Eleanor tidak bisa tidur malam itu. Pikirannya masih dipenuhi dengan apa yang terjadi di gala. Wajah Vanessa, percakapan misteriusnya dengan Annelise, dan cara Nathaniel bersikap seolah semua itu bukan sesuatu yang penting—semuanya terus berputar di kepalanya.
Siapa sebenarnya Vanessa? Dan apa yang ia bicarakan dengan Annelise? Eleanor mencoba mengabaikan pikirannya, tapi rasa penasaran terus menghantuinya. Ia membalikkan tubuh di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan perasaan gelisah. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan Vanessa selalu muncul. Keesokan paginya, Eleanor bangun dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Ia baru saja akan turun ke dapur untuk mengambil segelas kopi ketika ponselnya berbunyi. Nathaniel Aldric menelepon. Eleanor mengerang frustrasi sebelum akhirnya mengangkat telepon dengan malas. “Apa?” Suara Nathaniel terdengar tenang seperti biasa. “Aku menjemputmu dalam lima belas menit. Kita akan pergi.” Eleanor mengernyit. “Pergi ke mana?” “Ke kantorku. Ada sesuatu yang perlu kita bahas.” Klik. Nathaniel menutup telepon sebelum Eleanor sempat membantah. Astaga, pria ini benar-benar tidak bisa diajak diskusi! Lima belas menit kemudian, Eleanor sudah berada di dalam mobil Nathaniel. Ia menatap pria itu dengan curiga. “Jadi, kenapa tiba-tiba aku harus ikut ke kantor?” Nathaniel tetap fokus menyetir. “Karena mulai sekarang, kau akan sering terlihat di sekitarku. Akan lebih mudah jika kau mulai terbiasa.” Eleanor mendesah. “Jadi aku harus berpura-pura jadi tunangan CEO besar?” Nathaniel menatapnya sekilas. “Kau memang tunanganku.” Eleanor mendengus. “Dalam keadaan yang terpaksa.” Nathaniel tidak menjawab. Begitu mereka sampai di gedung Aldric Corp, Eleanor langsung merasa sedikit canggung. Semua orang yang mereka lewati menatapnya dengan rasa ingin tahu. Beberapa pegawai wanita bahkan berbisik satu sama lain saat melihatnya. “Mereka pasti sedang bergosip,” gumam Eleanor. Nathaniel tidak peduli. Ia tetap berjalan lurus menuju ruangannya, dan Eleanor mengikutinya dengan ragu. Begitu mereka masuk, Eleanor langsung berkomentar, “Ruanganmu lebih besar dari kamarku.” Nathaniel duduk di balik mejanya. “Tentu saja.” Eleanor mengabaikan jawabannya dan duduk di sofa. “Jadi, apa yang ingin kau bahas?” Nathaniel mengeluarkan beberapa dokumen dan menyerahkannya pada Eleanor. “Kita perlu membicarakan detail perjanjian ini.” Eleanor membaca sekilas sebelum mengangkat alis. “Kau membuat kontrak untuk pertunangan kita?” Nathaniel mengangguk. “Agar semuanya jelas.” Eleanor menatapnya tidak percaya. “Astaga, Nathaniel. Ini seperti drama Korea.” Nathaniel hanya menunggu dengan sabar sementara Eleanor membaca kontrak itu. Ada beberapa poin yang membuatnya mengernyit. “Aku harus hadir di acara-acara penting bersamamu?” “Ya.” “Aku tidak boleh menjalin hubungan dengan pria lain?” “Tentu.” “Kita harus bertingkah seolah-olah benar-benar jatuh cinta di depan publik?” Nathaniel menatapnya datar. “Bukankah itu sudah jelas?” Eleanor menghela napas panjang. “Ini gila.” Nathaniel hanya mengangkat bahu. “Tapi ini yang terbaik untuk situasi kita.” Eleanor menatapnya tajam. “Kau benar-benar ingin menjaga citramu tetap sempurna, ya?” Nathaniel tidak menyangkal. “Aku sudah terbiasa dengan itu.” Eleanor ingin berkomentar lagi, tapi tiba-tiba pintu ruangannya diketuk. Sekretaris Nathaniel, seorang wanita berambut pendek bernama Clara, masuk dengan ekspresi ragu. “Tuan Aldric, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda.” Nathaniel mengernyit. “Siapa?” Clara tampak sedikit tidak nyaman sebelum akhirnya menjawab, “Nona Vanessa.” Eleanor langsung menegang. Vanessa lagi? Apa yang dia mau kali ini? Nathaniel menghela napas pelan. “Izinkan dia masuk.” Eleanor