“Bagaimana keadaannya?” tanya Morgan pada dokter Bram dengan nada yang kurang bersahabat.
Namun, siapa pun yang berhubungan dengan Morgan selama ini pasti sudah sangat hafal dengan sikap dan ucapannya itu. Jadi, mereka tidak akan muda tersinggung dengan apa yang dikatakan oleh Morgan atau pun dengan sikapnya yang memang terkenal sangat kejam itu.
“Nona Muda ini hampir saja kehilangan nyawanya dan ia juga mengalami dehidrasi, Tuan,” jawab Bram yang baru saja selesai memeriksa keadaan sang wanita.
“Siapa yang menyuruhmu memanggilnya dengan sebutan Nona Muda? Apa kau pikir di aini istriku?” tanya Morgan kasar.
“Ma-maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud seperti itu.” Suara Bram terdengar gemetar menjawab pertanyaan Morgan.
“Lalu apa? Kau tidak berpikir bahwa dia pantas untukku?” tanya Morgan lagi dan sontak membuat Leo dan Bram memandangnya dengan tatapan heran.
Morgan sendiri tidak mengerti mengapa ia menjadi orang yang tidak memiliki pendirian seperti ini. Di satu sisi ia sangat tidak ingin melihat wajah wanita yang sedang terbaring tak sadarkan diri di ranjangnya itu. Selang infus terpasang pada punggung tangan kanannya dan ada balutan perban yang memperlihatkan bercak darah di pergelangan tangan kirinya.
Menyadari bahwa sikap dan ucapannya menyebabkan kebingungan pada Leo dan Bram, akhirnya Morgan mengalihkan pandangannya pada wanita bernam Vallencia Zang itu. ia menatap wanita yang hampir mati itu dengan pandangan yang tak bisa diartikan oleh Bram, bahkan oleh Leo yang sudah di sisinya selama sepuluh tahun belakangan ini.
“Leo! Antarkan Bram ke ruangan tamu untuk istirahat!” titah Morgan pada Leo dan membuat Bram cukup terkejut.
“Baik, Tuan Muda.” Leo menjawab dengan patuh.
“Morgan! Apa-apaan ini? Aku tidak bisa tinggal di sini sekarang, ada pasien yang harus menjalani operasi setengah jam lagi dan aku harus menanganinya sendiri!” ucap Bram dengan suara lantang, mencoba untuk menolak titah Morgan.
Bram adalah sahabat baik Morgan sejak mereka masih berusia lima tahun. Orang tua mereka terlibat persaingan bisnis dan sampai saat ini masih saja bermusuhan. Untungnya, itu semua tidak merusak persahabatan Morgan dan Bram. Itu sebabnya Bram berani membantah ucapan Morgan, meski ia tahu apa yang dikatakan Morgan adalah sesuatu yang mutlak dan tidak akan bisa berubah dengan mudahnya.
Morgan melirik ke arah Bram dan bola matanya seakan tajam menusuk hingga masuk ke bola mata Bram dan membuat pria muda yang berprofesi sebagai ahli bedah itu tidak dapat berkata apa-apa lagi setelah menundukkan pandangannya.
“Baik lah. Apa yang tidak bisa kulakukan untuk Tuan Muda kaya raya dan tak terjamah seperti dirimu?” tanya Bram saat ia berusaha menyeret langkahnya dengan terpaksa menjauh dari ranjang tempat Vallen sedang terbaring.
“Jangan mengatakan sesuatu yang tidak kusenangi atau kau akan berakhir di pedalaman Papua!” ancam Morgan dan tentu saja itu tidak hanya sekedar ancaman belaka. Morgan selalu serius dengan apa yang dikatakannya dan tidak perduli pada siapa ia mengucapkannya.
“Oke … oke … antar aku ke kamarku, Leo! Aku harus bersiap siaga menunggu perintah dari Tuan Mudamu yang bujang lapuk ini. Dan kurasa kau juga akan tertular penyakitnya itu, Leo.” Bram berkata seraya berjalan meninggalkan Morgan yang masih berdiri tak berkutik di depan tubuh wanita yang ia tatap dengan penuh kebencian itu.
