Eleanor tidak bisa tidur malam itu. Pikirannya masih dipenuhi dengan apa yang terjadi di gala. Wajah Vanessa, percakapan misteriusnya dengan Annelise, dan cara Nathaniel bersikap seolah semua itu bukan sesuatu yang penting—semuanya terus berputar di kepalanya.
Siapa sebenarnya Vanessa? Dan apa yang ia bicarakan dengan Annelise? Eleanor mencoba mengabaikan pikirannya, tapi rasa penasaran terus menghantuinya. Ia membalikkan tubuh di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan perasaan gelisah. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan Vanessa selalu muncul. Keesokan paginya, Eleanor bangun dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Ia baru saja akan turun ke dapur untuk mengambil segelas kopi ketika ponselnya berbunyi. Nathaniel Aldric menelepon. Eleanor mengerang frustrasi sebelum akhirnya mengangkat telepon dengan malas. “Apa?” Suara Nathaniel terdengar tenang seperti biasa. “Aku menjemputmu dalam lima belas menit. Kita akan pergi.” Eleanor mengernyit. “Pergi ke mana?” “Ke kantorku. Ada sesuatu yang perlu kita bahas.” Klik. Nathaniel menutup telepon sebelum Eleanor sempat membantah. Astaga, pria ini benar-benar tidak bisa diajak diskusi! Lima belas menit kemudian, Eleanor sudah berada di dalam mobil Nathaniel. Ia menatap pria itu dengan curiga. “Jadi, kenapa tiba-tiba aku harus ikut ke kantor?” Nathaniel tetap fokus menyetir. “Karena mulai sekarang, kau akan sering terlihat di sekitarku. Akan lebih mudah jika kau mulai terbiasa.” Eleanor mendesah. “Jadi aku harus berpura-pura jadi tunangan CEO besar?” Nathaniel menatapnya sekilas. “Kau memang tunanganku.” Eleanor mendengus. “Dalam keadaan yang terpaksa.” Nathaniel tidak menjawab. Begitu mereka sampai di gedung Aldric Corp, Eleanor langsung merasa sedikit canggung. Semua orang yang mereka lewati menatapnya dengan rasa ingin tahu. Beberapa pegawai wanita bahkan berbisik satu sama lain saat melihatnya. “Mereka pasti sedang bergosip,” gumam Eleanor. Nathaniel tidak peduli. Ia tetap berjalan lurus menuju ruangannya, dan Eleanor mengikutinya dengan ragu. Begitu mereka masuk, Eleanor langsung berkomentar, “Ruanganmu lebih besar dari kamarku.” Nathaniel duduk di balik mejanya. “Tentu saja.” Eleanor mengabaikan jawabannya dan duduk di sofa. “Jadi, apa yang ingin kau bahas?” Nathaniel mengeluarkan beberapa dokumen dan menyerahkannya pada Eleanor. “Kita perlu membicarakan detail perjanjian ini.” Eleanor membaca sekilas sebelum mengangkat alis. “Kau membuat kontrak untuk pertunangan kita?” Nathaniel mengangguk. “Agar semuanya jelas.” Eleanor menatapnya tidak percaya. “Astaga, Nathaniel. Ini seperti drama Korea.” Nathaniel hanya menunggu dengan sabar sementara Eleanor membaca kontrak itu. Ada beberapa poin yang membuatnya mengernyit. “Aku harus hadir di acara-acara penting bersamamu?” “Ya.” “Aku tidak boleh menjalin hubungan dengan pria lain?” “Tentu.” “Kita harus bertingkah seolah-olah benar-benar jatuh cinta di depan publik?” Nathaniel menatapnya datar. “Bukankah itu sudah jelas?” Eleanor menghela napas panjang. “Ini gila.” Nathaniel hanya mengangkat bahu. “Tapi ini yang terbaik untuk situasi kita.” Eleanor menatapnya tajam. “Kau benar-benar ingin menjaga citramu tetap sempurna, ya?” Nathaniel tidak menyangkal. “Aku sudah terbiasa dengan itu.” Eleanor ingin berkomentar lagi, tapi tiba-tiba pintu ruangannya diketuk. Sekretaris Nathaniel, seorang wanita berambut pendek bernama Clara, masuk dengan ekspresi ragu. “Tuan Aldric, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda.” Nathaniel mengernyit. “Siapa?” Clara tampak sedikit tidak nyaman sebelum akhirnya menjawab, “Nona Vanessa.” Eleanor langsung menegang. Vanessa lagi? Apa yang dia mau kali ini? Nathaniel menghela napas pelan. “Izinkan dia masuk.” Eleanor