Eleanor menatap layar ponselnya dengan jantung berdebar. Pesan itu… terasa seperti peringatan.
Ia menggigit bibir, mencoba mengabaikannya. Mungkin ini hanya lelucon? Tapi siapa yang akan mengiriminya pesan seperti itu? Tak ingin berpikir lebih jauh, ia menghela napas dan meletakkan ponselnya di samping bantal. Namun, bahkan saat ia mencoba tidur, pikirannya terus dihantui kata-kata di pesan tadi. Keesokan paginya, Eleanor bangun dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Tidur semalam rasanya sia-sia. Saat ia menyeret tubuhnya keluar kamar, ibunya sudah duduk di ruang makan dengan tatapan serius. "Eleanor, duduklah sebentar," kata ibunya. Eleanor mengerutkan kening. "Ada apa, Bu?" Ibunya menggeser majalah ke arahnya. Di sampul depan, ada foto Nathaniel dengan seorang wanita. "CEO Muda Nathaniel Aldric Terlihat Bertemu dengan Wanita Misterius—Apakah Ini Akhir dari Pertunangannya?"Eleanor duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Pesan yang baru saja ia terima membuat jantungnya berdebar dengan tidak nyaman. "Kau pikir dia benar-benar mencintaimu? Jangan terlalu percaya. Tidak semua yang terlihat indah itu nyata." Kalimat itu singkat, tetapi cukup untuk menimbulkan rasa waspada dalam dirinya. Siapa yang mengirim pesan ini? Vanessa? Atau seseorang yang bahkan tidak ia ketahui? Ia menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan perasaan gelisah yang mulai merayap di hatinya. Ia menghela napas panjang dan mematikan layar ponselnya, berharap bisa melupakan pesan itu. Namun, kata-kata tersebut terus terngiang di kepalanya sepanjang malam. Tidurnya gelisah. Berulang kali ia terbangun dan memeriksa ponselnya, berharap ada pesan lain yang mungkin menjelaskan maksud dari peringatan tersebut. Namun, tidak ada pesan lanjutan. Keesokan paginya, Eleanor memutuskan untuk pergi k
Setelah percakapannya dengan Nathaniel di kantor, kepala Eleanor terasa penuh. Pria itu terlalu tenang menghadapi semuanya, seolah-olah gosip, Vanessa, dan segala peringatan yang mengarah padanya hanyalah angin lalu. Tapi bagi Eleanor, ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja! Maka, sore itu, ia kembali menemui Nathaniel di apartemennya. Tanpa pemberitahuan. Nathaniel membuka pintu dengan ekspresi bingung. "Lagi?" "Aku punya pertanyaan," kata Eleanor langsung, melangkah masuk tanpa menunggu undangan. Nathaniel memijit pelipisnya, lalu menutup pintu. "Sepertinya kau terlalu nyaman keluar-masuk rumahku." Eleanor menoleh cepat. "Dengar, Nathaniel. Aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang Vanessa katakan." Pria itu mendesah. "Apa kita harus membahas ini lagi?" "Ya! Karena kau tidak pernah benar-benar menjelaskan apa pun padaku!" Eleanor melipat tangan, mena
Hari pernikahan akhirnya tiba. Sejak pagi, kediaman keluarga Eleanor sudah dipenuhi kesibukan. Para penata rias berlalu-lalang, dekorasi diperiksa ulang, dan suara panitia yang sibuk memastikan segalanya berjalan sempurna. Eleanor duduk di depan cermin rias, mengenakan gaun putih elegan dengan veil menjuntai di punggungnya. Tangannya sedikit gemetar saat menyentuh gaun itu. "Kau gugup?" suara ibunya terdengar dari belakang. Eleanor menatap ibunya melalui pantulan cermin dan tersenyum tipis. "Sedikit." Ibunya berjalan mendekat, lalu menggenggam tangannya. "Tidak apa-apa merasa gugup. Ini hari besar untukmu." Eleanor mengangguk. "Aku hanya… tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini." Ibunya tersenyum lembut. "Kau dan Nathaniel mungkin sering berdebat, tapi aku bisa melihat bahwa dia memperhatikanmu dengan caranya sendiri." Eleanor tertawa kecil. "Ya, dengan caranya yang menyebal