Morgan masih mendengar apa yang dikatakan oleh Bram, akan tetapi ia tidak menggubrisnya karena memang sudah biasa Bram mengata-ngatainya di belakang. Namun, Morgan memang tidak pernah menganggap serius candaan dan gurauan Bram padanya itu.
Bram dan Leo keluar dari kamar Morgan dan menutup pintu dengan rapat. Memang tidak ada yang bisa membantah apa pun yang dikatakan oleh Morgan selama pria itu sudah mengeluarkan titahnya dengan nada tegas dan ekspresi yang sangat serius. Bram sengaja menyindir Morgan yang memang belum menikah di usianya yang sudah menginjak tiga puluh lima tahun. Sementara Bram sendiri sudah memiliki sepasang putra dan putri yang berusia tiga dan lima tahun saat ini.
“Di mana aku sekarang?” tanya wanita yang sedang berusaha menggerakkan tubuhnya dan memandang ke sekeliling kamar yang sekarang menjadi tempatny beristirahat.
“Kau ada di kamarku! Apa kau senang bahwa sekarang kau masih hidup? Aku menyelamatkan nyawamu lagi kali ini!" jawab Morgan dengan suara yang mampu membuat binatang buas pun akan menjadi patuh dan menurut padanya.
“Kenapa kau menyelamatkanku? Aku lebih baik mati dari pada harus menjadi tawananmu!” pekik Vallen dengan sekuat tenaganya.
“Aku tidak akan membiarkan kau mati dengan mudah, Vallen! Setelah apa yang telah kau lakukan dalam hidupku, kau pikir semudah itu untuk mati? Jangan bermimpi!”
“Aku tidak pernah melakukan apa pun padamu dan aku bahkan tidak pernah mengenalmu!”
“Jangan membohongiku, Vallen! Kau tahu seperti apa jika setan kemarahan dalam diriku sudah bangit, hem?” tanya Morgan sambil mencengkram rahang Vallen dengan keras.
Hal itu membuat Vallen meringis kesakitan, dan Morgan tentu saja melihat perubahan ekspresi Vallen dengan sangat jelas. Wajahnya yang masih sangat pucat karena baru saja kehilangan banyak darah membuat ekspresi kesakitan di wajah mungil itu terlihat sangat menyedihkan. Namun, berbeda dengan Morgan yang justru merasa sangat puas setelah melihat Vallen meringis kesakitan seperti itu.
“Lepaskan aku dan biarkan aku kembali pada keluargaku!” pinta Vallen dengan nada lemah. Berbeda dengan nada yang tadi ia keluarkan saat berusaha melawan Morgan.
“Keluargamu? Keluarga yang mana yang sedang kau bicarakan? Keluarga Zang yang sudah membuangmu dan mencampakkanmu seperti sampah? Dan kau masih menaganggap mereka keluarga?” tanya Morgan dengan suara tinggi dan menggertakkan giginya dengan geram.
“Jangan mengatakan hal buruk tentang keluargaku. Mereka yang selama ini sudah merawatku dengan baik,” bantah Vallen dengan tegas.
“Bangun lah dari mimpimu, Vallen. Sadar lah siapa dirimu saat ini dan ingat lah semua yang telah mereka lakukan padamu,” ucap Morgan seperti sedang mencoba mengingatkan Vallen pada sesuatu.
Vallen tidak mengerti dengan semua yang terjadi pada dirinya hari ini. Awalnya ia hanya sedang berjalan-jalan setelah bertahun-tahun hidup di sebuah pulau terpencil. Itu karena keluargany berkata bahwa ia sedang disembunyikan dari seorang mafia yang mengincar nyawanya. Namun, saat ini mafia itu sudah melupakan tentangnya dan Vallen bisa kembali menjalani kehidupan normal di kota kelahirannya.
Tanpa diduga sekelompok orang malah menculiknya dan membawanya ke rumah pria yang memang tidak pernah ia kenali itu. Dan yang lebih membuat Vallen heran, pria itu mengenalnya dan seperti menyimpan sebuah dendam besar padanya.
“Aku tidak pernah mengenalmu, Tuan. Banyak wanita bernama Vallen di dunia ini dan kurasa kau sudah salah mengenali orang. Sebaiknya, lepaskan aku sekarang juga. Putriku pasti sangat mencemaskan diriku saat ini,” ucap Vallen dengan nada memohon pada Morgan.