menatapnya dengan penuh tanya. “Apa dia sering datang ke sini?” Nathaniel tidak menjawab, hanya menatap pintu yang perlahan terbuka. Vanessa masuk dengan langkah anggun, senyum misteriusnya tetap ada. “Maaf mengganggu,” katanya dengan nada manis. Eleanor bisa merasakan ketegangan di ruangan itu. Dan entah kenapa, ia merasa sesuatu akan segera terungkap. Eleanor menegakkan punggungnya ketika Vanessa masuk, sementara Nathaniel tetap duduk dengan ekspresi datarnya. Wanita itu tersenyum tipis sebelum menatap Eleanor sekilas. “Ah, Eleanor. Tidak kusangka kita bertemu lagi secepat ini.” Eleanor tidak membalas senyumannya. “Ya, kebetulan sekali.” Vanessa mengalihkan pandangannya ke Nathaniel. “Nathaniel, kita bisa bicara sebentar? Berdua.” Eleanor langsung menoleh ke pria itu. Ia tidak menyukai cara Vanessa berbicara, seolah-olah Eleanor tidak ada di sana. Nathaniel menatap Vanessa dengan tatapan yang sulit ditebak. “Apa yang ingin kau bicarakan?” Vanessa melirik Eleanor. “Sesuatu yang pribadi.” Eleanor mengepalkan tangannya di pangkuannya. Lagi-lagi Vanessa bersikap seperti ini. Nathaniel akhirnya menghela napas pelan. “Kalau itu tentang masa lalu, aku tidak tertarik.” Eleanor menatap Nathaniel dengan kaget. Masa lalu? Jadi benar mereka punya sejarah? Vanessa tersenyum kecil. “Kau terlalu cepat berasumsi, Nathaniel. Aku hanya ingin mengobrol, tidak lebih.” Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Vanessa dengan ekspresi yang sulit ditebak sebelum akhirnya berdiri. “Kalau begitu, aku beri kau lima menit.” Vanessa tersenyum puas. “Itu sudah cukup.” Eleanor menggigit bibirnya. Ia ingin menolak dan tetap di sini, tapi Nathaniel sudah lebih dulu berbicara. “Eleanor, tunggu di sini.” Eleanor menatap Nathaniel tajam, tapi akhirnya berdiri juga. “Baik.” Ia berjalan keluar dengan perasaan yang tidak enak. Eleanor berdiri di luar ruangan dengan tangan terlipat di dada. Pikirannya penuh dengan berbagai dugaan. Apa hubungan Nathaniel dan Vanessa sebenarnya? Sementara ia sibuk dengan pikirannya sendiri, suara langkah kaki mendekat. “Eleanor?” Eleanor menoleh dan melihat seorang pria tinggi dengan jas abu-abu berdiri di depannya. Pria itu tersenyum ramah. “Aku Jared.” Eleanor mengernyit. “Jared?” Jared mengangguk. “Aku sepupu Nathaniel.” Eleanor terkejut. “Oh…” Jared terkekeh kecil. “Aku dengar kau tunangan Nathaniel. Aku penasaran seperti apa wanita yang berhasil ‘menjeratnya’.” Eleanor menghela napas. “Aku tidak ‘menjeratnya’. Ini hanya perjodohan.” Jared mengangguk pelan. “Begitu, ya?” Ia menatap Eleanor dengan intens, seolah sedang menilainya. Sebelum Eleanor sempat menjawab, pintu ruang kerja Nathaniel terbuka. Nathaniel keluar dengan ekspresi dingin, sementara Vanessa tetap tersenyum seperti biasanya. Eleanor tahu ada sesuatu yang disembunyikan Nathaniel. Dan ia akan mencari tahu apa itu.Eleanor menatap layar ponselnya dengan jantung berdebar. Pesan itu… terasa seperti peringatan. Ia menggigit bibir, mencoba mengabaikannya. Mungkin ini hanya lelucon? Tapi siapa yang akan mengiriminya pesan seperti itu? Tak ingin berpikir lebih jauh, ia menghela napas dan meletakkan ponselnya di samping bantal. Namun, bahkan saat ia mencoba tidur, pikirannya terus dihantui kata-kata di pesan tadi. Keesokan paginya, Eleanor bangun dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Tidur semalam rasanya sia-sia. Saat ia menyeret tubuhnya keluar kamar, ibunya sudah duduk di ruang makan dengan tatapan serius. "Eleanor, duduklah sebentar," kata ibunya. Eleanor mengerutkan kening. "Ada apa, Bu?" Ibunya menggeser majalah ke arahnya. Di sampul depan, ada foto Nathaniel dengan seorang wanita. "CEO Muda Nathaniel Aldric Terlihat Bertemu dengan Wanita Misterius—Apakah Ini Akhir dari Pertunangannya?"