menatapnya dengan penuh tanya. “Apa dia sering datang ke sini?” Nathaniel tidak menjawab, hanya menatap pintu yang perlahan terbuka. Vanessa masuk dengan langkah anggun, senyum misteriusnya tetap ada. “Maaf mengganggu,” katanya dengan nada manis. Eleanor bisa merasakan ketegangan di ruangan itu. Dan entah kenapa, ia merasa sesuatu akan segera terungkap. Eleanor menegakkan punggungnya ketika Vanessa masuk, sementara Nathaniel tetap duduk dengan ekspresi datarnya. Wanita itu tersenyum tipis sebelum menatap Eleanor sekilas. “Ah, Eleanor. Tidak kusangka kita bertemu lagi secepat ini.” Eleanor tidak membalas senyumannya. “Ya, kebetulan sekali.” Vanessa mengalihkan pandangannya ke Nathaniel. “Nathaniel, kita bisa bicara sebentar? Berdua.” Eleanor langsung menoleh ke pria itu. Ia tidak menyukai cara Vanessa berbicara, seolah-olah Eleanor tidak ada di sana. Nathaniel menatap Vanessa dengan tatapan yang sulit ditebak. “Apa yang ingin kau bicarakan?” Vanessa melirik Eleanor. “Sesuatu yang pribadi.” Eleanor mengepalkan tangannya di pangkuannya. Lagi-lagi Vanessa bersikap seperti ini. Nathaniel akhirnya menghela napas pelan. “Kalau itu tentang masa lalu, aku tidak tertarik.” Eleanor menatap Nathaniel dengan kaget. Masa lalu? Jadi benar mereka punya sejarah? Vanessa tersenyum kecil. “Kau terlalu cepat berasumsi, Nathaniel. Aku hanya ingin mengobrol, tidak lebih.” Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Vanessa dengan ekspresi yang sulit ditebak sebelum akhirnya berdiri. “Kalau begitu, aku beri kau lima menit.” Vanessa tersenyum puas. “Itu sudah cukup.” Eleanor menggigit bibirnya. Ia ingin menolak dan tetap di sini, tapi Nathaniel sudah lebih dulu berbicara. “Eleanor, tunggu di sini.” Eleanor menatap Nathaniel tajam, tapi akhirnya berdiri juga. “Baik.” Ia berjalan keluar dengan perasaan yang tidak enak. Eleanor berdiri di luar ruangan dengan tangan terlipat di dada. Pikirannya penuh dengan berbagai dugaan. Apa hubungan Nathaniel dan Vanessa sebenarnya? Sementara ia sibuk dengan pikirannya sendiri, suara langkah kaki mendekat. “Eleanor?” Eleanor menoleh dan melihat seorang pria tinggi dengan jas abu-abu berdiri di depannya. Pria itu tersenyum ramah. “Aku Jared.” Eleanor mengernyit. “Jared?” Jared mengangguk. “Aku sepupu Nathaniel.” Eleanor terkejut. “Oh…” Jared terkekeh kecil. “Aku dengar kau tunangan Nathaniel. Aku penasaran seperti apa wanita yang berhasil ‘menjeratnya’.” Eleanor menghela napas. “Aku tidak ‘menjeratnya’. Ini hanya perjodohan.” Jared mengangguk pelan. “Begitu, ya?” Ia menatap Eleanor dengan intens, seolah sedang menilainya. Sebelum Eleanor sempat menjawab, pintu ruang kerja Nathaniel terbuka. Nathaniel keluar dengan ekspresi dingin, sementara Vanessa tetap tersenyum seperti biasanya. Eleanor tahu ada sesuatu yang disembunyikan Nathaniel. Dan ia akan mencari tahu apa itu.Eleanor menatap layar ponselnya dengan jantung berdebar. Pesan itu… terasa seperti peringatan. Ia menggigit bibir, mencoba mengabaikannya. Mungkin ini hanya lelucon? Tapi siapa yang akan mengiriminya pesan seperti itu? Tak ingin berpikir lebih jauh, ia menghela napas dan meletakkan ponselnya di samping bantal. Namun, bahkan saat ia mencoba tidur, pikirannya terus dihantui kata-kata di pesan tadi. Keesokan paginya, Eleanor bangun dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Tidur semalam rasanya sia-sia. Saat ia menyeret tubuhnya keluar kamar, ibunya sudah duduk di ruang makan dengan tatapan serius. "Eleanor, duduklah sebentar," kata ibunya. Eleanor mengerutkan kening. "Ada apa, Bu?" Ibunya menggeser majalah ke arahnya. Di sampul depan, ada foto Nathaniel dengan seorang wanita. "CEO Muda Nathaniel Aldric Terlihat Bertemu dengan Wanita Misterius—Apakah Ini Akhir dari Pertunangannya?"