Namun, hal itu justru membuat rahang Morgan mengeras karena mendengar kalimat terakhir yang dikatakan oleh Vallen.
“Putri?” tanya Morgan dengan emosi yang berusaha ia redam.
“Putri?” tanya Morgan dengan nada heran dan tak percaya.“Ya. Putri. Putriku sudah berusia sembilan tahun dan saat ini sedang menungguku di rumah. Aku pasti sudah membuatnya khawatir saat ini,” jawab Vallen dengan wajah tak berdosanya yang sangat dibenci oleh Morgan.‘Jadi ternyata ia mengandung benih dari hasil percintaannya dengan bajingan itu? Dasar manusia-manusia sampah!’ umpat Morgan dalam hatinya.Vallen menatap Morgan yang terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu hal. Vallen sendiri tidak mengetahui apa yang membuat Morgan membawanya ke rumah yang sangat megah dan super mewah ini. Yang Vallen tahu adalah dia sangat membenci Morgan karena sudah melecehkannya sesaat sebelum Vallen memutuskan untuk bunuh diri. Vallen benar-benar lupa kalau nyatanya ada Cleo yang pasti sedang menantikan kehadirannya saat ini.“Kau tidak akan bisa keluar dari tempat ini, Vallen! Ingat itu baik-baik. Semakin kau berusaha untuk keluar dari sini, akan semakin aku buat hidupmu tersiksa. Dan ya, putri
Di dalam kamar yang sama sekali tak dikenalinya itu, Vallen menangis tersedu menahan semua kepedihan yang dirasakannya saat ini. Belum lama ini ia mengalami penyiksaan dan pelecehan dari pria yang kini mengurungnya di kamar utamanya itu. Vallen masih mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya. Tadi pagi saat ia dibawa ke rumah ini oleh orang-orang tak di kenal, Vallen masih dalam keadaan tidak sadar oleh pengaruh bius yang mereka tempelkan pada indera penciumannya.Dengan hati perih dan sakit, Vallen mengingat semua yang terjadi dengan jelas. Jika tidak karena ancaman setelah diberikan penyiksaan dan pelecehan, tidak mungkin Vallen sampai berniat untuk mengakhiri nyawanya dan melupakan Cleo yang sedang menantinya saat ini di rumah.“Bangun!” hardik Morgan pada Vallen yang masih terkulai lemas di atas ranjang mewah. Bahkan, Morgan menyiramkan segelas air pada wajah Vallen hingga ia benar-benar sadar dari pengaruh obat biusnya itu.“Di-di mana aku? Siapa
Sedikit memaksa, Morgan berhasil memasukkan seluruh batang kemaluannya di dalam sana. Ia melihat wajah Vallen yang sudah banjir dengan air mata. Tidak tersisa sedikit pun rasa iba di dalam diri Morgan saat melakukan hal itu. Pria itu memaju mundurkan pinggulnya untuk memompa batang kemaluannya di dalam lembah kenikmatan yang sangat ia rindukan itu. Sepuluh tahun lamanya Morgan tidak pernah merasakan rudalnya bangkit saat bersama seorang wanita, bahkan saat wanita itu sudah berdiri tanpa sehelai benang pun di depan matanya.“Tolong … hentikan! Sangat sakit … aku bukan Vallen-mu itu,” rintih Vallen dengan suara parau karena sudah berjuang keras menahan rasa sakit akibat sodokan benda tumpul di area kewanitaannya itu.Namun, mendengar hal itu membuat Morgan semakin keras menghentakkan pinggulnya sampai ia merasakan rudalnya menyentuh dinding rahim Vallen. Suara rintihan dan teriakan Vallen seolah menjadi satu alasan yang membuat Morgan menjadi sangat bersemangat dalam menyetubuhi wanita