Eleanor duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Pesan yang baru saja ia terima membuat jantungnya berdebar dengan tidak nyaman. "Kau pikir dia benar-benar mencintaimu? Jangan terlalu percaya. Tidak semua yang terlihat indah itu nyata." Kalimat itu singkat, tetapi cukup untuk menimbulkan rasa waspada dalam dirinya. Siapa yang mengirim pesan ini? Vanessa? Atau seseorang yang bahkan tidak ia ketahui? Ia menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan perasaan gelisah yang mulai merayap di hatinya. Ia menghela napas panjang dan mematikan layar ponselnya, berharap bisa melupakan pesan itu. Namun, kata-kata tersebut terus terngiang di kepalanya sepanjang malam. Tidurnya gelisah. Berulang kali ia terbangun dan memeriksa ponselnya, berharap ada pesan lain yang mungkin menjelaskan maksud dari peringatan tersebut. Namun, tidak ada pesan lanjutan. Keesokan paginya, Eleanor memutuskan untuk pergi k
Langit sore menjingga ketika Eleanor Windsor menyelesaikan lukisan terakhirnya di balkon apartemen kecilnya. Aroma cat minyak masih menggantung di udara saat ia menyandarkan tubuh di kursi kayu, membiarkan angin sepoi-sepoi mengusap wajahnya. Hidupnya sederhana, bebas tanpa aturan, dan ia menyukainya seperti itu.Dering ponselnya memecah ketenangan. Ia melirik layar dan melihat nama ayahnya. Sedikit heran, ia mengangkatnya."Eleanor, pulang sekarang. Ada hal penting yang harus kita bicarakan."Nada tegas tanpa basa-basi itu membuatnya mengernyit. Sangat jarang ayahnya, seorang pengusaha sukses di bidang real estate, berbicara seserius ini. Namun, ia tidak curiga. Mungkin hanya urusan keluarga biasa.Namun, saat ia tiba di rumah besar keluarga Windsor, suasana lebih berat dari biasanya. Ayahnya duduk dengan ekspresi serius, sementara ibunya berdiri dengan wajah sulit dibaca."Ada apa?" Eleanor bertanya.Ayahnya menatapnya lurus sebelum akhirnya berkata, "Kamu akan menikah."Eleanor ter
Eleanor membanting pintu kamar begitu tiba di rumah."Ugh, dasar pria menyebalkan!" gumamnya, melempar tas tangan ke sofa.Seharusnya ia sudah tahu sejak awal kalau makan malam itu akan jadi bencana, tapi tetap saja, Nathaniel Aldric lebih arogan dari yang ia bayangkan. Bahkan pria itu tidak berusaha bersikap sedikit lebih menyenangkan!Eleanor berjalan mondar-mandir, masih kesal membayangkan betapa santainya Nathaniel menghadapi pernikahan ini. Seolah menikah dengannya hanya formalitas bisnis tanpa perasaan."Astaga, aku harus hidup dengan orang seperti itu?" keluhnya sambil mengacak rambut.Baru saja ia ingin menjatuhkan diri ke tempat tidur, ponselnya bergetar. Ia meraihnya dengan kasar, mengira itu pesan dari ibunya yang menyuruhnya bersikap lebih dewasa.Tapi ternyata bukan.Nathaniel Aldric:"Aku harap kau menikmati makan malam tadi. Karena ini baru awal."Eleanor menatap layar ponsel dengan mulut sedikit menganga."Apa maksud pria ini? Baru awal?"Dengan kesal, ia mengetik bala
Eleanor pikir setelah pertemuan itu, Nathaniel akan membiarkannya hidup dengan tenang setidaknya untuk beberapa hari. Tapi ternyata, harapannya terlalu naif.Pagi ini, ia baru saja selesai mandi ketika ponselnya bergetar di meja. Dengan rambut masih basah, ia mengambilnya dan melihat sebuah pesan masuk.Nathaniel Aldric:"Aku menunggumu di depan rumah. Lima menit."Eleanor hampir menjatuhkan ponsel dari tangannya."APA?!"Ia buru-buru berlari ke jendela kamarnya, menarik tirai, dan benar saja—sebuah mobil hitam mengilap sudah terparkir di depan rumah. Nathaniel berdiri di sampingnya, bersandar santai dengan tangan di saku celana.Dengan jantung hampir copot, Eleanor mengetik balasan secepat mungkin.Eleanor Windsor:"Kau ngapain di sini?! Aku belum siap!"Tidak sampai sepuluh detik, Nathaniel membalas.Nathaniel Aldric:"Tinggal berdandan dan turun. Aku tidak suka menunggu."Eleanor mendengus kesal. Pria ini benar-benar…!Ia buru-buru berdandan seadanya, lalu berlari turun. Begitu kel