Eleanor duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Pesan yang baru saja ia terima membuat jantungnya berdebar dengan tidak nyaman. "Kau pikir dia benar-benar mencintaimu? Jangan terlalu percaya. Tidak semua yang terlihat indah itu nyata." Kalimat itu singkat, tetapi cukup untuk menimbulkan rasa waspada dalam dirinya. Siapa yang mengirim pesan ini? Vanessa? Atau seseorang yang bahkan tidak ia ketahui? Ia menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan perasaan gelisah yang mulai merayap di hatinya. Ia menghela napas panjang dan mematikan layar ponselnya, berharap bisa melupakan pesan itu. Namun, kata-kata tersebut terus terngiang di kepalanya sepanjang malam. Tidurnya gelisah. Berulang kali ia terbangun dan memeriksa ponselnya, berharap ada pesan lain yang mungkin menjelaskan maksud dari peringatan tersebut. Namun, tidak ada pesan lanjutan. Keesokan paginya, Eleanor memutuskan untuk pergi k
Setelah percakapannya dengan Nathaniel di kantor, kepala Eleanor terasa penuh. Pria itu terlalu tenang menghadapi semuanya, seolah-olah gosip, Vanessa, dan segala peringatan yang mengarah padanya hanyalah angin lalu. Tapi bagi Eleanor, ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja! Maka, sore itu, ia kembali menemui Nathaniel di apartemennya. Tanpa pemberitahuan. Nathaniel membuka pintu dengan ekspresi bingung. "Lagi?" "Aku punya pertanyaan," kata Eleanor langsung, melangkah masuk tanpa menunggu undangan. Nathaniel memijit pelipisnya, lalu menutup pintu. "Sepertinya kau terlalu nyaman keluar-masuk rumahku." Eleanor menoleh cepat. "Dengar, Nathaniel. Aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang Vanessa katakan." Pria itu mendesah. "Apa kita harus membahas ini lagi?" "Ya! Karena kau tidak pernah benar-benar menjelaskan apa pun padaku!" Eleanor melipat tangan, mena
Hari pernikahan akhirnya tiba. Sejak pagi, kediaman keluarga Eleanor sudah dipenuhi kesibukan. Para penata rias berlalu-lalang, dekorasi diperiksa ulang, dan suara panitia yang sibuk memastikan segalanya berjalan sempurna. Eleanor duduk di depan cermin rias, mengenakan gaun putih elegan dengan veil menjuntai di punggungnya. Tangannya sedikit gemetar saat menyentuh gaun itu. "Kau gugup?" suara ibunya terdengar dari belakang. Eleanor menatap ibunya melalui pantulan cermin dan tersenyum tipis. "Sedikit." Ibunya berjalan mendekat, lalu menggenggam tangannya. "Tidak apa-apa merasa gugup. Ini hari besar untukmu." Eleanor mengangguk. "Aku hanya… tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini." Ibunya tersenyum lembut. "Kau dan Nathaniel mungkin sering berdebat, tapi aku bisa melihat bahwa dia memperhatikanmu dengan caranya sendiri." Eleanor tertawa kecil. "Ya, dengan caranya yang menyebal
Malam pertama di rumah Nathaniel, Eleanor mencoba menyesuaikan diri. Setelah Nathaniel keluar dari kamar, ia membereskan beberapa barangnya di dalam lemari. Suasana kamar yang luas dan mewah itu masih terasa asing, tapi tidak ada pilihan lain selain beradaptasi. Setelah selesai, ia masuk ke kamar mandi dan mengganti bajunya dengan piyama yang nyaman. Ia duduk di sofa sambil membaca buku yang dibawanya dari apartemen. Waktu berlalu tanpa terasa, hingga matanya mulai terasa berat. Nathaniel masih belum kembali. Eleanor tidak terlalu peduli, ia hanya naik ke tempat tidur dan menarik selimut. Tidak ada alasan untuk menunggunya. Keesokan paginya, ia terbangun karena suara samar dari luar kamar. Setelah mencuci muka, ia turun ke lantai bawah. Nathaniel sudah duduk di meja makan, menikmati kopi sambil membaca dokumen. Eleanor berjalan mendekat dan duduk di kursi seber