“Mami … di mana Mami?” tanya seorang gadis kecil berusia sembilan tahun itu pada potret yang kini sedang ditatapnya dalam sebuah bingkai kayu kecil.Cleopatra nama gadis itu dan kini masih duduk di depan pintu pada sebuah rumah sederhana yang memang sangat jauh dari keramaian. Entah kenapa Vallen memilih tempat yang jauh dari jangkauan seperti ini. Awalnya Vallen berniat untuk tinggal di rumah keluarganya, akan tetapi semua anggota keluarganya menentang hal itu dan akhirnya ayah Vallen menyarankan untuk menyewa sebuah rumah dan hidup berdua dengan Cleo di sana.Cleo yang awalnya merasa senang karena baru saja bertemu dengan seluruh anggota keluarganya, perlahan menjadi kecewa karena nyatanya tidak satu pun dari mereka yang menerima kehadirannya dan juga ibunya. Cleo mungkin masih berusia sembilan tahun, tapi cara berpikirnya dan cara ia menanggapi situasi sangat di luar batas usianya. Cleo bahkan tidak pernah terdengar merengek dan mengeluh layaknya anak seusianya.Selama ini, ia dan
“Kenapa kalian datang dan bertanya di mana ibuku?” tanya Cleo dengan raut wajah penuh kecurigaan pada Javina dan Cristian.Gadis kecil itu memandang Cristian dan Javina secara bergantian. Memang, tidak ada sedikit pun kemiripan di wajah mereka dengan wajah ibunya. Itu sebabnya Cleo tidak bisa langsung percaya pada mereka. Apalagi, mereka datang dengan sama-sama bertanya di mana keberadaan ibunya. Yang ia sendiri tidak tahu di mana ibunya berada saat ini. Padahal malam sudah menunjukkan pukul sepuluh saat ini. Masih saja tidak ada kabar tentang di mana ibunya berada.“Paman ingin bicara dengan ibumu dan mengajak kalian pindah ke rumah besar,” jawab Cristian dengan suara lembut.“Ke rumah besar? Rumah besar yang mana yang Paman maksud?” tanya Cleo penuh selidik.“Rumah yang kau datangi bersama ibumu tempo hari lalu. Apa kau lupa? Saat ibuku menolak kedatangan kalian?” Kini giliran Javina yang menjawab dan bertanya pada Cleo.Cleo tampak sedang berpikir sesuatu dan ia menatap keduanya la
“Pria mana yang Paman maksud?” tanya Cleo dengan penuh rasa ingin tahu karena ia mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Cristian meski hanya dikatakan dengan lirih oleh pria itu.Cristian yang tidak menyangka bahwa pendengaran Cleo sangat tajam, langsung menjadi serba salah karena tidak mengerti akan menjelaskan apa pada Cleo saat ini. Tidak mungkin Cristian menyebutkan tentang pria yang sama sekali tak ingin ia jelaskan pada gadis kecil di depannya itu. Cristian tak ingin Cleo sampai mengetahui siapa pria yang ia maksud.“Paman … apakah pria itu adalah mafia yang selalu kalian sebut selama ini melalui surat yang kami terima selama tinggal di pulau?” tanya Cleo dengan wajah polosnya pada Cristian.Seolah mendapat pencerahan atas apa yang akan ia katakan pada Cleo, Cristian langsung saja mengangguk membenarkan yang Cleo ucapkan padanya.“Benar, Sayang. Kau sangat pintar dan daya ingatmu sangat tajam. Paman tidak yakin, tapi sepertinya memang dia yang sudah membawa ibumu,” jawab Cr
Sepanjang malam Cristian benar-benar tidak bisa tidur sedetik pun memikirkan nasib Vallen yang ternyata memang sudah berada dalam cengkraman Morgan. Lelaki itu ternyata sangat cepat mendapatkan informasi tentang kepulangan Vallen. Apalagi, setelah sepuluh tahun berlalu ternyata dia masih saja mengawasi adiknya itu dengan sangat detail. Hingga, baru beberapa hari Vallen datang, dia sudah berhasil menculik dan menyekap Vallen.Cristian sedang memikirkan apa yang mungkin dilakukan pria itu untuk membalaskan sakit hatinya pada Vallen. Ia tahu sebesar apa kemarahan dan kebencian Morgan pada adiknya itu selama ini. Terlebih setelah Morgan melihat video mesum antara dirinya dan Vallen pada malam pertunangan mereka. Sejak itu pula lah aura kebencian Morgan terlihat sangat jelas di matanya. Apalagi, malam itu Vallen sama sekali tidak membantah tuduhan itu dan justru mengatakan hal-hal yang semakin menguatkan kebencian dan amarah dalam diri Morgan.“Paman … apa yang sedang kau pikirkan?” tanya