Pagi itu, Eleanor baru saja turun dari kamarnya dengan mata setengah tertutup saat ponselnya bergetar tanpa henti di meja makan.Ibunya yang sedang menyiapkan sarapan menoleh. “Teman-temanmu ribut sekali pagi ini. Dari tadi HP-mu nggak berhenti berbunyi.”Eleanor menguap kecil sebelum meraih ponselnya. Begitu melihat deretan notifikasi yang masuk, ia langsung tersadar seketika.Grup Chat – Geng GilaLana: ELEANOR! APAKAH INI BENAR?!Mia: LO DIJODOHIN SAMA NATHANIEL ALDRIC?Lana: KENAPA LO NGGAK BILANG DARI KEMARIN-KEMARIN?!Mia: CEPET JAWAB SEBELUM KAMI DATANG KE RUMAH LO!Eleanor hampir menjatuhkan ponselnya. Dari mana mereka tahu?!Ia buru-buru membuka media sosial dan matanya langsung membesar saat melihat sebuah unggahan yang mulai viral.Nathaniel Aldric Terlihat Bersama Seorang Wanita di Makan Malam Keluarga—Apakah Ini Tanda-Tanda Pernikahan?Berbagai foto yang diambil diam-diam terpampang jelas. Salah satunya adalah saat Nathaniel menggenggam tangannya di meja makan.Eleanor la
Malam yang dinanti tiba. Eleanor menatap bayangannya di cermin, sedikit ragu dengan gaun navy elegan yang membalut tubuhnya. Rambutnya disanggul dengan beberapa helai tergerai, memberi kesan anggun sekaligus santai.Lana dan Mia yang berdiri di belakangnya langsung bersiul.“Gila, kalau gue jadi cowok, pasti langsung jatuh cinta,” komentar Lana.Mia mengangguk. “Nggak nyangka Nathaniel punya selera bagus.”Eleanor mendengus. “Pasti asistennya yang pilih.”Lana tertawa. “Tetep aja, kasih dia nilai plus kali ini.”Eleanor hanya menghela napas sebelum mengambil clutch bag-nya. “Oke, gue berangkat.”Mia tersenyum lebar. “Jangan lupa ceritain semuanya nanti!”Begitu keluar rumah, sebuah mobil mewah sudah menunggu. Seorang sopir membukakan pintu.“Selamat malam, Nona Eleanor. Tuan Nathaniel sudah menunggu di venue.”Eleanor mengangguk dan masuk. Sesampainya di venue, kilatan kamera langsung menyambutnya. Ia hampir mundur, tapi sopir sudah membukakan pintu. Dengan napas panjang, ia turun dan
Eleanor duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Pesan yang baru saja ia terima membuat jantungnya berdebar dengan tidak nyaman. "Kau pikir dia benar-benar mencintaimu? Jangan terlalu percaya. Tidak semua yang terlihat indah itu nyata." Kalimat itu singkat, tetapi cukup untuk menimbulkan rasa waspada dalam dirinya. Siapa yang mengirim pesan ini? Vanessa? Atau seseorang yang bahkan tidak ia ketahui? Ia menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan perasaan gelisah yang mulai merayap di hatinya. Ia menghela napas panjang dan mematikan layar ponselnya, berharap bisa melupakan pesan itu. Namun, kata-kata tersebut terus terngiang di kepalanya sepanjang malam. Tidurnya gelisah. Berulang kali ia terbangun dan memeriksa ponselnya, berharap ada pesan lain yang mungkin menjelaskan maksud dari peringatan tersebut. Namun, tidak ada pesan lanjutan. Keesokan paginya, Eleanor memutuskan untuk pergi k
Eleanor menatap layar ponselnya dengan jantung berdebar. Pesan itu… terasa seperti peringatan. Ia menggigit bibir, mencoba mengabaikannya. Mungkin ini hanya lelucon? Tapi siapa yang akan mengiriminya pesan seperti itu? Tak ingin berpikir lebih jauh, ia menghela napas dan meletakkan ponselnya di samping bantal. Namun, bahkan saat ia mencoba tidur, pikirannya terus dihantui kata-kata di pesan tadi. Keesokan paginya, Eleanor bangun dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Tidur semalam rasanya sia-sia. Saat ia menyeret tubuhnya keluar kamar, ibunya sudah duduk di ruang makan dengan tatapan serius. "Eleanor, duduklah sebentar," kata ibunya. Eleanor mengerutkan kening. "Ada apa, Bu?" Ibunya menggeser majalah ke arahnya. Di sampul depan, ada foto Nathaniel dengan seorang wanita. "CEO Muda Nathaniel Aldric Terlihat Bertemu dengan Wanita Misterius—Apakah Ini Akhir dari Pertunangannya?"