Malam pertama di rumah Nathaniel, Eleanor mencoba menyesuaikan diri. Setelah Nathaniel keluar dari kamar, ia membereskan beberapa barangnya di dalam lemari. Suasana kamar yang luas dan mewah itu masih terasa asing, tapi tidak ada pilihan lain selain beradaptasi. Setelah selesai, ia masuk ke kamar mandi dan mengganti bajunya dengan piyama yang nyaman. Ia duduk di sofa sambil membaca buku yang dibawanya dari apartemen. Waktu berlalu tanpa terasa, hingga matanya mulai terasa berat. Nathaniel masih belum kembali. Eleanor tidak terlalu peduli, ia hanya naik ke tempat tidur dan menarik selimut. Tidak ada alasan untuk menunggunya. Keesokan paginya, ia terbangun karena suara samar dari luar kamar. Setelah mencuci muka, ia turun ke lantai bawah. Nathaniel sudah duduk di meja makan, menikmati kopi sambil membaca dokumen. Eleanor berjalan mendekat dan duduk di kursi seber
Pagi hari di rumah Nathaniel terasa berbeda bagi Eleanor. Ia terbangun di tempat tidur luas dengan selimut yang masih rapi di sisi lain. Nathaniel pasti sudah bangun lebih dulu. Setelah mandi dan turun ke lantai bawah, ia melihat pria itu duduk di meja makan dengan kopi dan koran di tangannya. "Selamat pagi," sapa Eleanor sambil berjalan ke dapur. Nathaniel hanya mengangguk tanpa menoleh. Eleanor membuka kulkas, melihat bahan makanan yang ia beli kemarin. Ia memutuskan untuk membuat sarapan. "Kau mau omelet atau roti panggang?" tanyanya. "Apa saja." Eleanor mendengus pelan. "Jawabanmu selalu tidak membantu." Nathaniel hanya menyeruput kopinya. Beberapa menit kemudian, Eleanor meletakkan piring berisi omelet di depannya. Nathaniel menatapnya sebentar seb
Setelah sarapan yang penuh perdebatan kecil tadi, Eleanor duduk di sofa ruang tamu, menggulir layar ponselnya tanpa fokus. Pikirannya masih dipenuhi keinginan untuk kembali melukis. Sudah terlalu lama ia meninggalkan studionya sejak pernikahan ini terjadi. Matanya melirik ke arah Nathaniel yang sedang membaca dokumen di seberang ruangan. Pria itu tampak sibuk seperti biasa, tapi Eleanor tahu ia harus berbicara sekarang sebelum suasana berubah menjadi lebih sulit. Ia menarik napas dan bangkit dari sofa, berjalan mendekat lalu berhenti di samping Nathaniel. "Aku ingin pergi ke studionya hari ini," katanya langsung. Nathaniel tidak langsung menanggapi. Ia hanya membalik halaman dokumen dengan tenang sebelum akhirnya menoleh padanya. "Studio?" "Ya, tempat aku biasa melukis. Aku sudah lama tidak ke sana," jawab
Pagi datang dengan suasana yang sama seperti sebelumnya. Eleanor terbangun dan menatap langit-langit kamar sebelum akhirnya menghela napas panjang. Hari ini ia bertekad untuk menjalani segalanya dengan lebih santai, tanpa memikirkan hal-hal yang membuatnya kesal. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia turun ke ruang makan. Nathaniel sudah duduk di sana dengan secangkir kopi di tangannya, seperti biasa. “Pagi,” sapa Eleanor sambil duduk. Nathaniel meliriknya sekilas. “Pagi.” Pelayan datang dan menyajikan sarapan untuk Eleanor. Ia mulai makan dengan tenang, mencoba menikmati makanannya seperti yang kemarin ia ajarkan pada Nathaniel—walaupun pria itu tampaknya tetap dengan caranya sendiri yang serius dan tanpa ekspresi. “Jadi, hari ini kau ada urusan?” tanya Eleanor sambil menyendok sarapannya. Nathaniel menyesap kopinya sebelum men
Setelah kembali dari studionya, Eleanor masuk ke rumah dengan langkah santai. Hari ini terasa cukup menyenangkan baginya—setidaknya ia bisa kembali melukis dan merasa seperti dirinya sendiri lagi. Saat melepas sepatu, ia melihat Nathaniel berdiri di ruang tamu dengan jaket yang sudah dikenakannya. Pria itu menatapnya sekilas sebelum berbicara. "Pergi bersiap-siap. Kita keluar." Eleanor mengerutkan dahi. "Ke mana?" "Mall." Eleanor memiringkan kepalanya, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Mall? Kau bercanda?" Nathaniel menatapnya datar. "Aku tidak pernah bercanda soal hal seperti ini." Eleanor mengerutkan keningnya. "Dan kenapa tiba-tiba kita ke mall?" "Kau butuh banyak barang, kan? Ini lebih efisien daripada memesan satu per satu," jawab Nathaniel santai. Eleanor masih mena