Dengan perasaan yang bercampur aduk, akhirnya Cristian mengantarkan Cleo sampai di depan sebuah rumah yang megah bak istana. Mobil Cristian berhenti di depan pagar rumah mewah itu dan beberapa orang penjaga langsung menghampirinya. “Maaf, Tuan, apa ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu penjaga dengan sangat ramah. “Aku ingin bertemu Tuan Morgan,” jawab Cristian dan melirik ke arah Cleo. Penjaga itu melihat sekilas pada gadis kecil yang duduk di kursi penumpang. Sesaat darahnya berdesir karena menganggap bahwa Cleo sangat mirip dengan wanita yang dibawa oleh tuannya kemarin. Namun, saat menatap sekali lagi gadis kecil itu juga terlihat mirip dengan tuannya. “Apa dia ada?” tanya Cristian seolah sengaja membuyarkan lamunan si pria penjaga. “A-ada, Tuan. Apa Anda sudah membuat janji dengan Tuan Morgan?” jawab penjaga itu dengan sedikit gugup dan kemudian bertanya lagi. “Dia yang memintaku datang ke sini bersama dengan gadis kecil ini.” “Kalau begitu, silakan masuk, Tuan. Penj
“Ayo, Crish! Mami sudah siap berkemas, lebih baik pergi sekarang juga. Sebelum ayahmu pulang dan membuat semua rencana kita berantakan,” ajak Diana kepada Cristian.“Sabar, Mom. Aku sedang mengerjakan sesuatu,” sahut Cristian dan masih asik dengan ponselnya.“Ayolah! Nanti saja kau urus ponselmu dan game itu! Kau selalu saja tidak pernah bisa diandalkan! Saat seperti ini pun kami masih sibuk bermain game,” ketus Diana dan tidak lupa sedikit kata umpatan pada anak laki-lakinya itu.Cristian sebenarnya hanya sedang mengulur waktu karena ia tidak ingin Diana benar-benar pergi saat ini. Cristian juga masih punya hati dan tidak tega jika harus mengorbankan nyawa ibunya demi menyelamatkan nyawa Lara. Jadi, sejak tadi dia berusaha untuk menyusun rencana agar bisa menyelamatkan Lara dan juga Diana dalam waktu bersamaan.Namun, ternyata semua itu terlalu sulit untuk bisa dia lakukan. Pada akhirnya alarm peringatan dari Morgan pun datang. Ia tidak bisa lagi mengelak saat ini untuk membawa Diana
Di kediamannya, Diana merasa takut karena ia sudah mendengar tentang dirinya yang sedang dalam pencarian Morgan. Sebenarnya, ia tidak perlu terlalu takut saat ini andai itu hanya Morgan saja. Diana memang sudah memutuskan untuk membunuh Vallen dan ia ternyata salah sasaran. Ia menduga gadis yang dibawa oleh Leo di dalam mobilnya itu adalah Vallen.Mereka melukai gadis itu dan kemudian Diana baru menyadari bahwa ternyata itu adalah Cleo – putri semata wayang Vallen dan Morgan. Namun, lagi-lagi tembakannya salah sasaran karena Leo dengan beraninya memberikan tubuhnya sebagai perisai dalam melindungi Cleo dari tembakannya yang brutal itu tadi.“Bukannya aku sudah bilang pada Mami untuk tidak lagi pernah menganggunya! Tapi kenapa Mami masih tetap tidak mau mendengarkan aku?” tanya Cristian dengan sangat geram pada Diana yang bersembunyi di dalam kamarnya.“Diam lah kau, Anak durhaka! Kau bahkan tidak bisa aku andalkan dalam semua hal ini. Padahal, aku melakukan semua ini tentu adalah demi