Eleanor tidak bisa tidur malam itu. Pikirannya masih dipenuhi dengan apa yang terjadi di gala. Wajah Vanessa, percakapan misteriusnya dengan Annelise, dan cara Nathaniel bersikap seolah semua itu bukan sesuatu yang penting—semuanya terus berputar di kepalanya. Siapa sebenarnya Vanessa? Dan apa yang ia bicarakan dengan Annelise? Eleanor mencoba mengabaikan pikirannya, tapi rasa penasaran terus menghantuinya. Ia membalikkan tubuh di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan perasaan gelisah. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan Vanessa selalu muncul. Keesokan paginya, Eleanor bangun dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Ia baru saja akan turun ke dapur untuk mengambil segelas kopi ketika ponselnya berbunyi. Nathaniel Aldric menelepon. Eleanor mengerang frustrasi sebelum akhirnya mengangkat telepon dengan malas. “Apa?” Suara Nathaniel terdengar tenang seperti biasa. “Aku menjemputmu dalam lima belas menit. Kita akan pergi.” Eleanor mengernyit. “Pergi ke mana?
Malam yang dinanti tiba. Eleanor menatap bayangannya di cermin, sedikit ragu dengan gaun navy elegan yang membalut tubuhnya. Rambutnya disanggul dengan beberapa helai tergerai, memberi kesan anggun sekaligus santai.Lana dan Mia yang berdiri di belakangnya langsung bersiul.“Gila, kalau gue jadi cowok, pasti langsung jatuh cinta,” komentar Lana.Mia mengangguk. “Nggak nyangka Nathaniel punya selera bagus.”Eleanor mendengus. “Pasti asistennya yang pilih.”Lana tertawa. “Tetep aja, kasih dia nilai plus kali ini.”Eleanor hanya menghela napas sebelum mengambil clutch bag-nya. “Oke, gue berangkat.”Mia tersenyum lebar. “Jangan lupa ceritain semuanya nanti!”Begitu keluar rumah, sebuah mobil mewah sudah menunggu. Seorang sopir membukakan pintu.“Selamat malam, Nona Eleanor. Tuan Nathaniel sudah menunggu di venue.”Eleanor mengangguk dan masuk. Sesampainya di venue, kilatan kamera langsung menyambutnya. Ia hampir mundur, tapi sopir sudah membukakan pintu. Dengan napas panjang, ia turun dan
Pagi itu, Eleanor baru saja turun dari kamarnya dengan mata setengah tertutup saat ponselnya bergetar tanpa henti di meja makan.Ibunya yang sedang menyiapkan sarapan menoleh. “Teman-temanmu ribut sekali pagi ini. Dari tadi HP-mu nggak berhenti berbunyi.”Eleanor menguap kecil sebelum meraih ponselnya. Begitu melihat deretan notifikasi yang masuk, ia langsung tersadar seketika.Grup Chat – Geng GilaLana: ELEANOR! APAKAH INI BENAR?!Mia: LO DIJODOHIN SAMA NATHANIEL ALDRIC?Lana: KENAPA LO NGGAK BILANG DARI KEMARIN-KEMARIN?!Mia: CEPET JAWAB SEBELUM KAMI DATANG KE RUMAH LO!Eleanor hampir menjatuhkan ponselnya. Dari mana mereka tahu?!Ia buru-buru membuka media sosial dan matanya langsung membesar saat melihat sebuah unggahan yang mulai viral.Nathaniel Aldric Terlihat Bersama Seorang Wanita di Makan Malam Keluarga—Apakah Ini Tanda-Tanda Pernikahan?Berbagai foto yang diambil diam-diam terpampang jelas. Salah satunya adalah saat Nathaniel menggenggam tangannya di meja makan.Eleanor la