Pagi hari di rumah Nathaniel terasa berbeda bagi Eleanor. Ia terbangun di tempat tidur luas dengan selimut yang masih rapi di sisi lain. Nathaniel pasti sudah bangun lebih dulu. Setelah mandi dan turun ke lantai bawah, ia melihat pria itu duduk di meja makan dengan kopi dan koran di tangannya. "Selamat pagi," sapa Eleanor sambil berjalan ke dapur. Nathaniel hanya mengangguk tanpa menoleh. Eleanor membuka kulkas, melihat bahan makanan yang ia beli kemarin. Ia memutuskan untuk membuat sarapan. "Kau mau omelet atau roti panggang?" tanyanya. "Apa saja." Eleanor mendengus pelan. "Jawabanmu selalu tidak membantu." Nathaniel hanya menyeruput kopinya. Beberapa menit kemudian, Eleanor meletakkan piring berisi omelet di depannya. Nathaniel menatapnya sebentar seb
Setelah sarapan yang penuh perdebatan kecil tadi, Eleanor duduk di sofa ruang tamu, menggulir layar ponselnya tanpa fokus. Pikirannya masih dipenuhi keinginan untuk kembali melukis. Sudah terlalu lama ia meninggalkan studionya sejak pernikahan ini terjadi. Matanya melirik ke arah Nathaniel yang sedang membaca dokumen di seberang ruangan. Pria itu tampak sibuk seperti biasa, tapi Eleanor tahu ia harus berbicara sekarang sebelum suasana berubah menjadi lebih sulit. Ia menarik napas dan bangkit dari sofa, berjalan mendekat lalu berhenti di samping Nathaniel. "Aku ingin pergi ke studionya hari ini," katanya langsung. Nathaniel tidak langsung menanggapi. Ia hanya membalik halaman dokumen dengan tenang sebelum akhirnya menoleh padanya. "Studio?" "Ya, tempat aku biasa melukis. Aku sudah lama tidak ke sana," jawab
Pagi datang dengan suasana yang sama seperti sebelumnya. Eleanor terbangun dan menatap langit-langit kamar sebelum akhirnya menghela napas panjang. Hari ini ia bertekad untuk menjalani segalanya dengan lebih santai, tanpa memikirkan hal-hal yang membuatnya kesal. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia turun ke ruang makan. Nathaniel sudah duduk di sana dengan secangkir kopi di tangannya, seperti biasa. “Pagi,” sapa Eleanor sambil duduk. Nathaniel meliriknya sekilas. “Pagi.” Pelayan datang dan menyajikan sarapan untuk Eleanor. Ia mulai makan dengan tenang, mencoba menikmati makanannya seperti yang kemarin ia ajarkan pada Nathaniel—walaupun pria itu tampaknya tetap dengan caranya sendiri yang serius dan tanpa ekspresi. “Jadi, hari ini kau ada urusan?” tanya Eleanor sambil menyendok sarapannya. Nathaniel menyesap kopinya sebelum men
Eleanor berjalan menuju kamarnya dengan langkah cepat, tapi pikirannya masih berkecamuk. Pertanyaan Nathaniel tadi terus terngiang di kepalanya. Apa kau mulai merasa nyaman denganku? Ia mendesah pelan, berusaha menepis perasaan aneh yang mulai muncul dalam dirinya. Ini tidak boleh terjadi. Ia tidak boleh lengah. Namun, bayangan tatapan serius Nathaniel dan nada suaranya yang berbeda dari biasanya tetap melekat dalam benaknya. Setelah berganti pakaian dan bersiap untuk pergi, Eleanor turun kembali ke ruang tamu. Nathaniel masih di sana, berdiri dengan kemeja putihnya yang sudah tertata rapi, siap untuk berangkat ke kantor. Saat pria itu melihatnya, ia mengangkat alis. "Kau mau ke butik hari ini?" Eleanor mengangguk. "Ya, ada beberapa hal yang harus aku urus." Nathaniel menatapnya sesaat sebelum akhirnya berkata, "Aku bisa mengantarmu." Eleanor terkejut, lalu buru-bu