“Jangan bercanda, Sweety! Kau tidak bisa membohongiku dalam hal seperti ini! Leo tidak mungkin bisa terluka apalagi sampai harus dioperasi seperti itu. Dia tidak akan berani mati sebelum aku menyuruhnya untuk mati.” Morgan berkata dengan nada tidak percaya atas apa yang baru saja diucapkan oleh putrinya itu.“Kau harus memeriksanya ke sana sekarang juga!” titah Vallen yang merasa bahwa semua itu pasti lah benar adanya.“Aku akan menelponnya dulu untuk memastikan.” Morgan berkata lagi sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya dan kemdudian menekan tombol panggil di samping nama Leo.Tuuutt … tuuutt ….Tidak ada jawaban dari sana meski sudah beberapa kali Morgan mencoba untuk menghubungi Leo. Memang tidak seperti biasanya, karena Leo tidak pernah membuat Morgan menunggu meski hanya di panggilan kedua kali.Leo adalah kaki tangan kepercayaannya dan tidak pernah membuatnya kecewa selama ini. Mana mungkin Morgan membiarkan Leo pergi begitu saja tanpa pamit. Morgan mendecak kesal dan kemudian
Cleo sudah sampai dengan selamat di rumah sakit berkat perjuangan Leo dan juga pengorbanannya. Ia tidak akan pernah bisa sampai di tempat ini dan bertemu orang tuanya jika saja Leo tidak pasang badan dalam melindunginya dari tembakan orang tidak dikenal saat dalam perjalanan tadi.Saat sampai di rumah sakit, Morgan segera memeluk putrinya itu dengan rasa bahagia dan haru. Meski tetap saja awalnya ia mendapatkan penolakan dari Cleo dan itu tidak mengapa bagi Morgan. Ia mengerti karena Cleo masih dalam keadaan marah padanya perihal kondisi Vallen saat ini.“Tuan … maafkan aku kalau tidak bisa menjaganya dengan maksimal. Nona kecil terluka di lengannya karena pecahan kaca mobil,” ucap Leo saat menghantarkan Cleo ke dalam ruangan perawatan Vallen.“Kau! Kenapa bisa putriku terluka?” tanya Morgan dengan marah dan melayangkan satu pukulan keras pada perut Leo.“Daddy! Stop! Paman Leo sedang terluka!” teriak Cleo dengan sangat keras dan membuat rencana hantaman Morgan terhenti.“Itu sudah me
“Sayang … kapan kau akan bangun? Sudah empat jam kau belum juga membuka mata. Apa kau memang tidak ingin lagi bertemu denganku? Bagaimana dengan kejutan yang sudah aku persiapkan untukmu? Apa kau sama sekali tidak ingin menunggunya datang? Dia pasti akan sangat sedih jika kau tidak menyambut kedatangannya nanti,” ungkap Morgan dengan untaian pertanyaan yang ia lemparkan kepada Vallen.Tubuh wanita itu masih tergelatak di atas ranjang rumah sakit dan belum ada tanda-tanda dia merespon setiap yang dikatakan oleh Morgan. Sejak Morgan menemaninya di dalam ruangan ini, tidak sebentar pun Morgan berhenti mengajak berbicara.Ia masih terus berharap bahwa Vallen bisa membuka matanya sebelum Cleo datang. Ia tahu bahwa Cleo akan mencecarnya dengan makian nanti karena sudah membuat Vallen seperti sekarang ini. Cleo sudah terlalu lama memendam rasa rindunya kepada Vallen. Namun, sekarang ketika mereka akan bertemu kejadian tak terduga ini terjadi.“Selamat siang, Tuan Muda. Kami ingin memeriksa k
Tiga jam sudah berlalu sejak Vallen berada di ruang perawatan dengan semua jenis alat medis yang menempel pada tubuhnya. Morgan merasa sangat teriris ketika melihat hal itu dan dia bahkan terus menangis menyalahkan dirinya.Sesekali ia akan mengelus perut buncit Vallen dan kemudian mengecupnya dengan sangat lembut. Vallen sudah melewati masa-masa kriti, tapi masih dalam masa observasi karena dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk ia bisa kembali sadar dari pingsannya.“Sayang … buka matamu sekarang. Apa kau tidak ingin melihat kejutan yang sudah aku persiapkan untukmu? Aku rasa, sudah waktunya kau untuk tahu hal itu dan maafkan aku jika selama ini harus membuatmu menderita. Semua itu demi kebaikan dirimu dan juga putri kita – Cleo!” ungkap Morgan dengan suara yang sangat lembut seperti berbisik kepada Vallen yang masih memejamkan matanya.Morgan mengeluarkan ponselnya dan kemudian menghubungi Leo yang tadi ia perintahkan untuk menjemput seseorang dan sampai saat ini belum juga sampai
