih mengendap. Ia merapikan syal di lehernya, berusaha mengalihkan perasaan yang tiba-tiba menyelimutinya.“Alea,” suara Randy memecah lamunannya.Ia menoleh, tersenyum kecil ketika Randy mendekat dengan langkah tenang. “Hai, Randy. Lama nggak ketemu,” sapanya, mencoba terdengar santai.Randy duduk di depannya, menatap Alea dengan perhatian yang khas. Ia memesan secangkir kopi lalu menatapnya, matanya membaca sesuatu di balik senyuman Alea yang tipis.“Kamu terlihat … berbeda,” kata Randy, memulai percakapan.Alea mengangkat bahu, mencoba tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Sudah sebulan, dan aku mulai terbiasa. Semua ini hanya … fase, kan?”Randy memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tajam tetapi lembut. “Kamu selalu menco
Rumah keluarga Alea dipenuhi suasana haru di pagi yang tenang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela, seolah ingin menambah beban yang sudah berat di hati. Di ruang tamu, koper-koper tertata rapi, menjadi saksi diam keputusan besar yang akan membawa Alea dan Raka ke kehidupan baru di Singapura.Nyonya Kartika duduk di sofa, menggenggam tangan Alea dengan erat, seolah-olah ingin mencegah putrinya pergi. Matanya berkaca-kaca meskipun ia berusaha tersenyum.“Kamu yakin ini yang terbaik, Nak?” tanyanya, suaranya lirih tetapi penuh perhatian.Alea mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan keraguan yang terus menghantui pikirannya. “Bu, aku harus melakukannya. Ini bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk Raka. Aku ingin memberikan dia kehidupan yang lebih baik. Dan aku… aku butuh memulai sesuatu yang baru.”Tuan Darmawan berdiri di dekat jendela, memandang ke arah taman yang pernah menjadi tempat bermain Raka. Wajahnya tegas, tetapi suaranya terdengar berat ketika ia akhirn
"Urusanku bukan cuma soal kamu Alea."Kalimat itu keluar dari bibir Arka seperti pisau tajam, dingin dan tanpa emosi. Kata-kata itu terus menggema di kepala Alea, bahkan bertahun-tahun setelah ia mendengarnya.Sekarang hatinya seperti kaca yang retak—tidak pernah benar-benar utuh lagi.Dulu, Arka adalah segalanya. Sosok pria yang setiap malam memastikan pintu terkunci, memeluknya erat saat ia bermimpi buruk, dan selalu mengirim pesan, "Aku akan terlambat pulang, jangan tunggu aku, ya."Sekarang? Arka adalah pria yang bahkan tak pernah benar-benar pulang, meski tubuhnya ada di rumah. Kehangatan itu lenyap, seperti mimpi yang menguap sebelum sempat ia genggam.Alea mengingat masa-masa indah mereka, pernikahan yang penuh tawa dan janji. Saat ia mengabarkan bahwa dirinya hamil, Arka memeluknya begitu erat, mencium perutnya yang masih datar, lalu berkata dengan mata berbinar, "Aku akan jadi ayah yang terbaik untuk anak kita." Saat itu, Alea percaya bahwa bahagianya akan abadi.Tapi semuany
Pagi itu terasa seperti rutinitas yang sama, tetapi Alea tahu ada sesuatu yang berubah. Atau lebih tepatnya, sesuatu yang telah lama hilang. Ia berdiri di dapur, mengaduk kopi dengan tangan yang sedikit gemetar. Pintu kamar terbuka, suara langkah tegas yang ia kenal baik terdengar mendekat.Arka muncul dengan setelan kemeja biru dan dasi abu-abu, rapi seperti biasa. Wajahnya tetap dingin, seperti patung yang tak bernyawa. Ia tidak menatap Alea. Bahkan keberadaannya di ruangan itu terasa seperti angin yang lewat—ada, tetapi tidak menyentuh."Mas, aku udah bikin sarapan. Makan dulu ya sebelum berangkat," ujar Alea, mencoba menghangatkan suasana dengan suara selembut mungkin.Tanpa menoleh, Arka mengambil cangkir kopi yang ia tahu sudah disiapkan Alea. "Nggak usah. Aku makan di luar aja," katanya singkat, suaranya dingin seperti pagi yang beku.Alea terdiam. Napasnya tertahan sejenak, tetapi ia mencoba tersenyum kecil. "Oh ... oke. Tapi, jangan lupa makan ya, Mas. Kamu sering banget lupa