Eleanor berjalan menuju kamarnya dengan langkah cepat, tapi pikirannya masih berkecamuk. Pertanyaan Nathaniel tadi terus terngiang di kepalanya. Apa kau mulai merasa nyaman denganku? Ia mendesah pelan, berusaha menepis perasaan aneh yang mulai muncul dalam dirinya. Ini tidak boleh terjadi. Ia tidak boleh lengah. Namun, bayangan tatapan serius Nathaniel dan nada suaranya yang berbeda dari biasanya tetap melekat dalam benaknya. Setelah berganti pakaian dan bersiap untuk pergi, Eleanor turun kembali ke ruang tamu. Nathaniel masih di sana, berdiri dengan kemeja putihnya yang sudah tertata rapi, siap untuk berangkat ke kantor. Saat pria itu melihatnya, ia mengangkat alis. "Kau mau ke butik hari ini?" Eleanor mengangguk. "Ya, ada beberapa hal yang harus aku urus." Nathaniel menatapnya sesaat sebelum akhirnya berkata, "Aku bisa mengantarmu." Eleanor terkejut, lalu buru-bu
Setelah perjalanan yang terasa lebih lama dari seharusnya, mobil akhirnya berhenti di depan butik Eleanor. Wanita itu buru-buru membuka pintu dan keluar, seolah ingin segera menjauh dari aura mengganggu yang ditimbulkan oleh kehadiran Nathaniel di sisinya. Nathaniel menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. "Aku jemput nanti?" Eleanor menoleh sekilas, mencoba mencari alasan untuk menolak, tapi pada akhirnya hanya mengangguk kecil. "Terserah." Nathaniel tersenyum tipis mendengar jawaban itu. "Baiklah, sampai nanti." Tanpa menunggu lebih lama, Eleanor segera masuk ke dalam butiknya. Ia merasa perlu menenangkan pikirannya sebelum emosinya semakin kacau. Namun, begitu ia melangkah masuk, seorang pegawainya, Lisa, langsung menyambut dengan tatapan penuh selidik. "Kak Eleanor... tadi aku lihat bos besar nganterin kakak?" tanyanya dengan nada penasaran. Eleanor menghela napas panjang. "Jangan
Pagi di apartemen terasa lebih tenang dari biasanya. Eleanor terbangun sedikit lebih awal dari alarmnya, matanya masih setengah terpejam saat ia menyadari suasana di sekelilingnya. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat bahwa ini bukan kamarnya di rumah lama, melainkan apartemen tempat ia tinggal bersama Nathaniel.Ia menghela napas pelan sebelum turun dari tempat tidur. Setelah mencuci muka dan mengganti pakaian, Eleanor keluar dari kamar, sedikit terkejut saat melihat Nathaniel sudah berada di dapur, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku.Pria itu sedang menuangkan kopi ke dalam cangkirnya sendiri, lalu melirik sekilas ke arah Eleanor. “Pagi.”Eleanor berjalan mendekat. “Kau bangun lebih awal.”Nathaniel menyesap kopinya sebelum menjawab. “Aku memang selalu bangun pagi.”Eleanor mengangguk pelan. Ia sempat melirik meja makan dan menemukan satu cangkir tambahan di sana. “Kau buatkan kopi untukku juga?”
Malam semakin larut, tetapi Eleanor masih belum bisa tidur. Pikirannya terus berputar, mengingat bagaimana Nathaniel mulai berubah. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu, dalam caranya berbicara, yang terasa berbeda.Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit dengan napas pelan. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, dan itu membuatnya frustrasi.“Apa aku terlalu banyak berpikir?” gumamnya pelan.Namun, meskipun ia mencoba mengabaikannya, kenyataan bahwa Nathaniel tidak lagi terasa seperti pria dingin yang dulu ia kenal tetap menghantuinya.Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamarnya. Eleanor menoleh, sedikit terkejut.“Eleanor,” suara Nathaniel terdengar dari luar. “Kau masih bangun?”Eleanor ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Iya, ada apa?”Nathaniel tidak langsung menjawab. Ada jeda singkat sebelum akhirnya ia berkata, “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”
Pagi datang dengan sinar matahari yang perlahan menerobos tirai kamar. Eleanor menggerakkan tubuhnya sedikit, matanya masih setengah terpejam. Ia merasa hangat, lebih nyaman dari biasanya.Saat kesadarannya kembali sepenuhnya, ia menyadari sesuatu—ada lengan kuat yang melingkar di pinggangnya.Jantungnya langsung berdetak lebih cepat. Dengan hati-hati, ia menoleh dan menemukan dirinya berada dalam pelukan Nathaniel.Lelaki itu masih tertidur, napasnya teratur, dan wajahnya tampak lebih tenang dari biasanya. Biasanya, Nathaniel selalu menjaga jarak darinya. Tapi sekarang…Eleanor menelan ludah, tidak yakin harus berbuat apa. Ia mencoba bergerak pelan agar tidak membangunkannya, tetapi saat ia sedikit bergeser, cengkeraman lengan Nathaniel justru mengerat."Jangan gerak," suara Nathaniel terdengar, serak dan dalam.Eleanor membeku. "Kau sudah bangun?"Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum akhi