Setelah perjalanan yang terasa lebih lama dari seharusnya, mobil akhirnya berhenti di depan butik Eleanor. Wanita itu buru-buru membuka pintu dan keluar, seolah ingin segera menjauh dari aura mengganggu yang ditimbulkan oleh kehadiran Nathaniel di sisinya. Nathaniel menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. "Aku jemput nanti?" Eleanor menoleh sekilas, mencoba mencari alasan untuk menolak, tapi pada akhirnya hanya mengangguk kecil. "Terserah." Nathaniel tersenyum tipis mendengar jawaban itu. "Baiklah, sampai nanti." Tanpa menunggu lebih lama, Eleanor segera masuk ke dalam butiknya. Ia merasa perlu menenangkan pikirannya sebelum emosinya semakin kacau. Namun, begitu ia melangkah masuk, seorang pegawainya, Lisa, langsung menyambut dengan tatapan penuh selidik. "Kak Eleanor... tadi aku lihat bos besar nganterin kakak?" tanyanya dengan nada penasaran. Eleanor menghela napas panjang. "Jangan
Pagi di apartemen terasa lebih tenang dari biasanya. Eleanor terbangun sedikit lebih awal dari alarmnya, matanya masih setengah terpejam saat ia menyadari suasana di sekelilingnya. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat bahwa ini bukan kamarnya di rumah lama, melainkan apartemen tempat ia tinggal bersama Nathaniel.Ia menghela napas pelan sebelum turun dari tempat tidur. Setelah mencuci muka dan mengganti pakaian, Eleanor keluar dari kamar, sedikit terkejut saat melihat Nathaniel sudah berada di dapur, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku.Pria itu sedang menuangkan kopi ke dalam cangkirnya sendiri, lalu melirik sekilas ke arah Eleanor. “Pagi.”Eleanor berjalan mendekat. “Kau bangun lebih awal.”Nathaniel menyesap kopinya sebelum menjawab. “Aku memang selalu bangun pagi.”Eleanor mengangguk pelan. Ia sempat melirik meja makan dan menemukan satu cangkir tambahan di sana. “Kau buatkan kopi untukku juga?”
Malam semakin larut, tetapi Eleanor masih belum bisa tidur. Pikirannya terus berputar, mengingat bagaimana Nathaniel mulai berubah. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu, dalam caranya berbicara, yang terasa berbeda.Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit dengan napas pelan. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, dan itu membuatnya frustrasi.“Apa aku terlalu banyak berpikir?” gumamnya pelan.Namun, meskipun ia mencoba mengabaikannya, kenyataan bahwa Nathaniel tidak lagi terasa seperti pria dingin yang dulu ia kenal tetap menghantuinya.Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamarnya. Eleanor menoleh, sedikit terkejut.“Eleanor,” suara Nathaniel terdengar dari luar. “Kau masih bangun?”Eleanor ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Iya, ada apa?”Nathaniel tidak langsung menjawab. Ada jeda singkat sebelum akhirnya ia berkata, “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”
Pagi datang dengan sinar matahari yang perlahan menerobos tirai kamar. Eleanor menggerakkan tubuhnya sedikit, matanya masih setengah terpejam. Ia merasa hangat, lebih nyaman dari biasanya.Saat kesadarannya kembali sepenuhnya, ia menyadari sesuatu—ada lengan kuat yang melingkar di pinggangnya.Jantungnya langsung berdetak lebih cepat. Dengan hati-hati, ia menoleh dan menemukan dirinya berada dalam pelukan Nathaniel.Lelaki itu masih tertidur, napasnya teratur, dan wajahnya tampak lebih tenang dari biasanya. Biasanya, Nathaniel selalu menjaga jarak darinya. Tapi sekarang…Eleanor menelan ludah, tidak yakin harus berbuat apa. Ia mencoba bergerak pelan agar tidak membangunkannya, tetapi saat ia sedikit bergeser, cengkeraman lengan Nathaniel justru mengerat."Jangan gerak," suara Nathaniel terdengar, serak dan dalam.Eleanor membeku. "Kau sudah bangun?"Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum akhi