Pagi itu, langit Bandung kelabu, seperti menggambarkan suasana hati Alea yang tak pernah cerah. Setelah semalaman menunggu tanpa kepastian, Arka tak kunjung pulang.Hatinya terasa hampa, tetapi ia tetap bangkit, menyiapkan sarapan sederhana untuk Raka. Senyum kecil anaknya saat melahap roti bakar adalah satu-satunya yang masih membuat Alea merasa hidup.Seusai mengantar Raka ke sekolah, Alea mencoba menenangkan dirinya dengan berjalan-jalan di sekitar pusat kota. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya gemetar.Arka.Ia berdiri di depan sebuah kafe bersama seorang wanita. Wanita itu mengenakan dress hitam sederhana yang membalut tubuhnya dengan anggun. Rambut hitamnya panjang tergerai, berkilau diterpa sinar matahari pagi. Alea tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tetapi tubuhnya terasa kaku saat Arka tertawa kecil dan memegang bahu wanita itu dengan santai.Tangan Alea bergetar. Ia mencoba meraih ponselnya, tetapi jari-jarinya terasa lem
Alea berdiri di ruang tamu, tubuhnya seperti kehilangan kekuatan untuk menopang. Air mata terus mengalir di pipinya, tidak peduli seberapa keras ia mencoba menghentikannya. Suara pintu kamar yang terbuka kembali membuatnya tersentak. Dengan mata yang buram oleh tangis, ia melihat Arka keluar, membawa tas besar di tangan dan beberapa pakaian tergantung di lengannya.Pria itu tidak mengatakan apa-apa, hanya berjalan melewatinya seperti orang asing. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada penjelasan—hanya keheningan yang terasa lebih menyakitkan daripada ribuan kata kasar.Langkah Arka berat, tetapi tidak ragu, seperti seseorang yang telah memutuskan untuk meninggalkan sesuatu yang tidak lagi berharga baginya.“Mas,” suara Alea pecah, bergetar seperti daun di tengah badai. “Kamu mau ke mana?”Nada suaranya memohon, penuh dengan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Ia tahu, pertanyaannya mungkin terdengar sia-sia, tetapi ia tidak bisa menahan diri. Ia butuh jawaban, bahkan jika jawaban it
“Alea?” panggil Arka, nada suaranya rendah tetapi penuh ketegasan. Suara itu dingin, tanpa sedikit pun kehangatan, seperti pisau yang mengiris keheningan di koridor kantor. “Ngapain kamu di sini?”Nada itu tidak ramah, bahkan cenderung menegur, seolah kehadiran Alea adalah sebuah gangguan yang tidak diinginkan.Alea mencoba mengumpulkan kekuatan, meskipun hatinya terasa berat. “Aku mau bicara sama kamu, Mas,” katanya pelan, suaranya hampir bergetar. Matanya mencoba mencari sesuatu di balik tubuh Arka, berharap bisa melihat wanita yang tadi bersamanya.Namun, sebelum ia sempat melihat lebih banyak, Arka bergerak cepat, tubuhnya dengan sengaja menghalangi pandangan Alea.“Di luar aja,” katanya tegas, wajahnya tanpa ekspresi. “Jangan bikin ribut di kantor.”Alea terdiam, tetapi ia tahu ini bukan saatnya mundur. Dengan langkah lamban, ia mengikuti Arka keluar gedung. Angin dingin menyambut mereka di parkiran yang sepi, menciptakan suasana yang lebih mencekam.Arka berhenti di sudut yang ja
Alea menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan dari grup alumni SMA.“Reuni akbar! Jangan sampai nggak datang, ya. Kangen kalian semua!”Kata-kata itu sederhana, namun menggema dalam pikirannya. Pesan itu seperti pintu menuju masa lalu, masa di mana dirinya masih penuh tawa dan mimpi. Jauh sebelum semua ini, sebelum ia tenggelam dalam pernikahan yang hanya menyisakan luka.Ia duduk di sofa, menggenggam ponselnya erat. Pikiran-pikirannya berputar, menciptakan dialog dalam kepalanya. “Apa aku akan terlihat lemah? Apa mereka akan melihat semua retakan dalam hidupku?”Hatinya memanas dengan rasa takut, tetapi juga rindu. Reuni ini mungkin menjadi pelarian kecil, pikirnya, atau mungkin hanya pengingat betapa ia telah berubah—betapa dunianya kini jauh dari bahagia.Ponselnya kembali bergetar, pesan dari Cinta masuk. “Al, aku udah bilang ya, kamu nggak boleh nolak! Kamu harus datang. Nanti kita ketemu disana, oke?” Kalimat itu terdengar seperti tuntutan lembut yang membuat Alea tersenyum