Eleanor pikir setelah pertemuan itu, Nathaniel akan membiarkannya hidup dengan tenang setidaknya untuk beberapa hari. Tapi ternyata, harapannya terlalu naif.Pagi ini, ia baru saja selesai mandi ketika ponselnya bergetar di meja. Dengan rambut masih basah, ia mengambilnya dan melihat sebuah pesan masuk.Nathaniel Aldric:"Aku menunggumu di depan rumah. Lima menit."Eleanor hampir menjatuhkan ponsel dari tangannya."APA?!"Ia buru-buru berlari ke jendela kamarnya, menarik tirai, dan benar saja—sebuah mobil hitam mengilap sudah terparkir di depan rumah. Nathaniel berdiri di sampingnya, bersandar santai dengan tangan di saku celana.Dengan jantung hampir copot, Eleanor mengetik balasan secepat mungkin.Eleanor Windsor:"Kau ngapain di sini?! Aku belum siap!"Tidak sampai sepuluh detik, Nathaniel membalas.Nathaniel Aldric:"Tinggal berdandan dan turun. Aku tidak suka menunggu."Eleanor mendengus kesal. Pria ini benar-benar…!Ia buru-buru berdandan seadanya, lalu berlari turun. Begitu kel
Eleanor membanting pintu kamar begitu tiba di rumah."Ugh, dasar pria menyebalkan!" gumamnya, melempar tas tangan ke sofa.Seharusnya ia sudah tahu sejak awal kalau makan malam itu akan jadi bencana, tapi tetap saja, Nathaniel Aldric lebih arogan dari yang ia bayangkan. Bahkan pria itu tidak berusaha bersikap sedikit lebih menyenangkan!Eleanor berjalan mondar-mandir, masih kesal membayangkan betapa santainya Nathaniel menghadapi pernikahan ini. Seolah menikah dengannya hanya formalitas bisnis tanpa perasaan."Astaga, aku harus hidup dengan orang seperti itu?" keluhnya sambil mengacak rambut.Baru saja ia ingin menjatuhkan diri ke tempat tidur, ponselnya bergetar. Ia meraihnya dengan kasar, mengira itu pesan dari ibunya yang menyuruhnya bersikap lebih dewasa.Tapi ternyata bukan.Nathaniel Aldric:"Aku harap kau menikmati makan malam tadi. Karena ini baru awal."Eleanor menatap layar ponsel dengan mulut sedikit menganga."Apa maksud pria ini? Baru awal?"Dengan kesal, ia mengetik bala
Langit sore menjingga ketika Eleanor Windsor menyelesaikan lukisan terakhirnya di balkon apartemen kecilnya. Aroma cat minyak masih menggantung di udara saat ia menyandarkan tubuh di kursi kayu, membiarkan angin sepoi-sepoi mengusap wajahnya. Hidupnya sederhana, bebas tanpa aturan, dan ia menyukainya seperti itu.Dering ponselnya memecah ketenangan. Ia melirik layar dan melihat nama ayahnya. Sedikit heran, ia mengangkatnya."Eleanor, pulang sekarang. Ada hal penting yang harus kita bicarakan."Nada tegas tanpa basa-basi itu membuatnya mengernyit. Sangat jarang ayahnya, seorang pengusaha sukses di bidang real estate, berbicara seserius ini. Namun, ia tidak curiga. Mungkin hanya urusan keluarga biasa.Namun, saat ia tiba di rumah besar keluarga Windsor, suasana lebih berat dari biasanya. Ayahnya duduk dengan ekspresi serius, sementara ibunya berdiri dengan wajah sulit dibaca."Ada apa?" Eleanor bertanya.Ayahnya menatapnya lurus sebelum akhirnya berkata, "Kamu akan menikah."Eleanor ter