Eleanor masih terdiam di tempatnya, merasakan hembusan angin malam yang menyapu wajahnya. Perkataan Nathaniel barusan membuatnya kehilangan kata-kata. Ia tidak menyangka pria itu akan mengatakannya secara langsung seperti itu.Nathaniel tetap berdiri di hadapannya, menunggu reaksi. Tapi Eleanor hanya mengalihkan pandangan, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba tidak teratur."Apa kau selalu mengatakan hal seperti itu kepada semua wanita?" tanya Eleanor akhirnya, berusaha terdengar santai.Nathaniel menatapnya tanpa ekspresi. "Tidak."Jawaban singkat itu justru semakin mengganggunya. Eleanor berdeham pelan, mencoba mengembalikan kontrol atas emosinya. Ia tidak boleh terbawa suasana."Kau terlalu percaya diri, Nathaniel," katanya, berusaha tersenyum sinis. "Aku tidak merasa terganggu."Nathaniel tidak langsung membalas. Ia hanya mengamati Eleanor dengan mata tajamnya, seolah membaca setiap kebohongan kecil dalam kata
Keesokan harinya, Eleanor berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya sebelum pergi. Gaun sederhana berwarna navy yang ia pilih terasa nyaman, dan riasannya cukup natural, tidak terlalu mencolok.Nathaniel yang baru keluar dari kamar mandi sempat meliriknya sekilas. "Kau terlihat baik-baik saja," komentarnya singkat.Eleanor menoleh. "Memangnya aku terlihat buruk sebelumnya?" tanyanya, sedikit mengangkat alis.Nathaniel hanya mengangkat bahu, tak ingin memperpanjang pembicaraan. "Ayo berangkat."Di perjalanan menuju kediaman keluarga Nathaniel, suasana di dalam mobil terasa lebih tenang dari yang ia bayangkan. Nathaniel tidak banyak bicara, hanya sesekali melirik ke luar jendela, sementara Eleanor berusaha menenangkan pikirannya.Begitu mereka tiba, pintu besar rumah keluarga Nathaniel sudah terbuka lebar, menyambut kedatangan mereka. Beberapa pelayan berlalu-lalang, menyiapkan hidangan di ruang makan."Eleanor!" Suara hang
Eleanor masih berdiri di samping Nathaniel, memperhatikan interaksi pria itu dengan Vivian. Meskipun ekspresi Nathaniel tetap datar, Eleanor bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. Seperti ada sejarah yang belum ia ketahui.Vivian tersenyum tipis, lalu mengambil segelas sampanye dari pelayan yang lewat. "Jadi, bagaimana kehidupan pernikahanmu, Nathaniel?"Nada suaranya terdengar terlalu santai, seolah-olah ia sedang menunggu jawaban yang menarik.Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Vivian beberapa detik sebelum berkata, "Cukup baik."Vivian mengangkat alis. "Hanya 'cukup baik'?"Eleanor merasakan Vivian sedang mencoba memancing sesuatu. Ia bisa saja diam dan membiarkan Nathaniel menangani ini, tapi tiba-tiba ia merasa tidak ingin membiarkan wanita itu berpikir bahwa dirinya bisa meremehkan mereka.Ia tersenyum manis dan meraih lengan Nathaniel dengan santai. "Mungkin bagi Nathaniel itu 'cukup
Pagi itu, Eleanor duduk di meja makan, menyeruput kopinya dengan pelan. Matahari pagi masuk melalui jendela besar, menciptakan bayangan lembut di sekeliling ruangan. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata Nathaniel tadi malam."Karena kamu adalah istriku."Kalimat itu sederhana, tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalamnya yang terasa lebih dari sekadar pernyataan biasa.Nathaniel duduk di seberangnya, menikmati sarapannya seperti biasa. Tatapan Eleanor sesekali melirik pria itu, tapi ia tidak mengatakan apa-apa."Aku akan menjemputmu pukul tujuh malam," ujar Nathaniel tiba-tiba tanpa menoleh.Eleanor meletakkan cangkir kopinya dan menatapnya. "Aku belum bilang aku setuju untuk datang."Nathaniel akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Eleanor dengan santai. "Aku tahu kamu akan datang."Eleanor mendengus. "Kenapa kamu terdengar begitu yakin?"Nathaniel menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tetap tena