Rumah keluarga Alea dipenuhi suasana haru di pagi yang tenang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela, seolah ingin menambah beban yang sudah berat di hati. Di ruang tamu, koper-koper tertata rapi, menjadi saksi diam keputusan besar yang akan membawa Alea dan Raka ke kehidupan baru di Singapura.Nyonya Kartika duduk di sofa, menggenggam tangan Alea dengan erat, seolah-olah ingin mencegah putrinya pergi. Matanya berkaca-kaca meskipun ia berusaha tersenyum.“Kamu yakin ini yang terbaik, Nak?” tanyanya, suaranya lirih tetapi penuh perhatian.Alea mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan keraguan yang terus menghantui pikirannya. “Bu, aku harus melakukannya. Ini bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk Raka. Aku ingin memberikan dia kehidupan yang lebih baik. Dan aku… aku butuh memulai sesuatu yang baru.”Tuan Darmawan berdiri di dekat jendela, memandang ke arah taman yang pernah menjadi tempat bermain Raka. Wajahnya tegas, tetapi suaranya terdengar berat ketika ia akhirn
Sebuah kafe kecil di sudut kota itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Alea duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap keluar ke jalanan yang sibuk. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, rasa sakit masih mengendap. Ia merapikan syal di lehernya, berusaha mengalihkan perasaan yang tiba-tiba menyelimutinya.“Alea,” suara Randy memecah lamunannya.Ia menoleh, tersenyum kecil ketika Randy mendekat dengan langkah tenang. “Hai, Randy. Lama nggak ketemu,” sapanya, mencoba terdengar santai.Randy duduk di depannya, menatap Alea dengan perhatian yang khas. Ia memesan secangkir kopi lalu menatapnya, matanya membaca sesuatu di balik senyuman Alea yang tipis.“Kamu terlihat … berbeda,” kata Randy, memulai percakapan.Alea mengangkat bahu, mencoba tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Sudah sebulan, dan aku mulai terbiasa. Semua ini hanya … fase, kan?”Randy memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tajam tetapi lembut. “Kamu selalu menco
Hari itu akhirnya tiba. Matahari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah, memantulkan cahayanya ke dinding-dinding kaca. Namun, bagi Alea, sinar itu terasa dingin, tidak membawa kehangatan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung dengan langkah mantap, meskipun hatinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah adalah perjuangan melawan beban yang tak terlihat.Begitu memasuki ruang sidang, suasana hening langsung menyelimuti. Udara terasa kaku, hampir seperti menyulitkan setiap tarikan napas. Hanya ada suara langkah kaki dan bisikan pelan dari pengacara yang terdengar samar di ruangan yang luas tetapi dingin itu.Alea berjalan menuju kursinya, matanya lurus ke depan, fokus pada meja hakim yang berdiri di depannya. Hari ini adalah hari putusan, hari di mana segala sesuatu yang pernah ia perjuangkan akan berakhir secara resmi. Ia duduk perlahan, melipat tangannya di pangkuan, berusaha mengendalikan perasaan yang bergemuruh di dadanya.Matanya melirik ke kursi kosong di sebelahnya, kursi ya