Eleanor masih terdiam di tempatnya, merasakan hembusan angin malam yang menyapu wajahnya. Perkataan Nathaniel barusan membuatnya kehilangan kata-kata. Ia tidak menyangka pria itu akan mengatakannya secara langsung seperti itu.Nathaniel tetap berdiri di hadapannya, menunggu reaksi. Tapi Eleanor hanya mengalihkan pandangan, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba tidak teratur."Apa kau selalu mengatakan hal seperti itu kepada semua wanita?" tanya Eleanor akhirnya, berusaha terdengar santai.Nathaniel menatapnya tanpa ekspresi. "Tidak."Jawaban singkat itu justru semakin mengganggunya. Eleanor berdeham pelan, mencoba mengembalikan kontrol atas emosinya. Ia tidak boleh terbawa suasana."Kau terlalu percaya diri, Nathaniel," katanya, berusaha tersenyum sinis. "Aku tidak merasa terganggu."Nathaniel tidak langsung membalas. Ia hanya mengamati Eleanor dengan mata tajamnya, seolah membaca setiap kebohongan kecil dalam kata
Keesokan harinya, Eleanor berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya sebelum pergi. Gaun sederhana berwarna navy yang ia pilih terasa nyaman, dan riasannya cukup natural, tidak terlalu mencolok.Nathaniel yang baru keluar dari kamar mandi sempat meliriknya sekilas. "Kau terlihat baik-baik saja," komentarnya singkat.Eleanor menoleh. "Memangnya aku terlihat buruk sebelumnya?" tanyanya, sedikit mengangkat alis.Nathaniel hanya mengangkat bahu, tak ingin memperpanjang pembicaraan. "Ayo berangkat."Di perjalanan menuju kediaman keluarga Nathaniel, suasana di dalam mobil terasa lebih tenang dari yang ia bayangkan. Nathaniel tidak banyak bicara, hanya sesekali melirik ke luar jendela, sementara Eleanor berusaha menenangkan pikirannya.Begitu mereka tiba, pintu besar rumah keluarga Nathaniel sudah terbuka lebar, menyambut kedatangan mereka. Beberapa pelayan berlalu-lalang, menyiapkan hidangan di ruang makan."Eleanor!" Suara hang
Eleanor masih berdiri di samping Nathaniel, memperhatikan interaksi pria itu dengan Vivian. Meskipun ekspresi Nathaniel tetap datar, Eleanor bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. Seperti ada sejarah yang belum ia ketahui.Vivian tersenyum tipis, lalu mengambil segelas sampanye dari pelayan yang lewat. "Jadi, bagaimana kehidupan pernikahanmu, Nathaniel?"Nada suaranya terdengar terlalu santai, seolah-olah ia sedang menunggu jawaban yang menarik.Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Vivian beberapa detik sebelum berkata, "Cukup baik."Vivian mengangkat alis. "Hanya 'cukup baik'?"Eleanor merasakan Vivian sedang mencoba memancing sesuatu. Ia bisa saja diam dan membiarkan Nathaniel menangani ini, tapi tiba-tiba ia merasa tidak ingin membiarkan wanita itu berpikir bahwa dirinya bisa meremehkan mereka.Ia tersenyum manis dan meraih lengan Nathaniel dengan santai. "Mungkin bagi Nathaniel itu 'cukup
Pagi itu, Eleanor duduk di meja makan, menyeruput kopinya dengan pelan. Matahari pagi masuk melalui jendela besar, menciptakan bayangan lembut di sekeliling ruangan. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata Nathaniel tadi malam."Karena kamu adalah istriku."Kalimat itu sederhana, tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalamnya yang terasa lebih dari sekadar pernyataan biasa.Nathaniel duduk di seberangnya, menikmati sarapannya seperti biasa. Tatapan Eleanor sesekali melirik pria itu, tapi ia tidak mengatakan apa-apa."Aku akan menjemputmu pukul tujuh malam," ujar Nathaniel tiba-tiba tanpa menoleh.Eleanor meletakkan cangkir kopinya dan menatapnya. "Aku belum bilang aku setuju untuk datang."Nathaniel akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Eleanor dengan santai. "Aku tahu kamu akan datang."Eleanor mendengus. "Kenapa kamu terdengar begitu yakin?"Nathaniel menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tetap tena