Di dalam kamarnya, Vallen masih terisak ketika ia tidak bisa membayangkan hal menyakitkan itu terjadi dalam hidupnya. Lagi … ia disakiti oleh pria yang dicintainya. Dan kali ini benar-benar sudah tidak bisa untuk ia maafkan. Vallen tidak akan pernah memberikan kesempatan pada seseorang yang sudah berkhianat darinya. Ia tidak ingin terlihat rendah dengan memberikan maaf lalu menerimanya, seolah tidak ada yang pernah terjadi dalam hubungan mereka sebelumnya.Ia menghapus sisa-sisa air matanya yang kini menyisahkan sesenggukan dan juga isakan tidak bersuara. Ia mencoba kuat dan tegar dengan semua yang sudah terjadi. Vallen merasa bahwa semua ini memang sudah tidak bisa lagi untuk diperbaiki.“Baik. Aku akan membuatmu menyesal karena sudah berani menyakitiku. Aku tidak akan pernah tinggal diam dengan semua ini,” gumam Vallen dengan penuh tekad.Sementara itu, dia mengambil ponselnya dan melihat tidak ada hal yang perlu ia khawatirkan lagi sekarang. Vallen berpikir keras seolah sedang meng
“Sayang … ada apa denganmu? Apa yang terjadi sampai kau berkata dan bersikap kasar padaku?” tanya Morgan heran kepada Vallen.Namun, wanita mengandung itu memilih berjalan meninggalkan Morgan yang menatapnya dengan heran dan juga bingung. Ia tidak mengerti sama sekali di mana letak kesalahannya pada Vallen kali ini. Ia mengekor di belakang Vallen karena merasa masih butuh penjelasan dari sang pujaan hatinya.Sementara itu, para koki dan pelayan kembali melanjutkan pekerjaannya di bawah arahan dan pantauan dari bibi Jane. Bibi Jane memang hanya bertugas sebagai pengawas para pekerja di rumah itu semenjak ia sudah tidak lagi kuat untuk beraktifitas seperti biasa. Morgan menaikkan jabatannya karena memang sejak dulu pun Morgan tidak memberikan pekerjaan yang rumit untuk bibi Jane.“Sayang … tunggu aku! Apa ini semua?” tanya Morgan yang terus mengikut Vallen.“Apa semua ini? Apa maksudmu dengan pertanyaan itu? Aku sungguh tidak mengerti!” jawba Vallen dengan kembali bertanya.“Maksudku …
“Nona Muda … apa yang sedang kau lakukan?” tanya seorang pelayan di dapur kepada Vallen.“Aku tidak melakukan apa pun. Aku hanya sedang ingin memasak sop iga sapi dengan tanganku sendiri,” jawab Vallen dan tetap melanjutkan pekerjaannya.“Biarkan koki saja yang memasaknya, Nona. Nanti tuan muda bisa marah besar kalau dia tahu Anda berada di dapur lagi,” ucap pelayan itu dengan sangat takut.“Kenapa dia harus marah? Aku tidak memasak untuk dirinya, dan aku memang sedang ingin memasak sendiri. Justru kalau dia melarangku, maka aku lah yang akan marah besar!” ungkap Vallen kepada pelayan itu dengan nada tinggi dan emosi.Pelayan yang mendengar ucapan Vallen itu tentu saja langsung merasa tidak berdaya. Para koki yang sejak tadi berdiri di dapur pun hanya bisa diam dan menyaksikan tangan majikannya bergerak cepat mempersiapkan segalanya. Vallen tidak terlihat seperti istri seorang yang berkuasa sama sekali. Dia sangat lihai mengerjakan pekerjaan memasaknya dan sejak tadi para koki hanya m