Di kamar, Alea menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia menatap ponselnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia lakukan. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa sudah waktunya untuk menghadapi semuanya, untuk benar-benar melepaskan.Ia berjalan ke kamar Raka, melihat anaknya yang tertidur pulas. Dalam keheningan malam, ia membisikkan sesuatu kepada dirinya sendiri. “Ini demi kita, Nak. Apa pun yang terjadi, aku harus melakukannya.”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tatapannya tertuju pada liontin kecil di lehernya, hadiah pernikahan dari Arka. Dengan hati-hati, ia membuka liontin itu, memperlihatkan foto kecil mereka berdua di dalamnya. Foto yang dulu membawa senyum hangat kini hanya membuat air matanya mengalir.“Aku mencintaimu, Arka,” bisiknya pelan. “Tapi aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu.”---Senja mulai turun, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang indah namun menyimpan kesedihan. Di taman yang sepi, Arka du
Pagi itu, rumah Arka terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos jendela, membentuk pola bayangan di lantai, tetapi kehangatannya seakan tidak mampu menembus udara dingin yang menyelimuti ruangan. Di meja makan, sebuah amplop cokelat besar tergeletak, mencuri perhatian dengan cap pengadilan yang tercetak jelas di atasnya.Arka memandangi amplop itu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangannya gemetar saat meraihnya, seolah-olah benda itu lebih dari sekadar dokumen.Itu adalah vonis atas hidupnya.Dengan gerakan pelan, ia membuka amplop itu, bunyi sobekannya terasa nyaring di tengah keheningan.Matanya bergerak cepat membaca isi surat itu. Setiap kata di sana seperti menambah beban di pundaknya. Surat panggilan pengadilan itu adalah hal yang paling ia takutkan selama ini, tetapi kini telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Alea telah mengambil langkahnya.Perceraian itu benar-benar akan dimulai.“Tidak, ini tidak boleh terjadi,” gumamnya, nyaris seperti bisikan
Ketukan keras di pintu terus menggema, memecah keheningan malam. Arka berdiri diam di ambang pintu, punggungnya menegang saat ia menatap siluet di depannya. Cahaya lampu jalan memperlihatkan wajah Dina yang berdiri dengan ekspresi penuh emosi.“Dina?” gumam Arka, suaranya rendah dan penuh kebingungan. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah malam.”Dina tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Arka terpaksa mundur untuk memberinya ruang. Pintu ditutup pelan di belakangnya, tetapi suasana di antara mereka terasa seperti badai yang siap meledak kapan saja.“Kita harus bicara, sekarang juga,” kata Dina dengan nada tajam. Sorot matanya menusuk, meskipun ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di dalamnya, amarah, ketakutan, dan rasa putus asa bercampur menjadi satu.Arka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dina, ini bukan waktu yang tepat. Besok saja … ”“Tidak ada besok, Arka!” potong Dina dengan suara yang meninggi. “Aku sudah cukup menung
Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti. A
Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, ek
Arka menatap Dina, mencoba berbicara dengan nada tenang meskipun ia tahu emosinya sendiri sedang kacau. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tetapi kegelisahan di dalam dadanya semakin mendesak. “Dina, aku tidak akan meninggalkan anak itu. Aku akan bertanggung jawab untuk anak ini. Tapi aku tidak bisa … aku tidak bisa menikah denganmu.” Suasana ruangan menjadi tegang. Dina menatap Arka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Antara marah, terluka, dan kecewa. Tetapi kemudian ia tertawa. Tawa itu terdengar sinis, bahkan sedikit menyeramkan, seolah ia tidak lagi memedulikan bagaimana kata-katanya akan diterima. “Oh, tentu saja. Kamu tidak bisa menikah denganku, tapi kamu bisa tidur denganku. Kamu bisa memanfaatkan perasaan ini dan kemudian berlari kembali ke Alea? Itu yang kamu sebut tanggung jawab?” Arka mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa seluruh dunia di sekitarnya runtuh. Ia ingin menjelaskan, tetapi ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan